Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi :
2. Editorial
114. 4. English Summary
Kedaruratan Paru Artikel
5. Pengelolaan Pasien dengan Kedaruratan Paru - Zul Dahian
Januari 1997 10. Perawatan Intensif Penyakit Gawat Paru di Rumahsakit Ka-
bupaten - Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rachman
15. Sepsis pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut – Tinjauan
Patogenesis dan Pengelolaannya - Hadi Jusuf, Primal Su-
djana
19. Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika Intravena ke Oral pada
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut - Zul Dahlan
24. Kandidiasis Paru - Hamdi S.
28. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi - Faisal Yunus
33. Rehabilitasi pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Mena-
hun - Djoko Mulyono
37. Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE pada Penderita Asma
Bronkial yang Menggunakan Prednison - Yovita Lisawati,
Bie Tjeng, RusdiA.
41. Risiko Relatif Lingkungan Sosial dan Kimia terhadap Ke-
jadian Penyakit ISPA – Pneumonia di Indramayu, Jawa
Barat - Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena
A., Kasnodihardjo
45. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di
Karya Sriwidodo WS Jawa Barat - Enny Muchlastriningsih
48. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Jangka Pendek Anti
TB Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan
Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 1 .Khemoterapi Anti
Tuberkulosis - RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni
Inggrid Handojo
53. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Antibiotik -
Pudjarwoto Triatmodjo
56. Karakteristik Gizi Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan -
Surjaini Jamal
60. Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus pada Anak Usia 5-12
tahun di Indonesia - Siti Sundari Yuwono, Dewi P., Farida,
Imu R., Sumarno, Deni
62. Abstrak
64. RPPIK
Kedaruratan paru atau pernapasan merupakan faktor yang
penting diperhitungkan dalam penatalaksanaan gawat darurat
pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya,
tetapi karena kegagalan fungsi pernapasan, baik karena gangguan
sentral maupun akibat infeksi/sepsis.
Masalah-masalah ini akan ditinjau oleh beberapa sejawat di
bidang paru; juga mengenai pedoman penggunaan antibiotika untuk
infeksi saluran napas. Selain itu juga akan dibahas masalah kandidi-
asis paru yang patut dipikirkan terutama pada penggunaan antibio-
tika jangka panjang.
Beberapa artikel lain yang masih berhubungan dengan masalah
paru, termasuk tindakan rehabilitasi, akan melengkapi edisi ini.
Selamat membaca dan Selamat Tahun Baru 1997.
Redaksi
Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Yl, Bt, Ra
Cermin Dunia Kedokt. 1997, 114:37-40
Pengelolaan Pasien
dengan
Kedaruratan Paru
Zul Dahlan
Subunit Pulmonologi Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
PENDAHULUAN kit gawat paru baik akut maupun kronis yang menjadi akut
Perawatan Intensif adalah tindakan perawatan dan tindakan kembali (acute on chronic).
medis yang secara aktif dilakukan untuk menunjang fungsi organ Penyebab terjadinya penyakit gawat paru antara lain(1,3-6) :
vital, memperbaiki dan mencegah kegagalan lain. Dengan de- 1) Oleh karena gangguan pada otak baik oleh karena trauma,
mikian kematian dapat dicegah. Kegagalan fungsi organ vital stroke, obat-obatan (CNS depressant), neoplasma, epilepsi.
yang dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat adalah 2) Oleh karena kelainan medula spinalis dan susunan neuro-
fungsi pernafasan, kardiovaskuler dan SSP. muskuler seperti pada miastenia gravis, polineuritis, pelumpuh
Fungsi pernafasan adalah memasukkan oksigen dan udara otot, lesi transversa medula spinalis daerah servikal dan lain-lain.
luar ke dalam darah untuk memenuhi kebutuhan O2 dan 3) Gangguan dinding thoraks, ruptur diafragma.
mengeluarkan CO2 sebagai hasil metabolisme. Kedua proses 4) Obstruksi jalan nafas karena benda asing, pembengkakan
ini terjadi melalui paru. Setiap perubahan atau kelainan di paru jalan nafas, konstriksi bronkhiolus, trauma jalan nafas, luka
baik disebabkan oleh penyakit atau bukan akan mempengaruhi bakar.
proses pertukaran O2 dan CO2 Apabila tidak segera diatasi, 5) Kelainan parenkhim paru sendiri, emfisema, infeksi paru,
kebutuhan O2 jaringan akan tidak terpenuhi sehingga dapat pneumothorax, aspirasi.
menyebabkan kegagalan fungsi organ vital lain seperti 6) Gangguan kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan
kardiovaskuler, SSP, ginjal, hepar dan lain-lain, selanjutnya perfusi paru.
menyebabkan kemati- an(1,2,3). 7) Iskemi intestin yang akut.
Dengan mengetahui patofisiologi gagal nafas diharapkan 8) Kelainan organ-organ lain seperti setelah infark miokard.
RSU Kabupaten dengan fasilitas perawatan intensif yang seder- 9) Gangguan mekanik paru (pemberian PEEP pada ventilasi
hana mampu bertindak lebih awal untuk mencegah terjadinya buatan).
gagal nafas.
