Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan konjungtiva ke dalam kornea. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi sering ditemukan pada orang-orang yang sering berada di bawah sinar matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anakanak. Tampak sebagai penonjolan jaringan putih disertai pembuluh darah pada tepi dalam atau tepi luar kornea. Pterigium bisa menyebabkan perubahan bentuk ke kornea sehingga

terjadi astigmata dan

gangguan

penglihatan

lainnya. Jika

sampai

daerah pupil dan

mengganggu penglihatan, pterigium harus diangkat melalui pembedahan. Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.5 Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata. Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus

pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H. influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis. Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi.4
1

BAB II LAPORAN KASUS

Seorang pria usia 36 tahun datang dengan keluhan adanya kemerahan pada kedua matanya, sejak 3 hari yang lalu. Kemerahan merata pada kedua mata, namun mata kanan terasa lebih mengganjal. Buram disangkal. Kotoran mata (+) berwarna kekuningan dan paisen mengeluh terganggu dengan kotoran matanya. Bengkak tampak pada kedua mata. Mata kanan terasa lebih mengganjal karena sebelumnya telah didapt selaput dan sekarang selaput tersebut ikut merah. Gatal dikeluhkan namun tidak terlalu gatal, air mata tidak terlalu banyak keluar. Silau disangkal pasien. Mata juga tidak sakit dan buram. Tidak ada riwayat sakit flu (demam, batuk, pilek) sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi, demikian keluarganya. Dahulu belum pernah sakit seperti ini, namun sejak beberapa tahun lalu memang ada selaput putih di pojok mata kanan. Hasil pemeriksaan fisik: Status Generalis: Keadaan umum : Baik, Compos mentis Tanda vital : Suhu : 36,50C, TD : 120/80 mmHg, RR : 18x/menit, 76x/menit Pemeriksaan Thoraks, Abdomen, dan Ekstremitas : dalam batas normal Nadi :

Pada pemeriksaan oftalmologi okuli dekstra dan sinistra didapatkan: Tajam penglihatan : 6/6

Tekanan Intra Okular : 17 mmHg Palpebra Konjungtiva bulbi : Edema ringan, sekret (+) :

OD : terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak di limbus, hiperemis (+), injeksi konjungtiva (+)

OS : injeksi konjungtiva (+)


2

Kornea

: Jernih

Kamera Okuli Anterior: Dalam Iris dan Pupil Lensa Vitreus Funduskopi retina baik. : Bulat, sentral, reflex cahaya (+) : Jernih : Jernih : Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3, aa/vv 2/3, reflex macula (+),

Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan gram terhadap air mata+sekret mata: sel batang dan segmen (+)

BAB III PEMBAHASAN

I.

IDENTIFIKASI PASIEN Nama Usia Jenis kelamin Pekerjaan Waktu datang Alamat Agama :: 36 Tahun : Laki-laki : Nelayan :::: Kemerahan pada kedua mata sejak 3 hari yang lalu : Mata kanan terasa lebih mengganjal

II.

Keluhan Utama Keluhan Tambahan

Riwayat Penyakit Sekarang : Kemerahan pada kedua mata sejak 3 hari yang lalu Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat Pengobatan : -

MASALAH DAN HIPOTESIS Analisa kasus Hipotesis

Masalah

Kedua mata merah menyeluruh disertai rasa mengganjal dan

- Mata merah terjadi akibat pelebaran pembuluh darah konjungtiva yang terjadi akibat peradangan mata akut atau karena pecahnya pembuluh darah. - Rasa mengganjal karena adanya benda

Konjungtivitis Episkleritis Skleritis Keratitis Pterigium


4

berair

asing atau massa.3 - Mata berair karena sensasi benda asing atau kualitas air mata yang menurun (akibat dari kurangnya lipid yang

berfungsi sebagai pencegah air mata cepat menguap) Laki-laki, 36 tahun, pekerjaan sebagai nelayan - Lapangan pekerjaan pasien merupakan faktor resiko terpapar debu, pasir, udara panas, dan sinar UV.
3

Pterigium Konjungtivitis

- Usia 20-49 tahun merupakan usia dimana insidensi pterigium mencapai puncaknya. Tidak ada penglihatan buram, nyeri, dan fotofobia Kotoran mata (+) berwarna kekuningan, oedem pada kedua mata, tidak terlalu gatal, air mata tidak terlalu banyak. Belum pernah menderita sakit seperti ini, namun beberapa tahun lalu memang ada selaput putih di pojok okuli dextra OD : Terdapat - Terbentuknya jaringan fibrovaskular Pterigium
5

