Anda di halaman 1dari 65

Cermin 1997

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar Isi :
2. Editorial
114. 4. English Summary
Kedaruratan Paru Artikel
5. Pengelolaan Pasien dengan Kedaruratan Paru - Zul Dahian
Januari 1997 10. Perawatan Intensif Penyakit Gawat Paru di Rumahsakit Ka-
bupaten - Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rachman
15. Sepsis pada Infeksi Saluran Napas Bawah Akut – Tinjauan
Patogenesis dan Pengelolaannya - Hadi Jusuf, Primal Su-
djana
19. Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika Intravena ke Oral pada
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut - Zul Dahlan
24. Kandidiasis Paru - Hamdi S.
28. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi - Faisal Yunus
33. Rehabilitasi pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Mena-
hun - Djoko Mulyono
37. Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE pada Penderita Asma
Bronkial yang Menggunakan Prednison - Yovita Lisawati,
Bie Tjeng, RusdiA.
41. Risiko Relatif Lingkungan Sosial dan Kimia terhadap Ke-
jadian Penyakit ISPA – Pneumonia di Indramayu, Jawa
Barat - Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena
A., Kasnodihardjo
45. Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di
Karya Sriwidodo WS Jawa Barat - Enny Muchlastriningsih
48. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Jangka Pendek Anti
TB Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan
Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 1 .Khemoterapi Anti
Tuberkulosis - RA Handojo, Sandi Agung, Anggraeni
Inggrid Handojo
53. Pola Resistensi Bakteri Enteropatogen terhadap Antibiotik -
Pudjarwoto Triatmodjo
56. Karakteristik Gizi Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan -
Surjaini Jamal
60. Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus pada Anak Usia 5-12
tahun di Indonesia - Siti Sundari Yuwono, Dewi P., Farida,
Imu R., Sumarno, Deni
62. Abstrak
64. RPPIK
Kedaruratan paru atau pernapasan merupakan faktor yang
penting diperhitungkan dalam penatalaksanaan gawat darurat
pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya,
tetapi karena kegagalan fungsi pernapasan, baik karena gangguan
sentral maupun akibat infeksi/sepsis.
Masalah-masalah ini akan ditinjau oleh beberapa sejawat di
bidang paru; juga mengenai pedoman penggunaan antibiotika untuk
infeksi saluran napas. Selain itu juga akan dibahas masalah kandidi-
asis paru yang patut dipikirkan terutama pada penggunaan antibio-
tika jangka panjang.
Beberapa artikel lain yang masih berhubungan dengan masalah
paru, termasuk tindakan rehabilitasi, akan melengkapi edisi ini.
Selamat membaca dan Selamat Tahun Baru 1997.

Redaksi

Selamat Hari Natal 1996


dan
Selamat Tahun Baru 1997
Redaksi Bersama Staf

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Cermin 1997

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa darmo
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Jakarta. Departemen Kesehatan RI,
PEMIMPIN USAHA Jakarta.
A.M. Tina Andriyanti – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi – Prof. DR. B. Chandra
PELAKSANA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Sriwidodo WS Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.
TATA USAHA – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno
Sigit Hardiantoro SKM, MScD, PhD. – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Bagian Periodontologi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
ALAMAT REDAKSI Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Fakultas Kedokteran Gigi
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Semarang.
Universitas Indonesia, Jakarta
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka
Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort – DR. Arini Setiawati
Telp. 4208171 Laboratorium Ortodonti Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
NOMOR IJIN Universitas Trisakti, Jakarta Jakarta,
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976 DEWAN REDAKSI
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma – Dr. B. Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
Zahir MSc.
PENCETAK
PT Temprint
PETUNJUK UNTUK PENULIS
Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
English Summary
IgG AND IgE STATUS AMONG SEROEPIDEMIOLOGIC SURVEY
ASTHMA BRONCHIALE PATIENTS ON TETANUS ANTITOXIN TITRE
WHO USED PREDNISON THERAPY AMONG 5-12 YEAR-OLD GIRLS
IN INDONESIA
Yovita Lisawati, Bie Tjeng,
Rusdi A Siti Sundari Yuwono, Dewi P.,
Dept. of Pharmacy Andalas University, Farida, Imu R., Sumarno, Dewi
Padang. Indonesia Health Research and Development
Board, Department of Health, Jakarta.
Indonesia
This study was done to find out
the IgG and IgE status in A seroepidemiologic survey
asthmatic bronchial patients on tetanus antitoxin level
who used prednison. The among 5-12 year-old girls was
immunodiagnostic test applied done in several locations in In-
was the precipitation test, donesia. Specimens were taken
The result showed that the from 176 girls in Kulon Progo,
average of IgG in asthmatic Yogyakarta, 201 girls in West
bronchial patients who used Lombok and from 192 girls in
prednison is 1 332,09 mg/dl, Lamongan, East Java.
less than the average The result shows that overall,
IgG in patients who did not use more than 75% were already
prednison. The average of IgE have tetanus antitoxin; and
in asthmatic bronchial patients among girls who didn’t receive
who used prednison is 4224,0. immunization, 65% were al
10-5 mg/dl, less than the aver ready have tetanus antitoxin in
age of IgE in patients who did their sera.
not use prednison.
brw
Cermin Dunia Kedokt. 1997; 114: 59-60

Yl, Bt, Ra
Cermin Dunia Kedokt. 1997, 114:37-40

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengelolaan Pasien
dengan
Kedaruratan Paru
Zul Dahlan
Subunit Pulmonologi Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN(1) • Respirasi yang sangat lambat dan dangkal : gangguan pusat


Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi respirasi.
yang serius dan membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar • Takipnea menandai penyakit paru akut, penyakit sistemik
antara: (misalnya sepsis), perdarahan, syok, atau gangguan
1) Penyakit primer yang mengenai sistim bronkopulmoner metabolisme (ketoasidosis).
seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, D) Keadaan kardiovaskuler
dan pneumonia berat. Kelainan tekanan darah, nadi, irama jantung, perfusi ja-
2) Gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap gangguan ringan, dan isi sekuncup sering menyertai gangguan fungsi paru.
organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi E) Kelelahan otot pernafasan
pusat pernafasan. • Gerakan dinding perut ke arah dalam pada saat inspirasi.
Pada semua keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan • Penggunaan otot respirasi tambahan.
kepada tindakan penyelamatan nyawa daripada penyelidikan F) Analisis Gas Darah
diagnostik. Bila tindakan penyelamatan telah berjalan, selanjut- Untuk mengetahui tingkat keparahan fungsi pernafasan
nya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit dasar pasien. yang memerlukan tindakan segera.
Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai evaluasi dan II. Pengelolaan darurat medik
pengelolaan kedaruratan penyakit respirasi pada umumnya dan Pada pasien sakit berat perlu segera dilakukan koreksi
kedaruratan penyakit paru primer pada khususnya. gangguan oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa.
A) Oksigenisasi
EVALUASI DAN PENGELOLAAN AWAL PENYAKIT Segera berikan O2 pada pasien dengan tanda hipoksemi
RESPIRASI AKUT(1) (misalnya sianosis). Perlu diingat bahwa O2 tidak akan memper-
I. Penilaian pertama untuk tindakan darurat baiki hipoksi yang disebabkan oleh Cardiac output yang
Pada evaluasi awal pasien tersangka penyakit paru akut, ke- rendah, anemi berat, right to left A-V shunt. Pada pasien
adaan yang merupakan ancaman langsung terhadap jiwa harus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan retensi CO2
segera dikenal dan diatasi. Hal tersebut dapat ditentukan pemberian O2 yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan
dengan mengamati hal-hal sebagai berikut: rasio ventilasi/perfusi (V/Q) lebih lanjut atau menghilangkan
A) Keadaan umum pasien rangsang pusat respirasi, meningkatkan CO2 dan asidosis
Dilihat keadaan tingkat stress, yang merupakan pencermin- respirasi, dan pemburukan ke-adaan pasien. Pada pasien PPOK
an keadaan yang mengancam jiwa, misalnya kegelisahan hebat, berikan O2 terbatas dengan Venturi mask (FIO2 24%–28%).
sianosis berat, kesulitan bernafas yang hebat. B) Bantuan ventilator
B) Keadaan mental Indikasi intubasi dan pemakaian alat bantu pernafasan
Perubahan berupa mudah tersinggung, kebingungan, ngan- yaitu bila :
tuk, dan gangguan orientasi. • Keadaan memburuk walaupun telah mendapatkan O2 se-
C) Frekuensi dan irama respirasi cukupnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 5


• Tidak mampu bernafas spontan.
Pada penyakit paru akut hal ini ditandai oleh adanya:
• Gambaran klinik adanya gangguan perfusi paru, kardio-
vaskuler dan neurologis yang serius.
• Dikonfirmasi dengan hasil analisis gas darah berupa hi-
poksemi berat (pO2 <55–60 mmHg), peningkatan CO2
akut dan pH yang rendah.
C) Asidosis
Gangguan keseimbangan asam basa yang ringan sampai
berat umum terjadi pada gangguan fungsi respirasi yang akut.
Kelainan ini dikoreksi dengan mengingat pengaruh faktor meta-
bolik, respirasi dan penyakit dasar pasien.
D) Komplikasi akut
Komplikasi akut sering menyertai penyakit paru akut, di-
akibatkan oleh gangguan oksigenasi atau asam basa, penyakit
dasar pasien, dan terapi yang tidak tepat; dapat berupa gangguan
respirasi: bronkospasme, infeksi, aspirasi, obstruksi jalan nafas,
pneumotorak, tromboemboli, atau gangguan kardiovaskuler,
neurologik, dan metabolik.
III. Penilaian lengkap
Bila tidak ada tindakan segera yang harus dikerjakan, eva-
luasi yang lebih lengkap perlu dilaksanakan (Diagram 1).
A) Anamnesa
Mengenai batuk, sputum, nyeri dada, sesak nafas, dan
demam.
B) Pemeriksaan fisik
1) Umum: sianosis, status mental, tanda umum penyakit yang
berat.
2) Respirasi: frekuensi dan pola respirasi; inspeksi toraks,
trakea, dan iktus kordis; gerak respirasi, nyeri pleuritik, perkusi
torak dan suara pernafasan.
3) Kardiovaskuler, terutama yang berhubungan dengan pe-
nyakit paru. Distensi v. jugularis, bunyi jantung, edema, pulsus
paradoksus.
C) Pemeriksaan lanjutan
Untuk menegakkan diagnosis, menegaskan keparahan dan
etiologi penyakit atau untuk menilai hasil terapi. Berupa analisis
gas darah, torak foto, spirometri, EKG, pemeriksaan sputum.
Pemeriksaan lanj utan tergantu ng kepada kebutuhan. asma)
IV. Terapi terhadap penyakit dasar • komplikasi iatrogenik (misalnya pemberian obat/cairan
1) Anti biotik yang tidak tepat)
Diberikan sebagai terapi empirik menurut pedoman yang • kesalahan diagnosis (misalnya edem paru dianggap asma,
berlaku(3). tromboemboli dianggap pneumonia, sepsis sebagai gagal nafas
2) Bronkodilator akut).
Pada keadaan dengan bronkospasme yang jelas diberikan Pasien dengan hipoksemi berat atau asidopsis respiratorik
B2 agonist per nebulizer, aminophylline per infus/pe. Bila perlu yang disertai gangguan neurologi atau kardiovaskuler memerlu-
diberikan kortikosteroid pe. kan perawatan di ruang intensif (ICU).
3) Diuretik dan digitalis, bila dijumpai adanya bendungan
jantung kongestif. BERBAGAI KEDARURATAN MEDIK PARU PRIMER
4) Terapi lanjutan: rehidrasi, fisioterapi. HEMOPTISIS
5) Perawatan lanjut Pengantar
Dilakukan penilaian lanjut gambaran fisiologik dan klinik Hemoptisis sering dijumpai pada pasien penyakit paru. Di
pasien; bila terdapat pemburukan keadaan perlu dipertimbang- Sub bagian Pulmonologi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam
kan adanya: FKUPIRSHS dilaporkan kejadian sebesar 47,5% dari pasien
• komplikasi penyakit (misa pneumotorak pada pasien rawat nginap (Guratmana, 1976). Ekspektorasi darah ini sering

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


menunjukkan adanya penyakit dasar yang serius. Bila perdarah a) Umum: periksa kulit terhadap adanya petekhiae, ekimosis,
an masif dapat terjadi sufokasi dan eksangunisasi/kekurangan spider nevi, aneunisma av; phlebitis.
darah hingga tindakan pencegahan perlu dilakukan. Hal ini me- b) Sistim respirasi: tanda-tanda penyakit paru kronik. Ronkhi
rupakan keadaan darurat. lokal oleh perdarahan bronkial; ronki umum; sindrom Good-
Menurut Busroh (1978) yang disebut hemoptisis masif pasture.
adalah : c) Jantung: stenosis mitral, kardiomegali.
• lebih dari 600 ml/24 jam dan perdarahan belum berhenti. d) Ekstremitas: sianosis-kemurigkinan shunt intrakardiak atau
• 250–600 ml/24 jam dengan disertai kadar Hb kurang dari/ fistel AV pulmoner yang besar. Jan tabuh - tumor paru, fibrosis
sama dengan 10 g%, namun hemoptisis berlangsung terus. pulmoner interstitial, infeksi paru kronik, atau shunt kardiak.
Penulis lain menyatakan kriteria hemoptisis lebih dari 150 3) Pemeriksaan Khusus
ml/jam dan terus berlangsung. a) Foto toraks PA dari lateral, dan posisi lain bila diperlukan.
b) Sputum, untuk pemeriksaan bakteriologik dan patologik.
Evaluasi Pasien c) Analisis gas darah, dapat membantu dalam hal aneurisma
A) Beratnya hemoptisis AV.
Perlu segera ditentukan secara tepat beratnya perdarahan d) Lain-lain - pemeriksaan urine., Hb, hematokrit, lekosit,
untuk menentukan tindakan yang perlu diambil. Ini didasarkan trombosit, pemeriksaan waktu perdarahan/pembekuan atau lain-
pada: nya. Bila penlu bronkoskopi, tomografi paru, angiografi atau
1) Pemeriksaan fisik scanning paru.
Tanda insufisiensi sirkulasi dan respirasi berupa hipotensi,
takikardi atau takipnu, kesulitan bernafas, sianosis atau ronkhi
yang difus. Pengelolaan
2) Tingkat perdarahan Tergantung kepada beratnya perdarahan.
Menghitung jumlah darah yang dibatukkan. Hemoptisis A) Perdarahan masif
yang banyak dan cepatmenunjukkan keadaan yang mengancam 1) Supportif fungsi vital
jiwa. Mengatasi hipotensi, anemi dan kolaps kandiovaskuler
3) Foto toraks untuk menghindani kerusakan otak, jantung atau ginjal yang
Gambaran opak yang difus dan homogen mungkin menun- ireversibel. Berupa penggantian volume darah dengan transfusi
jukkan adanya darah yang teraspirasi dan kapiler ke alveoli. atau volume expander, O2, dan bila perlu mempertahankan kese-
B) Lokasi perdarahan imbangan hemodinamik dengan dopamin.
Perlu disingkirkan kemungkinan perdarahan dari hidung, 2) Pencegahan obstruksi saluran nafas oleh darah
tenggorok, mulut, esofagus dan lambung. Diusahakan dengan posisi kepala ke bawah, untuk meng-
• hemoptisis bronkopulmoner: batuk darah berwarna merah hindari aspirasi; pada keadaan terpaksa: suction dan intubasi
terang dan berbusa, pH alkalis. endotrakhea
• saluran nafas atas: hipertensi, epistaksis, perdarahan gusi 3) Menghentikan perdarahan
• hematemesis dan lambung: muntah berwarna merah gelap Bila perlu dilakukan pemasangan balon intrabronkus, kate-
atau hitam dan bercampur makanan, pH asam. terisasi dan embolisasi a. bronkial dengan sponge gelatin, atau
Bila perlu dilakukan pemeriksaan langsung nasofaning, bedah reseksi.
orofaring dan laring. 4) Hemoptisis oleh sindrom immunosupresif, plasmapheresis
C) Etiologi hemoptisis atau nefrektomi bilateral.
1) Anamnesis B) Perdarahan ringan sampai sedang
a) Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen: kemungkin- 1) Hemoptisis ningan
an infeksi seperti oleh bronkitis, pneumonia, abses paru atau Terapi ditujukan terhadap etiologinya.
bronkiektasis terinfeksi. 2) Hemoptisis sedang (20-100 ml)
b) Riwayat penyakit katup jantung, mitral stenosis. Darah Tirah baring ke sisi lokasi perdarahan, dan secara sangat
merah terang, berasal dari anastomosis v. bronkopulmoner selektif pada tingkat perdarahan ini dapat diberikan obat pene-
pada dinding bronkus. nang ringan dan kodein sulfat.
c) Pasca trauma torak; ruptur trakheobronkial atau kista paru. 3) Bila perdarahan berulang dengan jumlah 20 ml atau lebih:
d) Disertai perdarahan berbagai tempat: kemungkinan per- • Pasang infus dengan NaCl 0,9%. Bila perlu pasang CVP
darahan luas oleh diatesa hemoragik atau kelainan darah. dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan.
e) Perokok berat dan lama atau kontak Tb paru, kemungkinan • Koreksi kelainan faktor perdarahan.
Ca bronkogenik atau Tb paru. • Rawat di ICU bila dip dan lakukan bronkoskopi.
f) Disertai nyeri atau bengkak kaki dan nyeri dada: infark paru. • Bila perdanahan> 150 ini/jam, dilakukan pembedahan.
g) Disertai hematuri: granu1oi Wegener, Sindrom Bila tak mungkin melalui bronkoskop dilakukan penutupan
Goodpasture atau lupus enitematosus. bronkus yang menjadi sumber perdarahan dengan menggunakan
2) Pemeriksaan Fisik gas, atau balon, atau embolisasi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 7


PROGNOSIS melebar, perkusi hipersonor dan penurunan suara pernafasan.
Di Sub bagian Pulmonologi Bagian/Lab. Penyakit Dalam Dapat menghilangkan atau mengurangi pekakjantung atau hati.
FKUP/RSHS pada tahun 1979 terdapat 44,9% pasien dengan per- Pada tingkat yang berat terdapat gangguan respirasi/sianosis,
darahan masif, yang meninggal dunia 27.3%. Dengan tindakan gangguan vaskuler/syok.
yang cepat dan tepat angka ini dapat dikurangi. Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumo-
mediastinum dan emfisema kutis, fistel bronkopleural dan
PNEUMOTORAK(2) empiema.
Foto torak:Gambaran paru yang kolaps ke arah hilus dengan
Definisi
radiolusen ke sebelah perifer. Gambaran ini akan membesar pada
Pneumotorak adalah terdapatnya udara pada rongga pleura
posisi ekspirasi. Singkirkan kemungkinan bulla yang besar,
yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh
emfisema paru, kista paru, kaverne yang besar.
ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran
udara ke rongga torak. Terapi
Pneumotorak dapat terjadi berulang kali. a) Pneumotorak ringan non ventil, kurang dari 30%. Pasien di
Dikenal dua jenis: observasi dan disuruh meniup balon. Bila pneumotorak mem-
a) Pneumotorak primer buruk dapat dipasang water sealed drainage (WSD).
Tanpa penyakit dasar yang jelas. Lebih sering pada laki-laki b) Pneumotorak besar atau tipe ventil
muda sehat dibandingkan wanita. Timbul akibat ruptur bulla Dipasang WSD.Pada keadaan gawat dapat dilakukan punksi
kecil (1–2 cm) subpleural, terutama di bagian puncak paru. dengan jarum infus sel atau jarum besar, yang kemudian di-
b) Pneumotorak sekunder hubungkan dengan slang ke botol berisi air. Bila perlu sebelum
Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang meng- dibuat foto toraks.
alami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain: Bila dalam 24 jam pemasangan kateter paru tidak mengem-
Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paru atau Ca paru. bang slang dapat disambungkan ke alat penghisap. Bila dalam
Pneumotorak berhubungan dengan peningkatan tekanan 5 hari tidak berhasil dan keadaan pasien buruk pentu dipikirkan
intrapulmoner yang meluas sampai ke rongga udara subpleura kemungkinan tindakan bedah untuk menutupi kebocoran. Bila
dan permukaan pleura karena adanya obstruksi jalan nafas, paru sudah mengembang sempurna, WSD diklem selama 3 hari.
alveoli yang besar, kista paru atau bulla. Bila hasil observasi dan torak baik WSD dapat dicabut.
Tergantung pada kebocoran udara yang terjadi dikenal 3 c) Pencegahan pneumotorak rekuren, dapat dilakukan dengan
tipe: menggunakan:
a) Pneumotorak tertutup • pleurodesis kimia, dengan menggunakan larutan tetrasiklin
Lubang tertutup spontan dari udara dalam rongga torak di- atau bedak talk.
serap kembali. • pleurektomi parietal. Dilakukan pula ligasi atau reseksi
b) Pneumotorak terbuka bullae atau bleb.
Lubang pada pleura viseralis tetap terbuka dan paru-paru
tetap kuncup. Terkadang terdapat fistel bronkopleura, yaitu ada- Terapi komplikasi
nya hubungan langsung antara bronkus dan rongga torak. • hemopneumotorak: pembedahan.
c) Pneumotorak ventil • gangguan fungsi respirasi atau vaskuler: terapi suportif.
Terjadi peningkatan progresif tekanan intrapleural yang me- • emfisema kulit/mediastinal: observasi dan suportif.
nimbulkan kolaps paru yang progresif dan diikuti pendorongan
mediastinal dan kompresi paru kontralateral. ASMA AKUT BERAT/STATUS ASMATIKUS
Pada pneumotorak berat terjadi penurunan ventilasi dan AV Pengantar
shunt diikuti hipoksemi. Hal ini lebih berat dan cepat terjadi Berdasarkan patogenesis yang kini dianut, asma merupakan
pada pneumotorak sekunder yang disertai penyakit paru lain. penyakit inflamasi kronik jalan napas yang disebabkan oleh
berbagai jenis sel radang termasuk sel mast dan eosinofil. Pada
Diagnosis pasien yang peka peradangan ini menimbulkan gejala-gejala
Anamnesis yang berhubungan denan obstruksi saluran napas secara umum
Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri yang beratnya bervariasi, namun dapat membaik kembali secara
dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai spontan atau dengan pengobatan. Juga timbul peningkatan
batuk dan terkadang terjadi hemoptisis. kepekaan bronkus terhadap berbagai perangsangan(2).
Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah episode progresif
mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adanya penyakit peningkatan gejala pendek napas, batuk, mengi, sesak dada atau
jantung. kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Hal ini adalah pertanda
Pemeriksaan fisik kegagalan pengelolaan ama jangka panjang atau adanya pence-
Sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis pada tus. Tingkat serangan asm berkisar antara ringan sampai
pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru. Gerakan torak mengancam jiwa, yang berkembang dalam beberapa hari atau
mungkin tampak tertinggal, deviasi trakhea, ruang interkostal jam namun kadang-kadang bisa dalam beberapa menit. Morta-

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


litas paling sering berhubungan dengan salah menilai beratnya * menghilangkan hipoksia
serangan, kurang cukupnya tindakan pada saat awal serangan * mengembalikan fungsi paru normal secepatnya
dan kurangnya terapi yang diberikan. Asma akut yang berat/ * merencanakan usaha penghindaran relaps di masa depan
status asmatikus merupakan tingkat penyakit yang berat yang Terapi awal :
memerlukan penanganan segera. 1. O2 4-6 L/menit
2. Inhalasi/nebuliser B2 agonist tiap jam (Atrovent®)
Diagnosis 3. Dexamethason 3x2 amp.iv
a) Anamnesis 4. Aminofihin bolus/infus
* Serangan asma sekarang: 5. B2 agonis SC/IMIIV kalau perlu.
– faktor pencetus: infeksi, alergen 6. Terapi lain:
– terapi awal dan respons dalam 1–2 jam • antibiotika dan rehidrasi bila diperlukan
– lamanya serangan • catatan : • hindari inhalasi mukolitik
* Keadaan asma sebelumnya/risiko tinggi: • sedativa dilarang
– penggunaan kortikosteroid • antihistamin tak bermanfaat
– perawatan darurat/RS tahun sebelumnya • hindari fisioterapi pada saat sesak nafas
– intubasi untuk asma Bila hasil evaluasi setelah 1 jam tak terlihat perbaikan:
– masalah psikososial • Fisik: gejala berat, mengantuk, bingung
– kelalaian dalam melaksanakan terapi asma. • Arus Puncak Ekspirasi (APE) < 30%
b) Diagnosis serangan asma akut: • PCO2 >45 mmHg
Berat Gawat • PO2 < 60 mmHg
* Sesak napas • saat istirahat Masukkan ke ICU untukperawatan intensif dan kemungkin-
• membungkuk ke an intubasi dan ventilasi mekanik.
depan Kriteria memulangkan pasien:
* Kemampuan • sepatah kata • Short Acting B2 agonist inhalasi diperlukan >4 jam sekali
bicara • Lancar berjalan sendiri
* Kesadaran • agitasi • mengantuk/ • Tak terbangun malam karena sesak/perlu obat
bingung • Keadaan klinis normal/hampir normal
* Respirasi • > 30/menit • APE atau FEV > 7–80% normal/nilai terbaik setelah pe-
* otot respirasi • jelas/retraksi • gerakan makaian SA B2 agonist inhalasi, dan variabilitas PEF ≤ 20%
tambahan torakoabdominal • Pasien telah dapat petunjuk cukup mengenai cara penggunaan
paradoksal inhaler dan rencana perawatan/kontrol asma di rumah dan di
* Mengi • keras • tak ada klinik untuk mencapai fungsi paru terbaik.
* Nadi/menit • > 120 • bradikardi
* Pulsus • (+), > 25 mmHg • (–), kelelahan Prognosis
paradoksus otot Dengan pengelolaan yang cepat dan adekuat asma jarang
* PaO2 • < 60 mmHg menimbulkan kematian. Di RS Dr. Sutomo Surabaya (1980) di-
sianosis laporkan angka kematian 2,09%.
* PaCO2 • > 45 mmHg
* Sat. O2 (udara) • < 90%
c) Singkirkan kemungkinan penyakit lain
• bronkitis eksaserbasi akut dengan bronkospasme
• pneumotorak
• edem paru akut KEPUSTAKAAN
d) Diagnosis komplikasi/penyakit penyerta
Pasien asma akut berat di ruang perawatan biasa, asma akut 1. Zagelbaum GL, Peter Pare JA. Manual of acute respiratoiy care. Asian Ed.
gawat langsung ke ICU. Boston: Little Brown Co. Ltd, 1982; 1–18, 23–127.
2. Sheffer AL. International Consensus Report on Diagnosis and
Management of Asthma. Clin Experiment Allergy 1992; 22 (1).
Terapi 3. Soeria Soemantri E, Dahlan Z. Buku Pedoman Pengelolaan dan Penelitian
Tujuan terapi adalah untuk: Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi Bagian/UPF
* menghilangkan obstruksi secepat mungkin IP Dalam FK Unpad/RS Hasan Sadikin, Bandung, 1992.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 9


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perawatan Intensif Penyakit


Gawat Paru
di Rumahsakit Kabupaten
Ike Sri Rejeki, Afifi Ruchili, Marsudi Rasman
Bagian/UPF Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN kit gawat paru baik akut maupun kronis yang menjadi akut
Perawatan Intensif adalah tindakan perawatan dan tindakan kembali (acute on chronic).
medis yang secara aktif dilakukan untuk menunjang fungsi organ Penyebab terjadinya penyakit gawat paru antara lain(1,3-6) :
vital, memperbaiki dan mencegah kegagalan lain. Dengan de- 1) Oleh karena gangguan pada otak baik oleh karena trauma,
mikian kematian dapat dicegah. Kegagalan fungsi organ vital stroke, obat-obatan (CNS depressant), neoplasma, epilepsi.
yang dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat adalah 2) Oleh karena kelainan medula spinalis dan susunan neuro-
fungsi pernafasan, kardiovaskuler dan SSP. muskuler seperti pada miastenia gravis, polineuritis, pelumpuh
Fungsi pernafasan adalah memasukkan oksigen dan udara otot, lesi transversa medula spinalis daerah servikal dan lain-lain.
luar ke dalam darah untuk memenuhi kebutuhan O2 dan 3) Gangguan dinding thoraks, ruptur diafragma.
mengeluarkan CO2 sebagai hasil metabolisme. Kedua proses 4) Obstruksi jalan nafas karena benda asing, pembengkakan
ini terjadi melalui paru. Setiap perubahan atau kelainan di paru jalan nafas, konstriksi bronkhiolus, trauma jalan nafas, luka
baik disebabkan oleh penyakit atau bukan akan mempengaruhi bakar.
proses pertukaran O2 dan CO2 Apabila tidak segera diatasi, 5) Kelainan parenkhim paru sendiri, emfisema, infeksi paru,
kebutuhan O2 jaringan akan tidak terpenuhi sehingga dapat pneumothorax, aspirasi.
menyebabkan kegagalan fungsi organ vital lain seperti 6) Gangguan kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan
kardiovaskuler, SSP, ginjal, hepar dan lain-lain, selanjutnya perfusi paru.
menyebabkan kemati- an(1,2,3). 7) Iskemi intestin yang akut.
Dengan mengetahui patofisiologi gagal nafas diharapkan 8) Kelainan organ-organ lain seperti setelah infark miokard.
RSU Kabupaten dengan fasilitas perawatan intensif yang seder- 9) Gangguan mekanik paru (pemberian PEEP pada ventilasi
hana mampu bertindak lebih awal untuk mencegah terjadinya buatan).
gagal nafas.
PATOFISIOLOGI
DEFINISI Ada beberapa mekanisme yang mendasari terjadinya gagal
Penyakit gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas nafas akut:
dalam paru terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan me- 1) Hipoventi1asi(1,3,4)
nyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut; yang Hipoventilasi didefinisikan sebagai keadaan dengan kadar
ditandai dengan menurunnya kadar oksigen di arteri (hipokse- CO2 arteri lebih dari 45 mmHg akibat berkurangnya udara yang
mia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau mencapai alveolus; dengan kata lain ventilasi alveolus menurun.
kombinasi keduanya. Hipoventilasi ini dapat terjadi karena obstruksi jalan nafas,
Kriteria diagnosis untuk pasien yang bernafas pada udara gangguan neuromuskuler dan depresi pernafasan.
kamar adalah: 1) PaO2 kurang daRI 60 mmHg, 2) PaCO2 lebih 2) Pintasan intrapulmoner, ruang rugi dan gangguan per-
dari 49 mmHg tanpa ada gangguan alkalosis metabolik primer bandingan ventilasi perfusi (V/O mismatch).
Gagal nafas dapat disebabkan oleh bermacam-macam Penya- Pintasan intrapulmoner diartikan: darah yang memperfusi-

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


paru tidak mengalami pertukaran gas karena alveolusnya tidak
terventilasi, misalnya pada atelektasis.
Ruang rugi merupakan keadaan alveolus terventilasi tetapi
tidak dapat melakukan pertukaran gas karena bagian paru ter-
sebut tidak mendapat perfusi, contohnya pada emboli paru.
Pada paru normal perbandingan ventilasi atau perfusi adalah
0,85. Pada gangguan ventilasi atau perfusi perbandingan tersebut
dapat menjadi besar.
3) Gangguan difusi
Gangguan difusi gas terjadi akibat penebalan membran
alveolus kapiler misalnya pada keadaan fibrosis interstitial,
pneumonia interstitial, penyakit kolagen seperti skleroderma,
penyakit membran hialin.
Kapasitas difusi CO2 20 kali lebih besar daripada kapasitas
difusi O2 sehingga pada gangguan difusi, gejala yang pertama
timbul adalah hipoksemi, biasanya diikuti oleh kompensasi berupa
hiperventilasi, akibatnya PaCO2 menjadi rendah, apabila kom-
pensasi tersebut gagal maka PaCO2 menjadi normal atau tinggi.
Jadi keadaan hipoksemi dapat disertai hipokarbi, normokarbi
atau hiperkarbo. Sebaliknya apabila hiperkarbi hampir selalu Makrofag:
diikuti hipoksemi (pada udara kamar). Makrofag yang terdapat di alveolus juga dengan komple-
Selain itu dapat juga terjadi gangguan difusi oleh karena men akan mengeluarkan enzim proteolitik dan oksigen radikal
kerusakan mikrovaskuler pada jaringan paru sehingga timbullah bebas: Makrofag juga mempakan bahan faktor nekrosis pada
edema paru. Permeabilitas mikrovaskuler paru akan meningkat tumor (tumor necrosis factor) yang juga berperan dalam me-
dengan adanya endotoksin, kerusakan jaringan dan bahan kimia nyebabkan gagal nafas akut.
tertentu(1) (Diagram 1). Trombosit:
Peranannya pada gagal nafas akut tidak jelas.
Limfosit.
Limfosit dapat mengaktifkan interleukin sehingga diduga
mempunyai peran untuk menimbulkan gagal nafas akut.
Sel Endotel:
Endotel pembuluh darah diduga merupakan salah satu faktor
yang dapat mencetuskan gagal nafas akut. Endotel melepaskan
oksigen radikal bebas bilaberaksi terhadap pemberian endotoksin.
Faktor:
TNF adalah mediator yang dilepaskan oleh makrofag dan
monosit sebagai respon terhadap beberapa zat antara lain endo-
toksin. Material ini menghasilkan respons seperti penyuntikan
endotoksin terhadap manusia.
TNF dapat menimbulkan edema paru. TNF terutama dikenal
pada kasus-kasus sepsis.
4) Faktor lain yang berpengaruh terhadap timbulnya
gagal nafas akut
Mediator-mediator yang dapat menimbulkan peningkat • Interaksi hepatik:
permeabilitas mikrovaskuler di daerah paru adalah : bradikini Hepar memegang peranan penting pada gagal paru akut.
leukotrien, tromboksan dan lain-lain. Endotoksin dapat meng- Pada keadaan normal 90% dari fungsi sistim retikuloendotelial
aktifkan faktor XII menjadi faktor XIIa untuk koagulasi, fibrin terdapat di hepar yaitu di daerah sel Kupfer. Bakteri dan toksin-
lisis dan pembentukan komplemen. Tetapi selain itu juga meng- nya (terutama yang dari usus) akan dibersihkan dan sirkulasi di
hasilkan perubahan prekallikrein menjadi kallikrein dan kall hepar. Jadi hepar berfungsi sebagai filter.
krein ini mengubah kininogen menjadi bradikinin (Diagram 2). Gangguan fungsi hepar akan memperbesar kemungkinan
Bradikinin inilah yang dapat menimbulkan edema paru. meningkatnya kadar endotoksin dan bakteri dalam darah. se-
Komplemen pada bagan di atas berpengaruh terhadap: hingga akan mempengaruhi fungsi organ yang lain termasuk
Sel-sel PMN. paru-paru.
Komplemen yang dihasilkan akan menarik sel-sel PMN ke Selain itu mediator-mediator yang dapat menyebabkan edema
parenkhim paru dan mengeluarkan enzim proteolitik dan oksigen paru juga didetoksifikasi di hepar.
radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan paru. • Gangguan intestinal:

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 11


Iskemi intestin akut akan menyebabkan peningkatan per- berupa pneumohematotoraks, gangguan pergerakan dinding
meabilitas dinding usus terhadap endotoksin intestin. Endotoksin thoraks, gangguan mekanik pernafasan. Gejala yang harus di-
yang masuk ke sirkulasi dan mencapai paru dapat menimbulkan perhatikan antara lain sesak nafas, takikardia oleh karena sakit,
kerusakan paru. Vasokonstriksi mesenterik merupakan faktor hipoksia dan sebagainya. Dapat disertai tanda-tanda takhipnoe
penting yang dapat meningkatkan endotoksemi. Gangguan in- atau disertai syok.
testin dapat menyebabkan kerusakan paru dan juga sebaliknya Semua keadaan-keadaan gawat paru tersebut harus segera
kerusakan paru dapat menyebabkan disfungsi intestin(1). diatasi kanena penderita dapat jatuh ke dalam gagal nafas akut.
• Gangguan organ lain: Diagnosa pasti gagal nafas akut biasanya ditegakkan dari
Kerusakan organ lain dapat menimbulkan gagal nafas akut hasil pemeriksaan analisis gas darah, tetapi kadang-kadang
melalui proses gagalnya fungsi barier intestin. Contoh: luka diagnosis sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis
bakar yang luas akan menyebabkan vasokonstriksi mesenterik saja. Seperti pada obstruksi jalan nafas, adanya apnoe dan lain-
dan translokasi bakteri. Pelepasan bakteri dan kerusakan ja- lain(3,4). Pada keadaan seperti ini tidak perlu menunggu hasil
ringan di tempat yang bersangkutan akan menghasilkan media- analisis gas darah.
tor yang dapat mencetuskan gagal nafas akut. Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan kadar O2
Kejadian serupa ini juga bisa terjadi pada kasus infark arteri yang rendah (PaO2 kurang dari 60 mmHg) atau dan kadar
miokard. Tekanan atrial kiri akan meningkat akibat depresi CO2 yang tinggi (PaCO2 lebih dari 49 mmHg). Karena peme-
miokard juga dapat menyebabkan edema paru. Selain itu ja- riksaan analisis gas darah ini cukup rumit, maka ada cara untuk
ringan miokard yang rusak akan mengeluarkan enzimproteolitik menentukan secara kasar PaO2 dan warna darah arterial yang
dan mediator yang terbentuk dari proses inflamasi, masuk ke- diambil untuk sampel pemeriksaan(4) :
sistim koroner lalu ke sinus koronarius kemudian masuk sirkulasi – Bila warnanya merah cerah PaO2 53 mmHg
paru dan akan menyebabkan kerusakan mikrovaskular di paru(1,2,5). – Bila warnanya agak kehitaman PaO2 38 mmHg
– Bila warnanya hitam PaO2 30 mmHg
GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN Seperti telah diutarakan sebelumnya gagal nafas akut juga dapat
Gejala klinis penyakit gawat paru biasanya tergantung etio- terjadi setelah trauma di tempat/organ lain, infeksi atau sepsis,
1oginya(1,3,4,6,7). gangguan intestinal(1). Ditandai dengan timbulnya takhipnoe,
• Penyakit gawat paru yang disebabkan oleh gangguan otak takhikardi; dalam 24 jam pertama biasanya belum jelas tanda-
memberikan gejala utama berupa: penurunan kesadaran, depresi tanda hipoksemi dan asidosis.
nafas: frekuensi nafas kurang dari 12 kali/menit atau apnoe. Pada stadium awal biasanya foto toraks tidak menunjukkan
• Gejala yang timbul kanena gangguan neuromuskulan atau adanya kelainan. Secara bertahap timbul edema perivaskuler
gangguan medulla spinalis adalah berupa tanda-tanda rasa ter- yang berkembang menjadi edema intraalveolar yang difus. Ke-
cekik, retraksi, tracheal tug, sampai apnoe. Yang menonjol ada- adaan ini akan tampak pada gamban radiologi sebagai penambah-
lah gejala hipoksia berupa takhikardi, kulit dingin dan basah. an gambar corakan paru. Setelah 4–5 hari gambar corakan paru
• Gejala yang timbul karena obstruksi saluran nafas bagian ini makin bertambah sampai menunjukkan gambaran edema
atas biasanya terjadi tiba-tiba, afoni, tanda-tanda seperti paru yang jelas. Kunkel etal menggambarkan cara penilaian pada
tercekik, retraksi suprasternal dan epigastrik. edema paru dengan membuat gradasi cairan ekstravaskuler dari
• Pada penyakit paru obstruktif, biasanya berlangsung secara gambaran radiologis, dari grade 0 sampai dengan grade IV(1).
kronik. Terapi harus sudah dimulai secepat mungkin yaitu pada
Pada asma timbul berupa serangan sesak nafas, wheezing, grade 1. Selain itu sebaiknya lakukan pemeriksaan EKG untuk
sputum yang lengket dan kental. Serangan asma biasanya ber- melihat ada tidaknya iskemi atau infark jantung. Pada stadium
hubungan dengan suatu keadaan alergi. yang lebih lanjut akan terjadi obstruksi nafas yang intermiten
Pada penyakit paru obstruktif menahun terjadi kerusakan pada daerah-daerah yang mengalami atelektasis dan emfisema.
pada jalan nafas, biasanya selain didapatkan hipoksemi juga Terjadi atelektasis dan terjadilah pintasan intra pulmoner.
disertai hiperkarbi karena retensi CO2 kronik. Hal ini menyebab- Keadaan ini menyebabkan hipoksemi dan sesak nafas, biasanya
kan rangsangan terhadap pusat pernafasan tidak lagi oleh keadaan saturasi oksigen kurang dari 80% walaupun dengan FiO2 yang
hiperkarbi (hypoxic drive) dari pusat pernafasan menjadi sangat ditinggikan. Paru menjadi semakin kaku sehingga volume udara
sensitif terhadap obat-obatan yang mendepresi pusat nafas dan yang diperlukan untuk mengembangkannya bertambah, yang
terhadap konsentrasi oksigen yang tinggi. Pada emfisema biasa- biasanya 25 ml/cmH2O menjadi 50 ml/cmH2O.
nya kadar PaCO2 tidak terlalu tinggi. Apabila penderita bertahan, pada hari ke-5 – 13 biasanya
• Gangguan pada parenkim paru timbul komplikasi bronkhopneumoni. Secara radiologi akan
Dapat berupa infeksi, gejala utamanya batuk, demam, terlihat jelas gambaran infiltrat.
dahak yang purulen atau seperti karat dan sebagainya.
Aspirasi bahan yang iritatif dapat menyebabkan kerusakan
parenkim paru, menimbulkan gejala hipoksi karena pertukaran PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
gas terganggu. Dibagi atas non spesifik dan spesifik(4). Pada umumnya di
Pada kasus-kasus trauma biasanya menyebabkan gangguan perlukan kombinasi keduanya.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


1) Penatalaksanaan dan Pengobatan Spesifik: a) Terapi Oksigen(1,2,5,8)
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan se-
untuk masing-masing keadaan berbeda-beda. Pada kasus-kasus cepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali
emergency dan akut pengobatan spesifik dilakukan di tempat dengan gagal nafas dan penyakit kronik yang menjadi akut
kejadian atau di unit gawat darurat. Kasus-kasus kronik, biasa kembali (dimana pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiper-
nya kasus-kasus acute on chronic yang berkembang menjadi karbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang lagi oleh
gagal nafas akut. Penyebab terbanyak dari gagal nafas akut pada hypercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive), maka
kasus-kasus yang kronik adalah pada eksaserbasi akut dan Pe- kenaikan PaO2 yang terlalu cepat dapat menyebabkan apnoe.
nyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM atau COPD). Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan konsen-
Penyakitnya dapat berupa: trasi fraksi inspirasi oksigen (FiO2 dan menurunkan kebutuhan
• Bronchitic Blue Bloater. O2 dengan bantuan ventilasi. Apabila penderita akan dibiarkan
Kerusakan terbanyak terjadi di jalan nafas. Penderita me- bernafas spontan, O2 diberikan melalui nasal catheter.
nunjukkan hipoksemi dan hiperkarbi, dengan retensi cairan, kor Hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi
pulmonale, polisitemia. Respirasi tergantung pada hypoxic drive. O2 inspirasi (tabel):
Keadaan ini sangat sensitif terhadap obat-obat yang men-
02 (l/mt) Konsentrasi O2 = (%)
depresi SSP dan kadar O2 yang tinggi.
• Emphysematous Pink Puffer Kateter nasal 2–6 30 – 50
Sungkup muka 4 – 12 35 – 65
Kerusakan terjadi baik pada jalan nafas maupun pada alveo- Sungkup muka tipe vent in 4–8 24, 28, 35, 40
lus. Biasanya PaCO2 masih dalam batas-batas normal. Gejala Ventilator Bervariasi Sesuai
sesak nafasnya lebih menonjol. Inkubator 3–8 30–40
Faktor-faktor yang mencetuskan terjadinya gagal nafas akut
b) Atasi Hiperkarbia – perbaiki ventilasi
pada kasus-kasus kronik ini antara lain : infeksi virus, cuaca
Memperbaiki ventilasi dan tahap yang paling sederhana
dingin, polusi, pemberian O2 yang terlalu tinggi atau obat-obat
sampai pemberian ventilasi buatan.
depresan SSP.
Hiperkarbia yang berat dan akut akan mengakibatkan ganggu-
Penanggulangannya antara lain:
an pH darah atau asidosis; hal ini harus diatasi segera dengan
1) Terapi oksigen:
memperbaiki ventilasi. Pada kasus-kasus acute on chronic yang
Diperlukan apabila PaO2 kurang dari 45 mmHg atau satu-
sudah terbiasa hiperkarbi, hindani penurunan PaCO2 yang terlalu
rasinya kurang dari 75%. Pemberian O2 harus diusahakan jangan
rendah karena akan menyebabkan alkalosis sehingga dapat
menyebabkan peningkatan PaCO2. Tujuan ini dapat dicapai
menyebabkan hipokalemi, aritmi jantung dan sebagainya.
dengan menggunakan venturi type mask sehingga kadar oksigen
Penurunan PaCO2 harus bertahap tidak lebih dari 4 mmHg/jam.
yang diberikan dapat lebih akurat.
Upaya untuk memperbaiki ventilasi antara lain(4,5) :
Pemberian O2 tidak boleh terlalu tinggi dan harus secara
1) Membebaskan jalan nafas
kontinu karena pemberian intermiten akan membahayakan.
Obstruksi jalan nafas bagian atas karena lidah yang jatuh
2) Antibiotik.
dapat diatasi dengan hiperekstensi kepala, apabila belum meno-
Kuman penyebab infeksi terbanyak pada kasus ini adalah
long lakukan triple airway manuevre. Apabila terjadi obstruksi
Haemophilus influensa.
karena benda asing atau edema laning lakukan cricothyrotomy
3) Bronkhodilator.
atau tracheostomy. Mungkin juga diperlukan pemasangan pipa
Walaupun beberapa bronchioli mengalami kerusakan yang
endotrakheal.
ireversibel tetapi bronkhodilatasi di tempat yang masih reversi-
2) Ventilasi bantu
bel akan sangat membantu. Biasanya diberikan aminophyllin.
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara
4) Pemberian steroid dapat dipertimbangkan walaupun bebe-
mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Apabila sarana tersedia
rapa ahli masih meragukan efektivitasnya.
dapat dilakukan dengan menggunakan ambubag atau dengan alat
5) Bantuan nafas/ventilasi biasanya diberikan untuk mencegah
IPPB, yang memberikan ventilasi berdasarkan tekanan negatif
CO2 narkosis, pemberian terapi O2 yang tidak dibatasi, dan bila
yang ditimbulkan waktu pasien inspirasi (pada keadaan ini pa-
cara-cara konservatif tidak berhasil.
sien masih sadar dan bernafas spontan).
3) Ventilasi kendali
2) Penatalaksanaan dan Pengobatan Non Spesifik
Pasien harus dipasangi pipa endotrakheal yang dihubung-
Harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-gejala yang
kan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendali-
timbul pada kasus gawat paru untuk mencegah gagal nafas akut.
kan oleh ventilator.
Sedangkan pada kasus gagal nafas akut sebaiknya berikan terapi
Bantuan ventilasi diperlukan biasanya berdasarkan krite-
untuk mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang
ria(1,5) :
lebih buruk, sambil menunggu pengobatan spesifik sesuai de-
ngan etiologi penyakitnya. • Rasio PaO2/FiO2 < 200 (kadar FiO2 40% tetapi PaO2 ≤ 80
Pengobatan non spesifik meliputi: mmHg)
• Mengatasi hipoksemia : terapi oksigen • Penurunan compliance paru sampai 50%
• Mengatasi hiperkarbia : terapi ventilasi • Frekuensi respirasi > 30 –40 kali/menit

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 13


• Volume ventilasi semenit pada keadaan istirahat ≤ 10 l/ • FiO2 40% dengan PaO2 > 90 mmHg.
menit. • Tidal volume >5 ml/kg
Terapi mula-mula adalah intubasi,berikan O2 dengan kadar 60%. • Vital capacity> 10 ml/kg
Trakheostomi dilakukan untuk mengganti pipa endotrakheal, • Refleks protektif positif.
bila penderita perlu diventilasi lebih dari 3–4 minggu. Setelah ekstubasi sebaiknya penderita tetap diobservasi untuk
Monitoring yang perlu di1akukan(1). kemungkinan gangguan nafas pasca ekstubasi.
Pemeriksaan analisis gas darah setiap 15 menit pada saat
baru masuk ventilator sampai kembali ke nilai normal, setelah KESIMPULAN
itu pemeriksaan analisis gas darah dilakukan setiap 6 jam. Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat
Indikasi untuk PEEP atau CPAP: paru adalah mencegah agar penderita tidak jatuh ke dalam ke-
Apabila PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 ≥ 50% atau shunt adaan yang lebih buruk berupa gagal nafas akut dan multiple
factor > 20%. Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan setiap organ failure.
saat seperti juga EKG, monitor, pemeriksaan tensi dan nadi Gagal nafas akut dapat terjadi oleh karena gangguan nafas di
setiap 1 jam(2). otak, gangguan neuromuskuler dan medulla spinalis, obstruksi
Untuk mempertahankan curah jantung sebaiknya hema- jalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan karena kerusakan
tokrit dipertahankan 30%, berikan cairan secara adekuat oleh ka- organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus atau luka
rena penurunan aliran darah pant akan memperburuk permeabili- bakar yang luas.
tas mikrovaskuler di paru-paru dan merangsang timbulnya Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas
mediator yang toksik. Tetapi terlalu banyak cairan (over load) darah. Tetapi seringkali pemeriksaan klinis sangat membantu
pun akan menimbulkan edema paru hidrostatik. menentukan tindakan pertama yang harus dilakukan dengan
Kadang-kadang diperlukan antibiotik. Antibiotik broad- cepat dan tepat. Kadang-kadang tindakan pertama harus dilaku-
spectrum diberikan apabila terdapat tanda-tanda sepsis walau- kan secepatnya di tempat kejadian atau di unit gawat darurat
pun dari hasil kultur negatif(1). tergantung etiologinya yang dikenal sebagai penatalaksanaan
Tanda-tanda sepsis antara lain: spesifik.
1) Bila temperatur < 36,5°C atau > 38,5°C Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya perbaikan
2) Frekuensi pernafasan ≥ 30 kali/menit oksigenisasi, ventilasi dan sirkulasi. Upaya-upaya ini kadang-
3) Serum glukosa FiO2 150 mg% kadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan memerlu-
4) Trombosit < 100.000/mm kan Monitoring dan perawatan khusus.
5) Leukosit ≥ 15.000/m Hal lain yang juga penting adalah evaluasi terhadap keber-
6) Volume naso gastrik ≥ 200 ml/jam hasilan terapi dilakukan dari saat ke saat sehingga terapi dapat
7) Pneumonia atau kultur urine atau kultur dan daerah luka, diberikan sesuai dengan kebutuhan.
didapatkan bakteri lebih dari 100.000/ml.
Foto thoraks harus dilakukan setiap hari, udana inspirasi KEPUSTAKAAN
harus dilembabkan atau humidifikasi yang cukup, dan kadang- 1. Hemdon DN, Traber DL. Pulmonary Failure and Acute Respiratory
kadang diperlukan mukoliti. Pasien harus diubah-ubah posisi- Distress Syndrome; Multiple organ failure. 1990; 192–210.
nya secara bertahap setiap 2 jam dan nasotracheal suction setiap 2. TEOH. Respiratory Failure : Intensive Care Manual, 2nd ed, 1985; 67–103.
2 jam. Lakukan usaha-usaha untuk mengeluarkan sekret dan 3. Caroline NL. Energency Care in the street, 2nd ed, 1983; 160–230.
4. Muhiman M. Gagal Nafas Akut : Intensive Care Unit 1st ed, 1989; 1–9.
menepuk dada/punggung (tappotage). Perhatikan gizi dan la- 5. Sibbald WJ. Synopsis of Critical Care, 2nd ed, 1984; 51–105.
tihan nafas untuk menjaga kekuatan otot-otot pernafasan. 6. Evans TR. The Airway at Risk: ABC of Resuscitation, 2nd ed, 1990; 12–28.
Apabila keadaan penderita membaik lakukan penyapihan 7. Shoemaker WC, Ayres S, Grenvink A, Holbrook PR, Thompson WL.
dan ventilator secara bertahap. Textbook of Critical Care, 2nd ed, 1989; 484–90,491–93.
8. VincentjL. Update in Intensive Care and Emergency Medicine, 1st ed,
Indikasi untuk ekstubasi: 1991; 313–29.

Better slip with the foot than the tongue

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sepsis pada
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut
Tinjauan Patogenesis dan Pengelolaannya
Hadi Jusuf, Primal Sudjana
Sub. Bagian lnfeksi, UPF/Bag. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN menit), takikardi (HR di atas 90 per menit), hipertermi atau


Sepsis, sindrom sepsis dan syok septik merupakan penyulit hipotermi (suhu rektal di atas 38.4°C atau di bawah 35.6°C).
yang paling ditakuti dan suatu penyakit infeksi, dan merupakan • Sindrom sepsis: sepsis disertai adanya gangguan perfusi
masalah besar bagi para klinisi. Di negara majupun dengan pe- organ yaitu: perubahan akut status mental (kesadaran), oliguria,
makaian antimikrobial dan terapi suportif yang tepat, pemberian kadar laktat darah di atas normal, hipoksia (tanpa adanya penya-
terapi baru (imunologik) dengan dukungan fasilitas canggih, kit paru lainnya atau penyakit kardiovaskuler).
angka kematian tetap tinggi. Selain itu pemakaian obat imuno • Syok septik: sindrom sepsis disertai hipotensi (tekanan
supresan (kemoterapi, kortikosteroid) dan penggunaan alat-alat darah sistolik di bawah 90 mmHg atau penurunan 40 mmHg di
untuk diagnostik dan terapi (kateter, intubasi, endoskopi, bron- bawah baseline). Bila berlangsung dalam 1 jam (stadium dini)
khoskopi), telah menyebabkan angka kejadian meninggi. Di maka responsif terhadap terapi konvensional (pemberian cairan
USA angka kejadian sepsis adalah 300.000 sampai 500.000 intravena dan intervensi farmakologik).
kasus per tahun. Angka kematian syok septik 40 sampai 90% ter- Terakhir, the American College of Chest Physicians and
gantung fasilitas di tiap rumah sakit(1-4). Nidus (tempat asal) the Society of Critical Care Medicine membuat suatu
infeksi tersering adalah sistim saluran cerna dan kemudian di- konsensus mengenai bermacam istilah yang berkaitan dengan
susul saluran kemih, tetapi tidak jarang saluran nafas juga me- sepsis antara lain
rupakan nidus infeksi yang penting(4-6). • Sepsis adalah respons sistemik terhadap infeksi, yang me-
Pada makalah ini akan dibahas patogenesis dan pengelolaan menuhi dua atau lebih kriteria:
sepsis pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan – Suhu di atas 38°C atau di bawah 36°C.
infeksi saluran nafas bagian bawah. – Denyut jantung di atas 90 per menit.
– Respirasi di atas 20 per menit atau PaCO di bawah 32
TERMINOLOGI mmHg.
Istilah dari kriteria yang berkaitan dengan sepsis masih – Lekosit di atas 12.000 atau di bawah 4000 per ml atau
belum sama di setiap tempat(1,4). Hal ini menyebabkan laporan lebih dari 10% lekosit adalah muda (immature).
mengenai angka kejadian, kematian dan keberhasilan terapi • SIRS (systemic inflammatory response syndrome) adalah
akan bervariasi. Bone (1991) mengajukan istilah bakteriemia, semua bentuk respons inflamasi sistemik baik terhadap adanya
sepsis, sindrom septik, syok septik. infeksi atau bukan infeksi, dengan kriteria sama seperti sepsis di
• Bakteriemi: kultur darah positif. atas. Dengan perkataan lain respons sistemik tubuh atau kaskade
• Sepsis: klinis dicurigai infeksi, disertai adanya respons yang sama bisa disebabkan kelainan atau penyakit bukan infeksi,
sistemik terhadap infeksi yaitu: takipnea (respirasi di atas 20/ dan SIRS yang disebabkan infeksi adalah analog dengan sepsis.
Diajukan pada Pertemuan Berkala Ilmiah dan Organisasi Perhimpunan Respiro-
logi Indonesia. September 1994 di Bandung.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 15


PATOFISIOLOGI seperti di atas atau Staphylococcus sp dan personil akan
Patofisiologi sepsis sangat rumit dan belum sepenuhnya di- ditemukan pada jenis ini.
ketahui, padahal penting dalam hal penentuan terapi yang tepat(1). • Pnemoni Aspirasi
Pengetahuan biologi molekuler mengenai ini terus berkembang Disebabkan muntah, antagonis akibat pemberian antasida
dengan ditemukannya mediator baru atau peranan mediator atau reseptor H2 sehingga sistim pertahanan asam lambung ter-
yang sudah diketahui; ini membuka kemungkinan terapi baru ganggu, dan refluk pada pemakaian NGT. Mikroorganisme
yang ditujukan untuk memotong proses kaskade dan sepsis. Gram negatif koloni saluran makanan atas dan anaerob berperan
dalam hal ini.
Nidus Infeksi dan Stimulus Sepsis Selain itu pneumoni didapat di masyarakat dengan Pneumo-
Semua jenis mikroorganisme (bakteri, protozoa, jamur, virus) coccus sebagai penyebab sering berlanjut menjadi sepsis(9,10).
bisa merupakan stimulus suatu sepsis; sedangkan tempat asal
infeksi (nidus infeksi) yang tersering adalah sistim saluran Kaskade Sepsis
cerna, disusul saluran kemih. Nidus lain adalah saluran nafas dan Pada hakekatnya kaskade ini merupakan kelanjutan proses
kulit. Sebagian lainnya tidak diketahui nidusnya(4,5,6). Stimulus inflamasi lokal di nidus. Proses ini bersifat self perpetuating; se-
dan sepsis adalah mikroorganisme atau substansi (zat) yang kali dicetuskan akan terus berlanjut sekalipun stimulusnya hilang
dikeluarkannya (seperti eksotoksin, yaitu TSS toksin I, entero- atau dihilangkan(7).
toksin) atau komponen mikroorganisme (seperti endotoksin Berat ringannya kaskade ini tidak tergantung pada mikro-
terutama Lipid A dan bakteri Gram negatif, peptidoglikan dari organisme penyebab, mungkin faktor host sendiri yang lebih ber
bakteri Gram positif dan antigen jamur atau virus) yang dikeluar- peran pada terjadinya dan beratnya proses dan apakah proses
kan bila mikroorganisme tersebut mati(1,5,6). Stimulus di atas akan kaskade ini akan berlanjut atau terjadi homeostasis; proses ter-
merangsang dimulainya proses (kaskade sepsis), yang sebetul- sebut tidak persis sama setiap kasus(7,10). Walau begitu jalur
nya kelanjutan sistemik dan proses inflamasi lokal yang normal kaskade yang sama akan dilalui tanpa melihat jenis mikro-
terjadi pada setiap infeksi. Beberapa kaskade sepsis tidak jelas organisme(1,4).
nidus infeksinya atau proses inflamasi lokal, dan hal ini mungkin Kaskade sepsis ini rumit dan belum sepenuhnya diketahui,
disebabkan translokasi lokal mikroorganisme dan saluran cerna tetapi pada garis besarnya dapat dilukiskan sebagai berikut:
atau pada kejadian luka bakar(8). Mikroorganisme, produknya atau substansinya akan meng-
Tidak setiap infeksi akan berlanjut menjadi sepsis. Beberapa aktifkan mediator-mediator, sistim kinin, komplemen, koagulasi
faktor predisposisi untuk sepsis adalah: dan fibrinolitik. Endotel pembuluh darah di perifer akan meng-
– tindakan invasif. alami perubahan permeabilitas, vasodilatasi/vasokontriksi, ke-
– pemberian imunosupresif, kortikosteroid, kemoterapi. rusakan endotel atau mikroemboli. ini akan menyebabkan
– penyaldt dasar seperti lekemi, sirosis hepatis. gangguan mikrosirkulasi, perfusi jaringan, yang terjadi sebelum
Penyakit Paru sebagai nidus sepsis(8) : syok. Gangguan perfu organ akan mengakibatkan multiple
1) Infeksi pleura organ failure yang akan diperberat bila terjadi syok. Miokard
Sering terjadi setelah operasi toraks, WSD, atau sebagai akan mengalami depresi dan bersama dengan vasodilatasi berat
penyulit dari proses infeksi subdiafragma. Staphylococcus dari perifer akan menyebabkan syok. Selain itu terjadi gangguan
aureus paling sering ditemukan pasca operasi toraks, sedangkan metabolisme dan koagulopati(7,10).
campuran bakteri aerob dan anaerob pada penyulit proses sub- • Peranan Mediator
diafragma. Peranan mediator sangat kompleks dan belum seluruhnya
2) Pneumonia diketahui, selain itu ada mediator lain yang belum dikenal. Bisa
Ada tiga mekanisme yang perlu dipikirkan. terjadi interaksi di antaranya (antara lain sinergis, antagonis).
• Atelektasis Stimulans akan merangsang makrofag, monosit dan sel endotel
Terjadi kanena berkurangnya tidal volume pada trauma untuk menghasilkan sitokin (TNF, IL1, IL6, PAF). ILl dan IL6
toraks atau abdomen dan pasca bedah. Mikroorganisme akan akan merangsang limfosit T untuk mengeluankan interferon,
terperangkap dalam atelektasis tersebut, selanjutnya berpro- IL2, IL4. Bersamaan ini metabolisme arachidonic akan meng-
liferasi dan menyebabkan pnemonia yang akhirnya menyebab- hasilkan prostaglandin, tromboxan dan leukotrien. Juga endotel
kan kaskade sepsis. Bila waktu preoperasi pendek dan penderita akan mengeluarkan EDRF, Endothelin 1.
belum diberi antibiotika maka bakteri koloni normal tra- Hampir semua mediator mempunyai efek pada endotel, ini-
kheobronkhial (Pneumococcus, H. influenza) menjadi penye- salnya prostaglandin, bradikinin mempunyai efek vasodilator
babnya, sedangkan bila waktu preoperasi lama dan antibiotika sedangkan TNF, lekotrien, tromboxan meningkatkan per-
sudah diberikan maka bakteri yang didapatkan di rumah sakit meabilitas (Bone 1991, Parrilla 19,89). Komplemen, TNF akan
(Pseudomonas Sp, Enterobacter Sp) sebagai penyebab. meningkatkan aktifitas netrofil terhadap endofel dan meng-
• Ventilator Associated Pneumoniae akibatkan mikroemboli. MDS, TNF dan PAF akan mempenga-
Endotracheal tube akan merusak mekanisme pertahanan ruhi fungsi miokard. Mediator sentral atau yang berperan kunci
glottis dan membuka jalan masuk kuman, selanjutnya terjadi pada kaskade belum jelas(1,6). Hasil akhir adalah vasodilatasi,
pneumonia dan akhirnya sepsis. Bakteri didapat di rumah sakit depresi miokard dan gangguan mikrosirkulasi.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


• Aktivitas komplemen Target yang ingin dicapai : CI di atas 3 liter/menit/m2 (di atas
Endotoksin atau TNF akan mengaktifkan sistim komple- angka normal). Beberapa ahli menginginkan di atas 6 liter (di atas
men, baik melalui jalur klasik atau alternatif, yang mengakibat- supranormal) karena kerusakan di tingkat mikrosirkulasi.
kan kerusakan endotel Iangsung atau melalui komp1emen(1,6). 2) Oksigenasi (Analisis gas darah)
• Sistim kinin Untuk melihat oksigenasi jaringan; parameter yang dilihat:
Endotoksin akan mengaktillan faktor XII (Hageman), se- DO2 (Delivery oxygen) dan PaO2 dan SaO2 (tekanan O2 dan
lanjutnya terjadi perubahan prekalikrein menjadi kalikrein. saturasi O2). Target yang mau dicapai: PaO2 di atas 60 mmHg,
Kalikrein ini mengubah kininogen menjadi bradikinin(6). SaO2 di atas 90% dan DO2 di atas kira-kira 726 ml/menit/m2.
• Sistim koagulasi dan fibrinolisis 3) Elektrolit darah.
Endotoksin atau TNF akan mengaktifkan sistim koagulasi, 4) Haemoglobin/haematokrit; diusahakan di atas 10 gram%
baik melalul jalur intrinsik atau ekstrinsik. Selain itu kerusakan atau 30%.
endotel akan mengaktifkan jalur intrinsik° Terjadijuga aktivasi 5) Fungsi organ : ginjal, jantung dan sebagainya.
plasminogen activator yang mengubah plasminogen menjadi III. Terapi
plasmin, dan plasi ini mengakibatkan fibrino1isis(1). Pada garis besarnya ada 4 daerah yang akan diintervensi,
• Perubahan hemodinamik yaitu:
Perubahan vaskuler dan miokard menyebabkan gangguan 1) Mengontrol stimulus (membunuh mikroorganisme penye-
hemodinamik (hipotensi, peninggian cardiac output, heart rate bab).
bertambah). Jantung berdilatasi dan kemudian normal pada hari 2) Memotong proses kaskade sepsis karena walaupun penye-
10–14. Pooling darah di venaperifer dan splanchnic akan mengu- bab dihilangkan, proses kaskade akan berlangsung terus.
rangi preload(4). Oleh karena gangguan di tingkat mikrosirkulasi 3) Terapi suportif.
maka pemakaian oksigen tidak mencapai kebutuhan. Mengembalikan dan menjaga sistim sirkulasi dari oksigeni-
• Organ failure dan penyulit lainnya sasi di at normal atau supranormal sehingga perfusi organ vital
Gangguan organ disebabkan kerusakan mikrosirkulasi dan diselamatkan.
syok, dan pada saat yang sama tingkat kerusakan tiap organ 4) Terapi penyulit yang timbul untuk mencegah kematian, se-
berbeda. Makin banyak organ yang terkena akan memperburuk perti ARDS, ARF, DIC.
keadaan(1). Kita berperan di daerah 1, 3 dan 4 sambil memberi kesem-
1) ARDS akibat low pressure lung oedema yang kaya protein, patan tubuh penderita menanggulangi sendiri proses kaskade.
dan relatif refrakter terhadap terapi oksigen. Pada daerah 2 ini kortikosteroid pernah dicobakan, tetapi saat
2) Stress ulcer. ini masih kontroversial. Di luar negeri sudah dimulai intervensi
3) Gagal ginjal akut. imunologik untuk memotong kaskade.
4) Gangguan faal hati.
5) Gangguan pada susunan saraf pusat. Kontrol stimulus
6) DIC Pemberian antibiotik empiris segera diberikan secara intra-
7) Hiperkatabolisme. vena dengan pedoman : gambaran Minis; bila ada juga berdasar-
kan pola kuman dan resistensi setempat. Bila ada hasil bakteri-
PENGELOLAAN ologik, bisa diganti dengan antibiotika yang sesuai. Dipikirkan
Setiap penderita sepsis harus segera diberi pengobatan yang tindakan drainage pus.
tepat, dan untuk syok septik sebaiknya dirawat di ICU. Pengenal-
an stadium dini secara klinis sangat penting. Kortiko steroid
Ada perbedaan pendapat mengenai pemakaian kortikoster-
I Diagnosis oid pada sepsis.
• Klinis: lihat kriteria 1) Kortikosteroid bisa digunakan pada stadium awal misalnya
• Foto toraks: Penilaian infeksi saluran napas bawah. pada sindrom sepsis. Diberikan jangka pendek, ada yang 2 hari
• Mikrobiologi: Sputum: Gram, kultur dan resistensi. Aspirat: dan ada yang dosis tunggal. Dosis 3 mg/kgbb diteruskan 1 mg/
kultur dan resistensi. kgbb setiap 8 jam.
Bahan diambil sebelum pemberian antibiotika. 2) Pendapat lain mengatakan obat ini hanya berguna bila di-
dapatkan insufisiensi adrenal.
II Monitoring
3) Dua studi besar telah dilaksanakan, ternyata tidak ada man-
Harus ketat terutama pada syok septik; secara klinis dengan
faatnya(7).
melihat tanda sindrom sepsis, syok septik.
1) Pemantauan hemodinamik/sirkulasi untuk melihat keefek- Terapi suportif
tifan sirkulasi ke jaringan. Parameter yang diperiksa: • Sirkulasi/Hemodinamik(9,10)
• Tekanan darah : manual atau tekanan intraarteri. 1) Pertama kali pemberian cairan untuk memperbaiki preload
• CVP atau MAWP untuk melihat preload. dengan pedoman CVP atau MAWP, menurut hukum Starling
• CO (Cardiac output) dengan termodilusi,CI (Cardiac index) ini akan meninggikan end diastolic volume dan akhirnya stroke
dihitung Co per m3 luas permukaan badan. volume meninggi; tetapi karena pada pnemoni integritas kapiler