PATOFISIOLOGI
DEFINISI Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya gagal
Penyakit gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas nafas akut:
dalam paru terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan me- 1) Hipoventi1asi(1,3,4)
nyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut; yang Hipoventilasi didefinisikan sebagai keadaan dengan kadar
ditandai dengan menurunnya kadar oksigen di arteri (hipokse- CO2 arteri lebih dari 45 mmHg akibat berkurangnya udara yang
mia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau mencapai alveolus; dengan kata lain ventilasi alveolus menurun.
kombinasi keduanya. Hipoventilasi ini dapat terjadi karena obstruksi jalan nafas,
Kriteria diagnosis untuk pasien yang bernafas pada udara gangguan neuromuskuler dan depresi pernafasan.
kamar adalah: 1) PaO2 kurang daRI 60 mmHg, 2) PaCO2 lebih 2) Pintasan intrapulmoner, ruang rugi dan gangguan per-
dari 49 mmHg tanpa ada gangguan alkalosis metabolik primer bandingan ventilasi perfusi (V/O mismatch).
Gagal nafas dapat disebabkan oleh bermacam-macam Penya- Pintasan intrapulmoner diartikan: darah yang memperfusi-
Sepsis pada
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut
Tinjauan Patogenesis dan Pengelolaannya
Hadi Jusuf, Primal Sudjana
Sub. Bagian lnfeksi, UPF/Bag. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
PENDAHULUAN dipakai.
Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA) yang ter- Dikenal farmakoekonomik (pharmacoeconomics) yaitu suatu
utama berupa pneumonia, baik pneumonia yang didapat di ma- usaha untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih
syarakat (PDDM) maupun pneumonia yang didapat di rumah rendah tetapi efektif (cost effective), dengan mengganti obat
sakit (PDRS), sering menyebabkan kesakitan dan kematian. hingga biaya berkurang namun tetap mendapatkan hasil klinik
Kebanyakan pasien PDDM tidak mencapai tingkat sakit yang baik. AB IV diupayakan agar dapat diganti lebih dini se-
yang memerlukan perawatan di RS, namun pada kelompok yang telah pemberian 3-5 hari tanpa terjadi penurunan keadaan pasien(4).
dirawat nginap terdapat mortalitas sebesar 10–25%. Pasien ini Pemberian obat IV pada masa lalu dirasakan lebih baik dari
umumnya berusia tua atau dengan dasar penyakit kronik seperti pada PO karena obat AB yang diberikan PO kurang baik ter-
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), DM, penyakit kardio- absorbsi. Pada saat tersedia AB baru dengahn daya mikroba yang
vaskuler. Kuman penyebab pada keadaan ini terutama berupa ampuh, penyerapan di usus yang baik, kadar serum yang tinggi
S. pneumoniae, H. influenzae, S. aureus, M. catarrhalis, K. dan akseptabilitas pasien yang menggembirakan. Obat-obatan
pneumonia dan Gram negatif lainnya. Di samping itu terdapat ini dapat diberikan sebagai obat pengganti untuk meneruskan
peningkatan infeksi oleh kuman penyebab yang menghasilkan terapi ABlY di RS bila dilakukan penghentian lebih dini (stream
B laktamase. Pada 50% kasus tak diketahui kuman penyebabnya lining)(2). Hal ini dimungkinkan bila terapi sudah efektif dan
walaupun telah dilakukan pemeriksaan yang intensif sampai saat infeksi teratasi dengan baik; dengan demikian dapat dibatasi atau
akhir perawatan(1). dihindani beberapa kerugian pemakalan obat IV. Penerapan cara
Pada pasien ISPBA tingkat sakit sedang sampai berat terapi streamlining AB ini di Hartford Hospital menghemat biaya pe-
antibiotika (AB) secara empirik yang efektif harus segera di- makaian AB sebesar US $ 1.5 juta/tahun(2).
mulai. Cara terapi standar pada pasien mdi RS adalah secara IV Pada makalah ini akan disampaikan prinsip dasar agar
selama 7-10 hari atau lebih lama lagi(1). Obat ini kemudian diganti maksud di atas tercapai dengan baik.
dengan bentuk oral (PO) pada tahap akhir perawatan(2).
Pada masa ini pembiayaan pelayanan kesehatan merupakan FARMAKOEKONOMIK DAN PERAMPINGAN PENG-
masalah universal yang dirasakan baik di negara berkembang GUNAAN ANTIBIOTIKA
maupun negara maju. Biaya penggunaan obat AB tinggi, antara Farmakoekonornik mérupakan metoda baru yang bertujuan
lain di Canada penjualan AB menempati urutan ke 2 sesudah obat untuk mencapai pengeluaran biaya yang efisien dan serendah
jantung sebesar Can $307 juta, dan di Vancouver Hospital 1991/ mungkin dengan mendapatkan hasil yang paling baik dalam
1992 adalah sebesar 31% dan total Can $ 10,5 juta(3). Harga AB merawat penderita (cost effective dengan best clinical outcome).
terutama obat intravena (IV) tinggi hingga memberatkan biaya Metoda ini tidak hanyaberhubungan dengan upaya mendapatkan
pengobatan. Namun untuk penyembuhan pasien obat ini harus biaya obat yang murah, tetapijuga berhubungan dengan efisiensi
Kandidiasis Paru
Hamdi S.