Pterigium

- Kotoran oedem,

mata dan

berwarna tidak

kekuningan, gatal

Konjungtivitis

terlalu

menunjukkan infeksi oleh bakteri - Air mata yang tidak terlalu banyak akibat dari kurangnya lipid yang berfungsi sebagai menguap. pencegah air mata cepat

Pterigium

jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga di puncak limbus, hiperemis (+), injeksi konjungtiva (+)

disebabkan karena paparan bahan iritan secara terus-menerus yang kemudian terbentuk mikrolesi. Kemudian tubuh membuat suatu pertahanan untuk

Konjungtivitis

membunuh mikrolesi tersebut dengan membuat suatu jaringan fibrovaskular. - Injeksi konjungtiva disebabkan darah oleh arteri

melebarnya

pembuluh

konjungtiva posterior yang terjadi akibat pengaruh mekanis, alergi, ataupun infeksi pada jaringan konjungtiva OS : Injeksi Konjungtiva III. ANAMNESIS TAMBAHAN Konjungtivitis

Riwayat Penyakit Sekarang Apakah mata terasa berair? Apakah disertai kotoran mata? Apakah pernah terjadi trauma sebelumnya? Apakah disertai gatal? Bagaimana onsetnya, terjadi perlahan atau mendadak? Apakah keluhan ini pernah terjadi sebelumnya? Apakah disertai penurunan penglihatan? Apakah pasien merasa silau jika terkena sinar matahari (fotofobia)?

Riwayat Penyakit Dahulu Apakah pasien menderita penyakit sistemik seperti DM atau hipertensi?

Riwayat Pengobatan Apakah pasien sudah pernah berobat sebelumnya? Apakah pasien mempunyai alergi terhadap obat tertentu?
6

IV.

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis Keadaan umum Tanda vital Suhu TD RR Nadi :36,5 0C :120/80 mmHg :18x/menit :76x/menit (N: 36,5-37,2 0C) (N: <120/<80) (N: 16-20x/menit) (N: 60-100x/menit) : baik, compos mentis

Pemeriksaan thoraks, abdomen dan extremitas : dalam batas normal

Interpretasi: Pada status generalis pada pasien ini hasil semuanya dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologi okuli dextra dan sinistra: Nilai pada pasien Tajam penglihatan 6/6 Interpretasi N:6/6 Tajam penglihatan 6/6 berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter,yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. Tekanan intra ocular Palpebra Edema ringan, sekret (+) Edema ringan dan sekret + berwarna kuning berwarna kekuningan Konjungtiva bulbi terdapat pada konjungtivitis bakteri. 17 mmHg N: 15-20 mmHg

-OD : terdapat jaringan - Pada OD terdapat jaringan fibrovaskular fibrovaskular berbentuk berbentuk segitiga tanda khas pada pterigium. segitiga dengan puncak Puncak di limbus termasuk pterigium stadium di limbus, hiperemis (+), 1. injeksi konjungtiva (+) Hiperemis (+) menandakan terjadi

perlebaran pembuluh darah. Konjugtiva (+)


7

pada konjugtivitis -OS : injeksi - pada OS injeksi konjugtiva (+) menandakan konjugtivitis Normal Normal

konjungtiva (+) Kornea Kamera okuli anterior Iris dan pupil Bulat,sentral, cahaya (+) Lensa Vitreus Funduskopi Jernih Jernih Jernih Dalam

reflek Normal

Normal Normal

Papil bulat, batas tegas, Normal CDR 0,3, aa/vv 2/3, reflek macula (+) retina baik

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pewarnaan gram terhadap air mata dan sekret mata: sel batang dan segmen (+). Interpretasi: Ditemukan adanya sel batang dan segmen (+) pada pewarnaan gram menunjukkan konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri. Pemeriksaan Tambahan Pemeriksaan swab konjungtiva dengan pemeriksaan gram dan Giemsa sangat membantu untuk mengetahui bakteri penyebab dan penegakan diagnosis konjuntivitis bakteri. Pengecatan gram bisa didapatkan bakteri coccus atau batang gram positif, pada infeksi Nisseria Gonorea ditemukan bakteri diplococcus gram negatif. Pemeriksaan giemsa didapatkan sel-sel radang leukosit dan PMN yang sangat banyak. Pada infeksi Chlamydia ditemukan adanya inclusion bodies pada pewarnaan Giemsa.

Bila terdapat fasilitas dapat dilakukan pemeriksaan PCR untuk mendeteksi apakah ada gen dari bakteri-bakteri penyebab konjungtivitis tersebut. Setelah dilakukan pewarnaan gram dapat dilanjutkan deangan pemeriksaan kultur dan sensitivitas terhadap antibiotika.

