Anda di halaman 1dari 24

TUGAS UJIAN

Disusun Guna Memenuhi Dan Melengkapi Syarat Dalam Menempuh Program Studi Profesi Dokter

Disusun Oleh : Puteri Rahmia 030.09.187

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2013

1. Apa saja yang harus dimonitori selama operasi menurut ASA? Perhimpunan Dokter spesialis Anestesiology Amerika Serikat (ASA) menentukan monitoring standart untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu badan perianastesia untuk semua kasus termasuk anastesia umum, anastesia regional dan pasien dalam keadaan diberikan sedative sbb :

STANDAR 1 Ahli anestesi yang memenuhi syarat harus hadir di ruangan sepanjang pelaksanaan semua prosedur anestesi umum, anestesi regional, dan perawatan anestesi yang membutuhkan pemantauan. Tujuan: Dikarenakan dapat terjadi perubahan yang cepat dalam status pasien selama anestesi, ahli anestesi yang memenuhi syarat harus terus hadir untuk memantau pasien dan memberikan perawatan anestesi.

STANDAR 2 Selama anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu pasien harus terus dievaluasi baik secara berkala atau terus-menerus

Oksigenasi Tujuan: Untuk memastikan konsentrasi oksigen yang cukup dalam udara inspirasi dan darah selamasemua prosedur anestesi. Metode: (1) udara inspirasi: Selama setiap pemberian anestesi umum menggunakan mesin anestesi, konsentrasioksigen dalam sistem pernapasan pasien harus diukur oleh oxygen

analyzer dengan penggunaan alarmdengan batas konsentrasi oksigen yang rendah. (2) oksigenasi darah: Selama anestesi, metode kuantitatif untuk menilai oksigenasi seperti pulse oximetry harus digunakan.

Ventilasi Tujuan: Untuk memastikan ventilasi yang memadai terhadap pasien selama semua prosedur anestesi

Metode: (1) Setiap pasien yang menerima anestesi umum harus memiliki kecukupan ventilasi yang terus dievaluasi. Tanda-tanda klinis kualitatif seperti pengapatan pengembangan dada, reservoir breathing bag , dan auskultasi suara nafas sangat berguna. (2) Apabila tracheal tube atau laryngeal mask dimasukkan, posisi yang benar harus diverifikasi oleh penilaian klinis dan dengan identifikasi konsentrasi karbon dioksida dalam udara ekspirasi. Analisis End-Tidal CO2 yang terus-menerus, yang digunakan dari waktu intubasi, sampai ekstubasi atau memindahkan pasien ke lokasi perawatan pascaoperasi, harus terus dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatifseperti capnography, atau capnometry. (3) Bila ventilasi dikendalikan oleh ventilator mekanik, sebaiknya digunakan sebuah perangkat yangmampu mendeteksi bila ada komponen yang terputus dari sistem pernapasan. Perangkat harusmemberikan sinyal yang dapat terdengar saat alarm telah melampaui ambang batas. (4) Selama anestesi regional dan perawatan anestesi yang memerlukan pengawasan, kecukupan ventilasiharus dievaluasi, setidaknya, dengan pengamatan terus-menerus tanda-tanda klinis kualitatif.

Sirkulasi Tujuan: Untuk memastikan kecukupan fungsi peredaran darah pasien selama semua prosedur anestesi. Metode: (1) Setiap pasien yang menerima anestesi harus memiliki elektrokardiogram terus ditampilkan dari awalanestesi sampai saat bersiap-siap meninggalkan lokasi anestesi. (2) Setiap pasien yang menerima anestesi harus diukur tekanan darah arteri dan denyut jantung nya dandievaluasi setidaknya setiap 5 menit. (3) Setiap pasien yang menerima anestesi umum harus terus dievaluasi setidaknya salah satu dari hal berikut: palpasi denyut nadi, auskultasi bunyi jantung, pemantauan dari penelusuran tekanan intraarterial, pemantauan USG denyut perifer, pulse plethysmography atau oksimetri.

Suhu Tubuh Tujuan: Untuk membantu dalam pemeliharaan suhu tubuh yang tepat selama semua prosedur anestesi.