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 17


paru rapuh, mudah terjadi edema. Ada peroedaan pendapat me- • Asidosis metabolik; pada saat ini banyak pendapat yang
ngenai jenis cairan yang digunakan, apakah koloid atau menganggap Na-bikarbonat tidak ada gunanya. Biba syok atau
kristaloid. perfusi jaringan bisa ditanggulangi maka asidosis akan hilang.
2) Bila dengan meninggikan preload masih hipotensi, maka
diberikan vasoaktif atau inotropik. Dicoba dopamin, dimulai TERAPI MASA DEPAN(7)
dosis rendah (5 mcg/kgbb/menit) dapat dinaikkan sampai 20 Bertujuan memotong proses kaskade sepsis. Masalahnya
mcg/kgbb/menit. Bila perlu kombinasi dopamin dosis rendah proses ini demikian rumit, dan tidak diketahui adanya mediator
dengan norephinephrine (0,5–5 mcg/kgbb/menit). Beberapa sentra sentral sehingga ada pendapat yang mengusulkan pemberian
memakai norephinephrine sejak awal. kombinasi (cocktail). Pemberian obat harus selektif; sebagai
Parameternya adalah CO, CI (di level supranormal), selain contoh: antibodi monokional untuk endotoksin hanya bisa untuk
tekanan darah. sepsis Gram negatif. Selain itu timing sangat penting dan me-
• Oksigenasi(2,10) merlukan pemeriksaan yang canggih mengenai mediator yang
Pemberian oksigen dengan mask, dengan parameter PaO2 sudah terlibat; selain terhadap endotoksin juga anti TNF sudah
dan SaO2 dan dengan dicapainya CO dan CI yang optimal banyak dicoba di luar negeri.
dengan perbaikan hemodinamik maka akan dicapai DO2 yang
optimal. RINGKASAN
Dalam hal oksigenasi ini perlu diperhatikan kadar Hb atau Telah dibahas patogenesis dan pengelolaan sepsis, sindrom
hematokrit supaya minimal Hb 10 g% dan Ht 30%. Juga di- sepsis dan syok septik yang juga dikaitkan dengan nidus infeksi
usahakan SaO2 di atas 90% dengan FiO2 sekecil mungkin. di paru (infeksi saluran nafas bawah).
Ada perbedaan pendapat mengenai pemasangan ventilator
dini pada syok septik, satu pihak setuju karena dengan mask tidak KEPUSTAKAAN
mungkin tercapai target DO2 yang optimal atau supranormal(2)
sedangkan pihak lain cenderung mencoba dulu dengan mask, 1. Bone RC. The Pathogenesis of Sepsis. Ann. intern. Med 1991; 115–469.
baru bila terjadi respiratory failure dan ARDS, ventilator segera 2. Fishman AP. Update: Pulmonary Diseases and Disorders. 2nd ed. New
dipasang. York: Mc Graw-Hill Inc. 1992.
3. Hall JB. Principles of Critical Care. New York: McGraw-Hill Inc. 1993.
• Nutrisi 4. PathlloJE, Pax*erM. Septic Shock in Human. Ann. Intern. Med 1990; 113:
Nutrisi penting dan berpengaruh terhadap prognosis, apalagi 227-42.
pada sepsis katabolisme meningkat. Sebaiknya diberikan pa- 5. Rackow BC, Astiz ME. Pathophysiology and Treatment of Septic Shock.
renteral bila ada ileus yang sering terjadi pada sepsis. JAMA 1991; 46–52.
6. Young Ls. Gram Negative Sepsis. in: Mandel. (ed). Principle and Practice
of Infectious Disease. New York, 1990. 611–635.
Terapi Penyu1it(9,10) 7. Bone RC. Sepsis and Septic Shock. Consultant Series in Infectious
• ARF : dicoba furosemid (forced diuresis) baru dianalisis Disease. 1992.
8. Geller Er. Shock and Resuscitation. New York: Mc Graw-Hill Inc. 1993.
• ARDS : restriksi cairan, concentrated salt poor albumin, 9. Schoemaker. Textbook of Critical Care. 2nd ed. Philadelphia: WB Saun-
ventilator. Kortikosteroid tidak berguna. ders. 1989.
• Stress Ulcer Berikan antagonis reseptor H2. 10. TB OH. Intensive Care Manual, 3rd ed. Sydney: Butterworths. 1990.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dasar Pengalihan Terapi Antibiotika


Intravena ke Oral pada Infeksi
Saluran Napas Bawah Akut
Zul Dahlan
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN dipakai.
Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA) yang ter- Dikenal farmakoekonomik (pharmacoeconomics) yaitu suatu
utama berupa pneumonia, baik pneumonia yang didapat di ma- usaha untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih
syarakat (PDDM) maupun pneumonia yang didapat di rumah rendah tetapi efektif (cost effective), dengan mengganti obat
sakit (PDRS), sering menyebabkan kesakitan dan kematian. hingga biaya berkurang namun tetap mendapatkan hasil klinik
Kebanyakan pasien PDDM tidak mencapai tingkat sakit yang baik. AB IV diupayakan agar dapat diganti lebih dini se-
yang memerlukan perawatan di RS, namun pada kelompok yang telah pemberian 3-5 hari tanpa terjadi penurunan keadaan pasien(4).
dirawat nginap terdapat mortalitas sebesar 10–25%. Pasien ini Pemberian obat IV pada masa lalu dirasakan lebih baik dari
umumnya berusia tua atau dengan dasar penyakit kronik seperti pada PO karena obat AB yang diberikan PO kurang baik ter-
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), DM, penyakit kardio- absorbsi. Pada saat tersedia AB baru dengahn daya mikroba yang
vaskuler. Kuman penyebab pada keadaan ini terutama berupa ampuh, penyerapan di usus yang baik, kadar serum yang tinggi
S. pneumoniae, H. influenzae, S. aureus, M. catarrhalis, K. dan akseptabilitas pasien yang menggembirakan. Obat-obatan
pneumonia dan Gram negatif lainnya. Di samping itu terdapat ini dapat diberikan sebagai obat pengganti untuk meneruskan
peningkatan infeksi oleh kuman penyebab yang menghasilkan terapi ABlY di RS bila dilakukan penghentian lebih dini (stream
B laktamase. Pada 50% kasus tak diketahui kuman penyebabnya lining)(2). Hal ini dimungkinkan bila terapi sudah efektif dan
walaupun telah dilakukan pemeriksaan yang intensif sampai saat infeksi teratasi dengan baik; dengan demikian dapat dibatasi atau
akhir perawatan(1). dihindani beberapa kerugian pemakalan obat IV. Penerapan cara
Pada pasien ISPBA tingkat sakit sedang sampai berat terapi streamlining AB ini di Hartford Hospital menghemat biaya pe-
antibiotika (AB) secara empirik yang efektif harus segera di- makaian AB sebesar US $ 1.5 juta/tahun(2).
mulai. Cara terapi standar pada pasien mdi RS adalah secara IV Pada makalah ini akan disampaikan prinsip dasar agar
selama 7-10 hari atau lebih lama lagi(1). Obat ini kemudian diganti maksud di atas tercapai dengan baik.
dengan bentuk oral (PO) pada tahap akhir perawatan(2).
Pada masa ini pembiayaan pelayanan kesehatan merupakan FARMAKOEKONOMIK DAN PERAMPINGAN PENG-
masalah universal yang dirasakan baik di negara berkembang GUNAAN ANTIBIOTIKA
maupun negara maju. Biaya penggunaan obat AB tinggi, antara Farmakoekonornik mérupakan metoda baru yang bertujuan
lain di Canada penjualan AB menempati urutan ke 2 sesudah obat untuk mencapai pengeluaran biaya yang efisien dan serendah
jantung sebesar Can $307 juta, dan di Vancouver Hospital 1991/ mungkin dengan mendapatkan hasil yang paling baik dalam
1992 adalah sebesar 31% dan total Can $ 10,5 juta(3). Harga AB merawat penderita (cost effective dengan best clinical outcome).
terutama obat intravena (IV) tinggi hingga memberatkan biaya Metoda ini tidak hanyaberhubungan dengan upaya mendapatkan
pengobatan. Namun untuk penyembuhan pasien obat ini harus biaya obat yang murah, tetapijuga berhubungan dengan efisiensi

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 19


peralatan, penyediaan dan Monitoring obat ataupun proses yang PenderitA(7).
berhubungan dengan pemberian obat-obatan(5).
Dasar llmiah Pengalihan Terapi(4)
Pemberian AB IV mempunyai tingkat efektifitas yang lebih
1) Konsep terbaru farmakodinamik obat antimikrobial
tinggi daripada PO namun menimbulkan berbagai masalah.
Konsep ini menjelaskan bahwa terapi AB golongan B Laktam
Pengalihan Pemakaian Antibiotika (PPA) dan bentuk IV ke PO,
akan baik bila time over MIC melebihi 50% interval waktu pem-
memberikan keuntungan:
berian dosis dan hasil akan baik bila kadar obat selalu berada di
A) Aspek medik:
atas MIC. Sedangkan untuk aminoglikosid atau kuinolon di-
• mengurangi risiko komplikasi RS termasuk thrombophie- perlukan kadar yang tinggi, hingga diberikan dengan dosis sekali
bitis v. profunda, emboli paru, depresi, efek samping obat, dan
sehari. Berdasarkan hal ini dapat ditentukan dosis dan frekuensi
infeksi nosokomial antara lain sepsis pada saluran IV.
pemberian AB PO yang dapat mempertahankan kadar serum di
• mengurangi risiko yang dijumpai pada cara penyediaan dan atas MIC selama jangka waktu terapi.
pemberian IV. 2) Tersedianya AB PO yang lebih unggul.
• Aspek non medik: Banyak AB baru yang memiliki aktifitas in vitro ampuh dan
• peningkatan kepatuhan dankepuasan pasien bioavailabilitas lebih baik daripada obat yang lama. Tingkat
• peningkatan efektifitas terapi (cost effective) absorbsi dan toleransinya lebih baik, spektrum yang lebih luas
• penurunan biaya obat. Pengalihan obat AB PE ke PO berarti dan aktifitas jaringan lebih tinggi. Namun bila mungkin pertim-
menurunkan biaya dari US $50/hari menjadi US $5/hari (ratio bangkan lebih dulu pemakaian obat lama kanena harganya lebih
8:1). murah. Tabel 1 memuat daftar AB yang dapat dipakai sebagai
• penurunan biaya RS; pemendekan hari perawatan/peng- penganti AB IV. Karena pada umumnya ISPBA tidak diketahui
gunaan sarana RS, dan pekerjaan pemberian obat Biaya kuman penyebab, maka obat AB PO pengganti sekurang-ku-
mengatasi infeksi nosokomial akibat pemberian IV ini di RS rangnya harus mempunyai spektrum yang sama dengan obat AB
Hartford berkisar sekitar US $4000 - 5000 pasien IV yang digantikannya. Jenis AB yang tersedia dalam bentuk IV
PPA dilakukan dengan mengganti AB yang mahal dengan dan PO merupakan obat yang dapat dipakai secara sekuensial.
AB yang lebih sederhana dan murah, terutama mengganti AB IV Tabel 1. Urutan Kuman Penyebab Tersering pada Pneumoni Bakteri(9)
dengan AB PO, tanpa mengurangi efektifitas terapi antimikroba
Street Street Staph Esch KI. Pse Ent Ent
dan obat yang diberikan sebelumnya; hal ini tidak selalu mudah Diagnosa
pne spp aureus coil pn our aer coc
Anaerob
misalnya bila diberikan terapi AB kombinasi. Konvensi ini tentu
lebih efisien bila obat IV diganti dengan obat PO yang sejenis 1. PPDM
* tipikal 4 – 3 1 1 1 – – –
(cara sequential). Istilah lain yang berhubungan dengan PPA * campuran 2 – 3 3 4 1 – – 1
adalah transitional, switching, stepdown. 2. PDRS
* ruangan 1 2 3 4 4 2 1 1 1
PRINSIP DASAR PENGALIHAN PENGGUNAAN ANTI- * ICU – 2 4 3 2 2 2 2 2
BIOTIKA
NB : besarnya angka menunjukkan tingginya frekuensi kejadian.
Tahap Periode Terapi Antibiotika
Dasar PPA antibiotika dapat dimengerti bila dilihat tahap 3) Bukti klinik dan pengalihan cara terapi IV tenhadap PO.
periode terapi AB pada pasien yang mendapatkan terapi anti- Banyak dilaporkan penelitian penggunaan berbagai AB PO
biotika intravena. baru di luar di RS, dari beberapa laporan pengalihan pemakaian
1) Tahap inisial AB IV pada bentuk PO di RS, khususnya cara sekuensial untuk
Pilihan AB berdasarkan kepada data epidemiologi, per- ciprofloxacin. Namun masih diperlukan bukti penelitian lainnya.
hitungan statistik, dan pengalaman. Terapi bersifat empirik dan
AB yang diberikan berspektrum luas. Pada saat ini tidak tepat METODA PENGALIHAN TERAPI
melakukan terapi PO atau terapi yang khusus terhadap kuman
tertentu karena penyebab tak diketahui. 1) Pemilihan pasien
2) Tahap kedua Pertimbangan untuk pemilihan pasien untuk PPA adalah:
Mungkin sudah didapat bukti klinis atau bakteriologis lokasi infeksi, kuman penyebab, beratnya infeksi, comorbidity,
yang menyokong pemberian AB IV spektrum sempit (narrow usia, respons klinik terhadap AB IV, dan fungsi penyerapan sa-
spectrum) atau PO. luran cerna(5).
3) Tahap ketiga Pada infeksi nosokomial kondisi pasien lebih berat dan
Pasien mungkin secara klinis sudah stabil. Sasaran tahap keadaan infeksi lebih kompleks, kanena itu pada saat ini PPA
ini adalah mempertahankan terapi yang efektif dan menyiapkan pada ISPBA bani dianjurkan pada PDDM. Pada pasien dapat
penderita untuk berobat jalan. AB PE jangka panjang atau PO dilakukan pengalihan dini obat IV menjadi PO secara aman bila
dapat diberikan pada saat ini(2). terdapat perbaikan klinik yang memadai. Hal ini dapat dilihat
Berbagai faktor harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi dari penurunan skor tingkat sakit (Lampiran 1).
kemungkinan pelaksanaan PPA yaitu kuman penyebab, aktifitas 2) Pemiihan antibiotika
serta bioavailabilitas AB PO, tingkat infeksi dan keadaan sakit Pemilihan obat PO pada PPA djdasarkan kepada farmako-

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Lampiran 1. Kriteria Penentuan Klasifikasi Tingkat Berat Sakit Infeksi Terapi empirik dapat dilaksanakan dengan membuat diag-
Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPBA)
nosis yang terarah sesuai patogenesis ISPBA dan algonitma pe-
Nilai / skor natalaksanaan PN (lihat kepustakaan no. 9). Diagnosis ini men-
cakup bentuk manifestasi ISPBA, tingkat berat sakit dan kemung-
1. Batuk 6. Ronkhi nyaring
sering/sangat menggangu 2 jelas sekali kinan kuman penyebab; dan hal ini kemudian dilaksanakan
agak mengganggu 1 cukup jelas terapi. Berdasarkan evaluasi lanjut ditetapkan penggantian atau
jarang/tak ada 0 minimal penyesuaian terapi, misalnya pelaksanaan PPA dan bentuk IV
2. Sputum 7. Gesekan pleura menjadi bentuk PO.
purulen 2 jelas mengganggu
Secara ringkas hal ini dapat dilihat pada Bagan 1.
mukopurulen 1 kadang–kadang
mukous 0 tak ada
3. Sesak nafas 8. Sianosis
sangat sesak/n.c. hidung 2 jelas sianosis
jelas sesak 1 ringan
agak sesak/tidak sesak 0 tak ada
4. Demam 9. Kesadaran
> 39°C 2 jalan menurun
38 – 39°C 1 agak apatis
<38°C 0 tak ada
5. Respirasi 10. Presyok/syok
32 x / menu 2 syok
24– 32 x / menu 1 presyok
<24 x / menu 0 tak ada

Indek : Jumlah skor > 15 : Berat, 5–15 : Sedang, < 5 : Ringan

kinetik dan keampuhan mikrobiologik obat terhadap kuman


penyebab. Pemberian PO tidak cocok pada pasien dengan sin-
drom malabsorbsi(1). PPA lebih sulit bila digunakan obat kom-
binasi (2 jenis AB atau lebih).
Dalam memilih jenis AB yang akan dipakai perlu dipertim-
bangkan berbagai faktor:
a) Faktor penderita
Yaitu urgensi/cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat
sakit dan keadaan umum/kesadaran, mekanisme imunologik,
umur, defisiensi genetiklorgan, kehamilan, alergi. Di samping
itu dapat diterima (acceptable) oleh penderita baik dari segi
biologis, misalnya kemampuan menelan, melarutkan dan me-
nyerap obat dari saluran cerna.
b) Faktor antibiotika
Keterbatasan keampuhan AB, karena tidak ada satu jenis
a) Bentuk manifestasi ISPBA
AB yang ampuh untuk semua jenis kuman. Karena itu penting
Bentuk manifestasi ISPBA berhubungan dengan tingkat
dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi AB(1).
berat sakit pasien dan kuman penyebab tertentu, meskipun bisa
c) Faktor ekonomis
saja suatu jenis kuman menjadi sebab infeksi pada semua bentuk
Harga harus terjangkau untuk dosis dan jangka waktu pe-
ISPBA. Bentuk pneumonia paling sering dijumpai dari berbagai
makaian yang adekuat.
kuman penyebabnya telah pernah diuraikan(9).
Kurang informasi mengenai pilihan AB serta dosis dan
b) Klasifikasi Tingkat Berat Sakit
kombinasinya, terutama yang berkaitan dengan obat-obat yang
Hal ini dihitung berdasarkan skor sebagaimana tercantum
lama. Pada prinsipnya pengalihan tidak boleh dilakukan bila di-
pada Lampiran 1. Skor < 5 Tingkat Sakit Ringan; 5–15 :
pertimbangkan efeknya akan menurun.
Tingkat Sakit Sedang; 15 : Tingkat Sakit Berat. Jumlah skor
untuk sakit berat mencerminkan adanya kemungkinan adanya
PENGALIHAN TERAPI PADA ISPBA
sepsis, atau keadaan kritis lainnya. Seperti diketahui sepsis atau
Prinsip terapi empirik pada ISPBA syok septik sebagian besar disebabkan oleh infeksi kuman
Dalam penggunaan AB secara rasional perlu diterapkan Gram (–), dan umumnya AB untuk Gram (–) adalah dalam ben-
pola berpikir PANCA TEPAT yaitu Diagnosis Tepat, pilihan AB tuk IV. Penderita tingkat sakit sedang dan berat mempunyai
yang Tepat, dan Dosis yang Tepat, dalam Jangka Waktu yang indikasi pemakaian AB IV.
Tepat, dan Pengertian Patogenesis penderita secara Tepat(8). Na- c) Kuman Penyebab ISPBA
mun pada umumnya situasi memaksakan perlunya terapi empirik Kuman penyebab ISPBA yang tersering, berbeda jenisnya
yang dini karena etiologi belum diketahui dari hasil bakteriologi. antar negara, dan antara satu daerah dengan daerah lain pada satu

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 21


negara; karena itu perlu diketahui epidemiologi kuman dengan lama antara lain perbaikan absorbsi, spektrum aktivitas yang
baiuk. Pada garis besarnya frekuensi kuman penyebab ISPBA lebih luas, toleransi yang lebih baik dan perbaikan aktifitas ja-
adalah seperti tampak pada Tabel 1. ringan.
Penelitian di RSHS menunjukkan semakin banyak pasien Tabel 2. Petunjuk umum saran pemakaian prototipe berbagai kelompok
antibiotika pada berbagai tingkat berat sakit ISPBA
ISPBA/pneumonia rawat nginap yang disertai penyakit kronik
Tingkat Beret Sakit
dan gangguan kesehatan lainnya hinggapola kumannya berubah. Jenis Antibiotika Kemasan
Ringan Sedang Beret
Pneumonia yang umumnya dalam bentuk tipikal oleh S. pneumo-
1. Tetracycline po/pe 2 1 –
nia, saat ini lebih sering dijumpai dalam bentuk yang tidak
2. Erythromycin po 2 1 –
tipikal/campuran(10). Namun pada umumnya kuman penyebab 3. Cotrimoxazole po/pe 2 1 –
adalah seperti dilaporkan pada Tabel 1. 4. Penicillin G pe 1 2 –
5. Amoksisilin po/pe 1 2 –
Pemilihan antibiotika 6. Amox. + clavulan po/pe l 2 –
Suatu bentuk manifestasi ISPBA dapat disebabkan oleh 7. Cloxacilline po/pe 1 2 1
berbagai jenis kuman penyebab; karena itu AB yang dipilih di- 8. Ticarcilline pe – 2 1
dasarkan kepada perkiraan kuman penyebab pada sesuatu bentuk 9. Sulbenicilline pe – 2 –
10. Cefaclor po 1 2 1
manifestasi ISPBA misalnya berupa pneumonia dan bukannya
11. Cefotiam pe – 2 –
bentuk ISPBA itu sendiri. Dipilih AB yang secara empirik telah 12. Cefuroxime po/pe 2 1 –
terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman 13. Cefixime po 1 2 2
(2) penyebab. ini diketahui dari data antibiogram mikrobiologi 14. Cefotaxime pe – 1 2
dalam 6–12 bulan terakhir(4). 15. Ceftazidime pe – 1 2
16. Cefsulodin pe – 1 2
Jenis antibiotika 17. Imipenem pe – 1 2
Pada Tabel 2 dapat dilihat kemasan IV atau PO yang ter- 18. Ciprofloxacin pe/pe – 1 2
19. Amikacin po – 1 2
sedia dan prototipe berbagai kelompok AB, serta saran pemakai 20. Chloramphenicol po/pe 2 1 0
annya pada berbagai keadaan tingkat berat sakit ISPBA. Sedang- 21. Thiamphenicol po 1 2 –
kan Tabel 3 menunjukkan daftar AB PO pengganti dalam pelak- 22. Clindamycine po/pe 1 2 –
sanaan PPA. Tercantum juga perkiraan bioavailabilitas, kadar 23. Metronidazole po/pe – 1 2
serum puncak dan aktifitas klinik terhadap berbagai kuman.
Banyak obat-obat yang baru ini mempunyai kelebihan dan yang Indikasi Pemakaian; 2 : Utama, 1 : sekunder.

Tabel 3. Antibiotika PO pada Terapi Pengalihan(1)


Aktifitas Antimikroba
Bioavai- C
Antibiotika Oral Strepto Klebsiela Enterokokus Pseudomonas
labilitas (µg/mi) MSSA H. influenzae E. coil Anaerob
kokus Spec lain aeruginosa
Ampicillin 500 mg/6 jam 30–50 4–6 4 – 3 3 – – – 2
Amoxicillin 500 mg/8 jam 60–89 7–10 4 – 3 3 – – – 2
Bacampicillin 800 mg 95 13–16 4 – 3 3 – – – 2
(556 mg ampicillin)/12 jam
Amoxicillin 500 mg/ 60–89 7–10 4 4 4 4 4 2 – 3
Clavulanic acid 125 mg/8 jam
Cloxacillin 500 mg/6 jam ~ 60–70 7–8 4 4 – – – – – –
Flucloxacillin 500 mg/6 jam ~ 60–80 11–15 4 4 – – – – –
Cephalexin 500/6 jam ~ 90 16–18 3 3 2 3 3 – – –
Cefadroxil 500 mg/12 jam ~ 90 10–18 3 3 2 3 3 – – –
Cefaclor 500 mg/6 jam ~ 90 14–17 4 4 4 4 4 – – –
Cefuroxime axetil 500 mg/12 jam 30–50 5–8 4 4 4 4 4 2 – –
l oxacarbef 400 mg/24 jam ~ 90 12–19 4 4 4 4 4 – – –
Cefixime 400 mg/24 jam 40–50 2.5–5.0 4 – 4 4 4 3 – –
Erithromycin 500 mg/6 jam 18–45 1–3 4 4 – – – – – –
Clarithromycin 500 mg/12 jam 55 2.5–3.0 4 4 3 – – – – –
Azithromycin 500/12–24 jam 37 0.45 4 4 3 – – – – –
Ciindamycin 300 mg/6 jam 75–90 4.5 4 4 – – – – – 4
Metronidazole 500 mg/12 jam ~ 90 10–11 – – – – – – – 4
Chloramphenicol 500 mg/6 jam 90 4–6 4 3 4 4 4 3 – 4
Cotrimo1 160 mg/800 mg/12 jam 85–90 2/40 3 3 4 4 4 3 – –
Norfloxacin 500 mg/12 jam 40–50 1.5–1.7 – – 4 4 4 4 3 –
Ciprofloxacin 500 mg/12 jam 70–85 2.6–2.9 – 2 4 4 4 4 4 –
Ofloxacin 400 mg/12 jam 95 5.6 – 3 4 4 4 4 4 –
Doxycyclin 200 mg/24 jam ~ 90 4 3 3 3 – – – – –

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Penisilin atau sefalosporin merupakan terapi empirik utama disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif.
pada PDDM yang biasanya tipikal dengan kuman penyebab • Kombinasi AB, yang dapat mencakup semua kuman yang
Streptococcus pneumonia. Bila PDDM mempunyai dasar penya- mungkin menjadi penyebabnya pada penderita PDDM dengan
kit paru kronik, pemilihan AB yang juga ampuh terhadap kuman infeksi yang lebih berat atau oleh kuman ganda. Bila perlu
Gram (–) seperti Klebsiella pneumonia perlu dipertimbangkan. diusahakan pula perbaikan penetrasi obat, misalnya drainage
Sefalosporin generasi 2 yang baru misalnya cefuroxime sputum pada bronkiektasis terinfeksi.
axetil memberikan keuntungan tambahan pengalihan terapi in
class dan kemasan IV dan secara konsisten aktif terhadap S. RINGKASAN
aureus, E. coli, Klebsiella spp, dan H. influenza daripada ceta- Pemakaian antibiotika N menjadi beban yang berat bagi
lexin. RS maupun pasien. Hal ini dapat diringankan bila bisa dilak-
Sefalosporin generasi 3 PO yang bare pada umumnya me- sanakan Pengalihan Pemakaian Antibiotika dan bentuk N ke PO
rupakan obat yang cocok dipakai untuk pengalihan PO pemakai- secara dini tanpa mengurangi efektifitas obat. Dengan adanya
an AB pada PDDM, mengingat spektrumnya yang luas yang AB PO bare yang mempunyai keunggulan dalam keampuhan-
umumnya mencakup kuman penyebab yang sering dijumpai(7). nya, bioavailabilitas dan kadar jaringannya maka hal ini dapat
Cefixime, cefpodoxime dan ceftibuten spektrumnya terhadap dicapai.
kuman Gram (–) lebih luas (selain Pseudomonas) tetapi aktifi- Pada ISPBA/pneumonia hal ini bisa dilaksanakan bila di-
tasnya terhadap S. aureus tidak mencukupi. AB ini disarankan jalankan terapi AB empink yang terarah dan rasional dengan
sebagai pengganti sefaloseporin generasi 3 IV selain terhadap menggunakan algoritma yang menerapkan pola berfikir (PANCA
psudomonas. TEPAT, yaitu Pengetahuan Patogenesis Yang Tepat, Diagnosis
Sefalosporin generasi 3 merupakan alternatif terhadap peng- Empinik Yang Tepat, pilihan AB yang Tepat, dan Dosis yang
gunaan aminoglikosida yang ampuh terhadap Gram (–) namun Tepat, dalam Jangka waktu yang Tepat. Dengan demikian dapat
bersifat nefrotoksik. Kelebihan Ceftazidime daripada lainnya diharapkan akan tercapai terapi yang cost effective dalam pera-
adalah aktifitasnya terhadap Pseudomonas. watan pasien (patient care) dan pelayanan kesehatan (health
Fluoroquinolone memberikan kelebihan yang jelas khusus- care) dengan mempertahankan hasil klinik yang terbaik. Ber-
nya pada pengobatan infeksi kuman Gram (–) yang serius. bagai alternatif penggunaan AB IV dan PO telah dihicarakan.
Cliprofloxacin dan ofloxacin harus dipertimbangkan sebagai
obat untuk pengalihan terapi terhadap pasien rawat nginap, KEPUSTAKAAN
menggantikan pemakaian terapi aminoglikosida jangka panjang.
Fokus penggunaan quinolone haruslah ditunjukkan kepada ku- 1. Chong-Jen You, Pan-Chyr Yang, Kwen-Tay Luh. Oral antibiotic switch
therapy for community-acquired pneumonia in adult patients: Experience
man Gram (–) untuk mengurangi tingkat induksi resistensi. in Taiwan. JAMA Southeast Asia (suppl.) Dec. 1994; 10(3): 309–312.
Ciprofloxacin setara dengan ceftazidime dan dapat digunakan 2. Nightingale C. Asian Medical News, May 1995: 16.
sebagai pengganti PO obat ini pada infeksi Gram (–) yang serius, 3. Frighetto L, Martinusen SM, Mamdani F, Jewesson PJ. Ciprofloxacin use
atau sebagai kombinasi pada infeksi Pseudomonas yang me- underareserved drug and stepdown promotion program. Can 3 Hosp Pharm
1995; 48: 35-42.
merlukan obat kombinasi(4). Nightingale dkk (1995) mendapat- 4. Louie TJ. Intravenous to oral stepdown antibiotic therapy: another cost-
kan adanya like to like phenomenon yang menunjukkan adanya effective strategy in an era of shrinking health care dollars. Can J Infect
kecenderungan penggantian yang lebih awal AB IV kepada AB Dis 1994; 5 (Suppl C): 45C–50C
PO bila digunakan obat monoterapi (sequential), misalnya 5. Hendrickson JR. Pharmacoeconomic Applications: SHortened and
Transitional Therapies. 19th Internatl Congr of Chemotherapy, July 16–21,
ciprofloxacin(2). 1995, Montreal, Quebec. Canada. Can J Infect Dis 1995; 6 (Suppl. C):
Perlu diingat bahwa pada penggunaan PO terdapat risiko 0054.
penurunan bioavailabilitas dan onset kerja yang lebih lambat(3). 6. Vogel F. Transitional parenteral to oral therapy. 19th Internatl Congr of
Hasil pengalihan dan peningkatan waktu pemberian terapi Chemotherapy, July 16–21, 1995. Montreal, Quebec, Canada. Can J Infect
Dis 1995; 6 (Suppl. C): Abs. 0053.
IV ke PO dalam usaha mendapatkan terapi yang cost effective 7. Panpit Suwangool, Terapong Tantawichien. Guidelines for swiching from
harus dievaluasi lebih lanjut dengan mempertimbangkan hal-hal parenteral to oral therapy. 4th Western Pacific Congr on Chemotherapy
berikut: resolusi infeksi, lama terapi, lama rawat nginap, frekuensi and Infectious Diseases. JAMA Southeast Asia (suppl.) Dec. 1994; 10(3):
visitasi dokter, efek samping, interaksi obat, komplikasi IV, ke- 307–308.
8. Hendro Wahjono. Penggunaan antibiotika secara rasional pada penyakit
puasan pasien dan tingkat reinfeksi(6). infeksi. Medika 1994; 2: 42–7.
9. ES Soemantri, Zul Dahlan. Buku Pedoman Pengelolaan dan Penelitian
Piihan antibiotika lnfeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi, Bagian/
Dapat berupa: UPF IP Dalam FK UNPADIRS Hasan Sadikin, Bandung, 1992.
10. Zul Dahlan. Kumpulan Naskah Lengkap Pertemuan Berkala Ilmiah dan
• AB tunggal, yang paling cocok diberikan pada penderita Organisasi Perkumpulan Respirologi Indonesia. Bandung, 2–4 September
PDDM yang asalnya sehat dan gambaran kliniknya sugestif 1994.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Kandidiasis Paru
Hamdi S.
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN ETIOLOGI
Infeksi jamur dewasa ini semakin sering terjadi seiring Sel jamur kandida berbentuk bulat, lonjong, dengan ukuran
dengan meningkatnya penggunaan antibiotika berspektrum luas, 2–5µ x 3–6 µ hingga 2–5 µ x 5–28,5 µ Spesies-spesies kandida
steroid, obat-obat sitostatika, penyakit kronik, keganasan, bayi- dapat dibedakan berdasarkan kemampuan fermentasi dan asimi-
bayi dengan berat badan lahir rendah dan penderita-penderita lasi terhadap larutan glukosa, maltosa, sakarosa, galaktosa dan
dengan penurunan daya tahan tubuh(1-5).Antara tahun 1980–1990 Iaktosa. Jamur kandida dapat hidup sebagai saprofit tanpa me-
dari data rumah sakit di Amerika Serikat yang melakukan sur- nyebabkan kelainan apapun di dalam berbagai alat tubuh baik
veillance terhadap patogen nosokomial didapati 7,9% (22,200 manusia maupun hewan(2,11).
kasus) disebabkan oleh infeksi jamur, sekitar 79% infeksi jamur Kandida albikan merupakan spesies jamur kandida yang pa-
ini disebabkan oleh spesies ka dida(6).Sekitar 8,8% bayi prematur ling sering menyebabkan kandidiasis pada manusia, baik kandi-
(berat kurang dari 1500 gram) yang dirawat di NICU, Universitas diasis superfisialis maupun sistemik(2,11). Pada media agar khusus
Gottingen, dan pemeriksaan mukokutaneus didapati adanya ko- akan terlihat struktur hyphae, pseudohyphae dan ragi(8,11).
toni jamur kandida(7).
Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita PATOGENESIS
immunokompromi yaitu infeksi kandida(5-8). Jamur kandida me- Kandida albikan merupakan flora normal rongga mulut, sa-
rupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencerna- luran cerna dan vagina pada sekitar 80% individu normal(2,12)
an dan vagina, bersifat invasif/patogen bila daya tahan host dan hanya menginvasi penderita dengan imunokompromi atau
(pejamu) terganggu(2,4,6,8-10). Infeksi jamur ini umumnya terjadi keadaan netropenia yang 1ama(2,9,12). Faktor predisposisi ter-
di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ- jadinya infeksi kandidiasis sistemik dapat dilihat pada Tabel 1(2).
organ lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung, Kandidiasis paru dapat disebabkan oleh invasi langsung
mata, otak dan paru(1,2,4,11). Walaupun kasus infeksi nosokomial infeksi pada sistem bronkopulmoner atau yang tersering terjadi
oleh jamur semakin banyak, tetapi laporan mengenai infeksi secara endogen karenajamur telah ada di dalam tubuh penderita
jamur di paru baik primer maupun sekunder masih jarang di- terutama di usus, selanjutnya mengadakan invasi ke alat-alat
temui(8,11).Pada kandidiasis paru sekunder, di Indonesia, penyakit dalam di seluruh tubuh melalui aliran darah(2,4,9). Castellani pada
primer yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan awal abad ke-20 telah mempelajari bronkitis oleh kandida pada
paru(11). pemilih daun teh di Srilangka. Pemilih daun teh tersebut men-
Diagnosis dan terapi kandidiasis sampai saat ini masih meru- dapatkan penyakit oleh karena mereka setiap hari harus mencium
pakan tantangan besar bagi para klinisi, karena umumnya pasien daun teh yang telah disimpan di dalam gudang, untuk melakukan
datang dengan gejala-gejala yang tidak spesifik(2). seleksi apakah daun masih baik atau tidak; dengan cara itu spora
Tujuan tulisan ini yaitu untuk mengingatkan kembali pato- jamur yang terdapat pada daun teh terhirup dalam jumlah besar
genesis, diagnosis dan tata laksana kandidiasis paru. secara berulang(11).
Perkembangan penyakit disebabkan kandida ditentukan oleh
DEFINISI interaksi yang kompleks antara patogenisitas internal organisme
Kandidiasis (moniliasis, kandidosis) yaitu infeksi yang dise- tersebut dan mekanisme pertahanan pejamu(2,11).
babkan oleh jamur kandida baik primer maupun sekunder ter- Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan selama in-
hadap penyakit lain yang telah ada(11). feksi kandida merupakan proses yang kompleks dan belum selu-