Pemeriksaan pewarnaan metilen biru. Pewarnaan Metilen Biru yang akan menunjukkan Diplokok di dalam sel leukosit. Dengan pewarnaan Gram terlihat Diplokok Gram negatif intra dan ekstraseluler. Pemeriksaan sensitivitas dilakukan pada agar darah dan coklat. VI. DIAGNOSIS KERJA

Pada kasus ini diagnosis kami adalah konjuntivitis bakterial akut OD OS dengan pterygium OD, berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien mengeluhkan kedua mata merah merata sejak 3hari yang lalu, kotoran mata (+)berwarna kekuningan, terganggu dengan kotoran matanya, gtal dikeluhan tetapi tidak terlalu gatal, airmata tidak terlalu banyak keluar, mata tidak sakit k dan tidak buram, tidak ada riwayat sakit flu dan juga alergi dan pada pemeriksaan fisik pasien terlihat terdapat injeksi konjungtiva yang merupakan khas pada konjungtivitis dan pada pemeriksaan penunjang hasil menunjukan pasien mengalami konjungtivitis bakteri akut. Pada mata kanan pasien terdapat selaput putih di pojok kanan sejak beberapa tahun lalu dan pada pemeriksaaan fisik mata kanan sekarang sudah ada selaput yang sudah puncaknya terdapat dilimbus yang menunjukan pterygium derajat satu.

VII.

PATOFISIOLOGI

Pterygium Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva (perilimbal) yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium terjadi pada permukaan yang terekspose udara luar serta mendapat paparan sinar dan iritan fisik lainnya. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah komea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwama merah. Pada pasien ini, ada beberapa faktor resiko yang berkontribusi besar pada pterygium yang dialami, antara lain: 1. Paparan sinar UV (ultraviolet) dari matahari secara langsung. Pekerjaan pasien adalah seorang nelayan. Lapangan pekerjaan seorang nelayan adalah di luar
9

ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Apabila pasien tidak menggunakan bahan/ material yang baik untuk proteksi sinar UV, maka pterigium sangat mudah terjadi pada pasien ini, mengingat Indonesia juga merupakan negara dengan iklim tropis. Sinar Ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjunctiva menghasilkan kerusakan sel serta proliferasi sel yang menjadi dasar patogenesis pterigium 2. Paparan debu serta bahan iritan lain di ruang terbuka yang menyebabkan iritasi kronis. Paparan debu sangat mungkin terjadi pada pasien, pekerjaan nya sebagai nelayan, mengharuskan nya berada di luar rumah. Dengan bantuan angin, debu dapat masuk ke matanya. Debu merupakan salah satu bentuk penyebab trauma fisik yang dapat menyebabkan iritasi kronis (akibat paparan terus menerus) akibat cedera sel yang ditimbulkannya. Adanya iritasi kronik pada daerah limbus dan atau kornea merupakan salah satu dasar patogenesis terjadinya pterygium.2 Konjungtivitis Bakterial Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari infeksi sekitarnya yang letaknya berdekatan. Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.7 VIII. TATA LAKSANA Pemberian terapi medika mentosa pada pasien ini diberikan steroid dikarenakan adanya tanda hiperemis pada konjungtiva. Pemberian antibiotik tunggal seperti neosporin, basitrasin, gentamicin, kloramfenicol, tobramisin, eritromisin atau sulfa dilakukan untuk mengatasi konjungtivitis bakterial pada pasien

10

Sedangkan untuk terapi non medikamentosa, dilakukan operasi dengan indikasi adanya rasa mengganjal pada mata, karena pterigium terdapat jaringan fibrovaskular ke limbus kornea. Pemberian edukasi juga penting, melihat penyakit ini yang mungkin timbul berulang dan mengingat pasien seorang nelayan maka disarankan untuk memakai kacamata pelindung untuk menghindari paparan debu dan sinar matahari yang berlebihan. IX. KOMPLIKASI Komplikasi pertama yang bisa terjadi adalah konjungtiva menarik kornea sehingga mengakibatkan astigmatisme. Pada pasien ini apabila terjadi rekurensi pada pasien ini, dapat mengakibatkan terjadinya strabismus, sikatrik dan erosi kornea. Dapat juga terjadi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan sentral, mata merah, iritasi, terdapat bekas luka kronis pada konjungtiva dan kornea. Pergerakan yang luas dari muskulus extraokuler mata dapat membatasi motilitas okuler dan mengakibatkan diplopia. Pada pasien yang belum mengalami eksisi bedah,jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah,jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Komplikasi yang jarang adalah bisa terjadi degenerasi ganas akibat jaringan epitel yang melapisi pterygium.

X.