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN ETIOLOGI
Infeksi jamur dewasa ini semakin sering terjadi seiring Sel jamur kandida berbentuk bulat, lonjong, dengan ukuran
dengan meningkatnya penggunaan antibiotika berspektrum luas, 2–5µ x 3–6 µ hingga 2–5 µ x 5–28,5 µ Spesies-spesies kandida
steroid, obat-obat sitostatika, penyakit kronik, keganasan, bayi- dapat dibedakan berdasarkan kemampuan fermentasi dan asimi-
bayi dengan berat badan lahir rendah dan penderita-penderita lasi terhadap larutan glukosa, maltosa, sakarosa, galaktosa dan
dengan penurunan daya tahan tubuh(1-5).Antara tahun 1980–1990 Iaktosa. Jamur kandida dapat hidup sebagai saprofit tanpa me-
dari data rumah sakit di Amerika Serikat yang melakukan sur- nyebabkan kelainan apapun di dalam berbagai alat tubuh baik
veillance terhadap patogen nosokomial didapati 7,9% (22,200 manusia maupun hewan(2,11).
kasus) disebabkan oleh infeksi jamur, sekitar 79% infeksi jamur Kandida albikan merupakan spesies jamur kandida yang pa-
ini disebabkan oleh spesies ka dida(6).Sekitar 8,8% bayi prematur ling sering menyebabkan kandidiasis pada manusia, baik kandi-
(berat kurang dari 1500 gram) yang dirawat di NICU, Universitas diasis superfisialis maupun sistemik(2,11). Pada media agar khusus
Gottingen, dan pemeriksaan mukokutaneus didapati adanya ko- akan terlihat struktur hyphae, pseudohyphae dan ragi(8,11).
toni jamur kandida(7).
Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita PATOGENESIS
immunokompromi yaitu infeksi kandida(5-8). Jamur kandida me- Kandida albikan merupakan flora normal rongga mulut, sa-
rupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencerna- luran cerna dan vagina pada sekitar 80% individu normal(2,12)
an dan vagina, bersifat invasif/patogen bila daya tahan host dan hanya menginvasi penderita dengan imunokompromi atau
(pejamu) terganggu(2,4,6,8-10). Infeksi jamur ini umumnya terjadi keadaan netropenia yang 1ama(2,9,12). Faktor predisposisi ter-
di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ- jadinya infeksi kandidiasis sistemik dapat dilihat pada Tabel 1(2).
organ lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung, Kandidiasis paru dapat disebabkan oleh invasi langsung
mata, otak dan paru(1,2,4,11). Walaupun kasus infeksi nosokomial infeksi pada sistem bronkopulmoner atau yang tersering terjadi
oleh jamur semakin banyak, tetapi laporan mengenai infeksi secara endogen karenajamur telah ada di dalam tubuh penderita
jamur di paru baik primer maupun sekunder masih jarang di- terutama di usus, selanjutnya mengadakan invasi ke alat-alat
temui(8,11).Pada kandidiasis paru sekunder, di Indonesia, penyakit dalam di seluruh tubuh melalui aliran darah(2,4,9). Castellani pada
primer yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan awal abad ke-20 telah mempelajari bronkitis oleh kandida pada
paru(11). pemilih daun teh di Srilangka. Pemilih daun teh tersebut men-
Diagnosis dan terapi kandidiasis sampai saat ini masih meru- dapatkan penyakit oleh karena mereka setiap hari harus mencium
pakan tantangan besar bagi para klinisi, karena umumnya pasien daun teh yang telah disimpan di dalam gudang, untuk melakukan
datang dengan gejala-gejala yang tidak spesifik(2). seleksi apakah daun masih baik atau tidak; dengan cara itu spora
Tujuan tulisan ini yaitu untuk mengingatkan kembali pato- jamur yang terdapat pada daun teh terhirup dalam jumlah besar
genesis, diagnosis dan tata laksana kandidiasis paru. secara berulang(11).
Perkembangan penyakit disebabkan kandida ditentukan oleh
DEFINISI interaksi yang kompleks antara patogenisitas internal organisme
Kandidiasis (moniliasis, kandidosis) yaitu infeksi yang dise- tersebut dan mekanisme pertahanan pejamu(2,11).
babkan oleh jamur kandida baik primer maupun sekunder ter- Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan selama in-
hadap penyakit lain yang telah ada(11). feksi kandida merupakan proses yang kompleks dan belum selu-
PROGNOSIS
Kandidiasis sistemik biasanya sekunder terhadap penyakit
lainnya, bila penyakit yang mendasarinya dapat diatasi umumnya
memberikan prognosis yang baik sedangkan sistem pertahanan
tubuh yang rendah sering menyebabkan kegagalan terapi(3).
Rekurensi jarang ditemukan bila sistim imunitas pejamu telah
membaik dan penyakit yang mendasarinya telah diatasi(3,4,21).
PENUTUP
Dari uraian di atas beberapa hal yang dapat diambil disim-
pulkan antara lain :
1) Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena
penyakit ini dapat menyerupai segala macam penyakit paru lain.
2) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan
biopsi dan kultur jaringan dan tempat lesi.