Metode: Setiap pasien yang menerima anestesi harus dipantau suhu tubuhnya pada keadaan yang diperkirakan dandiantisipasi, akan tejadi perubahan suhu tubuh yang signifikan secara klinis

Monitoring Kardiovaskuler Tekanan darah Pemantauan tekanan darah, meskipun sangat pentin tetapi tidak dapat digunakan sebagai satu-satu nya alat pantau perfusi organ. Untuk dapat menduga kecukupan pefusi hatus dilakukan konfirmasi melalui pemeriksaan klinis (suhu akral, isi nadi, pengisian kapiler, produksi urin, dsb. Namun demikian pemantauan terhadap tekanan darah adalah keharusan dalam setiap prosedur anastesi karena tanpa ini tanda-tanda ketidaknormalan perfusi organ sulit dideteksi secara dini. EKG EKG harus dipantau secara kontinu selama anastesi. Yang terpenting dalam pemantauan EKG adalah irama jantung dan laju jantung.

Monitoring produksi urin Sebagai pemantau fungsi ginjal, produksi urin intraoperatif tidak dapat digunakan sebagai patokan karena produksi urin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sebenernya produksi urin pada pasien normal adalah pemantauan tak langsung fungsi kardiovaskular, yang lebih tepatnya pemanyauan kecukupan perfusi jaringan.

2. Bagaimana cara kerja pulse oxymetry? Apa gunanya? Pulse oximetry adalah suatu metode non-invasive untuk mengukur persentase hemoglobin (Hb) yang saturasi dengan oksigen di dalam darah untuk membantu pengkajian fisik pasien, tanpa harus melalui ABG/Analisa Gas Darah.. Mekanisme kerja alat initerdiri dari dua prinsip dasar. Pertama adalah absorpsi dari gelombang cahaya yang berbeda dari Hb yang memiliki tingkat kadar oksigen yang berbeda. Dan yang kedua, transmisi pada jaringan tubuh memilki komponen impuls yang

menghasilkan satu gelombang cahaya, yang terjadi akibat perbedaan volume darah yang menghasilkan denyut nadi. Alat pulse oksimeter untuk menembus sekeliling bagian peripheral dari tubuh pasien, biasanya ujung jari atau daun telinga. Jaringan biologi yang sedang diukur terdiri dari banyak unsur-unsur, mencakup kapiler , arteri dan vena dan jaringan yang lainnya. Transmisi cahaya melalui arteri adalah denyutan yang diakibatkan pemompaan darah oleh jantung. Denyutan arteri tersebut membawa tingkatan oksigen yang paling tinggi. Oksigen didalam darah sebagian besar berbentuk hemoglobin. Hemoglobin adalah 100% oksigen yang disaturasi membawa empat molekul oksigen per molekul hemoglobin. Oksigen saturasi dari darah yang diukur oleh pulse oksimeter adalah suatu ukuran rata-rata persentase saturasi suatu populasi hemoglobin. 3. Sebutkan langkah-langkah laringoskopi intubasi? Indikasi nya?

Persiapan alat (STATICS) S= Scope. Stetoskop dan Laringoskop lengkap dengan handle dan blade nya T= Tube. Endotracheal tube terdiri dari 2 jenis yaitu kinking dan non kinking. A= Airway. Guedel T=Tape I= Introducer (mandren atau stilet) C= Connector S= Suction

Langkah- langkah laringiskopi intubasi o Jelaskan pada pasien atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan minta persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent). o Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal (ET) yang sesuai ukuran. Siapakan ETT dengan ukuran lebih kecil

dan ukuran lebih besar 0.5 dari ukuran awal. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff. Letakkan bantal kecil atau penyangga (botol infuse 1L ) setinggi 10 cm di bahu pasien dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat disingkirkan). o Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam. o Lakukan pre-oksigenasi o Lakukan pemberian obat premedikasi dan muscle relaxan dilanjutkan dengan induksi o Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2 100 %. o Tes reflex bulu mata dan pastikan pasien telah terinduksi o Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop. o Masukkan bilah laringoskop dengan tangan kiri dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan,sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. o Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu. o Bila pita suara sudah terlihat (gambar 5.f), tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara 1 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET 19 -23 cm o Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik. o Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada paru kanan dan kiri

sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET. o Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc. o Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut. o Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar. o Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter per menit).