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Tabel 1. Faktor predisposisi terhadap infeksi kandida(2) Percobaan-percobaan yang dilakukan pada binatang, me-
Faktor mekanik
nunjukkan antar spesies-spesies kandida mempunyai kemampu-
Trauma (luka bakar, abrasi, dll) an yang berbeda untuk menimbulkan infeksi., Ray dkk (dikutip
Okiusi lokal, kelembaban dan atau maserasi dari 2) pada penelitiannya menemukan hanya kandida albikan
Faktor nutrisi dan kandida stellatoidea yang dapat menimbulkan reaksi pe-
Avitarninosis
Defisiensi besi (kandidiasis mukokutaneus kronik)
radangan dan dapat menembus stratum korneum yang ditanam-
Malnutrisi kan pada epidermis yang telah dibuat keadaannya menjadi lisis.
Perubahan-perubahan fisiologis Faktor lain yang turut mengawali terjadinya infeksi yaitu
Usia tua kemampuan organisme tersebut untuk melekat pada sel-sel
Kehamilan
Menstruasi
epitelial dan selanjutnya mengadakan invasi(2,6). Mekanisme pasti
Penyakit sistemik terjadinya invasi masih belum diketahui seluruhnya, diperkirakan
Sindroma Down, Acrodermatitis enteropathica karena pengaruh pengeluaran enzim-enzim keratinolitik atau
Diabetes melitus dan beberapa penyakit endokrinopati lain enzim-enzim proteolitik spesifik dan masing-masing strain
Uremia, keganasan (hematologi, timoma)
Keadaan imunodefisiensi intrinsik (DiGeorge’s syndrome dll)
kandida Secara ultrastruktur, terlihat pseudohifa mengadakan
Penyebab-penyebab iatrogenik penetrasi intraseluler ke dalam korneosit pada lesi-lesi kandida,
Tindakan yang melemahkan daya tahan (pemakaian kateter, intra juga terlihat rongga-rongga terang di sekitar organisme yang me-
vena) nunjukkan adanya proses lisis jaringan epitelial(11).
Penyinaran sinar-x, obat-obatan, kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresif
Antibiotik (terutama dengan spektrum luas, metronidazole) GEJALA DAN TANDA
Trankuiliser Kandidiasis paru biasanya terjadi sekunder terhadap pe-
Kontrasepsi oral (terutama estrogen dominan) nyakit lain dalam stadium lanjut(2). Gejalanya menyerupai
Coichicine, phenilbutason
penyakit paru oleh sebab lain, yaitu suhu tubuh meninggi, nyeri
dada, sesak napas, batuk dengan dahak sangat kental dan dapat
ruhnya dimengerti. Diperkirakan faktor imun dan non-imun turut tercampur darah(2,8,9). Kelainan menyerupai bronkopneumoni de-
berperan di sini(2,4,9,11-13). ngan lekositosis sering pula dijumpai(2,14). Kandidiasis paru ini
Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur dapat disertai dengan kandidiasis mukokutaneus atau kandidiasis
yaitu respon imun humoral dan seluler(2,11). Faktor imun seluler alat-alat dalam tubuh lainnya(6).
diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Bukti-
bukti ini didapat dan pengalaman pada kandidiasis muko- DIAGNOSIS
kutaneus kronik dan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh
Virus), adanya defek imunitas seluler tersebut menyebabkan kan- karena sebagian besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan
didiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas humo- sering sekali seperti gejala flu biasa atau infeksi paru oleh sebab
ral normal atau sedikit meningkat(2). Pada individu normal dapat lain(1,2,9). Permasalahan lain dalam mendiagnosis infeksi oleh
juga dijumpai sedikit peningkatan titer produksi antibodi serum jamur yaitu kita harus dapat menentukan apakah jamur tersebut
terhadap antigen glikoprotein dinding sel utama kandida(2). hanya bersifat koloni atau telah terjadi infeksi/patogenik(14,15).
Faktor non-imun yang berperan antara lain : (1) Interaksi Hal ini perlu dipastikan oleh karena pengobatan dengan antijamur
dengan flora-flora mikrobial lain, (2) Integritas stratum korneum, dapat menimbulkan beberapa efek toksik(2,14), sehingga sedapat
(3) Proses deskuamasi karena proliferasi epidermis oleh adanya mungkin dibuat sediaan biopsi jaringan dan kultur untuk kon-
peradangan, (4) Opsonisasi dan fagositosis, (5) Faktor-faktor firmasi diagnosis(4,8,9,12). Pada sediaan jaringan, jamur dapat di-
serum lain. Flora mikrobial normal merupakan mekanisme temukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa(8).
protektif untuk pejamu, karena flora ini mengadakan kompetisi Kecungaan adanya kandidiasis paru perlu dipertimbangkan
dengan kandida untuk mendapatkan makanan dan tempat per- bila dijumpai pneumonia yang tidak sembuh dengan pengobatan
lekatan pada epitelial dan juga flora ini dapat menghasilkan yang umum atau pada penderita-penderita imunokompromi(5,14).
produk-produk toksik terhadap jamur. Kulit yang intact dengan Kandidiasis paru ini dapat dengan atau tanpa kandidiasis oral
proses regenerasi dan lipid permukaannya merupakan barier yang atau kandidiasis di tempat lain, bila hal ini didapati maka akan
efektif terhadap kandida. Ketika terjadi infeksi di kulit, maka lebih menyokong ke arah diagnosis(8,10).
kulit yang sakit tersebut akan meningkatkan proses deskuamasi- Lesi kandidiasis paru secara radiologi umumnya memberi-
nya, hal ini membantu menyingkirkan organisme penyebab pe- kan gambaran berupa bronkopneumonia, tetapi dapat pula mem-
nyakit(2). berikan gambaran berupa infiltrat bulat seperti cotton ball, singel
Penderita-penderita dengan netropenia yang berlangsung atau multipel, gambanam atau abses pan’ (Gambar 1 dan
lama sering pula terinfeksi jamur ini, ternyata pada percobaan 2)(2,6,15). Didapatinya jamur kandida di dalam sputum bukan diag-
in vitro terlihat sel-sel netrofil ini dapat membunuh sel ragi nostik pasti, karena hal ini dapat terjadi juga pada pasien nor-
kandida dan merusak segmen-segmen pseudohifa, sehingga di- mal(9,16).
perkirakan netrofil ini berperanan dalam mekanisme pertahanan Kultur kandida dan darah menunjukkan hasil-hasil yang
tubuh terhadap jamur ini(4,9). tidak memuaskan. Pada penderita dengan gambaran klinis cukup

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 25


jelas ternyata sering menunjukkan kultur darah yang negatif dan koreksi faktor-faktor predisposisi yang ada(2). Obat-obatan yang
hampir 50% pasien dengan kandidiasis luas yang diotopsi tidak dapat digunakan antara lain yaitu: amfoterisin-B, obat ini
pernah menghasilkan kultur darah yang positif sebelum me- termasuk golongan antibiotik polyene(18,19). Obat ini tidak dapat
ninggal. Tes-tes serologi terhadap antibodi dan antigen kandida diberikan secara oral, harus diberikan secara intravena(18). Dosis
menunjukkan hasil sensitifitas yang rendah dan kurang bermakna yang dapat diberikan antara 0,3–I mg/kgBB/hari dibagi dalam
untuk menetapkan suatu diagnosis(8,17). 6 dosis(18). Obat ini sering menimbulkan efek samping antara
lain : toksik terhadap ginjal, sering menimbulkan demam, mun-
tah-muntah, takikardi ventrikel, kadang-kadang hipokalemi dan
anemi(18). Lama terapi bervariasi tergantung respon klinik pen-
derita dan umumnya antara 6–12 minggu(19).
Obat lain yang dapat digunakan yaitu flucytosine atau 5-
fluorocytosine, yaitu suatu derivat pirimidin, pada awalnya obat
ini digunakan untuk kemoterapi kanker(18). Oleh karena obat ini
selain menimbulkan efek toksik terhadap fungsi ginjal, hati,
sumsum tulang dan kadang-kadang menyebabkan muntah-
muntah dan diare serta cepat menimbulkan resistensi maka obat
ini tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan tunggal, obat ini hanya
diberikan dengan kombinasi amfoterisin-B(18). Kombinasi
amfoterisin-B dengan flucytosin mempunyai sifat sinergistik,
lebih efektif daripada pemberian masing-masing obat dan dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi. Dosis kombinasi
yang dapat diberikan yaitu amfoterisin-B 0,25–0,5 mg/kgBB/
hari secara intravena dan flucytosine 150 mg/kgBB/hari peroral
dibagi 4 dosis(9,13,18,19).
Suatu obat baru, fluconazole, dikatakan mempunyai aktifitas
anti kandida(9,20).Keuntungan obat ini antata lain: dapat diberikan
secara oral dan intravena, ikatan dengan protein plasma minimal,
konsentrasinya tinggi di dalam plasma, urin, saliva, sputum, cair-
an serebrospinal dan cairan vagina(20). Beberapa kepustakaan
menyebutkan pada penelitian-penelitian awal yang dilakukan,
fluconazole sama efektifnya dengan pemberian kombinasi
amfoteris in-B dengan flucytosine dan aman untuk anak-anak
di atas usia 3 tahun dengan dosis 3–6 mg/kgbb/hari dosis tunggal,
tetapi penelitian-penelitian yang lebih luas masih perlu dilaku
kan(12,13,20).

PROGNOSIS
Kandidiasis sistemik biasanya sekunder terhadap penyakit
lainnya, bila penyakit yang mendasarinya dapat diatasi umumnya
memberikan prognosis yang baik sedangkan sistem pertahanan
tubuh yang rendah sering menyebabkan kegagalan terapi(3).
Rekurensi jarang ditemukan bila sistim imunitas pejamu telah
membaik dan penyakit yang mendasarinya telah diatasi(3,4,21).

PENUTUP
Dari uraian di atas beberapa hal yang dapat diambil disim-
pulkan antara lain :
1) Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena
penyakit ini dapat menyerupai segala macam penyakit paru lain.
2) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan
biopsi dan kultur jaringan dan tempat lesi.
3) Dalam pengobatan kandidiasis paru selain pemberian obat
PENGOBATAN antijamur, perlu dicari dan diatasi faktor predisposisi timbulnya
Aspek terpenting dalam pengobatan kandidiasis adalah meng- penyakit tersebut.

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


10. Lange S. Stark P. Radiology of chest diseases. New Yor: Thieme Med.
KEPUSTAKAAN 1990; 78-9.
11. Suprihatin SD. Kandida dan kandidiasis pada manusia. Jakarta: Balm
1. Mangunnegoro H, Suryatenggara W. Infeksi nosokomial oleh jamur pada Penerbit FKUI, 1982; 3-22.
paru. Dalam: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A. Mulawarman A, Swidar- 12. Rivera MP, Jules-Elysee KM, Stover DE. Immunocompromised patients:
moko B, penyunting. Pulmonologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, nontransplant chemotherapy immunosuppression. Dalam: Niederman MS.
1992; 109-11. Sarosi GA, Glasroth J, penyunting. Respiratory infections, a scientific
2. Martin AG, Kobayashi Os. Yeast infections: Candidiasis, Pityriasis (tinea) basis for management. Philadelphia: WB Saunders, 1994; 168-70.
versicolor. Dalam: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Woift K, Freedberg IM, 13. Pizzo PA, Walsh TJ. Fungal infections in the pediatric cancer patient
Austen KF, penyunting. Dermatology in general medicine; edisi ke-4. New (abstract). Semin-Oncol 1990; 17: 6-9.
York: McGraw-Hill, 1993; 2452-65. 14. Schiffrnan RL, Johnson TS, Weinberger SE, Weiss ST. Schwartz A. Can-
3. DeMuri OP. Hostetter MK. Resistance to antifungal agents. Ped Clin N dida lung abscess: successful treatment with Amphotericin B and 5-
Am 1995; 42: 665-81. Flucytosine. Am Rev Respir Dis 1982; 125: 766-8.
4. Hollander H. Infectious diseases: mycotic. Dalam: Tierney LM, McPhee 15. Linder J, Rennard SL. Bronchoalveolar lavage. Chicago: ASCP Press,
SJ, Papadakis MA, penyunting. Current medical diagnosis & treatment; 1988; 78-81.
edisi ke-34. Connecticut: Prentice-Hall International, 1995; 1276-7. 16. Murray PR, Scoy REV, Roberts GD. Should yeast in respiratory secre-
5. Tampubolon OE. lnfeksi jamur di l.C.U. Disampaikan pada simposium tions be identified?. Mayo Clin Proc 1977; 52: 42-5.
infeksi jamur sistemik, Jakarta, 4 Juli, 1995. 17. Bennet JE. Candidiasis. Dalam: Isselbacher Ki, Braunweld E, Wilson JD,
6. Edward JE. Invasive candida infections: evolution of a fungal pathogen. N Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, penyunting. Harrison’s Principle of
EngI J Med 1991; 324: 1060-2. internal medicine; edisi ke-13. New York: McGraw-Hill, 1994; 860-1.
7. Harms K, Herting E, Schiffman JH, Speer CP. Candida infections in pre- 18. Cauwenbergh 0. Current drugs for the treatment of deep fungal infections.
mature infants weighing less than 1,500 g. Mucocutaneous colonization Presented at the 3rd Western Pacific Congress on chemotherapy and
and incidence of systemic infections (abstract). Monatsschr-Kinderheilkd infectious diseases, Bali, June, 1992.
1992; 140: 633-8. l9. Bennet JE. Antifungal agents. Dalam: Goodman and Oilman, penyunting.
8. Edwards JE. Opportunistic fungal infections. Dalam: Kelly WN, pe- The pharmacological basis of therapeutics; edisi ke-8. New York:
nyunting. Textbook of internal medicine; edisi ke-2. Philadelphia: JB McGraw-Hill, 1993; 1165-70.
Lippincott, 1992; 1458-9. 20. Grant SM, Clissold SP. Fluconazole: A review of its pharmacodynamic
9. Hughes WT. Pneumonia in the immunosuppressed host. Dalam: Human and pharmacokinetic properties and therapeutic potential in superficial and
BC, penyunting. Pediatric respiratory disease, diagnosis and treatment. systemic mycoses. Drugs 1990; 39: 877-9 12.
Philadelphia: WB Saunders, 1993; 296-303. 21. Daries SF. Fungal pneumonia. Med Clin N Am 1994; 78: 1049-51.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 27


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penatalaksanaan Penyakit Paru


Obstruksi
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru RSUP Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma


Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru sangat kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus
yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi merupakan faktor utama(1,2).
saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara lain Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui
adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi
dan sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok
memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap
mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
penyakit. Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
buruk terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksi- merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi
genisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi
infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya. menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini ter-
Pemberian bronkodilator yang bertujuan mengatasi obstruksi ganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan intersititial alveo-
yang terjadi, merupakan suatu tindakan yang bersifat simptoma lus(3,4).
tis, karena pengobatan ini tidak mengobati etiologi obstruksi; Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap
walaupun demikian pengobatan ini perlu dilakukan untuk meng- pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga
atasi gejala serta menghindari perburukan penyakit dan kom- menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi
plikasi. mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa me-
Terdapat berbagai golongan bronkodilator dan cara pem- ningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Ke-
berian yang berbeda. Pemilihan bronkodilator yang tepat dan adaan ini dit dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan
cara pemberian yang akurat perlu dilakukan agar diperoleh efek gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang ber-
pengobatan yang optimal dengan efek samping yang minimal. lebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan
MEKANISME OBSTRUKSI SALURAN NAPAS akibat terjadi hipersekresi(5). Bila iritasi dan oksidasi di saluran
Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pemben-
dari empat unsur, yaitu(1) : tukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa
1. Hipertrofi otot polos bronkus dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis
2. Peningkatan sekresi muk ke dalam lumen bronkus dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel(6,7).
3. Edema mukosa bronkus Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal
4. Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada din- alveoli yang permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis
ding saluran napas dan lumen. emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi kronik

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


(PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema sentri-aci- 2) Menghindani rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.
nar(6,7,8). Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk
dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permuka- perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di sam-
an alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic ping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari,
recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memper-
sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer buruk perjalanan penyakit.
acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok 3) Menghindan infeksi
dan penyakit saluran napas perifer(8). Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh ka-
Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme rena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
obstruksi terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat 4) Lingkungan sehat
penyakit tuberkulosis(9). Timbulnya fibrosis mengakibatkan Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau
saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi dingin dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi sa-
karena proses fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran luran napas. Tempat ketinggian dengan kadar oksigen rendah
dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada penyakit ini. dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada penderita
PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat
TUJUAN PENATALAKSANAAN diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan di permukaan laut.
untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi 5) Mencukupkan kebutuhan cairan
seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah
kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian
menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar kemungkinan ter-
kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasar- jadinya kelebihan cairan.
dasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah(10) : 6) Nutrien yang cukup
1) Usaha mencegah perburukan penyakit Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh
2) Mobilisasi lendir karena penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak
3) Mengatasi bronkospasme napas, dan pemakaian obat-obatan yang menimbulkan rasa mual.
4) Memberantas infeksi
5) Penanganan terhadap komplikasi PEMBERIAN OBAT-OBATAN
6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.
1) Bronkodilator
Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi
akut memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau
yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga risiko mengurangi obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit
komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu go-
mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan longan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan
SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda
perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan dalam mengatasi obstruksi saluran napas.
faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik
penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal. hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta
Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai dalam otot polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2.
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor
PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya(11). beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi
Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum ter- penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
diri dari(12) : bronkodilatasi(13).
I. Penatalaksanaan umum Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui
II. Pemberian obat-obatan nervus vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai
III. Terapi oksigen komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang
IV. Rehabilitasi pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah
asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin
PENATALAKSANAAN UMUM adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat me-
Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah(12) : nimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bron-
1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga. kodilatasi(13).
Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator me-
berat penyakit, faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaser- lalui mekanisme yang belum diketahui dengan jelas. Beberapa
basi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Perlu peran- mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator,
an aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan. adalah(13) :

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 29


• Blokade reseptor adenosin efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat di
• Rangsangan pelepasan katekolamin endogen turunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit(15,17,18).
• Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak di-
• Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos rekomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan
dan penghambatan penglepasan mediator dan sel mast. golongan agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik
Pada gambar 1 dapat dilihat skema cara kerja obat-obat bron- dapat meningkatkan efek bronkodilatasi(19). Pada asma kronik
kodilator untuk menimbulkan bronkodilatasi. antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade
Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari
efedrin selain memberikan efek bronkodilatasi juga menimbul- gonis beta-2 tapi penambahan obat ini memberikan efek tam-
kan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif bahan terutama pada penderita asma yang lebih tua(20).
terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih
agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbu- rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam
talin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfi-
samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara sema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xanthin
inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung,
menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin.
berkurang(13-15). Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membu-
diberikan. Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengu- tuhkan pemantauan yang ketat(15).
rangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjur
lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis kan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan
2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1(16). yaitu(21,22) :
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan • Obat bekerja langsung pada saluran napas
bronkodilator utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi • Onset kerja yang cepat
saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh kom- • Dosis obat yang kecil
ponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan • Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam
bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan darah rendah.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


• Membantu mobilisasi lendir. Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan pada asma maupun PPOK memberikan perbaikan penyakit
inhalasi dosis terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler, yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama beberapa
dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari,
adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat kemudian diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian
mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa turun ber-
dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin tahap(12,28). Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pem-
obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan berian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi
bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis ter- paru dari gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama
ukur. memperlambat progresivitas penyakit(29,30,31).
Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan
nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru
TERAPI OKSIGEN
yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg
poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita
pemberian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara
PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan per-
terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot,
baikan subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak ber-
toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetus-
makna(23).
kan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu
saat adanya infeksi saluran napas(12,26).
dicoba, meskipun tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin
selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan secara
merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan(12,26).
objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk
Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekom-
meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator pensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breath-
tetap diindikasikan pada suatu serangan akut(12). Pemberian
ing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan
bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan
atelektasis(12).
dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal
dengan efek samping yang minimal(15).
REHABILITASI
2) Ekspektorans dan mukolitik Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi
Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret,
psikis dan pekerjaan. Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak
tetapi pada beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu di-
dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang opti-
lakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti
mal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan
kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan
relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural
sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping
dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk me-
itu obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat nenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan
mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas
akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan
dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan
untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai
mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi metil sistein dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini ber-
diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat
tujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan
mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi
aktivitas yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan pende-
saluran napas dan kerusakan yang disebabkan oleh oksi- rita(12,15,26).
dans(4,12,24,25).
3) Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru PENUTUP
obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus pa- Penyakit paru obstruksi saluran napas yang sering didapat-
ling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. kan adalah asma bronkial, PPOK dan SOPT. Mekanisme terjadi
Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin obstruksi saluran napas berbeda pada tiap penyakit.
memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu Penatalaksanaan bertujuan mengatasi dan menghilangkan
dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat obstruksi, mempertahankan bronkodilatasi dan mencegah atau
mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna mengurangi perburukan penyakit.
sputum dapat merupakan indikasi infeksi bakteri. Antibiotika Bronkodilator merupakan obat utama pada penatalaksanaan
yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin penyakit. Obat yang teri bronkodilator ini adalah golongan
dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apa- simpatoinimetik, antikolinergik dan xanthin. Pemberian obat
bila antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu di- secara inhalasi merupakan pilihan karena mempunyai beberapa
lakukan pemeriksaan mikroorganisme(12,26,27). keuntungan. Pemberian bronkodil ator secara kombinasi mem-
berikan efek yang lebih baik kanena bronkodilatasi yang terjadi
4) Kortikosteroid lebih besar dan efek samping obat lebih rendah.
Obat antibiotika diberikan pada infeksi atas indikasi dan 15. Cochrane GM, Prior 1G. The role of bronchodilator in the management of
chronic bronchitis and emphysema. In: Bronchodilator therapy. ed. Clark
dipakai secara tepat. Kortikosteroid bermanfaat pada keadaan TJH. Auckland: Adis Press Limited 1984: 188–202.
eksaserbasi dan pemberian secara inhalasi memperbaiki per- 16. Yulino Amrie, Faisal Yunus, Hadiarto Mangunnegoro. Perbandingan efek
jalanan penyakit. Pemberian kortikosteroid inhalasi jangka lama klinik salbutamol lepas lambat 4mg dan 8 mg pada penderita asma
mengurangi progresivitas penyakit. bronkial. Paru 1992; 12: 27–35.
17. Handergen JJ, Bone RC. The role of anticholinergic drugs in chronic
Terapi oksigen pada penderita hipoksemi dapat memper- obstruktive airway disease. ed. Gross NJ. London: Franklin Scient Publ
baiki perjalanan penyakit. Tindakan rehabilitasi yang meliputi 1993: 128–44.
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan bertujuan meng- 18. Gross NJ. Manfaat that antikolinergik pada pengobatan penyakit pare
optimalisasi kemampuan dan aktivitas penderita. obstniktif menahun. Dalam: Penyakit Pare Obstruktif Menahun. Jakarta:
Penethit FKUI 1989 : 45–50.
KEPUSTAKAAN 19. Ward MJ. The role of anticholinergic drugs in acute asthma. In: Anticho
linergic therapy in obstructive airways disease. ed. Gross NJ. London:
1. Holgate ST. Bronchoconstriction. In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark Franklin Scient PubI 1993: 155–62.
Till. Auckland: Adis Press Limited, 1984: 1–16. 20. Woltstenholme RJ. The role of anticholinergic drugs in chronic asthma. In:
2. Dalil R. Pathophysiology of bronchial asthma, ed. Gross NJ. London: Anticholinergic therapy in obstructive airways disease. London: Franklin
Franklin Scient PubI 1993 : 81–7. Scient PubI 1993: 163–8.
3. Cantin A, Crystal RG. Oxidants, Antioxidant and the pathogenesis of 21. Simonsson BG. Anatomical and pathophysiological considerations in
emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66: 7–12. aerosol therapy. Eur J Respir Dis Suppl 1952; 119: 7–14.
4. Flenley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do) ? Bull Eur 22. Newhouse MT. Principles of aerosol therapy. Chest 1982; 82 suppl : 39 S
Physiopatol Respir 1987; 23: 279–85. – 41 S.
5. Cherniack RM, Cherniack L. Airway disease. In: Respiration in Health and 23. Faisal Yunus. Prinsip dasar dan peranan terapi inhalasi. Medika 1992; 18:
Disease. Philadelphia: WB Saunders Co. 1983 : 269–98. 25–31.
6. Bates PV. Chronic bronchitis and emphysema. In: The Lung in Transition 24. Amstrong M. Double blind cross over trial (15) of bromhexin (Bisolvon)
between Health and Disease. Eds. Macklem PT, Permutt S. New York: in the treatment of chronic bronchitis. Med J Austral 1976; 1: 612–7.
Marcel Dekker mc, 1979: 1–3. 25. Moldeus P, Berggren M, Graftstrom R. N-acetylcysteine protection against
7. Rodman T, Sterling HF. Pulmonary emphysema and related lung disease. the toxicity of cigarette smoke and cigarette smoke condensates in various
St Louis: CV Mosby Co 1969 : 3–23 and 156–200. tissues and cell in vitro. Eur J Respir Dis 1985; 66 (suppl) 139: 123–9.
8. Calverley PMA. Pathophysiology of chronic obstructive pulmonary 26. American Thoracic Society, Medical section of the American Lung
disease. In: Anticholinergic therapy in obstructive pulmonary disease. Association. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic
Scient PubI 1993 : 61–80. obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis
9. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis. 1987; 136: 225–43,
Adv Tuberc Res 1963; 12: 1–27. 27. Crofton J. The John Barnwell Lecture, The chemotherapy of bacterial
10. Hadiaxto Mangunnegoro. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Me respiratory infections. Am Rev Respir Dis. 1970; 101: 841–59.
nahun, Hasil pengamatan selama 5 tahun di Bagian Pulmonologi FKUI/ 28. Miller WF, Geumel AM. Respiratory and pharmacological therapy in
Unit Paru RSUP Persahabatan. Dalam: Penyakit Paru Obstruksi Menahun COPD. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ad. Petty ii. New
eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. Jakarta: Penerbit FKUI 1989 : 5 1–9. York: Marcel Dekker Inc, 1985 : 205–338.
11. Faisal Yunus. Peranan faal paru pada penyakit paru obstruktif menahun. 29. DompelingE, Van Schayc CP, MolemaJ, Folgering H, Van Grunsven PM,
Dalam: Penyakit Paru Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus, Anwar Van Wheel C. Inhaled beclomethasone improves the course of asthma and
Jusuf. Jakarta: Penerbit FKUI 1989 : 33–44. COPD. Eur Respir J 1992; 5: 954–62.
12. Hodkin JE. Comprehensive Respiratory Care Program. In: Chronic 30. Hadiarto Mangunnegoro, Faisal Yunus, Achmad Hudoyo, Johannes R
Obstenctive Pulmonary Disease. Park Ridge: The Am Coil Chest Physi Sulamet, Ernst J Manuhutu. Usaha menurunkan hipereaktivitas bronkus
cians 1979 : 34–101. pada penderita “Exercise-induces asthma”. Suatu penelitian dengan
13. Shenfleld GM, Brogden RN, Ward A. Pharmacology of bronchodilators. menggunakan inhalasi budesonide. Medika 1990; 16(9): 729–42.
In: Bronchodilator Therapy. ed. Clark TJH Auckland: Adis Press Limited, 31. Hadiarto Mangunnegoro, Tamsil Syafiuddin, Faisal Yunus, Wiwien
1984:17-46. Heruwiyono. Upaya menurunkan hiperaktivitas bronkus pads penderita
14. Tobin MJ. Use of bronchodilator aerosol. Arch Intern Med 1985; 145: asma, perbandingan efek budesonid dan ketotifen. Pare 1992; 12: 10–8.
1659–63.

An opportunity is often lost through deliberation

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Rehabilitasi pada Penderita


Penyakit Paru Obstruksi Menahun
Djoko Mulyono
PPDS I Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan program


Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) kini mulai di- rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapas-
perhitungkan sebagai salah satu masalah kesehatan yang me- an, dan tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktor-
nyebabkan tingginya angka kesakitan, kecacatan pada paru dan faktor yang berpengaruh pada penderita. Meskipun demikian,
meningkatnya biaya pengobatan dan tahun ke tahun. Pada tahun tiap usaha harus dilakukan untuk membawa penderit. ke arah
1986 lebih dan 20 juta penduduk AS menderita emfisema dan perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang
sekitar 11,2 juta menderita bronkitis kronis, terutama disebab- optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan
kan oleh paparan asap rokok. Rerata angka kejadian PPOM di pekerjaannya sehari-hari. Jika hal ini tidak mungkin, harus di-
Jawa Timur 6,1%, perokok menunjukkan angka 3 kali lebih usahakan latihan kerja yang lebih ringan. Harus ditekankan agar
tinggi dibandingkan dengan bukan perokok(1). penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi ketergan-
Penderita PPOM kebanyakan berusia lanjut, terdapat tungan pada keluarga dan masyarakat(4,6).
gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistim pernapasan
dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Pe- PERUBAHAN PARU PADA USIA LANJUT
ningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran Pada usia lanjut terjadi perubahan berupa kekakuan dinding
napas pada penderita emfisema akan meningkatkan kerja per- dada akibat perubahan tulang belakang dan sendi kostovertebral
napasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin lama sehingga compliance dinding dada berkurang. Terdapat penurun-
kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan an elastisitas parenkim paru, bertambahnya kelenjar mukus pada
kehilangan stamina fisiknya(2). bronkus dan penebalan pada mukosa bronkus. Akibatnya terjadi
Dalam mengelola penderita PPOM, di samping pemberian peningkatan tahanan saluran napas, terlihat dan penurunan faal
obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi paru antara lain: kapasitas vital paksa (FVC), volume ekspirasi
tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut paksa detik pertama (FEV1), Force expiratory flow, midexpira-
yakni rehabilitasi medis, khususnya fisioterapi pernapasan. tory phase (FEF25%-75%) dan forced expirator flow between 200
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi and 1200 mL of FVC (FEF200-1200). Terdapat peningkatan
medis yang bertujuan mengurangi cacat atau ketidak mampuan volume residu akibat kehilangan elastic recoil paru(7,8).
penderita, dan diharapkan penderita merasa terbantu untuk
mengatasi ketidak mampuannya sehingga mereka dapat me- REHABILITASI PARU PADA PPOM
ngurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang 1ain(3,4). Dalam mengelola penderita PPOM, rehabilitasi medis pada
Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para dokter paru (rehabilitasi pulmonal) mempunyai 2 aspek yakni:
bahkan sering kali dilupakan orang. 1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
TUJUAN REHABILITASI PARU 1.2. Terapi fisik dada
Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu 1.3. Latihan pernapasan
ke arah potensi fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial 1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
dan vokasional sepenuhnya menurut kemampuannya(5). 2) Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 33


2.1. Pendidikan perseorangan dan keluarga tidak berefek dan bahkan membahayakan(13,14).
2.2. Latihan pekerjaan Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
2.3. Penempatan tugas penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.
2.4. Latihan merawat diri sendiri Tindakan ini dilakukan 2 kali sehani selama 5 menit. Sebelum
Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum banyak
mengelola semua penderita PPOM tanpa memandang etiologi atau diberikan mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk me-
dan derajat penyakitnya(9). mudahkan pengal Iran sekret(11,12).
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau
stadiun lanjut dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai
cadangan napasnya seefektif mungkin dengan mengubah pola III. Latihan pernapasan
bernapas untuk memperoleh potensi yang optimal bagi kegiatan Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi di-
fisiknya(2). kuasai penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:
Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan 1) Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi
bila penderita tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis air trapping
untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Bila pendidikan 2) Memperbaiki fungsi diafragma
pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi ditujukan untuk 3) Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan 4) Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukar-
kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri(2). an gas tanpa meningkatkan kerja pernapasan
5) Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan se-
I. Latihan relaksasi
hingga bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.
Tujuan latihan relaksasi adalah:
Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot perna-
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pasan yang paling penting. Pada orang normal dalam keadaan
pernapasan.
istirahat, pengaruh gerakan diafragma sebesar 65% dan volume
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
tidal. Bila ventilasi meningkat barulah digunakan otot-otot bantu
3) Memberikan sense of well being.
pernapasan (seperti skalenus, sternokleidomastoideus, otot pe-
Penderita PPOM yang mengalami insufisiensi pernapasan
nyangga tulang belakang); ini terjadi bila ventilasi melampaui
selalu merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat(10). Untuk
50 l/menit(15).
mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang
Pada penderita PPOM sering kali terdapat pernapasan yang
menguntungkan terutama bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini
tidak sinkron gerakannya (panadoksal), yaitu pada waktu akhir
dicapai dengan memutar bahu ke depan dan membungkukkan
inspinasi tiba-tiba dinding perut bergerak ke dalam dan kemudian
badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan me-
bergerak keluar waktu ekspirasi. Penderita dengan keadaan
mulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan pernapasan).
demikian mempunyai prognosis yang kurang baik(2). Selain itu
Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan. La-
pada penderita PPOM tendapat hambatan aliran udara terutama
tihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang,
pada waktu ekspirasi. Pada umumnya letak diafragma rendah
posisi yang nyaman yaitu telentag dengan bantal menyangga
dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga secara mekanis
kepala dan guling di bawah lutut atau sambil duduk(11).
otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya
II. Terapi fisik dada fungsi diafragma penderita PPOM kurang dan 35% volume
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu
akan menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik pernapasan(15). Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan
bagi pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang kekuatan otot pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PE
menambah obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus se- max) sekitar 37%(16).
hingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, Latihan pernapasan meliputi:
maka timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius(12). a) Latihan pernapasan diafrag
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan
dan membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
trakea; dapat dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi pernapasan mengalami relaksasi.
dinding dada, vibrasi menggunakan tangan (manual) atau de- Manfaat pernapasan diafragma:
ngan bantuan alat (mekanik)(11,12). Perkusi dengan vibrasi cepat, 1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan
ketukan dengan telapak tangan (clapping), atau memakai rompi waktu melakukan pekerjaan/latihan.
perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki mobilisasi 2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru terutama pada pen- 3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.
derita PPOM dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkat-
hari), bronkluektasis, fibrosis kistik, dan atelektasis. Pada pen- an volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan pe-
derita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas, ningkatan ambilan oksigen optimal(15).
penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOM dengan Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur berikut(2,12) :
produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada 1) Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


napas yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat lips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan pada
hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan ba- rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui
tuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping
di rumah. dan kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini
2) Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur akan menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan
miring ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk. distribusi ventilasi merata pada paru sehingga dapat memper-
3) Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut baiki pertukaran gas di alveol(17). Selain itu PLB dapat menu-
bagian tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan runkan ventilasi semenit, frekuensi napas, meningkatkan volume
perut bagian atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan PaCO2 dan
membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma me- memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa sesak
mang turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada napas pada penderita(17,18,19). Pursed lips breathing akan menjadi
minimal. Dinding dada dan otot bantu napas relaksasi. lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
4) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi diafragma(18). Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah
pelan-pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama latihan berlangsung lebih dari 10 menit(20).
inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan c) Latihan batuk
protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan benda asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang
diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian efektif harus memenuhui kriteria:
bawah. 1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.
5) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi 2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intra-
otot perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban torakal yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
seberat 0,5–1 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk Cara melakukan batuk yang baik:
membantu aktivitas ini. Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga
Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya di- memberi kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk ber-
lakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga(11). kontraksi, sehingga menimbulkan tekanan intratorak Tungkai
Selama latihan,penderita harus diawasi untuk mencegah kesalah- bawah fleksi pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan
an yang sering terjadi seperti(2) : perut.
• Ekspirasi paksa: Penderita diminta menarik napas melalui hidung, kemudian
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, me- menahan napas sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksi
ningkatkan tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika kan otot-otot dinding perut serta badan sedikit membungkuk ke
saluran napas yang rusak dan mudah kolaps ditekan oleh tekan- depan.
an intrapleura. Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan dua tahap
• Perpanjangan ekspirasi: fase ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai.
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk,
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara
yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu pernapas- dim latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara
an. efektif, dilakukan rangsangan dengan alat penghisap (refleks
• Gerakan tipuan abdomen: batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea) atau
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada per- menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang 1ain(2,12).
baikan dan ventilasi.
• Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan: IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2 Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap
meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras. aktivitas dan meningkatkan kemampuan fisik, sehingga pen-
b) Pursed lips breathing derita hidup lebih aktif dan lebih produktif.
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan
napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
(bukan menarik napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke ting-
mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut de- kat toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan
ngan posisi seperti bersiul, lamanya ekspirasi 2–3 kali lamanya berjalan yang dicapai oleh penderita merupakan batas untuk
inspirasi, sekitar 4–6 detik. Penderita tidak diperkenankan mulai meningkatkan latihan dengan menaiki tangga. Selama
mengeluarkan napas terlalu keras(12). latihan penderita harus dibantu dengan pemberian oksigen untuk
PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen menghindari penununan saturasi oksigen secara drastis yang
selama ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi dengan
mengalir melalui hidung, karena terjadi elevasi involunter dari baik, secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada pen-
palatum molle yang menutup lubang nasofaring. Dengan pursed derita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah retensi