3) Dalam pengobatan kandidiasis paru selain pemberian obat
PENGOBATAN antijamur, perlu dicari dan diatasi faktor predisposisi timbulnya
Aspek terpenting dalam pengobatan kandidiasis adalah meng- penyakit tersebut.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar IgG dan IgE pada penderita
asma bronkhial yang menggunakan prednison. Tes imunodiagnostik yang digunakan
adalah tes presipitasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rata-rata IgG penderita asma bronkhial
yang menggunakan prednison 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibandingkan kadar rata-rata
IgG penderita yang tidak menggunakan prednison. Kadar rata-rata 1gE penderita asma
bronkhial yang menggunakan prednison 4224,0.10-5 mg/dl, lebih kecil dibanding kadar
rata-rata IgE penderita yang tidak menggunakan prednison.
Tabel 4. Hasil penentuan kadar IgE penderita asma bronkhial pads plat Tabel 7. Hasil pengukuran diameter presipitasi IgE standar serum pada
LC-Partigen IgE plat LC-Partigen IgE
Nomor Nomor Diameter Kadar IgE Kadar IgE Diameter presipitasi (mm)
Plat
lubang sampel (mm) (IU/ml) (10–5 mg/dl) No. A B C
1 Standar 1 5,9 Plat I Plat II Plat III
2 Standar 2 6,5 1 14 1540 3696 5,9 5,9 5,9
3 Standar 3 7,1 2 1:2 2567 6160 6,5 6,5 6,5
4 1 6,8 3230 7752,0 3 II 3850 9240 7,1 7,1 7,1
5 2 – – –
I 6 3 – – – Keterangan : Kadar larutan IgE standar serum = 7700 IU/ml
7 4 – – – A = Perbandingan pengenceran IgE standar serum
8 5 6,5 2650 6360,0 B = Kadar IgE standar serum (IU/ml)
9 6 6,5 2650 6360,0 C = Kadar IgE standar serum (JO-5 mg/dl)
10 7 5,9 1489 3573,6
Gambar 1. Kurva kalibrasi IgE standar serum
11 8 – – –
12 9 5,9 909 2181,6
1 Standar 1 5,9
2 Standar 2 6,5
3 Standar 3 7,1
4 10 6,4 2456 5894,4
5 11 – – –
II 6 12 7,0 3617 8680,8
7 13 – – –
8 14 6,2 2070 4968,0
9 15 – – –
10 16 5,6 909 2181,6
11 17 6,4 2456 5894,4
12 18 7,5 4584 11001,6
1 Standar 1 5,9
2 Standar 2 6,5
III 3 Standar 3 7,!
4 19 5,6 909 2181,6
5 20 7,2 4003 9607,2
Analisis parameter CO, NO2 dan debu RSP dilakukan di menunjukkan bahwa parameter NO2 nilai RR> 1, sedangkan
ruang dapur dan ruang tamu, baik kelompok kasus maupun ke- parameter CO dan debu RSP < 1.
lompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan
PEMBAHASAN
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol, baik di ruang tamu
Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi sa1ur perna-
maupun ruang dapur. Hal ini menunjukkan adanya penyebaran
pasan bagian atas (riasopharyngitis, otitis media, pharingo-
CO ke tuar rumah.
tonsilitis dan epiglottitis) dan saluran pernapasan bagian bawah
Analisis parameter SO2, NH3 dan HCHO dilakukan pada
(laryngitis, tracheobronchitis, bronchiolitis dan pneumonia).
kelompok kasus dan kelompok kontrol, namun hanya di ruang
Pneumonia adalah suatu penyakit paru-paru bagian bawah
dapur karena keterbatasan alat dan bahan kimia.
yang terjadi pada alveoli dan menyebar ke bagian lain paru-paru.
Pengukuran kelembaban dan suhu yang merupakan indi-
Secara klinis pneumonia pada lanjut usia (>65 tahun) hampir
kator cuaca dalam ruang dilakukan di ruang dapur dan ruang
selalu disertai batuk dan napas cepat (tachypnea) dan tarikan
tamu pada rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol,
dada ke dalam. Sedangkan pada bayi dan anak balita sering
masing-masing rata-rata 78,89% dan 78,85%. Sedangkan ke-
tidak disertai batuk(12,13).
lenibaban di ruang tamu rumah kelompok kasus dan kelompok
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteria (Pneumo-
kontrol masing-masing rata-rata 79,4% dan 79,8%. Suhu rata-
coccus, Hemophilus influenzae) dan virus (respiratory syncytial
rata di ruang dapur dan ruang tamu pada rumah kelompok kasus
virus, influenza, parainfluenza, measles dan adenovirus).Di ne-
dan kelompok kontrol tidak berbedajauh yaitu antara 29–30°C.
gara sedang berkembang dinyatakan bahwa lebih dan 75%
Analisis statistik risiko relatif (RR) untuk beberapa para
ISPA pneumonia menyebabkan kematian(13).