PROGNOSIS : Bonam

Ad vitam Ad sanationam

Pterigium merupakan penyakit yang tidak mengancam kejiwaan. : Dubia ad malam

Dilihat dari okupasi pasien yang merupakan nelayan yang sering terpapar oleh debu dan sinar UV maka penyakit ini dapat muncul kembali. Ad functionam : Dubia ad bonam

11

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi mata 1.1 Rongga orbita Rongga orbital ini skematis digambarkan sebagai piramida empat dinding yang

berkumpul di bagian posterior. Dinding medial orbit kanan dan kiri sejajar dan dipisahkan oleh hidung. Di orbit masing-masing, dinding lateral dan medial membentuk sudut 45 derajat, yang menghasilkan sudut yang tepat antara dua dinding lateral. Orbit dianalogikan dengan bentuk buahpir,dengan saraf optik yang dianalogikan seperti akar. Lingkar anterior agak kecil dengan diameter dari wilayah hanya dalam lingkaran, yang membuat margin pelindung yang kokoh. Volume bola mata orang dewasa adalah sekitar 30 mL,dan bola mata hanya

menempati sekitar seperlima dari ruang. Lemak dan otot menempati sebagian besar sisanya. Batas anterior rongga orbital adalah septum orbital,yangbertindaksebagai

penghalang antara kelopak mata dan bola mata. Orbit berhubungan dengan sinus frontal di atas, sinus maksilaris di bawah,

dan sinus ethmoid dan sphenoid di bagian medial. Lantai orbital tipis sehingga mudah rusak oleh trauma langsung, yang bisa mengakibatkan fraktur dengan herniasi dari isi bola mata ke

dalam antrum maksila. Infeksi dalam sinus sphenoid dan ethmoid dapat mengikis dinding kertas tipis medial (laminapapyracea) dan melibatkan isi dari bola mata. Cacat pada atap (misalnya, neurofibromatosis) dapat mengakibatkan pulsation yang dapat dilihat dari bola mata yang dikirim dari otak.

12

1.2 Pendarahan bola mata Pasokan arteri utama dari bola mata dan strukturnya berasal dari arteri ophthalmica, cabang besar pertama dari bagian intrakranial dari arteri karotis interna. Cabang ini melewati bagian bawah nervus opticus dan mendampingi melalui kanal optik ke bola mata. Cabang intra orbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki nervus opticus sekitar 15 mm di belakang bola mata. Cabang lain dari arteri ophtalmica termasuk arteri lakrimalis, yang memperdarahi kelenjar lakrimal dan kelopak mata atas; berbagai otot bola mata;

arteri ciliaris posterior longus dan brevis; arteri medial palpebral untuk kedua kelopak mata, dan arteri supraorbital dan supratroklearis. Arteri ciliaris posterior nervus optikus. Dua dan beranastomosis satu brevis memperdarahi koroid dan bagian-bagian siliaris

arteri siliaris posterior sama lain

longus memperdarahi badan dengan arteri siliaris

anterior untuk

membentuk lingkaran arteri besar dari iris. Arteri siliaris anterior meyuplai darah otot rektus yang melekat pada sklera. Mereka memperdarahi sklera anterior, episklera, limbus, dan kontribusi pada lingkaran arteri besar dari arteri ophtalmika kelopak mata, dari iris. Cabangberkontribusi yang

konjungtiva dan cabang yang

memberikan

paling anterior

pada pembentukan arcade arteri pada

membuat anastomosis dengan sebuah sirkulasi karotid eksternal melalui arteri wajah. Aliran vena dari bola mata terutama melalui vena ophtalmica superior dan inferior, kemudian menuju vena vortex, vena siliaris anterior, dan vena sentralis retinae. Vena ophtalmica berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fissura orbital superior

dan vena pterygoideus pleksus melalui fissura orbital inferior.Vena ophtalmica superior pada awalnya terbentuk dari pembuluh darah supraorbital dan supratroklearis dan melalui kulit pada daerah periorbital.

dari cabang vena angularis, yang

semuanya mengalir

Aliran darah ini mengomunikasi langsung antara kulit wajah dan sinus kavernosa, sehingga membentuk dasar dari trombosis sinus kavernosus yang berpotensi mematikan terhadap infeksi sekunder kulit periorbital superfisial. 1.3 Konjungtiva