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 35


CO2 yang berlebihan. 6. Petty TL. Pulmonary rehabilitation in perspective: historical roots, present
status, and future projections. Thorax 1993; 48: 855–862.
Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai 7. Frownfelter DL. Chest physical therapy and airway care in: Core Textbook
penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat of Respiratory Care Practice. Editor: Barnes TA. 1st edition. Mosby
laun dapat disapih(2). Yearbook inc. 1994: 199–222.
8. Zadai CF. Rehabilitation of the patient with chronic obstructive pulmonary
disease. In: Cardiopulmonary Physical Therapy. Editor: Irwin S and
RINGKASAN Tecklin is. 2nd edition CV Mosby Co. 1990: 491–504.
Rehabilitasi medik paru (rehabilitasi pulmonal) merupakan 9. Corsello PR. Rehabilitation of the chronic obstructive pulmonary disease
salah satu tindakan penting dalam pengelolaan penderita PPOM, patient: General principles. In: Pulmonary Therapy and Rehabilitation.
di samping pemberian obat-obatan. Penderita yang berusia lanjut Principles and Practice. Editor: Haas F, Axen K. 2nd edition. Baltimore,
London: Williams and Wilkins, 1991: 196–212.
dengan gangguan pernapasan akibat obstruksi saluran napas 10. Emery CF, Leatherman NE, Burker EJ, Maclntyre NR. Psychological
karena sekret atau kolaps saluran napas bagian tepi serta pola outcomes of a pulmonary rehabilitation program. Chest 1991; 100: 613–
napas paradoksal semuanya akan membuat pernapasan tidak 617.
efektif. Terapi fisik (fisioterapi) dada dilakukan pada semua 11. Garntan SL. Chest physical therapy treatment of the patient with chronic
obstructive pulmonary disease. In: Pulmonary Therapy and Rehabilitation,
penderita PPOM dengan harapan dapat mengurangi rasa cemas, Principles and Practice. Editor: Haas F, Axen K. 2nd edition. Baltimore,
membersihkan saluran napas dan sekret, dan menggunakan otot- London: Williams and Wilkins, 1991: 213–236.
otot pernapasan secara optimal. Dengan demikian penderita akan 12. Faling Li. Controlled breathing techniques and chest physical therapy in
terlatih untuk bernapas secara efektif dan tidak cemas pada saat chronic obstructive pulmonary disease and allied conditions. In: Principles
and Practice of Pulmonary Rehabilitation. Editor: Casabury R, Petty TL.
terjadi serangan akut serta dapat melakukan tugasnya tanpa 1st edition. WB Saunders Co. 1993: 167–182.
tergantung pada orang lain. Sehingga tercapai tujuan untuk me- 13. Donner CF, Howard P. Pulmonary rehabilitation in chronic obstructive
ningkatkan kualitas hidup penderita. pulmonary disease (COPD) with recommendations for its use. Eur Resp I.
Selain tersebut di atas, tak kalah pentingnya adalah peng- 1992; 5: 266–275.
14. Ferguson CT, Cherniack RM. Management of chronic obstructive pulmo
hentian merokok dan menghindari paparan asap rokok. nary disease. N EngI I Med. 1993; 328: 1017–22.
15. Brashear RE, Rhodes ML. Pulmonary physiotherapy in: Chronic Obstruc
KEPUSTAKAAN tive Lung Disease. Clinical Treatment and Management. The CV Mosby
Co. Saint Louis 1978: 196–207.
1. Thomas Kardjito, Selamat Hariadi. Epidemiologi penyakit patti obstruktif 16. Rochester DF. Effects of COPD on the respiratory muscles. In: Chronic
menahun. Dalam: Simposium dan Kursus Penyakit Paru Obstruktif Obstructive Pulmonary Disease. Editor: Chemiack NS. 1st edition. Phila
Menahun. Surabaya Juni 1991, hal 1–17. delphia: WBSaunders Co. 1991: 134–57.
2. Abdul Mukty, Djati Sampoerno. Rehabilitasi padapenyakitparu obstruktif 17. Thoman RL, Stoker GL, Ross IC. The efficacy of Pursed lips breathing in
menahun. Dalam: Simposium dan Kursus Penyakit Paru Obstruktif Me- patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis.
nahun, SurabayaJuni 1991. hal. 163–181. 1966; 93: 100–105.
3. Fishman AP. Pulmonary rehabilitation research. Am J Respir Crit Care 18. Casciari RI, Fairshter RD, Harrison A. et al. Effects of breathing retraining
Med. 1994; 149: 825–833. in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Chest 1981; 79:
4. Moser KM, Bokinsky GE, Savage RT et al. Results of a comprehensive 393–398.
rehabilitation program. Physiologic and functional effects on patients with 19. Mueller RE, Petty TL, Filley GF. Ventilation and arterial blood gas changes
chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med. 1980; 140: 1596- induced by Pursed lips breathing. I AppI Physiol. 1970; 28: 784–789.
1601. 20. Ingram RH, Schilder DP. Effect ofpursed lips expiration on the pulmonary
5. American Thoracic Society. Pulmonary rehabilitation. Am Rev Respor pressure flow relationship in obstructive lung disease. Am Rev Respir Dis.
Dis. 1981; 124: 663–666. 1967; 96: 381–388.

A word may be recalled, a life never


(Schiller)

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


HASIL PENELITIAN

Pemeriksaan Kadar IgG dan IgE


pada Penderita Asma Bronkial
yang Menggunakan Prednison
Yovita Lisawati, Bie Tjeng, Rusdi A
Bagian Farmasi Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar IgG dan IgE pada penderita
asma bronkhial yang menggunakan prednison. Tes imunodiagnostik yang digunakan
adalah tes presipitasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rata-rata IgG penderita asma bronkhial
yang menggunakan prednison 1332,09 mg/dl, lebih kecil dibandingkan kadar rata-rata
IgG penderita yang tidak menggunakan prednison. Kadar rata-rata 1gE penderita asma
bronkhial yang menggunakan prednison 4224,0.10-5 mg/dl, lebih kecil dibanding kadar
rata-rata IgE penderita yang tidak menggunakan prednison.

PENDAHULUAN Prednison merupakan salah satu obat golongan gluko-


Seseorang yang pernah berkontak dengan antigen ter- kortikoid, biasanya diberikan peroral untuk pengobatan asma
tentu, maka pada kontak herikutnya dengan antigen yang sama bronkhia1(7). Obat ini selain mempunyai efek terapeutik juga
akan menyebabkan respon imunologik sekunder; hal ini me- bekerja menekan respon imun yaitu menekan respon sel B dan
rupakan reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri. Pada sel T terhadap antigen karena akan menyebabkan kerusakan
keadaan tertentu, reaksi imunologik itu berlangsung berlebihan imunitas humoral dan seluler(6).
atau tidak wajar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Akhir-akhir ini diperoteh laporan bahwa infeksi virus me-
Reaksi ini disebut reaksi hipersensitifitas(1,2,3). ningkat pada penderita yang mendapat pengobatan dengan obat
Salah satu jenis reaksi hipersensitifitas adalah reaksi anafi- ini(8). Mengingat hal di atas maka kadar IgG dan IgE penderita
iaktik. Faktor terpenting yang berperan pada reaksi anafilaktik asma bronkhial yang menggunakan prednison sebagai terapi
ini adalah imunoglobulin E (IgE). Jika molekul antigen berikatan perlu diperiksa dengan metoda presipitasi dengan alat imun
dengan molekul-molekul 1gB yang terikat pada sel-sel mastosit difusi radial.
atau basofil, dapat mengakibatkan degranulasi sehingga di-
lepaskan berbagai mediator yang aktif secara farmakologik.
CARA KERJA
Mediator-mediator yang dibebaskan ini akan mempunyai
dampak langsung pada jaringan. Salah satu rnanifestasinya A. Pemilihan sampel
adalah asma bronkhial(1,4). 1) Sampet diambil dan penderita yang tetah didiagnosis
Glukokortikoid adalah golongan obat yang paling efektif mendenita penyakit asma bronkhiat murni dan berusia antara
untuk asma bronkhial, meskipun mekanisme kerjanya dalam 30-40 tahun; Dan hasil pemilihan diperoleh 20 sampel yang
mengobati asma belum diketahui. Diperkirakan efeknya sebagai memenuhi syarat.
antiinflamasi, antieosinofilia serta mempertinggi respon reseptor 2) Sampel yang telah menggunakan prednison berjumtah 11
beta sebagai faktor-faktor yang menunjang keefektifannya(5,6,7). orang. Prednison yang digunakan dalam bentuk tablet dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 37


dosis 5 mg dan diberikan dalam bentuk campuran dengan efedrin, dard serum dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1 dan sumur-
CTM (Chiorphenyramini maleas), dan gliseril guaiakolat. Sampel sumur selanjutnya diisi dengan serum sampel.
telah menggunakan prednison dalam pengobatan selama lebih • Larutan standar dan serum sampel masing-masing dipipet
kurang 1 tahun. sebanyak 20 µ1 dan dimasukkan ke dalam sumur secara tegak
3) Sampel yang digunakan sebagai pembanding diambil dari lurus.
penderita asma bronkhial yang tidak pernah mendapatkan • Plat dibiarkan terbuka selama 30 menit (sampai serum
prednison atau obat-obat golongan imunosupresan lainnya. berdifusi).
Sampel pembanding berjumlah 9 orang dan mendapatkan • Kemudian dipipet kembali 20 µ1 larutan standar dan serum
campuran obat-obat yang sama selain prednison yaitu efedrin, sampel tadi dan dimasukkan ke dalam masing-masing sumur
CTM, dan gliseril guaiakolat. secara tegak lurus.
B. Pengambilan sampel • Plat dibiarkan terbuka kira-kira 10 sampai 20 menit, ke-
• Darah pasien asma bronkhial diambil secara intravena mudian ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama
sebanyak 2 ml dengan menggunakan jarum suntik. 5 hari pada temperatur kamar.
• Darah tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ke- • Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan meng-
mudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm. gunakan rol Behring dan kadar IgE ditentukan dengan meng-
• Serum diambil menggunakan pipet, kemudian dimasukkan gunakan kurva kalibrasi.
ke dalam tabung reaksi lain; tabung ditutup dengan nesco film
dan disimpan dalam lemari pendingin padasuhu 2°C-8°C. HASIL-HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Hasil penentuan kadar IgG penderita asma bronkhial pada plat
C. Penentuan kadar IgG NOR.Partigen IgG
1) Pembuatan larutan kontrol untuk plat NOR-Partigen lgG. Nomor Nomor Diameter Kadar IgG
Sebagai kontrol untuk plat NOR-Partigen IgG digunakan Plat
lubang sampel (mm) (mg/dl)
Kontrollogen® L and LU. 1 Kontrol 5,6 1020
• Akuades sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam vial 2 1 6,7 1690
kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 5 menit. 3 2 7,0 1900
• Kemudian vial digerakkan secara melingkar dengan hati- 4 3 6,3 1430
hati untuk melarutkan dan mencampur material kontrol yang 5 4 5,5 963
6 5 6,4 1500
masih menempel pada dinding dan tutup vial. I
7 6 6,7 1690
2) Penentuan kadar IgG 8 7 7,5 2260
• Tutup plastik dan plat NOR-Partigen IgG dibuka dan plat 9 8 6,6 1630
dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar. 10 9 6,7 1690
• Kontrollogen® dipipet sebanyak 5 µ1 dan dimasukkan ke 11 10 6,6 1630
12 11 6,5 1560
dalam sumur pertama pada plat NOR-Partigen IgG secara tegak
lurus. 1 Kontrol 5,6 1020
2 12 6,3 1430
• Serum sampel dipipet sebanyak 5 µl dan dimasukkan pada 3 13 5,9 1190
sumur-sumur selanjutnya pada plat NOR-Partigen secara tegak 4 14 6,2 1370
lurus. II
5 15 5,8 1130
• Plat ditutup dengan tutup plastik dan diinkubasikan selama 6 16 6,2 1370
7 17 5,9 1190
2 hari pada temperatur kamar. 8 18 6,4 1500
• Diameter presipitasi yang terbentuk diukur dengan meng- 9 19 5,9 1190
gunakan rol Behring dan kadar IgG ditentukan dengan meng- 10 20 6,3 1430
gunakan tabel kalibrasi. Keterangan : mm = milimeter
mg/dl = miligram/desiliter
D. Penentuan kadar IgE
Tabel 2. Kadar IgG penderita asma bronkhial yang menggunakan
1) Pembuatan larutan standar untuk plat LC-Partigen IgE prednison sebagai terapi
Sebagai standar digunakan IgE standard serum (7700-IU/ml).
• IgE standard serum yang terdapat dalam vial dilarutkan No.
Nomor Diameter Kadar IgG
dengan 0,5 ml akuades. sampel (mm) (mg/dl)
• Dibuat pengenceran larutan IgE standard serum sesuai 1 3 6,3 1430
dengan instruksi yang tertera pada plat imunodifusi LC-Partigen 2 4 5,5 963
3 8 6,6 1630
IgE yaitu dengan perbandingan 1:4, 1:2, 1:1. 4 10 6,6 1630
2) Penentuan kadar IgE 5 11 6,5 1560
• Tutup plastik dan plat LC-Partigen IgE dibuka dan plat 6 13 5,9 1190
dibiarkan terbuka kira-kira 5 menit pada temperatur kamar. 7 14 6,2 1370
8 15 5,8 1130
• Pada sumur satu sampai tiga dimasukkan larutan IgE stan-
9 16 6,2 1370

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


10 17 5,9 1190 4 16 5,6 2181,6
11 19 5,9 1190 5 17 6,4 5894,4
Rata-rata 6,13 1332,09 Rata-rata 6,04 4224,0
Tabel 3. Kadar IgG penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan TabeI 6. Kadar IgE penderita asma bronkhial yang tidak menggunakan
prednison prednison
Nomor Diameter Kadar IgG
No. Nomor Diameter Kadar IgE
sampel (mm) (mg/dl) No.
sampel (mm) (10-5 mg/dl)
1 1 6,7 1690
2 2 7,0 1900 1 1 6,8 7752,0
3 5 6,4 1500 2 5 6,5 6360,0
4 6 6,7 1690 3 6 6,5 6360,0
5 7 7,5 2260 4 7 5,9 3573,6
6 9 6,7 1690 5 9 5,9 3573,6
7 12 6,3 1430 6 12 7,0 8680,8
8 18 6,4 1500 7 18 7,5 11001,6
9 20 6,3 1430 8 20 7,2 9607,2

Rata-rata 6,67 1676,67 Rata-rata 6,66 7113,6

Tabel 4. Hasil penentuan kadar IgE penderita asma bronkhial pads plat Tabel 7. Hasil pengukuran diameter presipitasi IgE standar serum pada
LC-Partigen IgE plat LC-Partigen IgE
Nomor Nomor Diameter Kadar IgE Kadar IgE Diameter presipitasi (mm)
Plat
lubang sampel (mm) (IU/ml) (10–5 mg/dl) No. A B C
1 Standar 1 5,9 Plat I Plat II Plat III
2 Standar 2 6,5 1 14 1540 3696 5,9 5,9 5,9
3 Standar 3 7,1 2 1:2 2567 6160 6,5 6,5 6,5
4 1 6,8 3230 7752,0 3 II 3850 9240 7,1 7,1 7,1
5 2 – – –
I 6 3 – – – Keterangan : Kadar larutan IgE standar serum = 7700 IU/ml
7 4 – – – A = Perbandingan pengenceran IgE standar serum
8 5 6,5 2650 6360,0 B = Kadar IgE standar serum (IU/ml)
9 6 6,5 2650 6360,0 C = Kadar IgE standar serum (JO-5 mg/dl)
10 7 5,9 1489 3573,6
Gambar 1. Kurva kalibrasi IgE standar serum
11 8 – – –
12 9 5,9 909 2181,6
1 Standar 1 5,9
2 Standar 2 6,5
3 Standar 3 7,1
4 10 6,4 2456 5894,4
5 11 – – –
II 6 12 7,0 3617 8680,8
7 13 – – –
8 14 6,2 2070 4968,0
9 15 – – –
10 16 5,6 909 2181,6
11 17 6,4 2456 5894,4
12 18 7,5 4584 11001,6
1 Standar 1 5,9
2 Standar 2 6,5
III 3 Standar 3 7,!
4 19 5,6 909 2181,6
5 20 7,2 4003 9607,2

Keterangan : 1 IU/ml IgE setara dengan 2,4 ng/ml (24)


KESIMPULAN
Tabel 5. Kadar IgE penderita asma bronkhial yang menggunakan
1) Kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial yang meng-
prednison sebagai terapi
gunakan prednison sebagal terapi 1332,09 mg/dl, lebih kecil
No.
Nomor Diameter Kadar IgE dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma bronkhial
sampel (mm) (10-5 mg/dl) yang tidak menggunakan pednison (p < 0,0 1).
1 10 6,4 5894,4 2) Kadar IgE rata-rata penderita asma bronkhial yang meng-
2 11 5,6 2181,6 gunakan prednison sebagai ter 4224,0.10-5 mg/dl lebih kecil
3 14 6,2 4968,0
dibanding dengan kadar 1gB rata-rata penderita asma bronkhial

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 39


yang tidak menggunakan prednison (p < 0,05). versitas Indonesia, 1988.
4. Mutschler E. Dinamika Obat (Arzneimittelwirkungen), cetakan ke-5,
3) Penggunaan prednison sebagai terapi asma bronkhial diterjemahkan oleh MB. Widianto dan AS. Ranti. Bandung: Penerbit ITB,
mengakibatkan penurunan kadar IgG, tetapi penurunan yang 1991.
terjadi masih dalam batas normal IgG manusia. 5. Miyamoto T, Okuda M. Progress in Allergy and Clinical Immunology,
Volume 2, Kyoto, Proc XlVth Intemat Congr Allergology and Clinical
Immunology. Kyoto, October 13-18, 1991. Gottingen: Hogrefe & Huber
SARAN PubI, 1992.
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti 6. Bowman WC, Rand Ini. Textbook of Pharmacology, 2nd ed. Oxford:
pengaruh penggunaan prednison terhadap kadar imunoglobulin Blackwell Publ, 1983.
lainnya. 7. Price SA, Mc Carty Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit (Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Process) Bagian
I, edisi ke-2, cetakan VII, alih bahasa: Adji Dharma, Penerbit Buku
Kedokteran (EGC), Oktober 1989.
8. World Health Organization. Corticosteroids : Danger of Immuno-
KEPUSTAKAAN suppression. WHO Drug Information 1992; 6(1): 15.
9. Montefort S, Holgate T. Asthma as an Immunological Disease. Medicine
1. Roitt IM. Essential Immunology, 2nd ed. Oxford: Black Well Scient Publ, Intemat, 1991; 4: 3699.
1974. 10. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak (Textbook of Pediatrics),
2. Kresna SB. Imunologi, Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Bagian I, edisi ke-12, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta, 1988.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1984. 11. Arsyad Z. Asma Bronkhial pada Orang Dewasa, Kumpulan Naskah Temu
3. Bratawijaya KG. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Uni- Ilmiah Hidup Dengan Alergi Dan Asma, Padang, 27 Mel 1989.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


HASIL PENELITIAN

Risiko Relatif Lingkungan Sosial


dan Kimia terhadap Kejadian
Penyakit ISPA – Pneumonia
di Indramayu, Jawa Barat
Sukar, Agustina Lubis, A. Tri Tugaswati, Athena A, Kasnodihardjo
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN pencemaran udara dalam ruang (indoor) terhadap kesehatan


Lingkungan dalam ruang (indoor) meliputi lingkungan manusia. Pada studi ini pemakai bahan bakar gas dianggap se-
psikososial, lingkungan fisik, lingkungan kimia dan lingkungan bagai kontrol dan sebagai kasus peinakai bahan bakar batubara.
biologi. Lingkungan psikososial berkaitan erat dengan masalah- Dan pengamatan beberapa parameter fungsi imunologik anak
masalah perilaku dan hubungan antar keluarga. Sedangkan sekolah tingkat pertama pada pemakai bahan bakar batubara
lingkungan kimia berkaitan erat dengan pencemaran udara terlihat beberapa penurunan seperti penurunanjumlah sel darah
dalam ruang seperti debu dan gas(1). putih (13%) (p < 0,05), penurunan Iisoenzim saliva 13% dan
Manusia merupakan bagian integral dan ekosistem, se- perubahan limposit 50%; sedang kadar COHb darah wanita pada
hingga perubahannya akan mempengaruhi komponen lingkung- pemakai bahan bakar batubara yang menggunakan cerobong
an dan selanjutnya akan mempengaruhi kesehatan manusia. 3% dan tanpa cerobong 4,3%(4,5).
Perubahan kondisi Iingkungan tersebut akan menyebabkan Dalam penelitian ini akan dilihat besarnya risiko relatif
terjadinya transisi demografi, sosial ekonomi dan budaya. Dalam aktifitas memasak, asap rokok dan pencemaran udara dalam
proses interaksi ini, manusia walaupun dilengkapi dengan me- ruang terhadap kejadian penyakit ISPA. Tujuan dilakukan
kanisme adaptasi, namun prosesnya, di samping berjalan relatif penelitian ini untuk mengetahui dampak pemakai bahan bakar
lambat, juga mengenal batas toleransi. Di luar batas itu manusia kayu terhadap kejadian ISPA-pnemonia.
akan jatuh sakit. Keadaan sehat (kecuali keadaan kelainan
bawaan sejak lahir) merupakan resultante (hasil) interaksi antara METODOLOGI
manusia dan lingkungannya; selama interaksi tersebut seimbang,
1) Daerah Penelitian
tidak akan timbul masalah kesehatan. Mengingat kondisi sehat
Penelitian kasus-telaah” ini dilakukan di Kabupaten
dan sakit amat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, maka bila
Indramayu, Jawa Barat. Laporan Dinas Kesehatan Indramayu
terjadi perubahan lingkungan akan terjadi pula perubahan proses
tahun 1992/1993 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA pada
interaksi yang akan mempengaruhi pola kesehatan/penyakit
bayi/anak balita 10,7% dan menempati urutan pertama dalam hal
sekelompok masyarakat yang berada di dalamnya. Penyakit-
penyakit ISPA di Propinsi Jawa Barat. Lokasi studi di
penyakit akibat lingkungan akan meningkat di masa mendatang
Kecamatan Sliyeg dan Gabus Wetan. Ke dua daerah tersebut
seperti penyakit-penyakit karena polusi udara dan pencemaran
menempati urutan teratas dalam hal penyakit ISPA.
oleh limbah industri(2). Gangguan penyakit akibat lingkungan
yang tidak memenuhi syarat bisa memiliki gejala jelas atau 2) Sasaran Penelitian
spesifik, maupun keluhan-keluhan non spesifik seperti sindrom. Sasaran penelitian adalah bayilanak balita yang menderita
Salah satu gangguan tersebut adalah infeksi saluran pernapasan ISPA-pnemonia berdasarkan pelaporan puskesmas setempat.
akut (ISPA)(2,3). Pelaporan berdasarkan hasil pencatatan yang dilakukan oleh
Penelitian dampak pencemaran dalam ruang terhadap ke- petugas paramedis dan puskesmas kecamatan dan puskesmas
sehatan telah dilakukan di Cina, sampai akhir tahun 1970 telah pembantu terhadap bayi/anak balita yang menderita ISPA-
dipublikasi lebih dan 100 makalah. Studi epidemiologi secara pnemonia. Kniteria petugas ygng melakukan pencatatan adalah
bertahap tersebut dilakukan untuk mengevaluasi dampak mereka yang telah mendapat pendidikan/pelatihan tentang ISPA.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 41


3) Jumlah Sampel Tabel 1. Keterangan responden yang berhubungan dengan aktifitas di
dapur
Berdasarkan pelaporan/pencatatan yang dilakukan Pus-
kesmas Kecamatan Sliyeg bulan Februari 1993, jumlah penderita Status
ISPA di daerah tersebut 30 bayi/anak balita. Dan jumlah tersebut Total
ditentukan kasus meliputi 30 bayi/anak balita pnemonia dan 30 Keterangan Kasus Kontrol
bayi anak balita ISPA. Selanjutnya sebagai kontrol dipakai bayi/ n % n % n %
anak balita sehat yang bertempat tinggal di daerah yang sama.
Lama tinggal
Untuk setiap kasus penderita pnemonia diambil kontrol 2 bayi/ > 5 tahun 59 40,7% 120 52,9% 179 48 1%
anak balita yang sehat. Sedang untuk setiap kasus penderita ISPA ≤ 5 tahun 86 59,3% 107 47,1% 193 51,8%
diambil 1 bayi/balita yang sehat. Dengan demikian jumlah Ada perokok dalam rumah
sampel setiap wilayah puskesmas dapat diperinci sebagai ber- Ya 31 27 4% 52 30,1% 83 28,8%
ikut; 30 kasus pnemonia + 60 kontrol + 30 kasus ISPA + 30 Tidak 91 72,6% 121 69,9% 212 71,9%
Ada ventilasi dapur
kontrol = 150 bayi/balita. Untuk dua wilayah puskesmas = 300 Ya 64 57,4% 103 52,8% 167 544%
bayi/balita. Tidak 48 42,6% 92 47,2% 140 456%
Memasak sendiri
4) Jenis Data Ya 138 99,3% 217 99,1% 355 99,2%
Data yang dikumpulkan adalah aktifitas di dapur dan beban Tidak 1 07% 2 0,9% 3 0,8%
pencemaran dalam ruang. Data aktifitas di dapur meliputi: lama Frekuensi masak
tinggal, adanya ventilasi, adanya perokok dalam rumah dan Satu kali 42 294% 56 24,7% 98 26,5%
aktifitas memasak (memasak sendiri, lama dan frekuensi me- z 2 kali 101 70,6% 171 75,3% 272 73,5%
masak) serta kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur Lama memasak
< 1 jam 13 9,2% 12 5,4% 25 6,9%
sambil memasak. Data tentang beban pencemaran di dalam ruang ≥ 1 jam 128 90,8% 209 94,6% 337 93,1%
meliputi; kadar debu dan gas-gas (seperti : SO2, NO2, CO, Anak dibawa ke dapur
HCHO, dan NH3). Selah 50 35 7% 50 22,9% 100 27,9%
Tidak selalu 50 35,7% 76 34,9% 126 35,2%
5) Metode dan Alat Pengumpul Data Tidak pemah 40 28,6% 92 42,2% 132 36,9%
Data aktifitas di dapur dikumpulkan melalui wawancara
menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan dengan cara
Inengunjungi rumah responden. Data beban pencemaran dalam
bahwa rumah kelompok kásus terdapat 27% perokok (smoker)
ruang dalam hal ini debu dan gas didapat melalui pengambilan
dan rumah kelompok kontrol 30%, yang tidak merokok (non
sampel menggunakan vacuum pump; selanjutnya analisis debu
smoker) di ruang dapur dan ruang tamu lebih tinggi baik di ke-
dengan metode gravimetri dan analisis gas dengan metode
lompok kasus maupun kelompok kontrol.
spektrofotometri(6).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan memasak
6) Pengolahan dan Analisis Data dilakukan sendiri oleh responden; hal ini terlihat dan sejumlah
Pengolahan data dan analisis data dikerjakan dengan mo- 139 responden pada kelompok kasus hanya 1 (satu) yang tidak
dul tabulasi rnenggunakan paket program D base dan analisis melakukan memasak sendiri, sedangkan pada kelompok kontrol
risiko relatif (RR) menggunakan tabel 2 x 2(7,8,9). dan 219 responden hanya 2 (dua) yang tidak melakukan me-
masak sendiri. Sebagian besar responden dalam satu hari
HASIL memasak dua kali. Sewaktu memasak responden yang selalu
Hasil penelitian tentang aktifitas memasak dapat dilihat pada membawa bayi/anak balitanya ke dapur pada kelompok kasus
Tabel 1. Tabel tersebut selain menyajikari aktifitas memasak sebanyak 35,7% dan pada kelompok kontrol 22,9%. Sedangkan
(memasak sendiri, frekuensi dan lama meinasak serta kebiasaan responden yang tidak pernah membawa bayi/anak balita ke dapur
membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak) juga pada kelompok kasus sebanyak 28,6% dan kelompok kontrol
menyajikan parameter lain yang menunjang informasi aktifitas 42,2%. Lama waktu memasak yang dapat digunakan sebagai
memasak yaitu meliputi lama tinggal, adanya ventilasi di dapur, indikator lama pajanan di dalam ruang,menunjukkan bahwa pada
adanya perokok di dalam rumah. umumnya hanya sebagian kecil responden dengan lama me-
Lama tinggal yang dapat digunakan sebagai indikator lama masak < 1 jam. Lama memasak dalam waktu ≥ 1 jam pada ke-
pajanan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa ibu-ibu atau lompok kasus sebanyak 90,8% dan kelompok kontrol 94,6%.
responden baik mereka termasuk kelompok kasus maupun ke- Hal ini menunjukkan bahwa lama memasak (pajanan) telah
lompok kontrol telah tinggal di daerah penelitian relatif cukup cukup untuk bahan evaluasi.
lama yaitu sekitar 5 tahun bahkan ada yang lebih. Adanya Hasil analisis kualitas udai dalam ruang disajikan pada
ventilasi di dapur yang dapat digunakan sebagai indikator Tabel 2. Kualitas udara dalam ruang yang dianalisis pada pe-
pergerakan udara di dalam ruang menunjukkan bahwa pada nelitian ini meliputi parameter karbon monoksida (CO), nitro-
kelompok rumah kasus 57,4% dan rumah kelompok kontrol gen dioksida (NO2) debu respirable suspended particulate
52,8%. Asap rokok yang diperkirakan dapat menimbulkan ri- (RSP), sulfur dioksida (SO2) formaldehida (HCHO), amonia
siko relatif terhadap penyakit ISPA-pnemonia, menunjukkan (NH3) kelembaban dan suhu.