meter aktifitas memasak dan kadar pencemar dalam ruang dapur
Faktor risiko pneumonia antara lain umur < 5 tahun (khu-
dan ruang tamu disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan me-
susnya bayi/anak umur < 2 tahun) dan orang tua umur ≥ 65
nunjukkan bahwa untuk parameter lama tinggal dan adanya
tahun (laki-laki), gizi kurang, lahir dengan berat badan rendah,
perokok dalam ruang nitai RR < I. Sedangkan untuk parameter
tidak mendapat ASI sewaktu kecil, asap rokok dan pencemaran
memasak sendiri, frekuensi memasak, lama memasak dan ke-
udara (indoor maupun outdoor), kepenuh sesakan (crowding),
biasaan selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak balitanya
imunisasi kurang lengkap, dan kekurangan vitamin A(12). Dari
ke dapur sambil memasak menunjukkan nilai RR> 1.
beberapa faktor risiko tersebut yang akan diamati di sini adalah
Tabel 3. Analisis statistik perhitungan risiko retatif risiko relatiflingkungan psikososial (aktifitas memasak) dan ling-
kungan kimia (asap rokok dan pencemaran udara dalam ruang).
Risiko Relatif
Parameter Analisis data tentang Iama tinggal RR = 0,61, hal ini me-
Kasus Kontrol
nunjukkan bahwa responden pada kelompok kasus belum
Lama tinggai 0,61 1
nienerima risiko dibandingkan kelompok kontrol. Begitu juga
Ada perokok di rumah 0,78 1
Ada ventilasi dapur 1,2 1
faktor anggota rumah tangga yang perokok (smoker) RR = 0,78.
Memasak sendiri 1,3 1 Dua data tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini be-
Frekuensi masak 1,3 1 lum ada hubungan antara lama tinggal di lokasi dan adanya
Lama memasak 1,8 1 perokok dalam ruang terhadap kejadian penyakit ISPA-pneu-
Selalu membawa anak ke dapur 2,3 1 monia. Di Amerika Serikat telah ditetapkan bahwa rokok dengan
Tidak selalu membawa anak ke dapur 1,5 1
CO 0,97 1 asapnya merupakan penyebab kanker paru dan kanker laring.
NO, 1,10 1 Kenaikan risiko terjadinya kanker laning berhubungan langsung
Debu RSP 0,80 1 dengan jumlah rokok dan lama merokok. Dengan mengetahui
jumlah rokok yang dihisap, akan dapat diperkirakan jumah
Analisis ketiga parameter kualitas udara dalam ruang nikotin atau klelet yang melekat di selaput paru atau mukosa
meliputi parameter CO, NO dan debu RSP. Hasil perhitungan laring. Sebenarnya nikotin (polisklik aromatik hidrokarbon =
PENDAHULUAN • Jumlah responden : 400 ibu balita (200 orang daerah pe-
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (selanjutnya disingkat latihan dan 200 orang daerah kontrol).
ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang • Daerah : untuk daerah pelatihan diambil Kabupaten Cianjur
penting di Indonesia karena menyebabkan kematian bayi dan dan Kabupaten Sumedang sebagai daerah kontrol. Kedua daerah
balita yang cukup tinggi. Dan seluruh kematian balita, proporsi ini dipilih karena mempunyai angka pneumonia tinggi untuk
kematian karena ISPA mencakup 20–30% dan sebagian besar daerah Jawa Barat.
disebabkan karena pneumonia. Hasil Survei Kesehatan Rumah • Sampling: untuk ibu balita dipilih secara acak sederhana
Tangga (selanjutnya disingkat SKRT) 1986 menunjukkan 42,2% dan 4 puskesmas (2 dan daerah pelatihan dan 2 dail daerah
bayi dan 40,6% balita yang sakit disebabkan ISPA. Data Puskes- kontrol); diwawancarai secara house to house mengenai peng-
mas (1986) menunjukkan bahwa 5 1,0% bayi dan 43,1% balita obatan yang dilakukan terhadap anaknya yang menderita ISPA,
pengunjung puskesmas menderita ISPA. Pada SKRT 1992 di- baik pengobatan tradisional maupun modern, yang dibeli sendiri
temukan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA adalah maupun didapat dan puskesmas.
36,0% di golongan 1–4 tahun adalah 13,0% sedang pada kelom- Kriteria pneumonia menurut Buku Pedoman ISPA Dit. Jen.
pok umur balita berkisar 20–30%, sebagian besar disebabkan PPM-PLP adalah sebagai berikut:
oleh pneumonia. • Pneumonia : Penderita ISPA yang disertai napas cepat
Untuk membantu menurunkan angka kematian balita ka- (umur 2–12 bulan: 50 kali per menit atau lebih, umur 1–4
rena pneumonia, Sub. Dit. P2ISPA Dit. Jen. PPM-PLP telah tahun; 40 kali per menit).
membuat Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Dalam • Pneumonia berat : PenderitalSPA yang disertai napas
buku tersebut disebutkan salah satu tujuan program ISPA yaitu sesak yaitu adanya tarikan dinding dada ke dalam.
menurunkan penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel
tepat pada pengobatan penyakit ISPA. tindakan ibu dalam memberi pengobatan pada anaknya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui obat-obatan yang Penelitian dilakukan dua kali yaitu sebelum pelatihan dan
dipakai dalam pengobatan ISPA di Jawa Barat. 3 bulan sesudah pelatihan.