13

Konjungtiva adalah permukaan posterior kelopak anterior sklera (bulbar konjungtiva). Konjungtiva palpebra

membran tipis mukus transparan yang mata (konjungtiva palpebral) dan

menutupi permukaan

adalah permukaan posterior kelopak dan

mata dan tegas

melekat

pada tarsus. Pada margin superior

inferior dari tarsus

itu, menutupi jaringan episkleral menjadi konjungtiva bulbar. Konjungtiva bulbar secara septum diforniks dan dilipat berkali-kali. Hal ini longgar melekat memungkinkan mata untuk pada orbital bergerak

dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Saluran dari kelenjar lakrimal terbuka ke dalam forniks temporal menyatu selama superior. Kecuali di limbus di mana kapsul Tenon dan konjungtiva melekat longgar

sekitar

3 mm, konjungtiva bulbar adalah

pada kapsul Tenon dan sklera. Arteri konjungtiva berasal dari Limfatik konjungtiva disusun dan bergabung dengan limfatik pada limfatik. Konjungtiva menerima arteri siliaris dan dalam lapisan dangkal kelopak suplai mata untuk arteri palpebral. dan dalam membentuk pleksus ophtalmica pertama

saraf dari divisi

dari saraf kelima. Hal ini memiliki jumlah yang relatif kecil dari serat nyeri. 1.4 Kornea Adalah bagian dinding bola mata yang terlatak paling depan. Kornea merupakan

jaringan yang jernih dan bening. Termasuk bagian dari tunika fibrosa yang besarnya sekitar 1/6 bag anterior bola mata, dan berbatasan dengan sklera yang merupakan 5/6 bag posterior bola mata. Perbatasan antara kornea dan sklera disebut limbus. Tebal kornea 0.6-1.0 mm dan terdiri atas 5 lapisan: Epitel berlapis gepeng tanpa lap. Tanduk merupakan lapisan terluar dari kornea dan tempat berakhirnya ujung saraf sehingga setiap ada gangguan pada kornea akan memberikan gangguan sensibilitas berupa rasa sakit. Dan epitel merupakan bagian kornea yang mempunyai daya regenerasi yang cukup baik sehingga bila ada kerusakan tidak akan menimbulkan jaringan parut bila kerusakanya tidak melewati epitel ini.

14

Membran Bowman merupakan lapisan di bawah lapisan epitel kornea dan merupakan suatu membran tipis yang homogen terdiri atas susunan serat kolagen yang kuat sehingga bisa mempertahankan bentuk kornea. Bila terjadi kerusakan pada membran bowman maka akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut. Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea dan terdiri dari atas jaringan kolagen yang tersusun dalam lamel-lamel dan berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Diantara serat kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma kurang lebih 70%. Kadar air dalam stroma relatif tetap yang diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel. Sehingga bila fungsi endotel kurang baik maka akan terjadi kelebihan kadar air sehingga timbul sembab kornea (edema kornea). Serat didalam stroma demikian teratur sehingga memberikan gambaran kornea yang transparan atau jernih. Bila terjadi gangguan dari susunan serat di dalam stroma seperti edema kornea dan sikatriks kornea akan mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea terlihat keruh. Membran Descemet merupakan lapisan yang tipis dan bersifat kenyal,kuat,tidak berstruktur dan bening; terletak di bawah stroma,lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masukanya pembuluh darah. Endotel terdiri atas satu lapis sel yang merupakan jaringan terpenting untuk

mempertahankan kejernihan kornea. Sel endotel adalah sel yang mengatur cairan di dalam stroma kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi sehingga bila terjadi kerusakan maka tidak akan balik semperti sempurna. Endotel dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah,penyakit intraokuler. Usia lanjut akan mengakibatkan jumlah endotel berkurang. 2. Faal refraksi Yang termasuk dalam media refraksi adalah kornea, aques humor, lensa, vitreous humor, dan retina. Sehinga bila sinar masuk akan melewati media refraksi dan sampai di retina yang terdiri atas 10 lapisan dan dinatara 10 lapisan tersebut terdapat sel bat6ang dan kerucut yang berfungsi sebagai fotoreseptor lalu melalui N.optikus di chiasma optikum terjadi persimpangan