Indikasi Laringoskopi Intubasi 1. Proteksi jalan nafas Hilangnya refleks pernafasan ( kelainan anatomi, kelebihan dosis obat) Obstruksi jalan nafas besar ( sekret, corpus alienum, paralisis pita suara) baik secara anatomis maupun fungsional. Perdarahan faring ( luka tusuk, luka tembak pada leher) Tindakan profilaksis ( pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke rumah sakit lain atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas dalam proses transportasi pasien) 2. Optimalisasi jalan nafas o Saluran untuk pelaksanaan pulmanary toilet darurat (sebagai contoh : penghisapan atau bronchoscopy untuk aspirasi akut) o Tindakan untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang tinggi pada jalan nafas ( respiratory distress syndrome pada orang dewasa dan penyakit membran hyalin).Dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi atau PEEP. 3. Ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik pada kegagalan respirasi yang dikarenakan :

Pulmonar : penyakit asama, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia. (Work of breathing berlebihan) Penyakit jantung atau edema pulmoner Neurologi : berkurangnya dorongan respirasi (Gangguan kontrol pernafasan dari susunan saraf pusat) Mekanik : disfungsi paru-paru pada flail-chest atau pada penyakit neuromuskuler Hiperventilasi therapeutik untuk pasien pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.

4. Bagaimana management cairan perioperatif? Tujuan terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah diamana saluran pencernaan belum berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Cara mengetahui kehilangan cairan : Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan mukosa. Pantau juga produksi urin Fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air). Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadicepat dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB. Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya shock kardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15% BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, ada dewasa 2 ml/kgBB/jam pada opersi yang minimal (ex : hernioraphy), 2-4 ml/kgbb pada operasi yang moderate (ex: cholescystotomy) dan 4-8 ml /kgbb pada operasi yang berat (ex:laparotomy) Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat b a d a n l e b i h d a r i 2 0 k g . P a d a a n a k - a n a k 4 m l / k g p a d a 1 0 k g B B I , ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urin 0.5-1 ml/kgBB.

5. Terangkan apa yang dimaksud hipetermia maligna dan tata laksana nya? Hipertermia maligna merupakan suatu kondisi hipermetabolik akut otot skelet yang abnormal akibat terpapar anestesi inhalasi dan atau pelumpuh otot golongan depolarisasi. Manifestasi klinis berupa hiperkarbi, takikardi, takipneu, peningkatan suhu tubuh, rigiditas otot skelet, aritmi, asidosis metabolik, hipertensi, hipoksemi, hiperkalemi, mioglobinuri.. MH hanya bermanifes jika terpajan dengan pemicunya. Kelainan genetik yang menyebabkan MH diturunkan secara autosomal dominan, kelainan ini terletak pada kromosom 19q12.1-13.2, lokus dari gen reseptor ryanodin (RyR) berada. Reseptor ini adalah pintu yang akan mengaktifkan pelepasan Ca2+ dari retikulum endoplasmik. Namun demikian, ketidak normalan perilaku RyR ini baru terjadi jika terpajan dengan zat pemicunya. Diantara zat-zat pemicu yang telah dikenal adalah: Semua zat anastesi inhalasi Kafein Inhibitor fosfodietilesterase selain kopi, termasuk teofilin, aminofilin Suksinil kolin Suhu panas Fenotiazin Aktivitas berlebihan otot skeletal M-klorokresol, zat kimia pengawet beberapa otot medis

Gambaran klinis meliputi tanda khas dan tanda tidak khas.

Tanda khas terdiri dari rigiditas otot terutama masseter (gejala cepat), CO2 meningkat cepat dan progresif (gejala cepat), suhu meningkat cepat dan progresif (gejala lambat), myoglobinuria (gejala lambat), kreatinin fosfat serum meningkat cepat dan progresif (gejala lambat). Sedangkan tanda tidak khas berupa takhikardi hingga aritmia, takhipnoe,