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Tabel 2. Kadar rata-rata beberapa pencemar, suhu dan kelembaban dalam dapur dan
ruang tamu rumah responden di Kecamatan Gabus Wetan dan Kecamatan Sliyeg,
Indramayu

Dapur Ruang Thmu Rekomendasi


No. Parameter
n Kasus n Kontrol n Kasus n Kontrol WHOUOIH
1 CO (ppm) 69 2.39 95 2.19 34 1 15 69 1.02 10
2 NO2 (pg/m3) 45 6.75 66 6.00 44 2.20 67 1.97 150
3 Debu (pg/m3) 84 742.6 80 609.5 78 213.70 78 137,1 60 – 90
4 SO, (pg/m3) 32 8.53 47 8.69 – – – – 40 – 60
5 HCHO (ppm) 3 0 005 3 0.036 – – – – 100 – 150
6 NH3 (ppm) 8 11.44 15 2 86 – – – – –
7 Kelembaban (%) 91 78.98 111 78.85 91 79.4 91 79.8 –
8 Suhu (°C) 91 30 111 30.2 91 29.0 91 29.1 –

Analisis parameter CO, NO2 dan debu RSP dilakukan di menunjukkan bahwa parameter NO2 nilai RR> 1, sedangkan
ruang dapur dan ruang tamu, baik kelompok kasus maupun ke- parameter CO dan debu RSP < 1.
lompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan
PEMBAHASAN
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol, baik di ruang tamu
Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi sa1ur perna-
maupun ruang dapur. Hal ini menunjukkan adanya penyebaran
pasan bagian atas (riasopharyngitis, otitis media, pharingo-
CO ke tuar rumah.
tonsilitis dan epiglottitis) dan saluran pernapasan bagian bawah
Analisis parameter SO2, NH3 dan HCHO dilakukan pada
(laryngitis, tracheobronchitis, bronchiolitis dan pneumonia).
kelompok kasus dan kelompok kontrol, namun hanya di ruang
Pneumonia adalah suatu penyakit paru-paru bagian bawah
dapur karena keterbatasan alat dan bahan kimia.
yang terjadi pada alveoli dan menyebar ke bagian lain paru-paru.
Pengukuran kelembaban dan suhu yang merupakan indi-
Secara klinis pneumonia pada lanjut usia (>65 tahun) hampir
kator cuaca dalam ruang dilakukan di ruang dapur dan ruang
selalu disertai batuk dan napas cepat (tachypnea) dan tarikan
tamu pada rumah kelompok kasus dan kelompok kontrol,
dada ke dalam. Sedangkan pada bayi dan anak balita sering
masing-masing rata-rata 78,89% dan 78,85%. Sedangkan ke-
tidak disertai batuk(12,13).
lenibaban di ruang tamu rumah kelompok kasus dan kelompok
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteria (Pneumo-
kontrol masing-masing rata-rata 79,4% dan 79,8%. Suhu rata-
coccus, Hemophilus influenzae) dan virus (respiratory syncytial
rata di ruang dapur dan ruang tamu pada rumah kelompok kasus
virus, influenza, parainfluenza, measles dan adenovirus).Di ne-
dan kelompok kontrol tidak berbedajauh yaitu antara 29–30°C.
gara sedang berkembang dinyatakan bahwa lebih dan 75%
Analisis statistik risiko relatif (RR) untuk beberapa para
ISPA pneumonia menyebabkan kematian(13).
meter aktifitas memasak dan kadar pencemar dalam ruang dapur
Faktor risiko pneumonia antara lain umur < 5 tahun (khu-
dan ruang tamu disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan me-
susnya bayi/anak umur < 2 tahun) dan orang tua umur ≥ 65
nunjukkan bahwa untuk parameter lama tinggal dan adanya
tahun (laki-laki), gizi kurang, lahir dengan berat badan rendah,
perokok dalam ruang nitai RR < I. Sedangkan untuk parameter
tidak mendapat ASI sewaktu kecil, asap rokok dan pencemaran
memasak sendiri, frekuensi memasak, lama memasak dan ke-
udara (indoor maupun outdoor), kepenuh sesakan (crowding),
biasaan selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak balitanya
imunisasi kurang lengkap, dan kekurangan vitamin A(12). Dari
ke dapur sambil memasak menunjukkan nilai RR> 1.
beberapa faktor risiko tersebut yang akan diamati di sini adalah
Tabel 3. Analisis statistik perhitungan risiko retatif risiko relatiflingkungan psikososial (aktifitas memasak) dan ling-
kungan kimia (asap rokok dan pencemaran udara dalam ruang).
Risiko Relatif
Parameter Analisis data tentang Iama tinggal RR = 0,61, hal ini me-
Kasus Kontrol
nunjukkan bahwa responden pada kelompok kasus belum
Lama tinggai 0,61 1
nienerima risiko dibandingkan kelompok kontrol. Begitu juga
Ada perokok di rumah 0,78 1
Ada ventilasi dapur 1,2 1
faktor anggota rumah tangga yang perokok (smoker) RR = 0,78.
Memasak sendiri 1,3 1 Dua data tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini be-
Frekuensi masak 1,3 1 lum ada hubungan antara lama tinggal di lokasi dan adanya
Lama memasak 1,8 1 perokok dalam ruang terhadap kejadian penyakit ISPA-pneu-
Selalu membawa anak ke dapur 2,3 1 monia. Di Amerika Serikat telah ditetapkan bahwa rokok dengan
Tidak selalu membawa anak ke dapur 1,5 1
CO 0,97 1 asapnya merupakan penyebab kanker paru dan kanker laring.
NO, 1,10 1 Kenaikan risiko terjadinya kanker laning berhubungan langsung
Debu RSP 0,80 1 dengan jumlah rokok dan lama merokok. Dengan mengetahui
jumlah rokok yang dihisap, akan dapat diperkirakan jumah
Analisis ketiga parameter kualitas udara dalam ruang nikotin atau klelet yang melekat di selaput paru atau mukosa
meliputi parameter CO, NO dan debu RSP. Hasil perhitungan laring. Sebenarnya nikotin (polisklik aromatik hidrokarbon =

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 43


PAH) dan rokok bukan merupakan zat karsinogenik secara sama, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penbedaan
langsung, tetapi masih ada zat lain yang sangat berpengaruh cuaca pada lokasi tersebut.
terhadap proses terjadinya kanker, yaitu zat yang berasal dari
tubuh sendiri. Zat tersebut adaah enzirn Aril Hidrokarbon KESIMPULAN DAN SARAN
Hidroksilase (AHH). Enzirn inilah yang dapat mengubah dan Dari hasil perhitungan statistik dan pembahasan dapat di-
mengaktifkan PAR menjadi zat yang karsinogen(14,15,16). simpulkan bahwa untuk parameter lama tinggal di lokasi dan
Hampir seluruh responden ibu rumah tangga baik kelompok adanya perokok dalam ruang yang merupakan kontribusi dan
kasus maupun kelompok kontrol melakukan kegiatan mernasak informasi tentang aktifitas memasak pada penelitian ini belum
sendiri sehingga, selama mernasak responden telah terpajan oleh memberikan risiko relatif yang berarti. Namun adanya ventilasi
pencernar yang dihasilkan dan hasil pembakaran kayu. Ke- di dapur dan aktifitas memasak telah memberikan risiko relatif,
biasaan mernasak di dapur sambil membawa bayi/anak balita, walaupun masih kecil, terutama kebiasaan membawa bayi/anak-
pada kelompok kasus rata-rata 35,7% dan di rurnah kelompok nya ke dapur sambil memasak. Walaupun pencemaran udara
kontrol 22,9%, sedangkan responden yang tidak selalu membawa dalam ruang (indoor) belum memberikan risiko relatif namun
bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak pada kelompok dengan terdeteksinya pencemaran tersebut telah membuktikan
kasus sebanyak 35,7% dan pada kelompok kontrol 34,9%. ada toksisitas di dapur. Kelihatannya ada hubungan antara
Walaupun lama memasak antara responden kelompok kasus dan kebiasaan membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil me-
kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang bermakna, akan masak dengan beban pencemaran udara dalam ruang.
tetapi seringnya membawa anak ke dapur, dapat menyebabkan
bayl/balita menenima risiko terkena penyakit ISPA lebih tinggi.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada kelompok kasus
kebiasaan responden selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak
balitanya ke dapur sambil memasak lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hal tersebut rnenunjukkan adanya KEPUSTAKAAN
hubungan kenaikan risiko antara kebiasaan memasak dengan
kejadian penyakit ISPA-pneumonia. Selain itu hasil perhitungan 1. Kusnoputranto H. (Ed). Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Univ. Indonesia, Jakarta, 1983.
risiko relatif bahwa RR> 1. Hal ini menunjukkan bahwa bayi/ 2. Achmadi UF. Lingkungan Kerjadan Produktivitas tujuan Utama terhadap
anak balita yang selalu dibawa ke dapur sambil memasak me- Sindroma Pencakar Langit (Sick Building), Fakultas Kesehatan Ma-
nerima risiko sebesar 2,3 kali dan bayi/anak balita yang tidak syarakat, Univ. Indonesia, Jakarta, 1992.
selalu dibawa ke dapur sambil memasak menerima risiko sebesar 3. Perry R. The Role of Indoor Air Quality in The Environmental Equation.
Seminar Indoor Air International (tAt).
1,5 kali dibandingkan dengan bayi/anak balita yang tidak per- 4. GEMSIUNEP. Indoor Air Pollution. Urban Air Pollution, Environment
nah sama sekali dibawa ke dapur sambil memasak. Library, 4. Geneva, 1992,
Membandingkan hasil analisis kualitas udara dalam ruang 5. Chen BH, Hong CJ, Pandey MR, Smith KR. Indoor Air Pollution in De-
dengan kadar yang direkomentasikan oleh WHO hanya kadar veloping Countries in: World Health Statistics 1990; 43(3).
6. Yanagisawa Y, Nishimura M. A Badge-Type Personal Sampler For
debu RSP yang telah jauh melampaui. Namun terukurnya be- Measurement of Personal Exposure to NO, and NO in Ambient Air. En-
berapa pencemar udara seperti CO, NO2, SO2, NH3 dan formal vironment International 1982, Vol. 8.
dehida dalarn ruang mengindikasikan tidak adanya pergerakan 7. Beaglehole R, Bonita R, Kjellstrom T. Basic Epidemiology, World Health
udara, dengan kata lain ventilasi kurang memenuhi syarat. Hal Organization, Geneva, 1993.
8. WHO. Health Research Methodology, WHO Regional Publications-
ini dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya penyakit Western Pacific Education in Series No. 5, Manila, 1992.
ISPA. Hasil pengukuran debu RSP di ruang dapur pada kelompok 9. Wawolumava C. Metodologi Epidemiologi Penelitian Lingkungan, Maj
kasus rata-rata 742,6 µg/m3 dan kelompok kontrol 609,5 µg/m3. Kes Masyindon 1991;XIX: 11.
Sedangkan di ruang tamu kelompok kasus didapatkan kadar 10. WHO. World Health Statistics. 1990; 43 (3).
11. WHO. World Health Statistics. 1991; 44 (3).
rata-rata debu RSP sebesar 213 µg/m dan kelompok kontrol 12. Stansfield SK, Shepard DS. Acute Respiratory Infection, in: Disease
131 µg/m3 Kadar debu RSP yang direkomendasikan WHO Control Priorities in Developing Countries, Published for the World Bank.
adalah antara 60–90 µg/m3 Oxford University, Press.
Analisis risiko relatif untuk parameter NO2 telah memberi- 13. DitJen PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan-Akut (ISPA). Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1992.
kan risiko relatif, walaupun masih kecil. Yaitu kelompok kasus 14. Surjadi C. Respiratory Diseases of Mothers and Children and Environ -
menenima risiko relatif 1,1 kali dibandingkan kelompok kontrol. mental Factors among Households in Jakarta. Environment and Urba-
Namun untuk parameter CO dan debu RSP juga telah meminta nization, 1993; 5 (2).
perhatian karena nilai RR telah mendekati 1. 15. Sears MR. in: Kalmer MA, Barnes PJ, Persson CGA. Asthma its patho-
logy and treatment, Marcel De Inc. New York, 1991.
Suhu dan kelembaban di ruang dapur dan ruang tamu antara 16. Bambang SS. Beberapa Aspek Pencegahan Kanker Laring, Wahana Medik
rumah kelompok kasus dan kontrol yang ditemukan rata-rata 1994; VI (23).

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


HASIL PENELITIAN

Pengobatan Infeksi Saluran


Pernapasan Akut pada Balita
di Jawa Barat
Enny Muchlastriningsih SKM
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN • Jumlah responden : 400 ibu balita (200 orang daerah pe-
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (selanjutnya disingkat latihan dan 200 orang daerah kontrol).
ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang • Daerah : untuk daerah pelatihan diambil Kabupaten Cianjur
penting di Indonesia karena menyebabkan kematian bayi dan dan Kabupaten Sumedang sebagai daerah kontrol. Kedua daerah
balita yang cukup tinggi. Dan seluruh kematian balita, proporsi ini dipilih karena mempunyai angka pneumonia tinggi untuk
kematian karena ISPA mencakup 20–30% dan sebagian besar daerah Jawa Barat.
disebabkan karena pneumonia. Hasil Survei Kesehatan Rumah • Sampling: untuk ibu balita dipilih secara acak sederhana
Tangga (selanjutnya disingkat SKRT) 1986 menunjukkan 42,2% dan 4 puskesmas (2 dan daerah pelatihan dan 2 dail daerah
bayi dan 40,6% balita yang sakit disebabkan ISPA. Data Puskes- kontrol); diwawancarai secara house to house mengenai peng-
mas (1986) menunjukkan bahwa 5 1,0% bayi dan 43,1% balita obatan yang dilakukan terhadap anaknya yang menderita ISPA,
pengunjung puskesmas menderita ISPA. Pada SKRT 1992 di- baik pengobatan tradisional maupun modern, yang dibeli sendiri
temukan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA adalah maupun didapat dan puskesmas.
36,0% di golongan 1–4 tahun adalah 13,0% sedang pada kelom- Kriteria pneumonia menurut Buku Pedoman ISPA Dit. Jen.
pok umur balita berkisar 20–30%, sebagian besar disebabkan PPM-PLP adalah sebagai berikut:
oleh pneumonia. • Pneumonia : Penderita ISPA yang disertai napas cepat
Untuk membantu menurunkan angka kematian balita ka- (umur 2–12 bulan: 50 kali per menit atau lebih, umur 1–4
rena pneumonia, Sub. Dit. P2ISPA Dit. Jen. PPM-PLP telah tahun; 40 kali per menit).
membuat Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. Dalam • Pneumonia berat : PenderitalSPA yang disertai napas
buku tersebut disebutkan salah satu tujuan program ISPA yaitu sesak yaitu adanya tarikan dinding dada ke dalam.
menurunkan penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah variabel
tepat pada pengobatan penyakit ISPA. tindakan ibu dalam memberi pengobatan pada anaknya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui obat-obatan yang Penelitian dilakukan dua kali yaitu sebelum pelatihan dan
dipakai dalam pengobatan ISPA di Jawa Barat. 3 bulan sesudah pelatihan.
BAHAN DAN CARA KERJA HASIL DAN DISKUSI
Penelitian deskniptif mencakup data yang dikumpulkan me- Ditemukan 48 macam obat tradisional yang dipakai ibu ba-
lalui kuesioner terhadap ibu balita. lita dalam usaha untuk mengatasi demam anaknya, baik berupa
Cara sampling: bahan tunggal (misalnya bawang merah) maupun bahan cam-
• Kriteria: Ibu yang mempunyai anak balita (selanjutnya di- puran (bawang merah + minyak kelapa). Sedang untuk meng-
sebut ibu balita); diperkirakan 10% dan masyarakat mempunyai atasi batuk ada 32 macam, baik berupa bahan tunggal (misalnya
anak balita. madu), maupun bahan campuran (misalnya madu + kencur).

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 45


Dalam hal pengobatan modern (dalam hal ini obat keluaran Terlihat bahwa Bodrexin® banyak dipakai sebagai penurun
pabrik) ditemukan 50 macam obat untuk mengatasi demam dan demam, baik pada penelitian pertama maupun kedua di kedua
55 macam obat untuk mengatasi batuk. kabupaten, menyusul parasetamol dan Inzana®. Di sini juga
Obat tradisional yang dipakai untuk pengobatan demam terlihat pemakaian antibiotik (Kemicetin®, ampisilin dan kotri-
dapat dilihat pada Tabel 1. moksasol); tidak diketahui apakah balita itu hanya demam atau
disertai gejala lainnya sehingga memerlukan antibiotik, tentu
Tabel 1. Persentase 10 macam obat tradisional yang terbanyak dipakai hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
ibu balita dalam mengatasi demam anaknya di Kabupaten
Cianjur dan Sumedang, 1992–1993. Tabel 3. Persentase 10 macam obat tradisional yang dipakai ibu balita
Cianjur (%) Sumedang (%) dalam pengobatan batuk anaknya, di Kabupaten Cianjur dan
Macam obat Kabupaten Sumedang, 1992–1993.
I (n=64) II (n=117) I (n=27) II (n=29)
Cianjur (%) Sumedang (%)
Bawang mesh + minyak 26,56 28,20 29,63 31,03 Macam obat
kelapa I (n=38) H (n=171) I (n=4) II (n=37)
Bawang mesh + asam 3,12 3,41 22,22 10,34 Jeruk nipis + kecap 21,05 57,31 – 78,38
Bawang mesh 4,68 – 14,81 13,79 Madu + jeruk nipis + kecap – 13,45 – –
Daun simugu 14,06 2,56 – – Madu +jeruk nipis – 5,26 – 16,22
Bawang mesh + asam + 9,37 – – 17,24 Daun sirih 5,26 7,60 – –
minyak kelapa Daun karuk + daun katuk – 6,43 – –
Bawang mesh + minyak 4,69 2,56 – – Daun karuk 13,16 1,75 – –
kayu putih Daun dadap 18,42 – – –
Labu slam 1,56 4,27 – – Bawang putih – 3,51 – –
Daun paria + dawn cengek – 13,67 – – Madu + kencur 7,89 – – –
Lulur putih telur – 14,06 – 3,45 Daunkatuk – 1,17 – –
Jeruk nipis + kecap – 5,98 – 3,45 Lain–lain 34,22 3,52 100,00 5,40
Lain–lain* 35,96 25,29 33,34 20,70
Total 100,00 100,00 100,00 100,00
Total 100,00 100,00 100,00 100,00
Catatan:
Catatan :
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
Lain-lain = bahan lainnya misalnya : daun paria, garam, bawang merah,
Lain-lain* : bahan lain, di antaranya: kunyit, daunkatuk, daun dadap, kuning
asam, akar hajere, baik sebagai bahan tunggal maupun cam-
telur, kentang, garam, dan lain-lain baik sebagai bahan tunggal
puran
maupun campuran.
Dari Tabel 3 terlihat jeruk nipis + kecap mempunyai persen-
Ternyata bawang merah + minyak kelapa paling banyak tase terbesar di kedua kabupaten dalam pengobatan batuk oleh
dipakai di kedua daerah baik pada penelitian pertama maupun ibu balita; untuk mengetahui secara jelas khasiat campuran ke-
kedua dibanding bahan Iainnya (Tabel 1), mungkin memang duanya tentu diperlukan penelitian lebih lanjut, sehingga dapat
cainpuran dua bahan tersebut efektif untuk pengobatan demam; menolong masyarakat luas dengan obat batuk yang relatif lebih
hal ini tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut. murah.
Pada Tabel 2 dapat dilihat jenis obat modern yang banyak Tabel 4 menunjukkan pemakaian obat modern dalam
dipakai ibu balita dalam mengobati demam anaknya. peng-obatan batuk oleh ibu balita.
Tabel 2. Persentase 10 macam obat modern terbanyak yang dipakai ibu Tabel 4. Persentase 10 macam obat modern yang dipakai ibu balita dalam
balita dalam pengobatan demam anaknya, di Kabupaten pengobatan batuk anaknya, di Kabupaten Cianjur dan Kabu-
Cianjur dan Kabupaten Sumedang, 1992–1993. paten Sumedang, tahun 1992–1993.

Cianjur (%) Sumedang (%) Cianjur (%) Sumedang (%)


Macam obat Macam obat
I (n=194) II (n=200) I (n=200) II (n=200) I (n=136) II (n=168) I (n=177) II (n=184)
Bodrexin® 24,74 10,50 13,50 10,50 Obat Batuk Putih 16,91 22,02 42,94 55,98
Inzana® 22,16 6,00 14,00 8,50 Laserin® 21,32 16,67 15,82 13,59
Parasetamol 9,00 58,00 38,00 63,00 Obat Batuk Hitam 13,24 7,74 4,52 7,07
Kemicetin® 8,76 3,00 – – Ampisilin 4,41 11,90 5,08 1,63
Contrexin® 7,22 7,50 6,00 3,00 Komix® 7,35 5,95 2,82 0,54
Ampisilin 4,64 4,00 3,50 1,00 Parasetamol 1,47 13,10 1,69 2,17
Termorex® 4,12 6,00 1,00 – OBB 4,41 6,55 1,13 2,17
Kotrimoksasol 1,04 2,50 1,50 0,50 Konidin® 5,15 3,57 2,26 1,09
Fiutamol® 1,03 – 4,00 2,00 Kotrimoksasol 1,47 4,76 1,69 2,17
Panadol® – – 5,50 6,50 Kemicetin 6,62 2,38 – –
Lain–lain 17,29 2,50 13,00 5,00 Lain-lain 17,65 5,36 22,05 13,59
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00
Catatan : Catatan:
I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua I = Penelitian pertama, II = Penelitian kedua
Lain-lain = obat lain: Komix®, Cafenol®, Tarakol®, Anak Sumang®, Lain-lain = Di sini termasuk obat-obatan lainnya, misalnya: Vick Formula
Procold®, Laserin®, Aspilet®, Hongsam®, dan lain-lain. 44®, Cohistan®, Ikadril®, Decolsin®, Bisolvon®, dan lain-lain.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Pada Tabel 4 terlihat Obat Batuk Putih, Laserin®, dan Obat nya lebih lanjut untuk kesejahteraan masyarakat.
Batuk Hitam, merupakan obat-obatan yang terbanyak dipakai 2) Ditemukan 27 macam obat modem untuk pengobatan batuk,
ibu balita dalam menangani batuk anaknya, hal ini tentu menarik dan 26 macam obat modern untuk mengatasi demam. Perlu
diteliti lebih lanjut mengenai efektifitas dan nilai ekonomisnya penelitian lebih lanjut obat-obatan modern yang efektifitasnya
untuk masyarakat. Di sini terlihat juga pemakaian antibiotik, tinggi, efek samping rendah, dan harga terjangkau masyarakat
tidak jelas apakah khusus untuk pengobatan batuknya atau ada banyak.
komplikasi lainnya yang memerlukan antibiotik. 3) Puskesmas masih merupakan ujung tombak pelayanan ke-
Pada penelitian ini juga ditemukan, ibu balita terbanyak sehatan terutama dalam hal pemberian obat-obatan.
mendapat pengobatan/obat dari Puskesmas (untuk ISPA
ringan : 52,2–74,7%, untuk pneumonia: 29,6–59,4%), Dokter UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Dr. Suriadi Gunawan DPH,
praktek (ISPA ringan : 7,3–19,3%, pneumonia: 17,3–59,7%), Kapuslit Penyakit Menular Badan Litbangkes, Dr. Cholid Rasyidi DSA beserta
Rumah Sakit (ISPA ringan: 1,0–5,8%, pneumonia: 1,0–24,7%). Staf dan SubDit ISPA PPM-PLP, Kakanwil DepKes. Jawa Barat beserta Staf
Selain itu ibu balita juga mendapatkan obat dan toko/warung Kepala DinKes. Dati 11 Cianjur dan Sumedang beserta Staf rekan sejawat, dan
obat, bidan, perawat, dan kader kesehatan. Melihat hal ini maka pihak-pihak lain yang telah membantu kami sampai terlaksananya penelitian ini.
Puskesmas masih merupakan ujung tombak pelayanan kese-
KEPUSTAKAAN
hatan bagi masyarakat luas, semua ini harus diimbangi dengan
prasarana dan sarana yang memadai. 1. Departemen Kesehatan RI, Pusat Data Kesehatan (1991). Profit Kesehatan
Indonesia, Jakarta.
2. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI (1992). Pedoman Pemberazi
KESIMPULAN DAN SARAN tasan Penyakit ISPA, Jakarta.
1) Di samping obat-obatan modern, obat tradisional juga masih 3. Dit. Jen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI (1990). Bimbingan Keteram
banyak digunakan masyarakat, hal ini perlu diteliti efektifitas- pilan dan Penatalaksanaan ISPA pada Anak, Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 47


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Keefektifan Paduan Obat Ganda


Bifasik Jangka Pendek Anti TB
Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti
Mikrobial dan Kegiatan Pemulihan
Imunitas Protektif
1. Khemoterapi Anti Tuberkulosis
R.A. Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo
Malang, Indonesia

Khemoterapi anti TB diberikan melalui paduan obat anti adaan the persisters di dalam sel-sel makrofag. Karena tingkat
TB, yang berarti melalui paduan obat yang terdiri sedikitnya dari pertumbuhannya rendah, the persisters ini tidak mudah di-
dua obat anti TB individual yang dikenal sebagai paduan obat musnahkan oleh obat-obat anti TB. Sewaktu-waktu sesudah
ganda (dual drug treatment). Paduan obat anti TB yang terdiri dihentikannya pengobatan yang berhasil, the persisters dapat
dari tiga atau lebih obat-obat disebut paduan obat multi-terapi keluar dan sel-sel makrofag. Dalam hal imunitas protektif (pro-
(multi-drug treatment). tective immunity) yang diperankan terutama oleh sel-sel makro-
Khemoterapi anti TB melalui pemberian obat tunggal (single fag (imuno-fagosit) tidak mampu memusnahkan the persisters
drug treatment), dalam hal ini pengobatan tunggal dengan yang berada di lingkungan luar sel, the persisters ini meningkat-
isoniazid (INH, H) (JNH single drug treatment) pernah populer kan pertumbuhan dan terjadilah kekambuhan.
pada sekitar tahun 1960(1), namun setelah diperoleh pengetahuan Dari segi daya antimikrobial (DAM), obat-obat anti TB
lebih banyak tentang penganih pengobatan tunggal INH ter- individual dibagi menjadi
hadap terjadinya resistensi basil TB terhadap INH, pengobatan 1) Obat anti TB yang bekerja bakterisidal dan mempunyai
yang dimaksud tidak lagi dapat dibenarkan. DAM yang tinggi untuk inemusnahkan basil TB (INH, RMP,
Obat-obat anti TB ada yang bekerja intraseluler dalam ling- PZA).
kungan asam, danlatau ekstraseluler dalam Iingkungan netral 2) Obat-obat anti TB individual yang bekerja bakteriostatis dan
atau alkalis. Obat-obat anti TB yang bekerja hanya intra- atau mempunyai DAM rendah yang hanya mampu menghambat per-
ekstraseluler saja mempunyai nilai kegiatan bakterisidal (NKB) tumbuhan basil TB (SM, EMB).
sebesar ½; yang bekerja intra- maupun ekstraseluler mempunyai Atas dasar kurun waktu khemoterapi (treatment period),
NKB sebesar ½+ ½=1 paduan obat anti TB dibagi menjadi:
Isoniazid (INH, H) dan nifampisin (RMP, R) adalah obat 1) Paduan obat jangka panjang 1 – 1½ tahun yang dikenal
anti TB individual yang bekerja intra- maupun ekstraseluler dan sebagai paduan obat anti TB konvensional.
mempunyai NKB sebesar 1. Ethambutol (EMB, E) dan strepto- Paduan obatjangka panjang 12 – 18 bulan terdiri dari obat-
mycin (SM, S) bekerja hanya ekstraseluler dan mempunyai obat anti TB individual yang mempunyai NKB sebesar 1½,
NKB sebesar ½. Pyrazinamide (PZA, Z) bekerja hanya intra- misalnya I2HS dan I2HE.
seluler sepanjang kurun waktu pengobatan dengan PZA dan 2) Paduan obatjangka pendek 6 –9 bulan.
mempunyai NKB sebesar ½. Pada fase permulaan pengobatan, Paduan obat ini terdiri dari obat-obat anti TB individual yang
lingkungan di lokasi kelainan histo-patologis TB aktif adalah mempunyai NKB sebesar sedikitnya 2, misalnya 6HR, 6HZE,
asam yang memungkinkan PZA juga bekerja ekstraseluler se- 6HZS.
lama fase permulaan pengobatan(2,3). Atas dasar riwayat pengobatan, paduan obat anti TB dibagi
Populasi basil TB pada manusia sebagian besar berada di menjadi:
lingkungan luar sel(2). Kerja intraseluler obat anti TB diperlu- 1) Paduan obat anti TB primer (primary anti- TB regimen).
kan untuk mencegah terjadinya kekambuhan (relapse) sesudah 2) Paduan obat anti TB sekunder (secondary anti-TB regimen)
pengobatan yang berhasil dihentikan. atau paduan obat ulang (retreatment regimen).
Terjadinya kekambuhan dikaitkan terutama dengan keber- Isoniazid sebagai obat individual dengan NKB sebesar 1,

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


merupakan tonggak (mainstay) dan tiap paduan obat anti TB obatan.
primer. Paduan obat anti TB primer diberikan kepada kasus- 2) Obatpelengkap (complementary drug), yaitu EMB dan SM.
kasus TB yang melalui temu wicara yang cermat diketahui se- Obat pelengkap diberikan untuk:
belumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Paduan a) Meningkatkan NKB paduan obat anti TB.
obat anti TB sekunder diberikan kepada kasus-kasus TB yang Penambahan EMB pada paduan obat jangka panjang 12HZ
mengalami kegagalan pengobatan (treatment failure) atau ke- dengan NKB sebesar 1½ membentuk paduan obat jangka
kambuhan (relapse). pendek 6HZE dengan NKB sebesar 2.
Makna pemeriksaan kepekaan strain-strain basil TB terha- Penambahan EMB pada paduan obat jangka pendek 6HR
dap obat-obat anti TB yang pernah digunakan adalah menonjol dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obatjangka pendek
sekali. Strain basil TB yang menunjukkan resistensi sekunder 6HRE dengan NKB sebesar 2½.
terhadap obat anti TB tidak lagi dapat dimusnahkan oleh obat b) Menambah DAM paduan obat anti TB.
anti TB yang bersangkutan. Penambahan EMB pada paduan obat jangka panjang 12HS
Atas dasar tahap-tahap pengobatan (treatment phases), ku- dengan NKB sebesar 1½, membentuk paduan obatjangka pan-
run waktu pemberian paduan obat anti TB dibagi menjadi: jang 12HSE dengan NKB sebesar 1 ‘p2; dengan DAM yang le-
1) Fase permulaan (initial phase) yang berlangsung selama 1– bih tinggi dan padapaduan obat 1 2HS.
3 bulan. Ethambutol dan SM keduanya bekerja dalam Iingkungan
Apabila pada fase permulaan, paduan obat anti TB meng- ekstraseluler, gabungan EMB dan SM mempunyai NKB
andung lebih banyak obat anti TB individual dan pada fase sebesar ½.
lanjutan, fase permulaan disebut fase permulaan intensif, misal- c) Memungkinkan diabaikan pengadaan pemeriksaan kepeka-
nya paduan obat 2HRE/5HR. an basil TB terhadap obat anti TB.
2) Fase lanjutan (continuation phase) yang berlangsung 3–5 Penambahan EMB pada paduan obat jangka pendek 6HR
bulan untuk paduan obat jangka pendek enam bulan dan 9–11 dengan NKB sebesar 2, membentuk paduan obatjangka pendek
bulan untuk paduan obatjangka panjang 12 bulan. 6HRE dengan NKB sebesar 2½ disertai DAM yang lebih tinggi,
Atas dasar ritme pengobatan, pemberian paduan obat anti sehingga dapat diabaikan pengadaan pemeriksaan kepekaan ba-
TB dibagi menjadi: sil TB terhadap obat-obat anti TB, apabila digunakan sebagai
1) Ritme pengobatan tiap hari. paduan obat anti TB primer di daerah-daerah endemis TB.
Pengobatan tiap hari diberikan selama fase perinulaan pen- Obat pelengkap diberikan selama seluruh kurun waktu peng-
gobatan yang berlangsung selama 1–3 bulan. obatan.
2) Ritme pengobatan berkala 2 kali seminggu.
Pengobatan berkala 2 kali seminggu diberikan selama fase 3) Obat ke-3 (the third drug), yaitu EMB dan SM.
lanjutan pengobatan. Penambahan EMB selama fase permulaan pengobatan pada
Tujuan pemberian pengobatan melalui ritme berkala 2 kali paduan obatjangka pendek 6HR dengan NKB sebesar 2, mem-
seminggu adalah: bentuk paduan obat jangka pendek HRE/5HR dengan fase per-
a) mengurangi biaya pengobatan. mulaan intensif dan dengan NKB sebesan 2½ pada fase permu-
b) mempermudah case-holding. laan intensif dan sebesar 2 pada fase lanjutan.
c) memudahkan pelaksanaan pengobatan secara terawasi pe- Penambahan EMB pada fase permulaan pengobatan pada
nuh (fully supervised treatment). paduan obat jangka panjang 12HS dengan NKB sebesar 1½
Ritme pengobatan berkala 2 kali seminggu dimungkinkan membentuk paduan obat jangka panjang HSE/11 HS dengan fase
oleh karena adanya lag phase pada pertumbuhan basil TB sesu- permulaan intensif dan dengan NKB sebesan 1½ selama fase
dah penyentuhan oleh obat anti TB. Basil TB yang tersentuh obat permulaan intensif maupun selama fase lanjutan.
anti TB, dicuci dan dibiakkan kembali pada medium pembiakan Obat ke-3 diberikan hanya selama fase permulaan peng-
tidak menunjukkan pertumbuhan selama 2–3 hari. Di samping obatan dan diperlukan untuk meningkatkan DAM paduan obat
itu ritme pengobatan berkala dua kali seminggu dimungkinkan anti TB selama fase permulaan pengobatan; fase permulaan in-
berdasarkan kenyataan bahwa obat anti TB diserap dan diper- tensif ini diperlukan untuk meningkatkan upaya the early kill.
tahankan dalam jaringan patologis spesifik selama kurun waktu Dari segi pemeriksaan bakteriologi dahak, hasil pengguna-
lebih lama dari pada di serum darah(4). an paduanobat anti TB dinilai atas dasar:
Atas dasar peranannya sebagai komponen paduan obat anti 1) Angka keberhasilan pengobatan (successful treatment) pada
TB, obat-obat anti TB individual dibagi menjadi: akhir bulan pengobatan.
1) Obat pokok (main drug), yaitu NH, RMP, PZA. 2) Angka kejadian relaps bakteriologis (bacteriologic relapse)
Ketiga obat tersebut di atas bekerja dalam lingkungan asam sesudah dihentikan pengobatan yang berhasil.
(intraseluler). Keberhasilan pengobatan atas dasar pemeriksaan bakterio-
Tiap paduan obat anti TB sebagaiu paduan obat primer logi dahak dikerjakan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
maupun sebagai paduan obat sekunder, harus mengandung (M) dan pemeriksaan dahak biakan (B). Dan segi kegiatan
sedikitnya satu obat anti TB yang bekerja intraseluler. bakterisidal, obat-obat anti TB bekerja hanya selama kurun
Obat pokok diberikan selama seluruh kurun waktu peng- waktu pengobatan 6 bulan. Oleh karena itu, penilaian keberha-

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 49


silan pengobatan anti TB atas dasar bakteriologi dahak dikerja- nunjukkan adanya strain basil TB yang resisten primer terhadap
kan paling lambat pada akhir bulan pengobatan ke enam(5). Pe- obat anti TB, masih dapat memanfaatkan obat yang dimaksud
nentuan keberhasilan pengobatan pada akhir bulan pengobatan karena masih efektif terhadap strain basil yang sensitif.
pada penggunaan paduan obat yang mengandung RMP atau Resistensi primer terhadap INH meningkat dan tahun ke
tidak, dapat dikerjakan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis. tahun. Ditemukan angka resistensi primer terhadap INH sebesar
Keberhasilan pengobatan ditentukan atas dasar ditemukan dahak 7% di Kotamadya Yogyakarta pada tahun 1962(1), 0% di daerah
mikroskopis negatif (M–) selama tiga kali berturut-turut pada pedusunan Malang pada tahun 1964(11), 15% di Jakarta pada
pemeriksaan dahak sekali sebulan, yaitu: tahun 1975(12), dan sebesar 44% di Kotamadya Malang pada
• M– pada akhir bulan pengobatan ke-4, ke-5 dan ke-6, atau: tahun 1975-1977(13) dan sebesar 40% di Jawa Timur pada tahun
• M– pada akhir bulan pengobatan ke-5, ke-6 dan pada akhir 1979(14).
bulan ke-7 sesudah dimulai pengobatan, atau: Penggunaan RMP menyertai INH pada kasus-kasus TB paru
• M– pada akhir bulan pengobatan ke-6, akhir bulan ke-7 dengan angka resistensi primer terhadap INH sebesar 40%, me-
dan akhir bulan ke-8 sesudah dimulai pengobatan. nunjukkan keberhasilan pengobatan (cure rate) pada akhir bulan
Penentuan kegagalan pengobatan (treatment failure) pada pengobatan sebç 96%. Dengan lain perkataan, penggunaan
akhir bulan pengobatan pada penggunaan paduan obat yang RMP menyertai INH pada kasus-kasus di daerah TB masih
mengandung RMP, dikerjakan melalui pemeriksaan dahak endemis, dapat mengabaikan pengadaan pelaksanaan pemeriksa-
biakan. Kegagalan pengobatan ditentukan atas dasar ditemukan an kepekaan basil TB terhadap obat-obat anti TB terutama dari
dahak biakan positif (B÷) selama tiga bulan berturut-turut pada segi pengobatan lapangan (field treatment)(15).
pemeriksaan sekali sebulan, yaitu: Resistensi sekunder ditemukan pada kasus-kasus TB yang
• B+ pada akhir bulan pengobatan ke-4, ke-5 dan ke-6, atau: menunjukkan kegagalan pengobatan atau kekambuhan sesudah
• B+ pada akhir bulan pengobatan ke-5, ke-6 dan pada akhir dihentikan pengobatan yang berhasil. Populasi basil Th pada
bulan ke-7 sesudah dimulai pengobatan, atau: kasus-kasus TB yang menunjukkan resistensi sekunder terhadap
• B+ pada akhir bulan pengobatan ke-6, pada akhir bulan ke- obat anti TB adalah populasi yang homogen dan segi kepekaan
7 dan pada akhir bulan ke-8 sesudah dimulai pengobatan. basil TB terhadap obat-obat anti TB. Dengan lain perkataan,
Keberadaan kuman mati (dead bacilli; M+B–) pada pe- strain basil yang resisten sekunder terhadap obat anti TB tidak
meriksaan bakteriologi dahak pada penggunaan paduan obat dapat dimusnahkan oleh obat anti TB yang dimaksud(9). Resis-
yang mengandung RMP menimbulkan masalah pada penentuan tensi sekunder timbul pada akhir bulan pengobatan ke-2 (hasil
kegagalan pengobatan pada akhir bulan pengobatan. Sebanyak observasi yang tidak dipublikasikan).
50% dan dahak yang M+ pada akhir bulan pengobatan ke pada Resistensi sekunder terjadi oleh karena:
penggunaan paduan obat yang mengandung RMP, disebabkan 1) Penggunaan paduan obat anti TB yang tidak adekuat.
oleh keberadaan “kuman mati” pada dahak(6). 2) Pengobatan yang tidak teratur.
Kejadian kekambuhan bakteriologis (bacteriologic relapse) 3) Putus berobat (drop-out).
atas dasar pemeriksaan bakteriologi dahak pada penggunaan Resistensi sekunder terhadap INH ditemukan sekitan 60%
paduan obat yang mengandung RMP atau tidak, dikerjakan pada kasus-kasus TB yang kambuh dan sekitar 90% pada
melalui pemeriksaan dahak biakan. Kejadian kekambuhan bak- kasus- kasus kegagalan pengobatan (hasil observasi yang tidak
teriologis ditentukan atas dasar ditemukan dahak biakan positif dipublikasikan).
(B+) selama tiga bulan berturut-turut pada pemeriksaan dahak Mutasi kembali (back mutation) tidak terjadi pada strain
sebulan sekali(7,8). basil TB yang resisten sekunder atau primer terhadap obat anti
Resistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB merupakan TB; yang terjadi adalah fenomena pembalikan (reversal pheno-
kendala pada upaya memperoleh keberhasilan pengobatan se- menon) yang ditemukan hanya pada kasus-kasus TB dengan
cara maksimal pada penggunaan paduan obat anti TB. Resistensi strain basil TB yang resisten primer terhadap obat anti TB(9).
strain basil TB terhadap obat-obat anti TB dibagi menjadi: Multinesistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB menim-
1) Resistensi primer. bulkan masalah pengobatan yang lebih serius daripada resistensi
2) Resistensi sekunder. tunggal (mono-resistance). Multiresistensi ini dikaitkan dengan
Resistensi primer ditemukan pada kasus-kasus TB yang adanya kombinasi penyakit TB dan penyakit yang dibangkitkan
sebelumnya tidak pernah memperoleh obat-obat anti TB. Resis- oleh H1V- 1 (the Human Immunodeficiency virus type 1) terutama
tensi ini timbul sesudah terjadi transmisi basil TB yang resisten pada fase khronik lanjut yang biasa disebut sebagai AIDS
terhadap obat anti TB pada kasus TB yang sebelumnya tidak (Acquired Immuno Deficiency Syndrome).
pernah memperoleh obat-obat anti TB. Multiresistensi berarti adanya resistensi primer maupun
Di daerah-daerah tempat TB masih endemis, populasi basil sekunder terhadap sedikitnya dua obat-obat anti TB individual
TB dinyatakan sebagai populasi yang heterogen dari segi kepekaan yang tengolong obat pokok.
basil terhadap obat-obat anti TB. Dalam hal terdapat resistensi Multiresistensi basil TB terhadap obat-obat anti TB dibagi
primer terhadap obat anti TB, ditemukan subpopulasi basil TB menjadi:
yang resisten dan subpopulasi basil TB yang sensitif terhadap 1) Multiresistensi yang ditemukan pada Mycobacterium tuber-
obat yang dimaksud(9,10). Dengan demikian, kasus TB yang me- culosis (M. tuberculosis).