15

jalur penglihatan lalu akan berjalan ke lobus occipital di area 17 yang merupakan penglihatan primer. Ketika cahaya bersinar pada satu mata, kedua pupil berkontriksi , konstriksi ini adalah refleks cahaya pupil. optik atau saraf kranial II terdiri dari 80% visual dan serabut pupil afferent. Cahaya impuls ke dalam mata menyebabkan retina menyebarkan impuls ke saraf optik, bidang optik, otak tengah, dan korteks visual dari lobus occipitalis. Ini adalah otot afferent dari refleks cahaya. Di otak tengah, serabut pupil menyebarkan dan disebarkan dengan serabut silang ke depan nucleus Edinger whestpal dari okulomotor, atau saraf kranial III. Beberapa serabut tinggal pada sisi yang sama. Saraf kranial ketiga adalah otot efferent, yang mana berangkat melalui badan ciliary ke otot sphincts dari iris yang menyebabkannya berkontraksi. Efek langsungnya adalah konstriksi dari pupil mata bagian atas yang mana cahaya bersinar. Refleks dekat terjadi ketika pelaku melihat jarak dekat. Ada tiga bagian dari refleks dekat yakni akomodasi, menyebarkan, dan konstriksi pupil. akomodasi didefenisikan sebagai fokus dekat dari mata yang mana diakibatkan oleh peningkatan kekuatan lensa oleh kontraksi dari otot ciliary, di inerfasi oleh saraf kranial III. Reseptor, setiap sel batang dan kerucut dibagi menjadi segmen luar, segmen dalam yang mengandung inti-inti reseptor dan daerah sinaps. Segmen luar adalah modifikasi silia dan merupakan tumpukan teratur sakulus atau lempeng dari membrane. Sakulus dan membrane ini mengandung senyawa-senyawa peka cahaya yang bereaksi terhadap cahaya dan mampu membangkitkan potensial aksi di jaras penglihatan . segmen luar sel batang selalu diperbaharui oleh pembentukan lempeng-lempeng baru ditepbagian dalam segmen dsan proses

fagositosis lempeng tua serta dari ujung luar oleh sel-sel eptel berpigmen. Fotoreseptor terdiri atas dua jenis sel, yaitu koni (kerucut) dan basillli (batang). Sel basilli yang lebih banyak, berfungsi untuk melihat dalam cahaya remang-remang, tidak untuk melihat warna. Koni berfungsi untuk melihat cahaya terang dan warna. Lateral terhadap bintik buta terdapat daerah lonjong disebut macula lutea, demgam cekungan kecil dipusatnya yang disebut fovea sentralis. Fovea sentralis hanya mengandung koni; macula mengandung kebanyakan koni, yang makin berkurang kea rah perifer. Retina perifer hanya mengandung basilli. Agar melihat jelas, berkas cahaya harus jatuh tepat pada fovea sentralis, yang besarnya hanya seujubg jarum pentul.

16

Semua bangunan transparan yang harus dilalui berkas cahaya untuk mencapai retina disebut media refraksi, yaitu kornea, lensa dan korpus vitreous. Mata normal akan membiaskan cahaya yang memasuki mata sedemikian rupa sehingga bayangannya tepat jatuh tepat di retina, di fovea sentralis. Mekanisme pembentukan bayangan. Mata mengubah energi dalam spekturm yang dapat dilihat menjadi potensial aksi di nervus optikus. Panjang gelombang cahaya yang dapat dilihat berkisar dari 397 nm sampai 723 nm. Bayangan benda di sekitar difokuskan di retina. Berkas cahaya yang mencapai retina akan mencetuskan potensial didalam sel kerucut dan batang. Impuls yang timbul di retina dihantarkan ke korteks serebrum, untuk dapat menimbulkan kesan penglihatan. Daya akomodasi , biula m. siliaris dalam keadaan istirahat, berkas sinar paralel yang jatuh dimata yang optiknya normal (emetropia) akan difokuskan ke retina. Selama relaksasi ini dipertahankan, maka berkas sinar dari benda yang kurang dari 6 m akan difokuskan di belakang retina dan akibatnya benda tersebut akan nampak kabur. proses meningkatnya kelengkungan lensa disebut akomodasi. Pada keadaan istirahat, ketegangan lensa dipertahankan oleh tarikan ligamentum lensa. Karena bahan lensa mudah dibentuk dan kelenturan kapsul lensa cukup tinggi, lensa dapat ditarik menjadi gepeng. Bila pandangan diarahkan ke benda yang dekat, otot siliaris akan berkontraksi. Hal ini mengurangi jarak antara tepi-tepi korpus siliaris dan melemaskan ligamentum lensa, sehingga lensa membentuk mengerut membentuk benda yang lebih cembung. Pada orang berusia muda bentuk ini dapat meningkatkan daya bias mata hingga 12 dioptri. Selain akomodasi, terjadi konvergensi sumbu penglihatan dan konstriksi pupil bila seseorang melihat benda yang dekat. Respon 3 bagian ini : akomodasi, konvergensi, sumbu penglihatan, dan kontriksi pupil disebut respon melihat dekat. Gangguan umum pada mekanisme pembentukan bayangan, pada beberapa orang, bola mata berukuran lebih pendek daripada normal dan sinar yang sejajar difokuskan dibelakang retina. Kelainan ini disebut hiperopia atau penglihatan jauh. Akomodasi yang terus menerus, bahkan sewaktu melihat benda jauh dapat sedikit mengkompensasi kelainan, tetapi kerja otot yang terus menerus akan melelahkan dan dapat menimbulkan nyeri kepala dan penglihatan kabur. Konvergensi sumbu penglihatan yang terus menerus yang disertai akomodasi akhirnya dapat menimbulkan juling (strabismus), kelainan ini dapat diperbaiki dengan menggunakan kacamata dengan lensa konveks, yang membantu daya bias mata dalam memperpendek jarak
17