hipertensi/hipotensi, asidosis metabolik, hiperkalemia, koagulopati. Diagnosis pasti MH adalah IVCTs (In Vitro Muscle Contracture Tests) atau dikenal juga dengan nama CHCT (Caffein-Halothane Contracture Test) Tatalaksana Tatalaksana utama adalah menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan agresif dengan total body cooling (air es/dingin lewat NGT, rectal, dan IV), segera menghentikan pemakaian obat anestesi, pemberian oksigen 100%, naikkan ventilasi semenit untuk menurunkan ETCO2, berikan Dantrolen sodium (antidote spesifik 2.5 mg/kgBB IV dosis inisial dan kemudian di titrasi berdasarkan ETCO2 dan takhikardi. Batas dosis total 10 mg/kg), atasi aritmia, periksa AGD, elektrolit, CK, darah dan urin, hiperkalemia diatasi dengan hiperventilasi, insulin dan glukosa, periksa koagulasi setiap 6-12 jam. Terapi jika krisis teratasi: lanjutkan pemberian dantrolen 1 mg/kg setiap 4-8 jam selama 24-48 jam, usahakan produksi urin 2 ml/kg/jam bila perlu dengan bantuan diuretik dan cairan, evaluasi apakah diperlukan ventilasi mekanik lanjutan, observasi ketat di ICU, rekomendasikan pasien dan keluarga nya menjalani tes kontraktur dan atau pemeriksaan kontraktur. 6. Apa yang dimaksud TURP Syndrome? Dan tatalaksananya ? Sindroma TURP adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama operasi.Karena Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi terutama bila sinus vena terbuka secara dini atau bila operasi berlangsung lama. Rata-rata diperkirakan terjadi penyerapan

20cc cairan permenit atau kira-kira 1000-1200cc pada 1 jam pertama operasi, sepertiga bagian di antaranya diserap langsung ke dalam sistem vena. Dan hal ini akan menimbulkan hiponatremia delusional. Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah circulatory overload, keracunan air, dan hiponatremia. Tatalaksana Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan infus normosalin mungkin sudah cukup. Tindakan ini akan menurunkan kelebihan beban cairan melalui diuresis dan menjaga kadar Na dalam batas normal. Pemberian furosemide sebaiknya dimulai selama pasien masih di dalam kamar operasi kalau terjadi perdarahan yang banyak dan waktu operasi lebih dari 90 menit atau bila kadar natrium menurun. Pada kasus hiponatremi berat diberikan infus 3% saline sebanyak 150-200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai furosemide intravena, terutama pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif. Pemberian hipertonik saline ini dapat diulangi bila perlu. Selama pemberian saline hipertonik, kadar elektrolit harus diperikasa tiap 2-4 jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia. Pada penderita hiponatremia yang menunjukkan gejala, gejala itu bisa dihilangkan dengan peningkatan kadar natrium 4-6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama, hanya setengah dari kekurangan kadar natrium yang perlu diatasi dengan pemberian saline 3%. Pemberian saline 3% sebaiknya segera digantikan dengan normal saline. Jangan meningkatkan kadar natrium lebih dari 20 meq/liter dalam waktu 24 jam. Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara perlahan. Karena pemberian saline 3% hanya dipakai untuk tidak lebih dari separuh dari penggantian kalium, maka pada pasien dengan hiponatremia berat hanya memerlukan 300-500cc saline 3% Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan positif dengan menggunakan oksigen 100%(1). Bila terjadi kehilangan darah yang banyak maka transfusi dilakukan dengan menggunakan Packed Red Cells (PRC). Bila terjadi DIC diberikan fibrinogen sebanyak 3-4 gram intravena diikuti dengan pemberian heparin 2000 unit secara bolus dan diikuti 500 unit per jam. Dapat juga diberikan fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari koagulasinya.

7. Terangkan yang dimaksud post dural puncture headache dan tatalaksananya. PDPH adalah sakit kepala yang terjadi akibat adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat penusukan jarum anastesi. Ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural. Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH.

Teori pertama menyebutkan akibat kebocoran yang kontinyu dari cairan serebrospinal menyebabkan berkurangnya cairan dari kompartemen intracranial, karena cairan serebrospinal berfungsi sebagai bantalan otak, maka pengurangan cairan ini menyebutkan posisi otak jatuh (herniasi) sehingga menyebabkan tarikan pada meningen yang sensitive terhadap nyeri, Nyeri ini menjalar sepanjang nervus trigeminus ke daerah frontal dan juga melalui nervus vagus dan glossofaringeus daerah occipital dan leher. Nyeri lebih terasa terutama pada posisi tegak. Teori yang kedua menyebutkan bahwa kebocoran cairan serebrospinal menyebabkan hipotensi intracranial, yang menyebabkan tubuh berkompensasi dengan melalkukan vasodilatasi.