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


2) Multiresistensi yang ditemukan pada Mycobacterium atypic asam. Upaya meningkatkan keberhasilan paduan obat antituber-
(M. atipik). kulosis dikerjakan melalui upaya meningkatkan kegiatan bakte-
Multiresistensi pada M. tuberculosis adalah resistensi yang ber- risidal sel-sel makrofag melalui:
sifat tetap yang dibangkitkan oleh karena kegagalan atau kekam- 1) Pemberian imuno-modulator (cimetidine) pada fase per-
buhan pada penggunaan paduan obat anti TB yang mengandung mulaan khemoterapi anti TB(24,25).
sedikitnya dua obat-obat pokok, atau telah terjadi transmisi M. 2) Pemberian imuno-terapi dengan BCG pada saat sesudah
tuberculosis yang multiresisten terhadap obat anti TB. Myco- dihentikan khemoterapi yang berhasil(24,25).
bacterium tuberculosis yang multiresisten terhadap obat-obat Pemberian imuno-modulator pada fase permulaan pengobatan
anti TB tidak dapat dimusnahkan oleh obat-obat anti TB yang anti TB mempercepat (accerelate) pemulihan kedudukan imuno-
bersangkutan, yang berarti obat-obat anti TB yang bersangkutan logis pada kasus TB khronis dan kedudukan imunologis tipe K
tidak lagi berguna. (TB khronis) menjadi kedudukan imunologis tipe L (TB akut).
Multiresistensi pada M. atypic adalah resistensi yang ber- Pemberian imuno-terapi dengan BCG pada saat sesudah dihenti-
sifat tidak-tetap (temporer). Mycobacterium tuberculosis adalah kan khemoterapi anti TB pada kasus TB khronis, memperkuat
dimorphic(16), yang berarti terdiri dua bentuk yaitu bentuk yang (strengthen) pemulihan kedudukan imunolohgis dan tipe K men-
tahan-asam (acid-fast form) dan bentuk yang tidak tahan-asam jadi kedudukan imunologis tipe L.
(non-acid-fast form). Bentuk yang tahan-asam adalah M. Pada hakekatnya, pada pertarungan melawan basil TB di
atypic(17,18), yang bersifat non-patogenik namun menunjukkan dalam jaringan tubuh “tuan rumah” (host), daya tahan imuno-
multiresistensi terhadap obat-obat anti TB. Bentuk yang tahan- logis memainkan peran utama; pemberian khemoterapi anti TB
asam ini dapat dilihat di bawah mikroskop melalui pengecatan dimaksud untuk memulihkan (restore) dan mendukung (back
metode Ziehl-Neelsen atau pengecatan metode Tan Thiam Hok. up) daya tahan imunologis dengan tujuan untuk meningkatkan
Bentuk yang tidak tahan-asam tidak dapat dilihat di bawah imunitas protektif (enhancement of protective immunity) yang
mikroskop melalui pengecatan metode-metode tersebut di atas. esensial untuk stabilisasi kesembuhan (stabilization of cure).
Dalam keadaan terpisah (split), bentuk yang tahan-asam Keberadaan daya tahan imunologis yang berfungsi secara opti-
mengembangkan sifat-sifat M. atypic. Sewaktu-waktu kedua mal, merupakan conditio sine qua non untuk dapatnya khemo-
bentuk yang terpisah ini bergabung kembali, membentuk M. terapi anti TB berkhasiat secara maksimal.
tuberculosis dan mengembangkan sifat-sifat sebagai M. tubercu-
losis, yaitu bersifat patogenik dan terdapat sensitif terhadap obat- KEPUSTAKAAN
obat anti TB. Sewaktu dalam keadaan bergabung, M. tuberculo-
1. WHO Regionaj Office: The TB Pilot Project in Yogyakarta. 1962; Reports
sis ini dapat dimusnahkan oleh obat-obat anti TB yang tidak on WHO Projects, 1968.
menunjukkan resistensi (hasil observasi yang tidak dipubli- 2. Mitchison DA, Nunn AJ. Influence of initial drug resistance on the
kasikan). Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa RMP adalah response to short-course chemotherapy of pulmonary tuberculosis. Am.
obat pilihan (drug of choice), karena RMP hanya memerlukan Rev, of Respir. Dis. 1986; 133: 423.
3. East Africa/BMRC. Controlled clinical trial of five short-course chemo-
waktu sentuhan selama satu jam untuk memusnahkan basil TB therapy regimens in pulmonary tuberculosis. Am. Rev, of Respir. Dis.
yang sensitif, sedangkan INH membutuhkan waktu sentuhan se- 1981; 123: 165.
lama 24 jam(19). Mycobacterium atypic ditemukan pada sebanyak 4. Handojo RA. Drug-induced elevation of SGPT related to the extent of
0,2–2% dan kasus-kasus TB dengan dahak positif sebelum di- disease during anti TB treatment. The 10th Asia Pacific Congress on
Diseases of the Chest in Taipei in 1987, p (Abstract).
mulai pengobatan dengan khemoterapi anti TB(17,20). Pada akhir 5. Wibisono J. The duration of augmentation of protective immunity during
pengobatan yang berhasil (successful treatment), M. atypic anti-tuberculosis therapy. Joint International Congress, 2nd Asia Pacific
ditemukan pada sebanyak 15% dan kasus-kasus TB yang menye- Society of Respirology, 5th Indonesian Association of Pulmonologists,
lesaikan pengobatan(20). Peningkatan angka penemuan M. atypic 1990, 233 (Abstract).
6. Handojo RA. Permasalahan “kuman mati” pada pengelolaan pengobatan
ini disebabkan oleh keadaan keletihan dari sel-sel makrofag terhadap kasus tuberkulosis paru. Kumpulan Naskah Kongres Nasional ke
(fatigue macrophages). Mycobacterium atypic ditemukan pada III Ikatan Dokter Paru Indonesia di Medan 1983, 162–1 69.
sebanyak 25–53% dan pasien-pasien yang mendenita penyakit 7. Handojo RA. Short-Course chemotherapy in Indonesia. Proc. the Eastern
tuberkulosis dan penyakit HIV pada fase khronis lanjut Regional Tuberculosis Conference of the International Union Against
Tuberculosis, Jakarta 1983, 133–147.
(AIDS)(21,22). Pada pasien-pasien yang menderita lepra lepro- 8. Handojo RA, Liunanda S. The determination of a bacteriological relapse
matosa, M. atypic ditemukan pada sebanyak 96% dan pasien after ariti-tuberculosis treatment. Proc. International Academy of Chest
pasien yang dimaksud, sebagian besan tergolong M. scrophu- Physicians. PL. Nandy, WK. Lam (eds). The 7th Asia Pacific Congress on
laceum(23). Tingginya angka penemuan M. atypic pada pasien- Diseases of the Chest Hong Kong 1981, p 202–204.
9. Handojo RA. Stability of isoniazide-susceptibility during anti-tuberculosis
pasien yang menderita lepra lepromatosa dan pada pasien-pasien chemotherapy in pulmonary tuberculosis. I. the occurrence of a reversal
yang menderita penyakit HIV dan penyakit tuberkulosis, di- phenomenon. The 11th Aata Pacific Congr on Diseases of the Chest,
sebabkan oleh adanya kerusakan pada fungsi sel-sel makrofag Bangkok 1989, p 182.
(detective function of the macrophages). Upaya pengolahan 10. Agung S. Stability of isoniazide-susceptibility during anti-tuberculosis
chemotherapy in pulmonary tuberculosis. 2. the emergence of transient
antigen (antigen processing) oleh sel-sel makrofag hanya meng- isoniazide-resistance. The 11th Asia Pacific Congr Diseases of the Chest,
hasilkan pembelahan (splitting) dan basil tuberkulosis menjadi Bangkok 1989, p 303.
bentuk yang tahan-asam (M. atypic) dan bentuk yang tidak-tahan 11. WHO Regional Office. The Rural Sample Survey, Malang, 1964. Tubercu-

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 51


losis Control in Indonesia, 1952–1965. Reports on WHO Projects, 1969. 19. Mitchison DA, Dickinson JM. Bactericidal mechanisms in short-course
12. Peetosutan E, Lanibey W. Primary resistance oftubercle bacilli to isoniazide, chemotherapy. Bull. International Union Against Tuberculosis 1978; 53:
streptomycin and PAS in Jakarta and its influence on the result of chemo- 254–259.
therapy. J. lndon. Medical Assoc. 1975. 20. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis paru.
13. Susilo AW. The significance of primary resistance to anti-tuberculosis Laporan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, DepKes. RI,
drugs. Proc. II of the Eastern Regional Tuberculosis Conference of the 1970.
International Union Against Tuberculosis in Jakarta 1983, p 68–71. 21. Schneider MME, van der Wiel A. Wierma J et al. Len patient met een
14. Sri Prihatini. Khemoterapi jangka pendek di puskesmas di Jawa Timur. gedissemineerde M. avium infecti en een gestoorde afweer apparaat.
Simposium Penyakit Menular di Surabaya, 1979. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1988; 132: I 1611-62.
15. Handojo Al. The influence of a high prevalence rate of primary isoniazide- 22. Weits J, Sprenger HG, Ilic Pet al. M. avium ziekte bij AIDS patienten.;
resistance on the outcome of treatment using dual drug two phase regimens. diagnostiek en therapie. Nederl. Tijdschr. v. Geneesk. 1991; 130:2485–89.
The 11th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Bangkok, p 187. 23. Warsa R. The Kie SIng. Isolation of acid-fast organisms from leprosy
16. Csillag A. J. Gem. Microbiol. 1961, 26, 97. quoted from: Warsa, The Kie patients (preliminary report). Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237–239.
Sing. Maj. Kedokt. Indon. 1969; 7: 237–239. 24. Lusiana D, Adhinata K, Henny CK. How pattern of tuberculin reaction
17. Handojo RA. The emergence of atypical mycobacteria in pulmonary may elucidate the mechanism of action of immuno-therapy with BCG.
tuberculosis related to the use of anti-tuberculosis chemotherapy. Proc. of Joint International Congress, 2nd Asia Pacific Siciety of Respirologists,
the VIIth Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest in Tokyo Japan, 5th Indonesian Association of Pulmonologist in Denpasar Indonesia, 1990,
1983, p 176. p 234 (Abstract).
18. Handojo RA. The significance of the emergence of atypical mycobacteria 25. Lusiana D. Pengaruh penggunaan imuno-modulator dan imuno-terapi
in pulmonary tuberculosis related to the use of anti-tuberculosis chemo- terhadap keberhasilan khemoterapi anti-tuberkulosis. Paru 1987; 1–2;
therapy. Paru 1987; 7: 28–36. 24–27.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


HASIL PENELITIAN

Pola Resistensi Bakteri


Enteropatogen terhadap
Antibiotik

Pudjarwoto Triatmodjo, Catra Oktarina


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit diare telah menimbulkan
resistensi kuman terhadap antibiotik. Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotik
perlu dipantau agar dalam pengobatan penyakit diare dengan antibiotik dapat dilakukan
pemilihan antibiotik secara tepat.
Untuk menambah informasi tentang pola resistensi kuman-kuman penyebab diare
terhadap antibiotik, telah dilakukan penelitian uji resistensi kuman Salmonella, Shigella
dan Vibrio-Cholera yang diperoleh dan penderita diare terhadap antibiotik khloram
fenikol, ampisilin, tetrasiklin, kanamisin dan kotrimoxazol. Uji resistensi dilakukan
secara Disk Diffusion (Kir Bauer, 1966).
Hasil penelitian menunjukkan, Shigella masih sensitif terhadap kotrimoxazol (SXT);
namun terhadap antibiotik alternatif ampisilin (Amp) menunjukkan tingkat resistensi
50%. Salmonella menunjukkan tingkat resistensi sebesar 42% terhadap ampisilin, 57%
terhadap khloramfenikol dan 71% terhadap kotrimoxazol.
Disimpulkan bahwa Shigella masih sensitif terhadap SXT, namun Salmonella telah
menunjukkan resistensi yang cukup tinggi terhadap SXT, C dan Ampisilin.

PENDAHULUAN Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh informasi


Penggunaan antibiotik secara tidak rasional pada penyakit mengenai jenis antibiotik yang masih efektif dan yang kurang
diare di samping menimbulkan bahaya efek samping, pemboros- efektifuntuk pengobatan diare, sehingga pemilihan obat (drug
an biaya dan gagalnya upaya penurunan morbiditas dan mortili- of choice) pada penyakit diare dapat dilakukan secara tepat.
tas, juga dapat berisiko timbulnya resistensi kuman penyebab
diare terhadap antibiotik. Hal ini telah banyak dilaporkan oleh BAHAN DAN CARA
pakar-pakar antibiotik baik di luar negeri maupun dalam negeri. Penelitian dilakukan di RS Tangerang dan laboratorium
Di Indonesia, informasi mengenai pola resistensi kuman- Puslit Penyakit Menular. Badan Litbangkes, dimulai pada
kuman penyebab diare terhadap antibiotik terpilih maupun anti- bulan Juni 1995 dan selesai pada bulan Maret 1996.
biotik alternatif masih sangat terbatas. Kegiatan penelitian d RSU Tangerang meliputi pemilihan
Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian mengenai pola penderita, yaitu penderita diare golongan umur balita yang ber-
resistensi beberapa jenis bakteri enteropatogen penyebab diare obat ke bagian Poli Anak, RSU Tangerang. Terhadap penderita
terhadap berbagai jenis antibiotik terpilih, yakni untuk menda- terpilih kemudian dilakukan pengambilan rectal swab dan wa-
patkan gambaran/informasi resistensi kuman-kuman penyebab wancara dengan orangtua penderita untuk mendapatkan informasi
diare terhadap antibiotik. tentang upaya pengobatan yang dilakukan sebelum berobat ke

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 53


rumah sakit. Tabel 3. Jenis kuman patogen yang ditemukan dan berhasil diisolasi
dari rectal swab penderita diare di RSU Tangerang
Penelitian di laboratorium Puslit Penyakit Menular meliputi
identifikasi bakteri enteropatogen terutama Vibrio cholera, Sa- Jenis bakteri Jumlah
lmonella dan Shigella secara konversional. Kemudian dilakukan
Salmonella typhi 1
uji resistensi terhadap kuman-kuman yang terdeteksi dengan
Salmonella group A 1
antibiotik Khloramphenikol (C). Ampisilin (Amp), Kanamisin Salmonella group B 2
(K), Tetrasiklin (Te) dan Sulfametoxazol - Trimetoprim (SXT). Salmonella group C 1
Uji resistensi ini dilakukan secara in vitro dengan metode disk Salmonella group D 1
diffusion (Kirby Bauer, 1966). Tidak ada analisis statistik ter- Salmonella group E 2
Shigella_flexneri 1
hadap hasil penelitian ini. Shigella boydii 1
Shigella dysenteri 1
Shigella sonnei 0

Hasil uji resistensi kuman Shigella dan Salmonella terhadap


HASIL lima jenis antibiotik dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Pola resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap 5 jenis
Berdasarkan data medical recordtentang penderitapenyakit antibiotik, berdasarkan basil uji resisters secara disk diffussion
menular tertentu yang berobat ke RSU Tangerang tahun 1995,
Antibiotik
diperoleh informasi bahwa jumlah pasien terbanyak adalah dan Jenis kuman
penyakit diare (Tabel 1). C Te K Amp SxT

Shigella sonnei R R S R S
Shigella flexneri R S S R S
Tabel 1. Jumlah penderita penyakit menular tertentu yang berobat ke Shigella flexneri R I R R S
RSU Tangerang Th. 1995 (Januari – Desember 1995)
Keterangan :
Jumlah pasien Jumlah pasien R : Resisters I : Intermediate S : Sensitif
No. Jenis penyakit %
berobat keluar coati Tabel 5. Pola resistensi Salmonella penyebab diare terhadap lima jenis
1 Diare 2255 30 1,3 antibiotik berdasarkan basil uji secara disk diffussion
2 Demam tifoid 855 32 3,7
3 TB Paru (BTA +)/ Antibiotik
Jenis kuman .
TB Pam lain 476 57 12,0 C Te K Amp SxT
4 Tetanus 199 38 20,0
5 Hepatitis Virus 40 0 0,0 Salmonella Group D S S S S S
6 D.B. Dengue 392 11 2,9 Salmonella Group E S R S R R
7 Bronchitis 50 3 6,0 Salmonella Group A R R S S S
8 Pneumonia 313 68 21,0 Salmonella typhi S S S S S
9 Tetanus Neunatorum 25 12 48,0 Salmonella Group C R R R R R
10 ISPA 45 0 Salmonella Group B S I R S R
Salmonella Group E R R S S R
Sumber data: Medical record RSU Tangerang, 1995. Salmonella Group B S S S S S
Salmonella Group D S S S R R
Masih tingginya jumlah pasien diare yang meninggal dunia Keterangan :
berkaitan erat dengan pola tatalaksana penderita diare yang sa- R : Resisters I : Intermediate S : Sensitif
lah, antara lain adalah penggunaan antibiotik yang tidak rasional
pada kasus-kasus diare tersebut. Derajat resistensi dan multiresistensi kuman Shigella ter-
Dari 124 sampel rectal swab yang berhasil diperiksa terha- hadap antibiotik dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7.
dap kuman-kuman patogen penyebab diare, hasil positif kuman Tabel 6. Persentase besarnya resistensi kuman Shigella penyebab diare
patogen yang berhasil diidentifikasi dapat dilihat dalam Tabel 2. terhadap lima jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk
difussion
Tabel 2. Hasil identifikasi kuman-kuman penyebab diare dan sampel
rectal swab penderita diare balita Jumlah isolat Shigella
Antibiotik %
yang resisters (n = 3)
Hasil positif
Organisme
(N =124)
% C (30µg) 3 100
Te (30µg) 1 33,3
V. Cholera 0 0
K (30µg) 1 33,3
Salmonella 8 5,5
Amp (10µg) 3 100
Shigella 3 2,0
SxT (25 µg) 0 0
NAG 1 0,7
Keterangan
C : Chloramphenicol Amp : Ampicillin
Klasifikasi bakteri penyebab diare yang berhasil diidenti- Te : Tetracyclin SxT : Sulfametoxazol-Trimetoprim
fikasi adalah tercantum dalam Tabel 3. K : Kanamycin

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Tabel 7. Multi resistensi kuman Shigella penyebab diare terhadap lima Pada kasus-kasus diare yang disebabkan oleh infeksi Salmo-
jenis antibiotik berdasarkan uji secara disk difussion
nella, efektifitas antibiotik sudah berkurang. ini berarti bahwa
Antibiotik
Jumlah isolat
%
tingkat resistensi kuman Salmonella terhadap antibiotik terpilih
resisters (n = 3) maupun antibiotik alternatif sudah cukup tinggi. Sebagaimana
C, Te, Amp 1 33,3 tercantum dalam Tabel 8 dan 9 resistensi kuman Salmonella
C, K, Amp 1 33,3 terhadap antibiotik Chioramphenicol sudah mencapai 57%,
C, Amp 1 33,3
sedangkan terhadap SxT mencapai 71,4%.
Persentase derajat resistensi dan multiresistensi kuman Tingkat multiresistensi kuman Shigella mencapai 3 jenis
Salmonella terhadap antibiotik disajikan dalam Tabel 8 dan 9. antibiotik sedangkan pada kuman Salmonella telah didapatkan
I isolat Salmonella group C yang telah resisten terhadap semua
Tabel 8. Persentase besarnya resistensi kuman Salmonella terhadap lima jenis antibiotik yang diujikan yaitu C, Te, K, Amp dan SxT. Ke-
jenis antibiotik berdasarkan uji secara disk difussion
adaan ini dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan medis
Jumlah isolat Salmonella karena bila terjadi wabah (outbreak) diare yang disebabkan oleh
Antibiotik %
yang resisters (n = 7) infeksi kuman yang telah resisten tersebut akan sulit ditanggu-
C (30 µg) 4 57,1 langi dengan pengobatan antibiotik.
Te (30 µg) 5 71,4 Pola resistensi kuman V. cholera terhadap antibiotik Te
K (30 µg) 3 42,8 berdasarkan hasil pemeriksaan tahun 1990 di Jakarta menunjuk-
Amp (10 µg) 3 42,8 kan sensitifitas kuman yang masih cukup tinggi yakni sebesar
SxT (25 µg) 5 71,4
90%. Diduga efektifitas antibiotik Te untuk daerah Tangerang
Tabel 9. Multiresistensi kuman Salmonella penyebab diare terhadap lima tidak jauh berbeda dengan daerah Jakarta (data tidak ditampil-
jenis antibiotik berdasarkan hasil uji secara disk difussion kan).
Jumlah isolat yang KESIMPULAN
Antibiotik %
resisters (n = 7)
Kotrimoxazol/SxT masih efektif untuk pengobatan diare
C, Te, K, Amp, SxT 2 28,5 yang disebabkan oleh infeksi Shigella. Efektifitas ampisilin
Te, Amp, SxT 1 14,2
C, Te, SxT 1 14,2
sebagai antibiotik alternatif sudah berkurang.
K, SxT 1 14,2 Beberapa isolat Salmonella yang berasal dari penderita diare
C, Te 1 14,2 menunjukkan gejala multiresisten terhadap limajenis antibiotik
secara in vitro yakni : C, Te, K, Amp dan SxT.
PEMBAHASAN
Diare masih menduduki peringkat teratas di antara penyakit
menular lainnya berdasarkan jumlah penderita yang berkunjung
ke RSU Tangerang. Hal ini memberikan indikasi bahwa perilaku
hidup bersih dan sehat masih belum membudaya di sebagian KEPUSTAKAAN
masyarakat luas daerah Tangerang.
1. Anonymous. Performance Standard For Anti Microbial Disk Susceptibility
Dalam periode tahun 1995 kasus kolera tidak ditemukan; Test. National Committee for Clinical Laboratory Standard, 1976.
hasil pemeriksaan terhadap 124 sampel rectal swab penderita 2. Dwi Prahasto I. Antibiotika tidak rasional mulai menjamur, 1995.
diare umur balita menunjukkan hasil negatif. Sedangkan infeksi 3. Suryaatmaja S. Peranan obat pada Penatalaksanaan Diare, Medika 1992; 7:
Salmonella pada kasus diare cukup menonjol yakni sebesar 5,5% 79–82.
4. Simanjuntak CH. Aspek Mikrobiologi Penyakit Diare (Review).
dan infeksi Shigella relatif kecil (2,0%). Procceding Pertemuan Ilmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia.
Hasil uji resistensi kuman Shigella terhadap beberapa jenis Badan Litbangkes, Depkes RI Jakarta, 21–23 Oktober 1982.
antibiotik terpilih dan antibiotik alternatif menunjukkan bahwa 5. Sunoto. Rangkuman masalah Diare. Maj Kes Masy Indon 1995; XXIII (9):
antibiotik SxT masih cukup efektif untuk diare yang disebabkan 615–6.
6. Setiabudi R. Pemilihan Antibiotik secara Rasional. Maj Farmakol dan
oleh infeksi kuman Shigella, sedangkan untuk antibiotik Amp Terap. Indon 1988; (5(1): 79–36.
sudah menunjukkan efektifitas yang berkurang yakni sebesar 7. WHO,CDD. Program For Control Diarhoeal Diseases.Manual For Labora-
50%. tory lnvestigation of Acute Enteric Infection, 1987.

Bear the inevitable with dignity


(Streckfuss)

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 55


ANALISIS

Karakteristik Gizi Masyarakat


Pedesaan dan Perkotaan
Sarjaini Jamal
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Masyarakat pedesaan pada umumnya mempunyai status eko-


Di bidang gizi, keberhasilan pembangunan dapat ditunjuk- nomi yang lebih rendah dibandingkan perkotaan; sebagian besar
kan dengan semakin menurunnya persentase balita yang bergizi penduduk pedesaan bekerja di bidang pertanian/perikanan dan
kurang dan buruk penurunan prevalensi gizi kurang dan buruk(1); yang berhubungan dengan itu. Karena sifatnya yang berkaitan
ini adalah sebagai dampak komplementer berbagai program dengan alam menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat
pembangunan sosial-ekonomi(2). Beberapa masalah gizi pada pedesaan pada perubahan cuaca dan iklim sangat tinggi.
awal-awal Pelita pertama adalah defisiensi Vitamin A, anemia, Kondisi kesehatan dan gizi banyak dipengaruhi oleh pola
kekurangan kalori protein (KKP) dan gangguan akibat kurang makan dan keragaman gizi individu dan ini sangat tergantung
lodium (GAKI); sekarang keadaan jauh lebih baik walaupun pada kondisi ekonomi keluarga. Keluarga dengan status sosial-
masalah di atas masih belum dapat dihilangkan secara keseluruh- ekonomi lebih baik besar kemungkinan mempunyai anggota
an. keluarga dengan status gizi yang lebih baik pula, demikian pula
Gizi yang baik merupakan salah satu prasyarat untuk meng- sebaliknya.
hasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM Apakah perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan
yang berkualitas dibutuhkan sebagai modal pembangunan me- akan berpengaruh pula pada status gizi penduduk di daerah itu?
nuju era tinggal landas PJPT II. Karena itu status gizi masyara- Analisis yang dilakukan secara deskriptif ini akan mencoba
kat selalu dipantau dan mendapat perhatian khusus pada setiap menjawab pertanyaan tersebut.
Pelita.
Di sementara penduduk kelebihan gizi yang dikaitkan METODOLOGI
dengan kegemukan (obesity) dan risiko kesehatan individu me- Data dicuplik dan berbagai hasil penelitian yang pernah
rupakan pula masalah baru. Menurut penelitian skala terbatas dilakukan di Indonesia seperti survei kesehatan rumah tangga
yang dilakukan tahun 1983, sebanyak 8,4% para ibu rumah (SKRT), Susenas, survei demografi dan kesehatan Indonesia
tangga/isteri mengalami obesitas(3). Demikian juga penelitian dan penelitian lain yang selaras.
lain menunjukkan bahwa 22,8% karyawan perusahaan dan para Data kemudian dikelompokkan dalam tabel-tabel distribusi
manager yang pernah diteliti menderita obesitas(4). frekuensi sesuai dengan kebutuhan.
Desa dan kota selalu mendapat sorotan dalam analisis pem- Analisis dilakukan dengan membandingkan daerah pedesa-
bangunan di berbagai bidang, terutama dalam hal issue peme- an dan perkotaan dalam hal:
rataan dan kemiskinan; keduanya mempunyai keunikan sendiri 1. Balita yang pernah disusui dan lama rata-rata diberi ASI
baik dalam masalah demografi dan geografi maupun dalam 2. Status gizi balita
masalah sosial ekonomi. Daerah pedesaan luasnya lebih dari dua 3. Hasil persalinan, keguguran dan lahir mati
kali daerah perkotaan dengan penduduk yang jarang. Perkotaan 4. Jumlah anggota rumah tangga
mempunyai daerah yang sempit dengan penduduk yang rapat. 5. Pengeluaran rumah tangga untuk makan

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


6. Anemia di kalangan ibu hamil. Tabel 4. Distribusi persentase jumlah anggota rumah tangga di pedesaan
dan perkotaan
HASIL Pedesaan Perkotaan Nasional
No. Karakteristik
(%) (%) (%)
1) Persentase balita yang pernah disusui
Jumlah anggota rumah tangga
Tabel 1. Persentase balita pernah disusui dan lama mendapat ASI di 1 1 4,5 5,3 4,7
pedesaan dan perkotaan
2 2 10,7 9,2 10,3
3 3 18,0 14,9 17,1
Pedesaan Perkotaan Nasional
No. Karakteristik
(%) (%) (%) 4 4 21,2 18,4 20,4
5 5 17,5 17,0 17,4
1 Persentase pernah disusui 98,47 96,63 97,92 6 6 12,5 13.6 12,8
2 Rata-rata lama dapat ASI 17,50 15,68 16,96 7 7 7,5 9,0 7,9
(dalam baton) 8 8 4,0 5,0 4,3
9 9+ 4,2 7,6 5,2
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 Rata-rata anggota rumah tangga 4,5 4,9 4,6
Sumber : BPS, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, BPS, Jakarta, 1991
Di daerah pedesaan rata-rata bayi disusui lebih lama di-
bandingkan dengan di daerah perkotaan. Juga persentase bayi 5) Pengeluaran rumah tangga penduduk berpenghasilan
yang pernah disusui sedikit lebih banyak di daerah pedesaan rendah di perkotaan dan pedesaan
dibandingkan perkotaan. Tabel 5. Persentase pengeluaran rumah tangga berpenghasilan rendah
2) Persentase balita menurut status gizi atas dasar kebutuhan sehari-hari di pedesaan dan perkotaan

Tabel 2. Status gizi balita di pedesaan dan perkotaan Pedesaan (%) Perkotaan (%)
No. Jenis pengeluaran
Pedesaan Perkotaan Nasional Jawa Barat UK! Jakarta Jawa Timur
No. Karakteristik
(%) (%) (%) 1 Makanan 69,4 57,3 60,4
1 Baik 52,07 63,68 55,53 2 Pakaian 3,7 3,2 4,1
2 Sedang 33,29 27,01 31,42 3 Pendidikan 1,4 4,7 8,1
3 Kurang 11,91 7,38 10,56 4 Kesehatan 2,6 4,7 8,1
4 Buruk 2,73 1,93 2,49 5 Transportasi 0,2 3,4 2,3
Total 100 100 100 6 Lain-lain (listrik, 22,7 26,7 17,0
air, kontrak rumah,
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 hajatan dll)
Jumlah 100 100 100
Persentase balita dengan gizi baik lebih banyak di perkotaan
dibandingkan di pedesaan. Sedangkan persentase balita dengan Sumber: Joko Susanto. Ciri lapisan masyarakat berpenghasilan rendah di per-
kotaan dan pedesaan dan kaitannya dengan gizi pangan dan kesehat-
status gizi sedang, kurang dan buruk lebih banyak ditemukan di
an, Puslitbang Gizi, Bogor, 1992.
pedesaan.
Lebih dari separuh penghasilan penduduk berpenghasilan
3) Hasil persalinan/keguguran rendah dibelanjakan untuk kebutuhan makan, sedangkan untuk
Tabel 3. Persentase persalinan/keguguran dipedesaan dan perkotaan kesehatan hanya sebagian kecil saja.
Pedesaan Perkotaan Nasional 6) Persentase anemia di kalangan ibu hamil
No . Karakteristik
(%) (%) (%)
I Lahir hidup 87,85 88,04 87,91 Tabel 6. Persentase anemia di kalangan ibu hamil di pedesaan dan per-
kotaan
2 Lahir mall 3,82 2,99 3,56
3 Keguguran 8,33 8,97 8,53
No. Karakteristik 1981
Total 100 100 100
1 Pedesaan 58,3 %
Sumber : BPS, Statistik Kesehatan Rumah Tangga, BPS, Jakarta, 1992 2 Perkotaan 48,0 %