fokus. Pada miopia (penglihatan dekat), garis tengah antero posterior bola mata terlalu panjang. Miopia bersifat genetik. Pada orang berusia muda aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan benda-benda dekat, misalnya belajar dapat mempercepat timbulnya miopia. Kelainan ini dapat diatasi dengan kacamata lensa bikonkaf, yang membuat berkas cahaya sejajar sedikit berdivergensi sebelum masuk ke mata. Astigmatisme adalah keadaan yang sering dijumpai dengan kelengkungan kornea tidak merata. Bila kelengkungan disatu meridian berbeda dengan kelengkungan dimeridian lain, berkas cahaya di meridian tersebut akan dibiaskan ke fokus yang berbeda.yang kurang dari 6 meter akan difokuskan di belakang retina dan akibatnya benda tersebut tampak kabur.

3. Pterigium

Definisi Merupakan massa yang letaknya superfisial dari bola mata, biasanya terbentuk konjungtiva perilimbal dan meluas ke permukaan kornea. Besarnya dapat bervariasi, dapat tumbuh secara invasif hingga menimbulkan perubahan topografi dari kornea dan dalam kasuskasus lanjutan dapat mengaburkan pusat optik kornea. Penyebabnya belum diketahui secara

pasti, namun diduga berhubungan dengan adanya iritasi kronis dari debu, sinar matahari dan udara panas. Sehingga faktor resiko dari pterigium adalah tingginya paparan sinar UV dan pekerjaan yang banyak dilakukan di luar ruangan. Epidemiologi Pterigium lebih banyak ditemukan pada pria, hal tersebut kemungkinan berhubungan dengan aktivitas yang lebih banyak di luar ruangan sehingga lebih mudah terpapar debu dan sinar UV. Jumlahnya dua kali lebih banyak disbanding wanita. Insiden tertinggi pterigium adalah pada usia 20-40 tahun. Sedangkan prevalensi tertingginya pada usia di atas 40 tahun.
18

Stadium Pterigium Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, derajat pertumpuhan pterigium dibagi menjadi: Derajat Derajat I Keterangan Hanya terbatas pada limbus Gambar

Derajat II

Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea

Derajat III

Jika telah melewati derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

Derajat IV

Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehinggamengganggu penglihatan.

Gejala Klinis

19

Gejala pterigium sangat bervariasi, pterigium dapat tidak bergejala atau sebaliknya yaitu menunjukkan gejala yang signifikan seperti mata merah, gatal, iritasi dan penglihatan yang kabur. Munculnya gejala gangguan penglihatan tersebut berhubungan dengan lesi yang telah menginvasi kornea yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Akibat penarikan kornea oleh lesi pterigium, penderita dapat mengalami astigmatisma, yang biasanya tipe astigmatisma ireguler. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea saat dilakukan inspeksi. Kebanyakan lesi pterigium terdapat di bagian nasal, meskipun pterigium dapat pula terdapat di bagian temporal. Manifestasi klinis dari pterigium dapat dibagi dua, yaitu : Proliferasi minimal disertai gambaran yang relative atrofik, pterigium tipe ini akan lebih mendatar dan pertumbuhannya lebih lambat serta memiliki insiden rekurensi yang lebih rendah pasca operasi. Proliferasi secara cepat, biasanya menimbulkan gejala yang lebih signifikan dan memiliki kekambuhan yang tinggi setelah dilakukan operasi pengangkatan pterigium. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan topografi kornea dapat berguna untuk menentukan derajat astigmatisma ireguler yang disebabkan oleh pertumbuhan invasif pterigium. Sedangkan pemeriksaan external photography dapat membantu untuk mengobservasi progresifitas dari pterigium tersebut. Patofisiologi Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastik menunjukkan basophilia dengan hematoxylin dan pewarnaan eosin. Jaringan tersebut dapat diwarnai oleh pewarnaan jaringan elastis, akan tetapi jaringan tersebut bukan merupakan jaringan elastis sejati dan tidak dapat dicerna oleh elastase.. Penatalaksanaan Pasien dengan pterigium tidak harus melakukan operasi, sebab tingkat kekambuhannya tinggi terutama pada pasien-pasien dengan faktor resiko. Akan tetapi, perlu dilakukan observasi
20