BAHAN DAN CARA KERJA HASIL DAN DISKUSI
Penelitian deskniptif mencakup data yang dikumpulkan me- Ditemukan 48 macam obat tradisional yang dipakai ibu ba-
lalui kuesioner terhadap ibu balita. lita dalam usaha untuk mengatasi demam anaknya, baik berupa
Cara sampling: bahan tunggal (misalnya bawang merah) maupun bahan cam-
• Kriteria: Ibu yang mempunyai anak balita (selanjutnya di- puran (bawang merah + minyak kelapa). Sedang untuk meng-
sebut ibu balita); diperkirakan 10% dan masyarakat mempunyai atasi batuk ada 32 macam, baik berupa bahan tunggal (misalnya
anak balita. madu), maupun bahan campuran (misalnya madu + kencur).
Khemoterapi anti TB diberikan melalui paduan obat anti adaan the persisters di dalam sel-sel makrofag. Karena tingkat
TB, yang berarti melalui paduan obat yang terdiri sedikitnya dari pertumbuhannya rendah, the persisters ini tidak mudah di-
dua obat anti TB individual yang dikenal sebagai paduan obat musnahkan oleh obat-obat anti TB. Sewaktu-waktu sesudah
ganda (dual drug treatment). Paduan obat anti TB yang terdiri dihentikannya pengobatan yang berhasil, the persisters dapat
dari tiga atau lebih obat-obat disebut paduan obat multi-terapi keluar dan sel-sel makrofag. Dalam hal imunitas protektif (pro-
(multi-drug treatment). tective immunity) yang diperankan terutama oleh sel-sel makro-
Khemoterapi anti TB melalui pemberian obat tunggal (single fag (imuno-fagosit) tidak mampu memusnahkan the persisters
drug treatment), dalam hal ini pengobatan tunggal dengan yang berada di lingkungan luar sel, the persisters ini meningkat-
isoniazid (INH, H) (JNH single drug treatment) pernah populer kan pertumbuhan dan terjadilah kekambuhan.
pada sekitar tahun 1960(1), namun setelah diperoleh pengetahuan Dari segi daya antimikrobial (DAM), obat-obat anti TB
lebih banyak tentang penganih pengobatan tunggal INH ter- individual dibagi menjadi
hadap terjadinya resistensi basil TB terhadap INH, pengobatan 1) Obat anti TB yang bekerja bakterisidal dan mempunyai
yang dimaksud tidak lagi dapat dibenarkan. DAM yang tinggi untuk inemusnahkan basil TB (INH, RMP,
Obat-obat anti TB ada yang bekerja intraseluler dalam ling- PZA).
kungan asam, danlatau ekstraseluler dalam Iingkungan netral 2) Obat-obat anti TB individual yang bekerja bakteriostatis dan
atau alkalis. Obat-obat anti TB yang bekerja hanya intra- atau mempunyai DAM rendah yang hanya mampu menghambat per-
ekstraseluler saja mempunyai nilai kegiatan bakterisidal (NKB) tumbuhan basil TB (SM, EMB).
sebesar ½; yang bekerja intra- maupun ekstraseluler mempunyai Atas dasar kurun waktu khemoterapi (treatment period),
NKB sebesar ½+ ½=1 paduan obat anti TB dibagi menjadi:
Isoniazid (INH, H) dan nifampisin (RMP, R) adalah obat 1) Paduan obat jangka panjang 1 – 1½ tahun yang dikenal
anti TB individual yang bekerja intra- maupun ekstraseluler dan sebagai paduan obat anti TB konvensional.
mempunyai NKB sebesar 1. Ethambutol (EMB, E) dan strepto- Paduan obatjangka panjang 12 – 18 bulan terdiri dari obat-
mycin (SM, S) bekerja hanya ekstraseluler dan mempunyai obat anti TB individual yang mempunyai NKB sebesar 1½,
NKB sebesar ½. Pyrazinamide (PZA, Z) bekerja hanya intra- misalnya I2HS dan I2HE.
seluler sepanjang kurun waktu pengobatan dengan PZA dan 2) Paduan obatjangka pendek 6 –9 bulan.
mempunyai NKB sebesar ½. Pada fase permulaan pengobatan, Paduan obat ini terdiri dari obat-obat anti TB individual yang
lingkungan di lokasi kelainan histo-patologis TB aktif adalah mempunyai NKB sebesar sedikitnya 2, misalnya 6HR, 6HZE,
asam yang memungkinkan PZA juga bekerja ekstraseluler se- 6HZS.
lama fase permulaan pengobatan(2,3). Atas dasar riwayat pengobatan, paduan obat anti TB dibagi
Populasi basil TB pada manusia sebagian besar berada di menjadi:
lingkungan luar sel(2). Kerja intraseluler obat anti TB diperlu- 1) Paduan obat anti TB primer (primary anti- TB regimen).
kan untuk mencegah terjadinya kekambuhan (relapse) sesudah 2) Paduan obat anti TB sekunder (secondary anti-TB regimen)
pengobatan yang berhasil dihentikan. atau paduan obat ulang (retreatment regimen).