Tatalaksana Biasanya PDPH bersifat self-limiting. Apabila tidak diterapi, PDPH akan hilang dalam seminggu sampai enam minggu setelah gejala muncul. Penatalaksanaan yang dilakukan b e r t u j u a n u n t u k m e r i n g a n k a n g e j a l a y a n g d i r a s a k a n , s a m p a i r o b e k a n d i d u r a m a t e r sembuh. Atau setidaknya, sampai robekannya menutup sehingga gejala yang dirasakanpasien dapat ditoleransi.Penatalaksanaan dari PDPH dapat dibagi menjadi konservatif dan agresif.Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan dengan: Bed rest, sebagai penatalaksanaan simtomatik untuk sakit kepala. Posisi pronasi, diharapkan dengan meningkatnya tekanan intra -abdominal

akanterjadinya aliran serebrospinal ke ruang intrakranial. Kafein, oral maupun parenteral, sebagai vasokonstriktor. Sumatriptan, yang merupakan agonis serotonin dan bekerja

sebagaivasokonstriktor. Merupakan terapi yang biasa dipakai untuk migrain.Sedangkan terapi

agresif yang digunakan adalah epidural blood patch yaitu menyuntikan 15 20 mL darah ke dalam ruang epidural. Diharapkan volume darah akan menyebar di dalam ruang epidural sehingga mampu menutup lubang yang disebabkan oleh tusukan jarum epidural di duramater sehingga dapat mencegah terjadinya kebocoran lebih lanjut dari cairan serebrospinal

8. Bagaimana cara kerja soda lime atau bara lime ?

Sodalime atau baralime merupakan campuran bahan kimia, yang digunakan dalam bentuk granular di lingkungan pernapasan tertutup, seperti anestesi umum, kapal selam, rebreathers dan ruang recompression, untuk menghilangkan karbon dioksida dari gas pernapasan untuk mencegah retensi CO2 dan keracunan karbon dioksida

Mekanisme kerjanya adalah sementara pemberian anestesi umum, gas ekspirasi pasien yang mengandung karbon dioksida dan melewati rangkaian mesin pernapasan anestesi diisi dengan butiran soda lime. Soda lime/bara lime akan menyerap karbon dioksida dengan reaksi kimia

Reaksi kimia secara keseluran yaitu 1. Kapur soda ( soda lime ) yang terdiri dari : Ca(OH)2 : 76-81 % NaOH :4%

KOH : 1% Pelembab Silikat : 14-19 %

Untuk granula 4-8 mesh, untuk mencegah resistensi napas CO2 + H20 NaOH + H2CO3 Ca(OH)2 + H2CO3 2. Bara lime Terdiri dari : Ba (OH)2 Ca (OH)2 CO2 + Ba (OH)2 8 H2O 20% 80% BaCO3 + 9 H20 H2CO3 Na2CO3 + 2H20 + panas CaCO3 + 2H2O + panas

Setelah melalui reaksi kimia tersebut sodalime akan menunjukkan pewarna yang berubah warna ketika sodalime/baralime kehilangan kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida.

9. Ada berapa macam cara ekstubasi ? terangkan ? Teknik ekstubasi sadar tanpa sentuh Adalah suatu teknik ekstubasi yang dilakukan ketika pasien benar-benar sadar, ditandai dengan pasien membuka mata dan dapat menjaga sendiri patensi jalan nafasnya. Teknik ini digunakan pada pasien-pasien yang tidak responsive dengan rangsangan verbal, deviasi mata, atau gangguan nafasnya sehingga belum siap untuk di ekstubasi.dan rentan terhadap laringospasme. Teknik ekstubasi dengan lidokain intravena Adalah teknik ekstubasi yang dilakukan setelah reflex menelan timbul dan satu dua menit sebelum dilakukan ekstubasi pasien diberi lidokain intravena.Lidokain intravena (IV 11.5 mg/kg) dapat membantu kelancaran dari proses kesadaran pada pasien yang mengalami perpanjangan sadar dari anastesia. Teknik ekstubasi dalam Adalah teknik anastesi yang dilakukan ketika pasien masih dalam fase dalam pada saat di anastesia umum ketika muscle relaxan sudah di-reverse dan pasien dalam masa akan mempertahankan tingkat pernafasan. Teknik ekstubasi ini digunakan untuk melawan reverse reflex yang terjadi akibat adanya trakeal tube (ETT). Teknik ini memiliki resiko tinggi akan terjadinya hipoventilasi dan sumbatan jalan nafas.Kontraindikasi dari teknik ekstubasi ini adalah pasien-pasien dengan kesulitan ventilasi,kesulitan intubasi, resiko aspirasi dan operasi yang menghasilkan oedema jalan nafas. 10. Apa yang dimaksud hyperthermia like syndrome ? tata laksana? Hypertermia like syndrome adalah suatu kumpulan gejala yang mirip dengan hipertermia maligna. Hipertemia maligna adalah suatu kelainan genetic yang melibatkan otot skeletalyang dipicu dengan pemberian anstetik inhalasi pada anastesia umum. Tanda khasnya adalah terjadi rigiditas otot, CO2meningkat cepat dan progresif, suhu meningkat cepat dan progresif, myoglobinuria dan kreatinin fosfat serum meningkat cepat dan progresif dan disertai tanda tidak