Persentase lahir mati di pedesaan sedikit lebih banyak di-


bandingkan di perkotaan, sedangkan persentase lahir hidup atau DISKUSI
keguguran di kedua daerah tidak banyak berbeua. Secara na- Beberapa indikator yang biasa digunakan dalam mengukur
sional lebih dan 10 persen kehamilan disudahi dengan lahir status gizi masyarakat di antaranya adalah : persentase penduduk
mati atau keguguran. dengan body mass index (BMI) di bawah standar WHO dan
persentase bayi yang lahir dengan berat badan lebih rendah dari
4) Distribusi persentase jumlah anggota rumah tangga 2,5 kg (BBLR). Pengukuran indikator pertama sudah banyak di-
Jumlah anggota rumah tangga 3 dan 4 lebih banyak di pe- lakukan, di antaranya adalah melalui survei status gizi masyara-
desaan sedangkan persentase anggota rumah tangga yang lebih kat di enam propinsi (1984). Pengukuran indikator yang kedua
dari 5 lebih banyak di perkotaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 57


melalui SDKI–1991 menghasilkan angka 2,7%, sedangkan pene- diketahui bahwa hanya sekitar dua pertiga anak-anak yang men-
litian pada 2457 ibu hamil di Kabupaten Bogor dan Kodya Bogor dapatkan ASI saja sampai usia 3 bulan, sedangkan yang diberi
menemukan angka BBLR sebesar 10,4%(5). BBLR juga dapat ASI sampai usia 11 bulan hanya 32,5%(1).
dipantau melalui sistim pelaporan RS (SPRS) dan Puskesmas Keadaan gizi juga dapat ditentukan melalul pengukuran
(SP2TP) untuk bayi yang dilahirkan di kedua pelayanan kese- antropometri, yaitu dengan cara membandingkan berat badan
hatan tersebut. dan tinggi badan (BMI) menurut standar WHO. Gizi baik apabila
Status gizi seorang individu banyak dipengaruhi oleh kon- BMI lebih dari 90% dan standar, gizi kurang bila angka tersebut
sumsi makanan sehari-hari; pada bayi dan anak-anak misalnya, 70–90% dan gizi buruk bila angka tersebut di bawah 70%. Ter-
masukan gizi ditentukan oleh orang tuanya. Sedangkan kon– nyata persentase anak balita dengan gizi yang baik lebih banyak
sumsi niakanan keluarga ditentukan pula oleh tingkat sosio di perkotaan (Tabel 2). Di kalangan ibu hamil diamati BMI
ekonomi keluarga. Tingkat sosio ekonomi suatu keluarga secara semakin baik dengan semakin bertambahnya umur kehamilan
terbatas dapat dibandingkan dengan yang lainnya melalui besar- (SKRT- 1992). Anemia diderita hampir 70% ibu hamil. Distri-
nya persentase penghasilan sebulan yang digunakan untuk busi ibu hamil yang mengalami anemia tersebut 47% bekerja di
makan oleh tiap keluarga. bidang pertanian, 21% di bidang jasa dan 18% di bidang perda-
Penduduk di pedesaan tampaknya berpenghasilan lebih gangan (SKRT- 1992). Prevalensi anemia gizi pada wanita pe-
rendah dibandingkan dengan di perkotaan; ini dapat dilihat dari kerja berkisar antara 20-70%(9).
lebih tingginya porsi pendapatan mereka yang digunakan untuk Masalah gizi merupakan masalah multisektor dengan ber-
makan dibandingkan dengan di daerah perkotaan(6). Hal yang bagai dimensi. Karena itu pendekatan pemecahannya memerlu-
samajuga terjadi pada penduduk berpenghasilan rendah (Tabel kan pendekatan multisektor pula. Berbagai upaya telah dilakukan
5). Jumlah anggota keluarga diduga turut menentukan tingkat untuk memperbaiki gizi masyarakat melalui program upaya
konsumsi makanan. Jumlah anggota rumah tangga yang besar peningkatan gizi keluarga (UPGK) yang tidak saja melibatkan
bila tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan pemerintah tetapi juga organisasi PKK dan lain-lain.Penyuluhan,
memperburuk status gizi keluarga secara keseluruhan. Di ka- percontohan dan pembinaan telah dilakukan dalam berbagai
langan pegawai negeri misalnya, tiap penambahan anak dalam tingkat dan kesempatan. Berbagai upaya meningkatkan status
batas tertentu mendapatkan tunjangan yang dapat menambah gizi masyarakat telah dipadukan melalui kegiatan posyandu.
penghasilan keluarga; walaupun demikian, sampai pada umur Persentase rata-rata anemia pada balita adalah 55,5% (SKRT-
tertentu kenaikan penghasilan itu tidak seimbang lagi dengan 92), sedangkan pada ibu hamil adalah 63,5%. Bila dibandingkan
kenaikan kebutuhan anggota keluarga. Keadaan ini akan lebih dengan tahun 1986 (73,3%) nampaknya angka tersebut telah
buruk pada keluarga berpenghasilan rendah yang bukan pegawai mengalami penurunan. Tetapi bila dibandingkan dengan data
negeri. lain pada tahun 1981(48–58%) dan di daerah pedesaan lebih
Keluarga dengan dua orang anak merupakan persentase ter- banyak dibandingkan dengan di daerah perkotaan (Tabel 6)
banyak, baik di perkotaan maupun di pedesaan, demikian juga tampaknya angka tersebut masih belum banyak berubah. Pro-
rata-rata keluarga adalah sekitar 4 orang (Tabel 4). ini menun- gram distribusi tablet besi kelihatannya belum banyak membawa
jukkan bahwa program KB selama ini cukup berhasil dalam hasil. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, misalnya masih
menekan kelahiran penduduk. Bagaimana pengaruhnya pada banyak ibu-ibu hamil yang karena berbagai sebab tidak men-
status gizi masyarakat penlu dianalisis lebih lanjut secara ter- dapatkan obat tersebut. Dugaan ini diperkuat oleh hasil pene-
sendiri. litian UPGK yang menemukan bahwa hanya 25% wanita hamil
Sekarang jumlah penduduk dalam katagori miskin (15%) yang mendapatkan pil besi. Kemungkinan lain adalah obat yang
jauh berkurang dibandingkan beberapa tahun yang 1a1u(7). Arti- diterima tidak dimakan karena berbagai alasan (tidak enak,
nya telah terjadi peningkatan pendapatan di kalangan penduduk membuat pedih lambung dan lain-lain). Pemberian tablet besi
miskin yang ada selama ini;fenomena ini tentu akan berpengaruh tiap hari selama dua bulan hanya mampu meningkatkan kadar
pula pada status gizi masyarakat. Hb sebesar 0,67%(10).
Kualitas manusia ditentukan sejak masa-masa awal pertum- Bila ditelusuri lebih lanjut banyak faktor yang menyebabkan
buhan janin dalam kandungan. Kekurangan gizi semasa hamil terjadinya anemia. Di samping yang telah disebutkan di atas juga
dapat menghambat pertumbuhan sang bayi bahkan menimbul- bisa karena absorbsi besi pada saluran pencernaan yang buruk
kan berbagai kelainan atau cacat bawaan pada anak. Keracunan serta karena infeksi malaria dan cacing.
logam beratdan pemakaian obat-obat tertentu selama kehamilan Hubungan anemia dengan rendahnya produktifitas telah di-
juga dapat berpengaruh buruk pada janin(8). buktikan melalui penelitian yang dilakukan pada pemetik teh di
Dalam masa bayi pemberian air susu ibu (ASI) merupakan Bandung pada tahun 1991(11). Diperkirakan 30–40% tenaga kerja
salah satu yang mendapat perhatian khusus dalam pencegahan menderita anemia besi sehing tak mampu bekerja optimal(12).
diare dan kaitannya pada penurunan angka kematian bayi (IMR). Fenomena ini secara nasional tentu akan mengurangi produksi
Pemberian ASI eksklusif merupakan cara yang dianjurkan ka- yang sebenarnya dapat ditingkatkan.
rena di samping mempunyai susunan gizi yang lengkap,ASI juga Lahir mati di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di per-
dapat menunda terjadinya kehamilan berikutnya sehingga men- kotaan (Tabel 3). ini menunjukkan bahwa melahirkan di pedesa-
dukung program keluarga berencana. Dari hasil SKRT 1992 an lebih berisiko dibandingkan di perkotaan. Hal ini dapat

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


dimaklumi karena di samping dukun lebih banyak berperan 4) Persentase keluarga dengan 3 atau 4 anak lebih banyak di
dalam menolong kelahiran di desa dibandingkan di kota, juga pedesaan,sedangkan yang lebih dari 5 lebih banyak di perkotaan.
karena masihjarangnya dilakukan pemeriksaan yang kontinu ke 5) Persentase pengeluaran rata-rata keluarga untuk makanan
pelayanan kesehatan selama kehamilan oleh ibu-ibu di pedesaan. di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.
Anemia yang tinggi di kalangan ibu hamil juga berperan dalam 6) Persentase ibu hamil yang menderita anemia lebih tinggi di
masih tingginya kematian thu hamil di Indonesia karena per- pedesaan dibandingkan di perkotaan.
darahan sewaktu partus. Anemia berat dapat menaikkan risiko
terhadap persalinan prematur tiga kali lipat. Sedangkan anemia SARAN
berat dengan kadar Hb kurang dari 6 g/dl cenderung menyebab- Status gizi berkaitan dengan rendahnya pendapatan keluarga.
kan tingginya angka lahir mati. Sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah berada di pe-
Hipertensi yang diderita ibu hamil sangat berpengaruh ter- desaan. Untuk meningkatkan status gizi masyarakat pedesaan
jadinya eklamsia. Eklamsia merupakan salah satu faktor risiko tersebut disarankan agar kesempatan kerja lebih banyak diberi-
terjadinya kematian di kalangan ibu hamil sewaktu melahirkan. kan kepada masyarakat pedesaan melalui berbagai pendirian
Sebanyak 4,8% ibu hamil memiliki tekanan diastolik 90 mmHg pabrik atau usaha terpadu yang mengikutsertakan mereka.
atau lebih; insidens ibu hamil dengan hipertensi lebih tinggi di
daerah pedesaan dibandingkan di perkotaan (5,4% banding 3,9% KEPUSTAKAAN
– SKRT-1992).
1. Badan Litbang Kesehatan. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),
Sebanyak 15% penduduk Indonesia belum tersentuh pela- 1992, Jakarta, 1994.
yanan kesehatan, yaitu yang tinggal di daerah pedesaan pedalam- 2. Soekirman. Dampak pembangunan terhadap keadaan gizi masyarakat.
an, terpencil dan perbatasan. Hal ini diatasi dengan melakukan Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Luar Biasa Ilmu Gizi di IPB.
penempatan bidan desa. Tindakan ini dilakukan di samping Bogor, 1991.
3. Jajah K. Husaini etal. Partisipasi wanita dalam memperbaiki perilaku gizi
sebagai terobosan juga diharapkan dapat menurunkan angka dan kesehatan kelompok berpenghasilan rendah. Puslitbang Gizi, Bogor,
kematian bayi (IMT)(13). 1993.
Demikian juga penyakit gangguan jiwa dalam kaitan dengan 4. Hermana, Mien Karmini. Penelitian kebiasaan makan para manager dan
kemiskinan perlu pula mendapat perhatian. Penyakit ini lebih karyawan perusahaan dan penyakit degeneratif yang mungkin diderita.
Dep. Kes. RI. Jakarta, 1993.
tinggi di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan(14). Karena 5. Husaini YK et al. Keadaan kesehatan dalam hubungannya dengan keada-
persaingan yang kuat menyebabkan tekanan jiwa dan konflik an gizi pada wanita hamil. Puslitbang Gizi. Bogor.
sering lebih banyak dialami oleh orang-orang yang hidup di 6. BPS. Statistik Indonesia. Jakarta, 1992.
kota. ini menunjukkan bahwa kehidupan kota jauh lebih keras 7. Bank Dunia. L.aporan Perkembangan Dunia, Washington DC, 1990.
8. EbrahimGi. Perinatal neglect, dalam Wilson SJ. Disability prevention, The
dibandingkan di pedesaan, terutama bagi para pendatang dari global challengeLondon: Oxford University Press, 1983.
desa yang tidak siap fisik dan mental. 9. Husaini MA et al. Studi kompilasi informasi dalam menunjang kebijak-
sanaan nasional dan pengembangan program.Dep. Kes. RI, Jakarta, 1989.
KESIMPULAN 10. Sandjaja. Sistim distribusi preparat besi pada wanita hamil dan anak pra-
sekolah untuk mengatasi anemia gizi. Puslitbang Gizi, Bogor. 1985.
1) Persentase balita yang pernah disusui sedikit lebih banyak 11. Husaini MA et al. Penelitian penanggulangan anemia gizi pada wanita
di pedesaan, demikian juga rata-rata balita disusui lebih lama di pekerja untuk pengembangan program. Dep. Kes. RI, Jakarta, 1989.
pedesaan dibandingkan di perkotaan. 12. Husaini MA et al. Functional consequences of iron deficiency: Results of
2) Persentase balita dengan gizi kurang dan buruk lebih the study in the Java tea plantation, 1987.
13. Suyudi. Pidato pada tatap muka dengan paramedis teladan. Jakarta, Agus-
banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. tus, 1993.
3) Persentase lahir mati di pedesaan lebih banyak dibanding- 14. Soewadi et al. Epidemiologi gangguan mental di Yogyakarta. FK-UGM,
kan di perkotaan. Yogyakarta. 1981.

A little too late is much too late

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 59


HASIL PENELITIAN

Seroepidemiologi Antitoksin Tetanus


pada Anak Usia 5-12 tahun
di Indonesia
Siti Sundari Y, Dewi P, Farida, Imu R, Sumarno, Deni
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN kabupaten dipilih 6 kecamatan dengan jumlah penduduk padat,


Penelitian sero epidemiologi antitoksin terhadap tetanus dari masing-masing kecamatan dipilih 5 desa dan setiap desa
sudah banyak dilakukan tetapi angka kematian bayi sebagai diambil 7 anak perempuan berumur 5–12 tahun. Dari setiap
salah satu faktor indikator derajat kesehatan di Indonesia, me- sampel diambil 1 ml darah vena dilakukan hanya satu kali. Pe-
nunjukkan angka yang relatif tinggi, berkisar 70 bayi per 1000 milihan sampel mengikuti teknik WHO EPI Cluster Sampling
kelahiran hidup, kurang lebih 40% di antaranya disebabkan oleh Technique.
tetanus neonatorum. Pemeriksaan serologis atas kekebalan imunologis terhadap
Pemberantasan tetanus neonatorum dilakukan dengan tetanus masing-masing individu diukur dengan teknik Passive
vaksinasi toksoid tetanus pada ibu hamil, mengingat adanya Haemagglutination Assay. Pengolahan data kadar antitoksin
kemainpuan sang ibu untuk mewariskan kekebalan imunologi tetanus dalam spesimen dinyatakan dalam Geometric Mean Titre
kepada bayi dalam kandungan. Berdasarkan pertimbangan (GMT). Pendekatan ini telah umum dilakukan dalam menyata-
operasional toxoid tetanus diberikan pada calon pengantin, anak kan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang didasarkan atas
SD kelas 6. Toxoid tetanus diberikan kepada bayi dan anak teknik titrasi dengan pengenceran serial.
kelas satu SD sebagai vaksin polivalen bersama toxoid difteri
dan vaksin batuk rejan, 3 dosis DPT waktu bayi, 2 dosis kelas 1 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
SD, 2 dosis TT pada kelas enam SD sehingga cakupan kekebal- Tabel 1. Jumlah spesimen kelompok umur 5–12 tahun
an imunologis terhadap tetanus semakin tinggi.
Maksud dan tujuan penelitian ini mengukur proporsi indi- Tempat Jumlah specimen
vidu yang secara serologis telah terbukti memiliki kekebalan Kulon Progo 176
terhadap tetanus di kelompok umur 5–12 tahun dan memberikan Lombok Barat 201
informasi status kekebalan imunologis terhadap tetanus di ma- Lamongan 192
syarakat. Jumlah spesimen Kulon Progo paling sedikit dibandingkan
dengan yang lain (Tabel 1); sebagian besar memiliki tingkat
pendidikan SD (Tabel 2).
BAHAN DAN CARA KERJA
Lokasi penelitian Tabel 2. Tingkat pendidikan kelompok umur 5–12 tahun
Dilakukan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur; Kabupaten Pendidikan Kulonprogo Lamongan Lombok Barat
Kulon Progo, DI Yogyakarta dan Lombok Barat, Nusa Tenggara
Tak sekolah – 1 18
Barat. Tamat SD 167 180 168
Sasaran penelitian : kelompok umur 5–12 tahun. Tak tamat SD 3 5 15
SLIP 6 6 –
Pemilihan sampel menurut teknik WHO EPI Cluster
Sampling Method: 30 cluster masing-masing 7 sampel. Dalam Tabel 3 terlihat bahwa cakupan program imunisasi
Penelitian dilakukan di tiga kabupaten, diambil yang dapat DT pada anak SD cukup tinggi mendekati 90%, namun masih
mewakili kriteria vaksinasi TT tinggi, sedang dan rendah yaitu banyak anak hanya dapat satu dosis DT seperti di -Kulon Progo
kabupaten Lamongan, Kulon Progo dan Lombok Barat. Di setiap dan Lombok Barat.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


Tabel 3. Status Vaksinasi DT (program anak sekolah SD) pada kelompok Tabel 5. Hubungan antara status vaksinasi DT-anak SD dengan kadar
umur 5–12 tahun antitoksin pada sample 5–12 tahun

Belum
Satu dosis Dua dosis Total Status DT Antitoksin (negatip) Antitoksin (positip) Total
Daerah pernah
Belum pernah 44 85 129
n % n % n % n % (%) 34,1 65,9 100,0
Kulon Progo 28 15,9 86 48,9 62 35,2 176 100 (GMT) 0,3112 0,0646
Kab. Lamongan 13 6,8 21 10,9 158 82,3 192 100 (bawah) 0,0311 0,0036
Kab. Lombok Barat 88 43,8 63 31,3 50 24,9 201 100 (atas) 3,1193 1,1482
1 dosis 45 125 170
Total 129 22,7 170 29,9 270 475 569 100 (%) 26,5 73,5 100,0
(GMT) 0,8139 0,1861
(bawah) 0,1317 0,0101
Tabel 4. Kadar antitoksin tetanus dari kelompok umur 5-12 tahun
(atas) 5,0311 3,4451
Negatif Positif Total 2 dosis 41 229 270
Daerah (%) 15,2 84,8 100,0
n % n % n %
(GMT) 0,8262 0,4889
Kab Kulon Progo 46 261 130 73,9 176 100,0 (bawah) 0,1341 0,0372
Kab Lamongan 28 146 164 85,4 192 100,0 (alas) 5,0942 6,4186
Kab Lombok Barat 56 279 145 72,1 201 1000 Total 130 439 569
(%) 22,8 77,2 100,0
Total 130 22 8 439 77,2 569 100,0 (GMT) 0,6196 0,2315
(bawah) 0,0738 0,0131
(atas) 5,2027 4,1313
Proporsi sampel yang memiliki antitoksin terhadap tetanus
pada kelompok umur 5–12 tahun di tiap kabupaten cukup tinggi,
terlihat semakin banyak dosis tetanus toksoid yang diterima 3) Sebanyak 65% anak wanita umur 5–12 tahun yang tidak
makin sedikit proporsi anak yang tidak memiliki antitoksin menerima vaksinasi DT ternyata juga memiliki antitoksin ter-
terhadap tetanus. hadap tetanus.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa pada sampel anak SD yang
UCAPAN TERIMA KASIH
belum pernah divaksinasi DT sebagian telah memiliki antitoksin Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Supri yanto yang membantu
terhadap tetanus, hal ini mungkin didapat dan waktu anak masih penelitian ini dan dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
bayi atau infeksi alam. Kadar antitoksin terhadap tetanus ternyata
meningkat sejalan dengan jumlah dosis toksoid tetanus yang di- KEPUSTAKAAN
terima.
1. Determination of immunity against tetanus infection by passive haemagluti-
nation assay. P. Marconi; Pitzurra; F. Bistoni Ball 1st. Scriter Milar 62 (6)
KESIMPULAN 1983. p 567–574
2. Varanym Sangpetchsong et al. Transfer rate of transplacental immunity to
1) Pelaksanaan vaksinasi (program kelas SD) di Kabupaten tetanus from non immunizefd and immunized mothers. SEA J. Trop Med
Kulon Progo, Lamongan dan Lombok Barat, telah terlaksana PubilHealth 1984; 15(3): 275–280.
baik, tetapi di Kabupaten Lombok Barat banyak anak SD yang 3. Model for Eradication of Diptheria and Tetanus Evaluation of Immunological
hanya mencnima 1 dosis vaksin DT. and Experimental Epidemiological Investigation between 1952–1977 L.
Recthy: 37–51.
2) Anak wanita umur 5–12 tahun lebih dan 75% di antaranya 4. Agrawal K, Pendit K, Kannan AT. Single dose tetanus toxoid a-review of
telah memiliki antitoksin terhadap tetanus; kadar ini berhubung- trials in India with special Reference to control of tetanus neonatorium. Indian
an erat dengan status vaksinasi DT yang dimilikinya. J Pediatr 1984; 51: 283–85.

Friends are ourselves


(Donne)

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 61


ABSTRAK
EFEK BERHENTI MEROKOK NIMODIPIN DAN STROKE diselidiki di Belanda; sebanyak 2195
Anda tak pernah terlambat untuk ber- Publikasi dalam Stroke edisi April pasien berusia 18 tahun ke atas dengan
henti merokok, perbaikan tingkat ke- 1996 menyebutkan bahwa studi peng- fraktur anggota gerak tertutup men-
sehatan tetap akan dirasakan kapanpun gunaan nimodipin pada pasien yang jalani operasi reposisi, 1090 pasien me-
anda memutuskan untuk berhenti. menjalani operasi jantung harus dihenti- nerima plasebo, 1105 menerima 2 g.
Dalam 20 menit setelah anda ber- kan karena peningkatan mortalitas di ceftriaxone dosis tunggal sebelum ope-
henti merokok, tekanan darah akan kalangan pengguna obat tersebut. rasi. Ternyata infeksi luka (superfisial
kembali ke tingkat awal; dalam 8 jam Studi ini dimaksudkan untuk mene- maupun dalam) terjadi pada 8,3% di ke-
kadar CO darah kembali normal. Se- liti efek nimodipin terhadap risiko stroke lompok plasebo, dibandingkan dengan
telah 48 jam daya kecap dan daya cium dan gangguan konsentrasi akibat mikro- hanya 3,6% di kelompok ceftriaxone
akan membaik dan dalam 1–9 bulan ke- emboli yang mungkin terjadi selama (p ≤ 0,001). Infeksi nosokomial pada
luhan-keluhan batuk, gangguan sinus, pembedahan. Ternyata defisit neuro- bulan pertama terjadi pada 10,2% di
nafas pendek dan kelelahan akan meng- psikologik terjadi pada 77% pasien di- kelompok plasebo dan 2,3% di kelom-
hilang, kemampuan cilia dalam bronkhi bandingkan dengan 72% di kalangan pok ceftriaxone (p ≤ 0,001).
akan pulih kembali. plasebo; setelah 6 bulan, 8 (10,7%) pa- Kuman Gram + ditemukan pada
Setelah 5 tahun risiko kanker paru sien meninggal dibandingkan dengan 74,5% infeksi luka dan pada 13,4%
turun 50% dan setelah 15 tahun baik 1 (1,3%) pasien di kalangan plasebo, infeksi nosokomial.
risiko kanker ataupun risiko kardio- sedangkan perdarahan terjadi pada 10 Penggunaan antibiotik profilaksis
vaskuler akan kembali sama dengan (13,3%) pasien dibandingkan dengan 3 dosis tunggal telah menurunkan kejadian
bukan perokok. (4,1%) di kalangan plasebo. infeksi luka dan infeksi nosokomial di
MCHL 1996/ (Jan); 14(6): 2 kalangan pasien fraktur tertutup yang
hk Scrip 1996: 2121: 5
menjalani operasi reposisi.
brw
Lancet 1996; 347: 1133–37
OBAT ANTI IMPOTEN brw
Pfizer saat ini sedang mengembang- PEROKOK Dl CINA
kan preparat oraluntuk gangguan ereksi; Populasi perokok di Cina merupakan TEKANAN DARAH DAN DEMEN-
sildenafil –suatu vasodilator yang mula- segmen terbesar perokok di dunia; pria SIA
mula diselidiki untuk mengatasi angina di Cina merupakan 10% populasi dunia, Data dan Longitudinal Population
pektoris, dicoba dengan dosis tunggal tetapi mengkonsumsi 30% rokok di Study di Goteborg, Swedia dianalisis
satu jam sebelum hubungan seksual. dunia; konsumsi perkapita orang de- untuk mencari kaitan antara tekanan da-
Pada percobaan atas 351 pria, dosis wasa meningkat dan 890 sigaret/tahun rah dengan munculnya gejala demensia.
10 mg., 25 mg. dan 50 mg. masing- pada 1965 menjadi 1960 sigaret/tahun Sejumlah 382 orang berusia 70 tahun
masing memperbaiki ereksi pada 65%, di tahun 1990. tanpa gejala demensia diamati selama
79% dan 88% populasi, dibandingkan Pada usia pertengahan, 75% pria dan 15 tahun; ternyata para manula yang
dengan 39% di kalangan plasebo. Pada 5% wanita perokok dan frekuensi me- menunjukkan gejala demensia pada usia
percobaan lain atas 43 pria selama 28 rokok meningkat dan rata-rata 1 sigaret/ 79–85 tahun mempunyai tekanan sisto-
hari, obat ini memperbaiki ereksi pada hari di tahun 1952 menjadi 4 sigaret/ lik pada usia 70 tahun yang lebih tinggi
92%, sedangkan plasebo hanya berhasil hari di tahun 1972, dan menjadi 10 (rata-rata 178vs. 164mmHg., p = 0,034),
pada 27%. sigaret/ hari di tahun 1992. juga tekanan diastoliknya di usia 70
Obat ini mempunyai harapan besar Produksi rokok di Cina pada 1992 tahun (rata-rata 101 vs. 92 mmHg, p=
mengingat dapat digunakan per oral, di- sebesar 1650 miliar batang sigaret, 0,004), dan di usia 75 tahun (97 vs.90
bandingkan dengan Caverject® yang merupakan 31% dan produksi total mmHg, p = 0,022) dibandingkan de-
saat ini beredar, yang harus disuntikkan dunia. ngan kelompok yang tanpa gejala de-
intrakavernosal. JAMA 1996; 275(21): 1683 mensia. Pasien Alzheimer juga mem-
hk punyai tekanan diastolik di usia 70 ta-
Marketletter 1996: 23(19): 23 hun yang lebih tinggi(101mmHg, p =
ANTIB1OTIK PROFILAKTIK 0,019), sedangkan pasien demensia
hk Manfaat profilaksis antibiotik pada vaskuler tekanan diastolik di usia 75
operasi terhadap fraktur tertutup telah tahun lebih tinggi (101 mmHg, p=0,015)

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997


ABSTRAK
dibandingkan dengan kelompok tanpa tertulis yang berisi pertanyaan mengenai pelayanan di 9 Veterans Affairs Me-
gejala demensia. masalah euthanasia tersebut. Sebanyak dical Centre di AS. Pasien tersebut
Tingginya tekanan darah agaknya 1.139(71%) perawat memberi jawaban, meliputi 504 pasien payah jantung
menyebabkan meningkatkan risiko de- 852 di antaranya bertugas hanya di ruang kongestif, 751 pasien diabetes dengan
mensia melalui lesi pembuluh darah intensif; dan 852 orang tersebut, 141 komplikasi dan 583 pasien paru obstruk-
kecil dan kerusakan substansia alba. (17%) pernah diminta oleh pasien atau tif menahun yang memerlukan kortiko-
Lancet 1996; 347: /141–45 keluarganya untuk melakukan euthana- steroid dan oksigen.
sia, 129 (16%) pernah melakukannya Meskipun mereka menerima pera-
brw
dan 35 (4%) lainnya mempercepat ke- watan primer yang lebih intensif, mereka
matian dengan harlya berpura-pura me- lebih sering dirawat di rumah sakit (0,19
MANFAAT BETA KAROTEN
laksanakan instruksi dokter. vs.0,14 perbulan, p=0,005) dan tinggal
Sejumlah 22.071 dokter pria di AS
Cara yang tersering dilakukan ialah di rumahsakit lebih lama (10,2 vs. 8,8
yang berusia 40–84 tahun di tahun 1982
pemberian opiat dosis tinggi. hari, p≤0,001); meskipun tidak terdapat
tanpa riwayat kanker, infark miokard
perbedaan bermakna dalam hal kualitas
atau CVD mengikuti percobaan acak N. Engl. J. Med. 1996; 334: 13 74–9
hidup yang keduanya rendah (p=0,53).
buta ganda untuk mempelajari manfaat brw
beta-karoten; 11.036 orang mendapat N. Engl. J. Med. /996; 334: 1441–7
50 mg. beta karoten selang sehari dan FAMOTIDIN UNTUK PROFILAK- brw
11.035 lainnya mendapat plasebo. SIS
PENYEBAB PALPITASI
Setelah 12 tahun, di kelompok beta- Famotidin diteliti efektivitasnya un-
Untuk mengetahui penyebab palpi-
karoten terdapat 1.273 kasus kanker ga- tuk mencegah ulkus peptik di kalangan
tasi, 190 pasien dengan keluhan tersebut
nas (kecuali kanker kulit non melanoma) pengguna NSAID. Sejumlah 285 pasien
yang datang ke satu pusat pendidikan
dibandingkan dengan 1.293 kasus di (82% artritis rematoid, 18% osteoartri-
di AS, diwawancara dan diperiksa,
kelompok plasebo (RR: 0,98, 95%CI: tis) yang mendapat NSAlDjangka pan-
termasuk pemeriksaan psikiatrik, 96%
0,91 – 1,06). Selain itu juga terdapat per- jang diberi 2 dd 20 mg. famotidin, atau
di antaranya dapat diikuti sampai 1
bedaan tak bermakna dalam hal kasus 2 dd 40 mg. famotidin, atau plasebo;
tahun.
kanker paru (82 di kelompok beta-karo- kemudian dievaluasi secara endoskopik
Penyebab palpitasi dapat ditentukan
ten vs. 88 di kelompok plasebo), kema- pada awal percobaan dan setelah 4, 12
pada 84% pasien; penyebab kardiak
tian akibat kanker (386 vs. 380), kema- dan 24 minggu pengobatan.
pada 43%, penyebab psikiatrik pada
tian akibat sebab apapun (979 vs. 968) Kejadian kumulatif ulkus gaster se-
31%, lain-lain 10% dan pada 16% tidak
ataupun akibat kardiovaskular (338 vs. besar 20% di kalangan plasebo, 13% di
diketahui. Di antara etiologi yang di-
313), kasus infark miokard (468vs. 489), kalangan famotidin 2 dd 20 mg. (p =
temukan, 40% dapat ditentukan hanya
kasus stroke (367vs.382). Di antara pe- 0,24) dan 8% di kalangan famotidin 2
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
rokok ataupun bukan perokok, tidak dd 40 mg. (p = 0,03), sedangkan ulkus
EKG dan/atau pemeriksaan labora-
terdapat perbedaan. duodeni didapatkan pada 13% di ka-
torium.
Hasil percobaan ini menunjukkan langan plasebo. 4% di kalangan famoti-
Angka mortalitas 1 tahun 1,6%
bahwa suplementasi tersebut tidak mem- din 2 dd 20mg. (p = 0,04) dan 2% di ka-
(05%CI: 0-3,4%) sedangkan angka ke-
punyai efek menguntungkan ataupun langan famotidin 2 dd 40mg. (p = 0,01).
jadian stroke 1 tahun 1,1% (95%CI:
merugikan. N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1435-9 0-2,6%). Dalam tahun pertama, 75%
N. Engl. J. Med. 1996; 334: 1145–9 mengalami palpitasi rekuren. Pada
brw
wawancara ulang setelah I tahun, 89%
brw
merasa kesehatannya sama atau lebih
EUTHANASIA MANFAAT PERAWATAN PRIMER baik, 19% terganggu pekerjaannya, 12%
Euthanasia merupakan masalah yang Kemudahan mendapatkan perawatan kehilangan hari kerja dan 33% merasa
sering ditemukan dalam perawatan in- primer setelah keluar dan rumahsakit kemampuan bekerja di rumah ber-
tensif. ternyata justru meningkatkan kejadian kurang.
Sejumlah 1.600 perawat yang ber- perawatan ulang; hal ini ternyata dari Am J Med 1996; 100: 138-48
tugas di ruang tersebut dikirimi survai penelitian atas pasien yang mendapat hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997 63


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Salah satu pedoman indikasi penggunaan ventilator ialah 5. Pleurodesis menggunakan zat:
bila pO2 kurang dari: a) Tetrasiklin
a) 35 - 40 mmHg b) Kortikosteroid
b) 45 - 50 mmHg c) Beta agonis
c) 55 - 60 mmHg d) Aminofihin
d) 65 - 70 mmHg e) Semua salah
e) 75 - 80 mmHg 6. Keadaan hipoventilasi ialah bila pCO2 lebih dari:
2. Jenis pneumotoraks yang paling akut dan merupakan a) 35mmHg
keadaan gawat darurat: b) 40 mmHg
a) Pneumotoraks Akut c) 45 mmHg
b) Pneumotoraks terbuka d) 50mmHg
c) Pneumotoraks tertutup e) 55mmHg
d) Pneumotoraks Ventil 7. Konsentrasi oksigen inspirasi maksimum yang dapat
e) Semua merupakan keadaan gawat darurat diperoleh melalui kateter nasal ialah:
3. Sifat hemoptitis yang berbeda dan hematemesis ialah se- a) 30%
bagai berikut, kecuali: b) 40%
a) Darah merah c) 50%
b) Darah berbusa d) 60%
c) Bersifat asam e) 80%
d) Tidak bercampur makanan 8. Kandidiasis paru umumnya membentuk gambaran:
e) Semua salah a) Bronkopneumoni
4. Salah satu kriteria hemoptitis masif ialah bila dalam 24 b) Atetelektasis
jam perdarahan lebih dari: c) Abses
a) 300 m1 d) Emfisema
b) 600 ml e) Nodul
c) 900 ml
d) 1200 m1
e) 1500 m1

8.A 7.C 6.C 5.A


4.B 3.C 2.D 1.C Jawaban RPPIK :

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 114, 1997

Anda mungkin juga menyukai