secara berkelanjutan sebab lesi pterigium mudah teriritasi dan dapat terus tumbuh sehingga dapat menutupi media penglihatan, akibatnya visus dapat menurun. Apabila terjadi iritasi dapat steroid atau tetes mata dekongestan. Penatalaksanaan pterigium yang terpenting adalah melindungi mata dengan pterigium dari sinar ultraviolet misalnya dengan memakai kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang dapat diberikan air mata buatan dan bila perlu diberikan steroid. Operasi pengangkatan pterigium dilakukan bila telah menimbulkan astigmatisma atau menutup media penglihatan, dibawah anestesi topikal atau lokal dan ditambah sedasi bila diperlukan. Terdapat 3 teknik operasi pterigium, yaitu bare sklera (hanya meliputi pengangkatan lesi pterigium), teknik subkonjungtiva (lesi diangkat kemudian sisanya di selipkan di bawah konjungtiva bulbi, tujuannya agar jika residif pterigium tidak akan menginvasi kornea), dan teknik graft (pterigium setelah diangkat lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa mulut/konjungtiva forniks). Setelah operasi, biasanya mata pasien merekat pada malam hari, perawatanya dengan memakai obat tetes mata atau salep mata anibiotika/ antiinflamasi. Medikamentosa yang dapat diberikan pada pterigium antara lain : - Air mata artificial untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan mata. - Obat tetes mata antiinflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Dapat membantu mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular. Contoh obatnya adalah prednisolon asetat (Pred Fo 1% merupakan suatu suspense kortikosteroid yang pemakaiannya dibatasi untuk inflamasi berat yang tidak dapat disembuhkan dengan pelumas topikal lain. Prognosis Prognosis ptergium secara visual dan kosmetik baik. Pada hari pertama pasca operasi, sebagian besar pasien dapat melanjutkan aktifitas penuh. Pasien-pasien yang kembali terkena perigium, dimana rekurensi adalah komplikasi utama dari pterigium, maka dapat dilakukan operasi eksisi kembali dengan conjungtiva/limbal autograft atau transplantasi membrane amniotic pada pasien tertentu.6
21

4. Konjungtivitis Inflamasi bulbar dan atau konjungtiva palpebral, atau konjungtivitis dapat disebabkan karena alergi, virus atau bakteri. Konjungtivitis bacterial biasanya disebabkan oleh stafilokokus, streptokokus, klamidia dan gonokokus. Konjungtivitis ringan dapat sembuh sendiri dan mudah diatasi dengan antibiotic. Konjungtivitis berat, seperti yang disebabkan oleh gonokokus dapat menyebabkan kebutaan. Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009). Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif.1 Etiologi dan Faktor Resiko Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis. Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, pengguna lensa kontak, penderita sinusitis, keadaan imunodefisiensi dan terekspos oleh penderita STD pada saat lahir. Patofisiologi Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh
22

ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi

konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009). Gejala Klinis Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata(AOA, 2010). Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005). Diagnosis Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009). Penatalaksanaan
23

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva.8

24

BAB V KESIMPULAN

Pada pasien yang datang dengan keluhan kedua mata merah sejak 3 hari ini berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didiagnosis kerja Pterigium dengan Konjungtivitis Bakterial. Tetapi, pada pasien ini masih membutuhkan pemeriksaan tambahan untuk menentukan etiologi konjungtivitis bakterialnya. Sementara pada pasien ini belum diketahui etiologi pada konjungtivitisnya, maka kami memberikan antibiotik broadspectrum untuk tatalaksana konjungtivitis. Sedangkan untuk pterigium, kami memberikan optional berupa tindakan operasi, selain itu, kami memberikan edukasi kepada pasien.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Alloyna, Dhika. Prevalensi Konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009 dan 2010. Available at : Prevalensi Konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009 dan 2010. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Available at:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31458 2. Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. In: Riordon-Eva P, Whitcher JP; editors. Vaughan arid Asbury's General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraW'Hill Companies: 2004.p. 119 3. Ilyas S. Mata merah. Ilmu Penyakit Mata 3rd Ed. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.2009.p.116-8 4. Konjungtivitis Bakterial. Available at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31458/4/Chapter%20II.pdf. Accessed on September 8, 2012. 5. Pterigium. Available at: http://m.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=820. Accessed on September 8, 2012 6. Pterigium Available at : http://www.scribd.com/doc/85926843/makalah-mtht-1. Accesed on September 6, 2012 7. Rubenstein JB, Virasch V. Conjunctivitis: Infectious and noninfectious. In: Yanoff M, Duker JS, eds. Ophthalmology. 3rd ed. St. Louis, Mo: Mosby Elsevier; 2008:chap 4.6. 8. Yeung Karen K. Bacterial Conjunctivitis. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1191730-overview#a0104

26

Anda mungkin juga menyukai