khas yaitu berupa aritmia, takikardi-aritmia, takipnea, hipertensi atau hipotensi bila curah jantung sudah turun, asidosismetabolik, hiperkalemia, dan koagulopati. Pada hipertermia like syndrome menunjukan gejala-gejala mirip hipertermia maligna, biasanya terjadi pada pasien yang memiliki kelainan musculoskeletal jika terpajan anastesi inhalasi. Pasien-pasien ini bukan penyandang hipertermia maligna, tidak ditemukan bukti mutasi genetic pada kromosomnya sesuai dengan kondisi hipertermiamaligna. Pasien yang menjalani pembedahan pada otot mata skeletal(mis operasi strabismus) juga sering menunjukan gejala yang mirip. Namun demikian gejalanya tidak seberat dan tidak selengkap hipertermia maligna, makanya kondisi ini disebut hyperthermia like syndrome Tata laksana Berikan dantrolen sodium. Dosis inisial 2,5 mg/kg.dosis lanjutan dititrasi berdasarkan ETCO2 dan takikardia. Batas dosis total 10mg/kg, namun boleh ditambah jika diperlukan. Jika krisis teratasi lanjutkan pemberian dantrolen 4-8jam selama 24-48 jam. Ini diperlukan karena pada beberapa kasus timbul serangan lagi. Dantrolen adalah turunan hidantoin.Obat ini digolongkan muscle relaxan namun strukturnya berbeda dengan pelumpuh otot yang digunakan dalam anastesia Obat ini menurunkan tonus otot skeletal namun tidak bekerja pada neomuskular junction seperti pelumpuh otot dalam anastesia. 11. Apa yang dimaksud thyroid storm ? Thyroid storm adalah hipermetabolisme yang disebabkan penglepasan berlebihan hormonehormon tiroid (T3 dan T4) pada pasien tirotoksikosis, selintas gejalanya mirip hipertermia maligna namun dominasinya adalah peningkatan tonus simpatis. Pasien akan mengalami hipertensi, takikardi, gangguan neurologic dan GI track dan peningkatan suhu tubuh. Krisis toksikosis ini sering terjadi pada pasien hipertiroid tanpa terapi optimal yang mengalami stress fisiologik. Biasanya terjadi akibat pembedahan, terutama pembedahan kelenjar tiroid tersebut. Oleh karena terjadi intraoperatif , seringkali disangka maligna hipertermia. Krisis juga dapat terjadi pada pasien hipertiroid yang berhenti berobat, hamil, mengalami injeksi atau yang mendapatkanterapi radioactive iodine.