Terjadinya kekambuhan dikaitkan terutama dengan keber- Isoniazid sebagai obat individual dengan NKB sebesar 1,
ABSTRAK
Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit diare telah menimbulkan
resistensi kuman terhadap antibiotik. Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotik
perlu dipantau agar dalam pengobatan penyakit diare dengan antibiotik dapat dilakukan
pemilihan antibiotik secara tepat.
Untuk menambah informasi tentang pola resistensi kuman-kuman penyebab diare
terhadap antibiotik, telah dilakukan penelitian uji resistensi kuman Salmonella, Shigella
dan Vibrio-Cholera yang diperoleh dan penderita diare terhadap antibiotik khloram
fenikol, ampisilin, tetrasiklin, kanamisin dan kotrimoxazol. Uji resistensi dilakukan
secara Disk Diffusion (Kir Bauer, 1966).
Hasil penelitian menunjukkan, Shigella masih sensitif terhadap kotrimoxazol (SXT);
namun terhadap antibiotik alternatif ampisilin (Amp) menunjukkan tingkat resistensi
50%. Salmonella menunjukkan tingkat resistensi sebesar 42% terhadap ampisilin, 57%
terhadap khloramfenikol dan 71% terhadap kotrimoxazol.
Disimpulkan bahwa Shigella masih sensitif terhadap SXT, namun Salmonella telah
menunjukkan resistensi yang cukup tinggi terhadap SXT, C dan Ampisilin.
Shigella sonnei R R S R S
Shigella flexneri R S S R S
Tabel 1. Jumlah penderita penyakit menular tertentu yang berobat ke Shigella flexneri R I R R S
RSU Tangerang Th. 1995 (Januari – Desember 1995)
Keterangan :
Jumlah pasien Jumlah pasien R : Resisters I : Intermediate S : Sensitif
No. Jenis penyakit %
berobat keluar coati Tabel 5. Pola resistensi Salmonella penyebab diare terhadap lima jenis
1 Diare 2255 30 1,3 antibiotik berdasarkan basil uji secara disk diffussion
2 Demam tifoid 855 32 3,7
3 TB Paru (BTA +)/ Antibiotik
Jenis kuman .
TB Pam lain 476 57 12,0 C Te K Amp SxT
4 Tetanus 199 38 20,0
5 Hepatitis Virus 40 0 0,0 Salmonella Group D S S S S S
6 D.B. Dengue 392 11 2,9 Salmonella Group E S R S R R
7 Bronchitis 50 3 6,0 Salmonella Group A R R S S S
8 Pneumonia 313 68 21,0 Salmonella typhi S S S S S
9 Tetanus Neunatorum 25 12 48,0 Salmonella Group C R R R R R
10 ISPA 45 0 Salmonella Group B S I R S R
Salmonella Group E R R S S R
Sumber data: Medical record RSU Tangerang, 1995. Salmonella Group B S S S S S
Salmonella Group D S S S R R
Masih tingginya jumlah pasien diare yang meninggal dunia Keterangan :
berkaitan erat dengan pola tatalaksana penderita diare yang sa- R : Resisters I : Intermediate S : Sensitif
lah, antara lain adalah penggunaan antibiotik yang tidak rasional
pada kasus-kasus diare tersebut. Derajat resistensi dan multiresistensi kuman Shigella ter-
Dari 124 sampel rectal swab yang berhasil diperiksa terha- hadap antibiotik dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7.
dap kuman-kuman patogen penyebab diare, hasil positif kuman Tabel 6. Persentase besarnya resistensi kuman Shigella penyebab diare
patogen yang berhasil diidentifikasi dapat dilihat dalam Tabel 2. terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk
difussion
Tabel 2. Hasil identifikasi kuman-kuman penyebab diare dan sampel
rectal swab penderita diare balita Jumlah isolat Shigella
Antibiotik %
yang resisters (n = 3)
Hasil positif
Organisme
(N =124)
% C (30µg) 3 100
Te (30µg) 1 33,3
V. Cholera 0 0
K (30µg) 1 33,3
Salmonella 8 5,5
Amp (10µg) 3 100
Shigella 3 2,0
SxT (25 µg) 0 0
NAG 1 0,7
Keterangan
C : Chloramphenicol Amp : Ampicillin
Klasifikasi bakteri penyebab diare yang berhasil diidenti- Te : Tetracyclin SxT : Sulfametoxazol-Trimetoprim
fikasi adalah tercantum dalam Tabel 3. K : Kanamycin
Tabel 2. Status gizi balita di pedesaan dan perkotaan Pedesaan (%) Perkotaan (%)
No. Jenis pengeluaran
Pedesaan Perkotaan Nasional Jawa Barat UK! Jakarta Jawa Timur
No. Karakteristik
(%) (%) (%) 1 Makanan 69,4 57,3 60,4
1 Baik 52,07 63,68 55,53 2 Pakaian 3,7 3,2 4,1
2 Sedang 33,29 27,01 31,42 3 Pendidikan 1,4 4,7 8,1
3 Kurang 11,91 7,38 10,56 4 Kesehatan 2,6 4,7 8,1
4 Buruk 2,73 1,93 2,49 5 Transportasi 0,2 3,4 2,3
Total 100 100 100 6 Lain-lain (listrik, 22,7 26,7 17,0
air, kontrak rumah,
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 hajatan dll)
Jumlah 100 100 100
Persentase balita dengan gizi baik lebih banyak di perkotaan
dibandingkan di pedesaan. Sedangkan persentase balita dengan Sumber: Joko Susanto. Ciri lapisan masyarakat berpenghasilan rendah di per-
kotaan dan pedesaan dan kaitannya dengan gizi pangan dan kesehat-
status gizi sedang, kurang dan buruk lebih banyak ditemukan di
an, Puslitbang Gizi, Bogor, 1992.
pedesaan.