12. Opiat, opioid dan opium serta reseptor-reseptor opioid Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (papaver somniverum) Opiat adalah obat yang diperoleh dari alkaloid opium umpama morfin. Opioid merupakan zat zat yang sifatnya mirip morfin berikatan dengan reseptor spesifik. Opioid yang diisolasi dari berbagai struktur otak dimana reseptor opiat ada disebut opioid endogen (endorfin berasal dari endogen dan morfin). Opium adalah getah papaver somniferum yang telah dikeringkan. Tepung opium terdiri dari berbagai unsur tetapi unsur farmakologi aktif adalah alkaloid (25 jenis ). Alkaloid yang diperoleh dari opium dapat digolongkan kedalam dua grup yaitu grup fenantren dan benzili isoquinolin. Morfin adalah alkaloid utama grup fenantren sedangkan papaverin mewakili isoquoinolin. Opioid eksogen adalah opioid yang disintese/ semi sintesis seperti heroin ,metadon,petidin. Opioid endogen adalah antara lain met dan leuenkefalin, dinorfin dan alfa,beta,gamma dan delta endorfin, semua endorfin sama aktif dengan morfin kecuali beta endorfin (5-10) kali lebih poten dari morfin. Opioid diklasifikasi sebagai agonis,agonis antagonis dan antagonis, ada juga memasukkan agonis parsial. Disebut agonis bila hubungan dengan reseptor dapat menghasilkan efek maksimal yang bergantung dosis yang diberikan (morfin,meferidin,fentanil dan lain lain). Agonis antagonis, opioid yang bekerja sebagai agonis pada satu jenis reseptor dan bersifat antagonis terhadap reseptor lain(pentazocin). Antagonis adalah opioid yang tidak punya efek pada dosis klinis tetapi dapat berkompetisi menggeser agonis dari reseptornya (Nalokson). Agonis parsial tidak dapat nenghasilkan efek penuh pada reseptor dan tidak dipengaruhi dosis yang diberikan (bufrenorfin). RESEPTOR OPIOID : Kita ketahui reseptor obat ialah makromolekul yang umumnya molekul enzim atau komponen fungsional dari sel bisa terletak pada membran sel. didalam atau diluar sel. Penggabungan obat dengan reseptor merupakan reaksi permulaan dalam satu rangkaian reaksi yang pada akhirnya menimbulkan efek obat.

Dengan menggambarkan bahwa semua obat harus bergabung dengan suatu reseptor dulu berbagai fenomena efek obat,seperti hubungan antara dosis dan efek dan antara waktu dan efek lebih mudah dimengerti. Bagaimana mekanisme kerja opiat(opioid) sampai menimbulkan efeknya harus ada penggabungan dengan reseptornya. Reseptor , reseptor , reseptor , dan reseptor - reseptor , mempunyai afinitas yang tinggi terhadap morfin dan didistribusikan secara luas pada otak dan medulla spinalis, termasuk juga ke lamina I dan II, cornu dorsalis medulla spinalis, striatum dan traktus optikus. Reseptor ini bertanggung jawab terhadap analgesia supraspinal. Ada 2 macam reseptor yaitu 1 dan 2. 1 memerantarai analgesia,euforia dan rasa tenangn sedangkan 2 menyebabkan hipoventilasi, bradikardia,pruritus dll. - Reseptor K(Kappa) (agonis ketocyclazocine), merupakan satu analgetik tipe agonis antagonis yang bertanggung jawab terhadap efek spinal analgesi,sedai,miosis, dan depresi nafas terutama terletak pada kortek serebri. Berlokasi pada pascasinaps, dan dikenal sebagai KOR (kappa opioid receptor) - Reseptor S(Sigma) suatu benzomorfan dengan aktifitas yang aneh yaitu eksitasi dan halusinasi,Kemudian ditemukan reseptor delta yang diaktifkan secara selektif olehopioid endogen yang bekerja memodulasi reseptormu. Reseptor epsilon terutama diaktifkan oleh peptida endogen beta endorfin. - Reseptor (agonis delta-alanin-leusin-enkefalin). Receptor ini terletal dipasca sinaps pada neuron feedback pallidostriatal. Reseptor ini memodulasi nosisepsi prasinaps pada periaqueductal grey matter. Aktivitas dari reseptor ini menghasilkan efek analgesia, meskipun lebih lemah dari pada efek yang dihasilkan oleh reseptor . Pada penggunaan dosis yang sangat tinggi dapat menghasilkan depresi pernafasan , sedangkan pada dosis rendah dapat menghasilkan efek yang sebaliknya. Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein di membran sel susunan saraf pusat (SSP), saraf tepi di perifer dan sel pada saluran gastrointestinal. Reseptor opioid terdapat pada sistem saraf pusat, yang secara integral berperan pada proses nyeri. Jalur ini berjalan melalui periaquaductal grey (PAG) di cornu dorsalis medulla spinalis. Selain itu reseptor opioid juga terdapat di perifer, yaitu:

- Talamus medial, memerantarai rasa nyeri dalam (emosi) - Sibstansia gelatinosa medulla spinalis yang mengintegrasi informasi sensorik, terutama stimulus afferen nyeri. - Batang otak, yang mempengaruhi refleks batuk dan sekresi lambung. Selain itu juga memediasi respirasi, mual dan muntah, mengatur tekanan darah dan diameter pupil - Hipotalamus, mempengaruhi sekresi neuroendokrin - Amigdala pada sistem limbik, terlibat dalam berbagai bentuk prilaku emosi - Saraf perifer,menghambat eksitasi akibat pelepasan ion kalsium yang menghambat substansia proinflamasi. Menghasilkan efek anti inflamasi pada opioid

13. Prioritas masuk ICU dan indikasinya Kriteria masuk ICU - Prioritas I Pada kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, todak stabil yang memerlukanm terapi intensif seperti bantuan ventilasi, infus, obat-obat vasokaktif kontinu dan lain-lainnya. Contohnya pada pasien gagal nafas oleh sebab apapun, pasien gagal sirkulasi oleh sebab apapun, pasien shock septic, pasien pasca bedah kardiothoraksik - Prioritas II Pemantauan atau observasi intensif secara ekslusif atas keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ vital. Misalnya observasi intensif pasca bedah : post trepanasi,post open heart, post laparotomy dengan komplikasi, observasi pada pasca bedah dengan penyakit jantung. - Prioritas III Pasien dalam keadaan sakit kritis yang tidak stabil yang mempunyai harapan kecil untuk penyembuhan (prognosis malam) dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain dengan keganasan disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,

atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. - Prioritas IV Pasien yang umumnya kurang tepat masuk ICU. Pada prioritas IV ini masuk berdasarkan individu, keadaan unusual dan atas kebijakan dari kepala ICU. Pasien ini dapat di katagorikan menjadi: a. Tidak atau kurang dapat diantisipasi dari perawatan ICU berdasarkan resiko rendah dan intervensi aktif yang tidak aman hika dalam perawatan ruangan nonICU. Contoh : pasien dengan operasi vaskular perifer, ketoasidosis diabetikum dengan hemodinamik yang stabil,dll b. Pasien terminal dan penyakit yang irreversibel yang sudah mendekati kematian. Contohnya kerusakan otak yang berat dan irreversible, gangguan sistem multi organ irreversible, Ca yang metastatis yang tidak berrespon dengan kemotrapi maupun radiasi, dll Indikasi masuk ICU 1. Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif memalui infuse secara terus menerus (contoh: gagal napas berat,pasca bedah jantung terbuka, syok septik) 2. Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif atau non invasive sehingga komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi (contoh : pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal atau lainnya. 3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi-komplikasi akut, sekalipun manfaat ICU ini sedikit (contoh: pasien dengan tumor ganas metastasis dengan komplikasi infeksi, tamponade jantung, sumbatan jalan nafas.

14. Tipe gagal nafas Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial O2 dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion matching. Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial: A. Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli 1. Hipoventilasi 2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi

3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion) B. Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion) C. Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah) 1. Peningkatan kecepatan metabolisme 2. Penurunan cardiac output 3. Penurunan arterial O2 content (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi): 1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS) 2. Asthma 3. Oedem Pulmo 4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) 5. Fibrosis interstitial 6. Pneumonia 7. Pneumothorax 8. Emboli Paru 9. Hipertensi Pulmonal Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):

Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah. Penyebab gagal nafas tipe II: A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive 1. Infark atau perdarahan batang otak 2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak 3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll. B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi 1. Myasthenia Gravis 2. Amyotrophic lateral sclerosis 3. Gullain-Barr syndrome 4. Spinal Cord injury 5. Multiple sclerosis 6. Paralisis residual (pelumpuh otot) C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada 1. Muscular dystrophy

2. Polymyositis 3. Flail Chest Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)): Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III Penyebab tersering gagal nafas tipe III: 1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS) 2. Asthma 3. Chronic obstructive pulmonary disease 15. Terangkan Mode Ventilator yang kamu ketahui ! a) Mode Control. Pada mode ventilator ini kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation).

b) Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten Mandatory Ventilation.Pada mode ventilator ini memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih memerlukan bantuan. c) Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport.Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan. d) CPAP : Continous Positive Air Pressure.Pada mode ventilator ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otototot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.

Anda mungkin juga menyukai