Lebih dari separuh penghasilan penduduk berpenghasilan
3) Hasil persalinan/keguguran rendah dibelanjakan untuk kebutuhan makan, sedangkan untuk
Tabel 3. Persentase persalinan/keguguran dipedesaan dan perkotaan kesehatan hanya sebagian kecil saja.
Pedesaan Perkotaan Nasional 6) Persentase anemia di kalangan ibu hamil
No . Karakteristik
(%) (%) (%)
I Lahir hidup 87,85 88,04 87,91 Tabel 6. Persentase anemia di kalangan ibu hamil di pedesaan dan per-
kotaan
2 Lahir mall 3,82 2,99 3,56
3 Keguguran 8,33 8,97 8,53
No. Karakteristik 1981
Total 100 100 100
1 Pedesaan 58,3 %
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 2 Perkotaan 48,0 %
Belum
Satu dosis Dua dosis Total Status DT Antitoksin (negatip) Antitoksin (positip) Total
Daerah pernah
Belum pernah 44 85 129
n % n % n % n % (%) 34,1 65,9 100,0
Kulon Progo 28 15,9 86 48,9 62 35,2 176 100 (GMT) 0,3112 0,0646
Kab. Lamongan 13 6,8 21 10,9 158 82,3 192 100 (bawah) 0,0311 0,0036
Kab. Lombok Barat 88 43,8 63 31,3 50 24,9 201 100 (atas) 3,1193 1,1482
1 dosis 45 125 170
Total 129 22,7 170 29,9 270 475 569 100 (%) 26,5 73,5 100,0
(GMT) 0,8139 0,1861
(bawah) 0,1317 0,0101
Tabel 4. Kadar antitoksin tetanus dari kelompok umur 5-12 tahun
(atas) 5,0311 3,4451
Negatif Positif Total 2 dosis 41 229 270
Daerah (%) 15,2 84,8 100,0
n % n % n %
(GMT) 0,8262 0,4889
Kab Kulon Progo 46 261 130 73,9 176 100,0 (bawah) 0,1341 0,0372
Kab Lamongan 28 146 164 85,4 192 100,0 (alas) 5,0942 6,4186
Kab Lombok Barat 56 279 145 72,1 201 1000 Total 130 439 569
(%) 22,8 77,2 100,0
Total 130 22 8 439 77,2 569 100,0 (GMT) 0,6196 0,2315
(bawah) 0,0738 0,0131
(atas) 5,2027 4,1313
Proporsi sampel yang memiliki antitoksin terhadap tetanus
pada kelompok umur 5–12 tahun di tiap kabupaten cukup tinggi,
terlihat semakin banyak dosis tetanus toksoid yang diterima 3) Sebanyak 65% anak wanita umur 5–12 tahun yang tidak
makin sedikit proporsi anak yang tidak memiliki antitoksin menerima vaksinasi DT ternyata juga memiliki antitoksin ter-
terhadap tetanus. hadap tetanus.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa pada sampel anak SD yang
UCAPAN TERIMA KASIH
belum pernah divaksinasi DT sebagian telah memiliki antitoksin Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Supri yanto yang membantu
terhadap tetanus, hal ini mungkin didapat dan waktu anak masih penelitian ini dan dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
bayi atau infeksi alam. Kadar antitoksin terhadap tetanus ternyata
meningkat sejalan dengan jumlah dosis toksoid tetanus yang di- KEPUSTAKAAN
terima.
1. Determination of immunity against tetanus infection by passive haemagluti-
nation assay. P. Marconi; Pitzurra; F. Bistoni Ball 1st. Scriter Milar 62 (6)
KESIMPULAN 1983. p 567–574
2. Varanym Sangpetchsong et al. Transfer rate of transplacental immunity to
1) Pelaksanaan vaksinasi (program kelas SD) di Kabupaten tetanus from non immunizefd and immunized mothers. SEA J. Trop Med
Kulon Progo, Lamongan dan Lombok Barat, telah terlaksana PubilHealth 1984; 15(3): 275–280.
baik, tetapi di Kabupaten Lombok Barat banyak anak SD yang 3. Model for Eradication of Diptheria and Tetanus Evaluation of Immunological
hanya mencnima 1 dosis vaksin DT. and Experimental Epidemiological Investigation between 1952–1977 L.
Recthy: 37–51.
2) Anak wanita umur 5–12 tahun lebih dan 75% di antaranya 4. Agrawal K, Pendit K, Kannan AT. Single dose tetanus toxoid a-review of
telah memiliki antitoksin terhadap tetanus; kadar ini berhubung- trials in India with special Reference to control of tetanus neonatorium. Indian
an erat dengan status vaksinasi DT yang dimilikinya. J Pediatr 1984; 51: 283–85.