Anda di halaman 1dari 35

Presentasi Kasus

PENATALAKSANAAN ANESTESI GENERAL PADA LAKI-LAKI 20 TAHUN DENGAN RHINOSINUSITIS KRONIK DAN SEPTUM DEVIASI

Disusun Oleh : Dewi Ayu Astari P. G9911112048

Pembimbing: dr. H. Marthunus Judin, Sp. An., KAP

KEPANITERAAN KLINIK LAB/UPF ANESTESIOLOGI FK UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus dengan judul Penatalaksanaan Anestesi General Pada Laki-Laki 20 Tahun dengan Rhinosinusitis Kronis dan Septum Deviasi dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Unit Anestesi dan Reanimasi di FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Marthunus Judin, SpAn, selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta dan selaku pembimbing presentasi kasus ini, dan seluruh staf ahli anestesi yang penulis hormati. Penulis berharap presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran dan kritikan semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan laporan ini.

Surakarta, 18 Oktober 2012

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. Kata Pengantar .................................................................................................

i ii

Daftar Isi .......................................................................................................... iii Bab I. Pendahuluan .......................................................................................... Bab II. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 1 2

Bab III. Laporan Kasus .................................................................................... 21 Bab IV. Pembahasan ........................................................................................ 28 Bab V. Kesimpulan ......................................................................................... 31 Daftar Pustaka .................................................................................................. 33

iii

BAB I PENDAHULUAN

Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada anestesi umum, hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran, sedangkan pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilangnya kesadaran. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/ regional (Michael, 2004; Gunawan, 2007; Muhardi, 2002). Pada penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap persiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi. Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan tidak sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi (Michael, 2004; Gunawan, 2007; Muhardi, 2002). Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi, dan pemeliharaan. Obatobat yang diberikan dapat berupa obat inhalasi atau intravena, sampai stadium anestesi dikehendaki. Perlunya pemantauan pada tahap ini yaitu pernafasan, sirkulasi, dan kedalaman anestesi, dilakukan secara berkala dan terus-menerus untuk menghindari penyulit atau komplikasi yang dapat terjadi. Pada tahap pemulihan, pengawasan ketat masih harus dilakukan, sampai penderita benar-benar pulih dan cukup stabil untuk

dipindah ke bangsal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. GENERAL ANESTESY (ANESTESI UMUM) General anestesy atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan (Michael, 2004; Gunawan, 2007). Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis (Muhardi, 2002). Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diingini (Gunawan, 2007). Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas (Tony, 2002). Pada anestesi umum dikenal stadium anestesi dari Guedel, stadium ini untuk mengetahui kedalaman anestesi dan lebih jelas bila digunakan eter. Stadium anestesi terdiri dari:

a. Stadium I (stadium analgesia atau disorientasi) Stadium ini berlangsung mulai induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya dapat dilakukan pembedahan kecil. Akhir stadium ini ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata. b. Stadium II (stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium) Dimulai dari hilangnya kesadaran dan hilangnya reflek bulu mata sampai

ventilasi kembali teratur. Terdapat depresi ganglia basalis sehingga refleksrefleks tidak terkontrol atau reaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan. c. Stadium III (stadium pembedahan) Mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi. Dibagi 4 plana. 1. Plana 1: Dari timbulnya pernafasan teratur thoracoabdominal, anak mata terfiksasi kadang kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah negative, tonus otot mulai menurun 2. Plana 2: Ventilasi teratur. Abdominothoracal, volume tidal menurun, frekuensi nafas meningkat, anak mata terfiksasi di tengah, pupil mulai midriasis, reflek cahaya mulai menurun dan reflek kornea negative. 3. Plana 3: Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar, anak mata sentral, reflek laring dan peritoneum negative, tonus otot makin menurun. 4. Plana 4: Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhir plana, tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan reflek sfingter ani dan kelenjar air mata negative. d. Stadium IV (stadium paralysis atau kelebihan obat.) Mulai henti nafas (paralisis diafragma) hingga henti jantung (Gunawan, 2007).

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain

1. Persiapan Pra-Anestesi Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah: a. b. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology): ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil

(didonorkan)

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak (Michael, 2004; Gunawan, 2007; Muhardi, 2002). Pemeriksaan praoperasi anestesi, meliputi: a. Anamnesis 1) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll. 2) Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi. 3) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal. 4) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll. 5) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. 6) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, dan muntah. 7) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna. 8) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi. 9) Makanan yang terakhir dimakan. b. Pemeriksaan Fisik 1) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan. 2) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh. 3) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi

leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu: a) Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal b) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula c) Mallampati III d) Mallampati IV : palatum molle, dasar uvula : palatum durum saja

4) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung 5) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi 6) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi. 7) Ekstrimitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional (Gunawan, 2007; Muhardi, 2002). Macam-macam teknik anestesi umum adalah: a. Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang

diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka. b. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering

terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.

c.

Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.

d.

Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi (Gunawan, 2007; Muhardi, 2002).

Tabel I. Macam-macam teknik anestesi umum No 1 2 3 4 Teknik Open Semi Open Semi closed Closed Reservoir bag + + + Valve + + + Rebreathing + + Sodalime + +

Keterangan: Rebreathing (-) = C02 langsung ke udara kamar Rebreathing () = C02 langsung ke udara kamar dan sebagian udara ekspirasi

kembali dalam respirasi/inspirasi sesudah C02 diikat oleh soda lime. Rebreathing (+) = sebagian udara ekspirasi kembali dalam respirasi/inspirasi sesudah C02 diikat oleh soda lime (Gunawan, 2007; Muhardi, 2002).

2. Premedikasi Anestesi Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi.

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain : a. b. c. d. e. f. g. h. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron memperlancar induksi, misal : pethidin mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin. i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

(Michael, 2004). Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan (Gunawan, 2007). Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini: a. b. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam c. d. e. f. g. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin. Antihistamin, misal prometazine. Antasida, misal gelusil H2 reseptor antagonis, misal cimetidine (Gunawan, 2007; Muhardi, 2002).

Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan antikolinergik. Sebaiknya obat-obat premedikasi dilakukan 30 menit sampai 60 menit sebelum induksi (Tony, 2002). Obat-obatan Premedikasi a. Midazolam Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya. Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di bawah anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini dikontraindikasikan pada keadaan sensitif terhadap golongan

benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan, dan acute narrowangle glaucoma. Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 0,05 mg/ kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV (Michael, 2004; Gunawan, 2007; Muhardi, 2002; Tony, 2002).

b. Ondansetron Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan

pengosongan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi. Ondansentron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati (Michael, 2004; Gunawan, 2007; Muhardi, 2002; Tony, 2002).

c. Petidin
Merupakan narkotik yang paling sering dipakai untuk premedikasi. Dapat memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, manghasilkan analgesia, memudahkan pemberian pernafasan buatan. Petidin merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya adalah depresi susunan saraf pusat. Gejala yang timbul antara lain analgesia, sedasi, euforia, depresi pernafasan dan efek sentral yang lain. Efek analgesi menyamai morfin dengan mula kerja lebih cepat pada pemberian subkutan atau intramuskuler, tetapi masa kerja lebih pendek. Obat ini dapat merangsang SSP dengan manifestasi sebagai tremor atau kejang. Sedangkan sistem pernafasan akan terdepresi dan menimbulkan kepekaan pusat pernafasan terhadap CO2. Petidin juga mengurangi frekuensi nafas. Petidin dapat digunakan untuk terapi nyeri akut sebelum dan sesudah operasi akibat kanker. Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada pemberian i.v. kadarnya di dalam darah akan turun dengan cepat pada 1-2 jam pertama. Petidin terutama akan dimetabolisme di hati dikeluarkan lewat ginjal sekitar sepertiga dari dosis yang diberikan. Bila diberikan secara intra vena, efek analgetiknya tercapai dalam waktu 15 menit. Sediaan Dosis : - ampul 50 mg/ml, 1 ampul 2 ml, tablet 50 mg : 1-2 mg/kgBB

Pemberian : IM, IV atau SC (Michael, 2004; Gunawan, 2007; Muhardi, 2002; Tony, 2002).

10

3. Induksi Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Berikut diuraikan beberapa obat induksi : a. Propofol Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan

propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik (Muhardi, 2002; de Jong, 1997). Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa

11

hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain. Dosis yang dianjurkan adalah 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi (Snow, 1982; de Jong, 1997). b. Ketamin Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah jantung sampai 20%. Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (14,5 mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,513 mg/kgBB), stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit (Gunawan, 2007).

4. Pemeliharaan a. Nitrous Oksida (N2O) Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai

12

dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% (Muhardi, 2002; Tony, 2002). b. Halotan Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak serta tidak

merangsang/iritasi, mudah menguap, tidak mudah meledak atau terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime absorber, mudah diuaraikan oleh cahaya. Merupakan obat anesthrsia yang poten, kekuatan 4-5x eter 2x kloroform. Halotan mendepresi kortek serebral dan medulla, induksi berlangsung cepat, lancar, jarang menimbulkan batuk dan eksitasi. Efek hipnotik dicapai lebih cepat dari eter, halotan meiliki efek analgesi yang buruk sehingga membutuhkan kombinasi dengan obat lainnya. Halotan tidak mengiritasi membrane mukosa dan tidak merangsang sekresi lekenjar ludah. Aktivitas saluran pencernaan juga dihambat. Halotan menyebabkan vasoldilatasi dan bradikardia. Pada stadium anesthesia yang dalam sering timbul bradikardia karena efek dari perangsangan vagus. Aritmia sering terjadi. Halotan memiliki efek relaksasi yang moderate terhadap sistem otot. Halotan merupakan agent yang hepatoptoksik, dapat menimbulkan hepatitis halotan. Mekanisme ekskresi halotan dilakukan di paru, 12-20% halotan di metabolisme di hepardan diekskresi melalui urine. Halotan baru dikeluarkan dari tubuh sesudah 13-20 hari. Kontra indikasi pemberian halotan, absolut: panas tidak diketahui sebabnya, malignan hipertermia, kelaian hepar, hipercarbia. Relative: dalam terapi betabloker, kardiovaskuler tidak stabil, penggunaan adrenalin, hamil (<0,5 vol%). Dosis untuk induksi 1-4 vol % dan untuk maintenance 0,5-2 vol % (Gunawan, 2007). c. Obat Pelumpuh Otot Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi

13

resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali (Snow, 1982; Tony, 2002). Dua golongan obat pelumpuh otot yaitu : 1) Depolarisasi. a) Ada fasikulasi otot b) Berpotensiasi dengan antikolinesterase c) Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik d) Belum dapat diatasi dengan obat spesifik e) Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis f) Contoh: suksametonium (suksinil kolin) 2) Non depolarisasi a) Tidak ada fasikulasi otot b) Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane c) Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik d) Dapat diantagonis oleh antikolinesterase e) Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium

bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida) Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah : Atracurium besilat (tracrium) Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman

14

Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah : a) Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal. b) Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang. c) Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang

bermakna. Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian

antikolinesterase.

Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih

untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat (Michael, 2004; de Jong, 1997). Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv d. Terapi Cairan Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk : 1) Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. 2) Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

15

Pemberian cairan operasi dibagi : 1) Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %. 2) Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : a) Ringan b) Sedang c) Berat = 4 ml / kgBB / jam. = 6 ml / kgBB / jam = 8 ml / kgBB / jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang. 3) Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien (Snow, 1987; Wirjoatmojo, 2000).

5. Pemulihan Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

16

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage (Gunawan, 2007; Wirjoatmojo, 2000) Tabel 1. Aldrete Scoring System No. Kriteria 1 Aktivitas motorik 3 Sirkulasi 4 Kesadaran 5 Warna kulit Skor Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2 atas perintah atau secara sadar. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1 perintah atau secara sadar. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0 atas perintah atau secara sadar. 2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi Apneu/tidak bernafas Tekanan darah berbeda 20% dari semula 2 1 0 2

Tekanan darah berbeda 20-50% dari 1 semula Tekanan darah berbeda >50% dari semula Sadar penuh Bangun jika dipanggil Tidak ada respon atau belum sadar Kemerahan atau seperti semula Pucat Sianosis 2 1 0 2 1 0 0

Aldrete skor 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

17

Tabel 2. Steward Scoring System No. Kriteria 1 Kesadaran 2 Jalan napas Bangun Respon terhadap stimuli Tak ada respon Batuk atas perintah atau menangis Mempertahankan jalan nafas dengan baik Skor 2 1 0 2 1

Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0 nafas

Gerakan

Menggerakkan anggota badan dengan tujuan Gerakan tanpa maksud Tidak bergerak

2 1 0

Tabel 3. Bromage Scoring System Kriteria Gerakan penuh dari tungkai Tak mampu ekstensi tungkai Tak mampu fleksi lutut Tak mampu fleksi pergelangan kaki Bromage skor 2 Skor 0 1 2 3

boleh pindah ke ruang perawatan.

B. RHINOSINUSITIS KRONIS 1. Definisi Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus

paranasal. Sinusitisdiberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila sekitar mengenai rongga hidung semua sinus terdapat

paranasalis disebut pansunusitis. Di

empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis selalu melibatkan mukosa pada hidung dan jarang terjadi tanpa disertai dengan rhinitis maka sering juga disebut rhinosinusitis . Secara

18

keseluruhan, gejala rinosinusitis kronis dapat dibagi menjadi gejala lokal, regional dan sistemik. Gejala lokal dari rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat, hidung berair, nyeri/ rasa penuh pada wajah, nyeri kepala, gangguan penciuman hingga anosmia. Gejala regional meliputi nyeri tenggorok, disfonia, batuk, halitosis, bronkospasm, rasa penuh/ nyeri pada telinga dan nyeri gigi. Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan anoreksia Berdasarkan definisi, gejala akut rhinosinusitis terjadi paling tidak kurang 21-60 dari hari 3 minngu, gejala gejala subakut rhinosinusitis

rhinosinusitis terjadi

dan

kronis terjadi lebih dari 60 hari. Rhinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat anatomi (maxillary, ethmoidal, frontal, sphenoidal), organisme patogen (viral, bacterial, fungi), adanya komplikasi (orbital, intracranial) dan dihubungkan dengan beberapa faktor (nasal polyposis, immunosupression, anatomic variants). 2. Diagnosis Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi kaku ataupun fleksibel, pemeriksaan radiologi seperti Rntgen ataupun tomografi komputer sinus paranasal dan pemeriksaan mikrobiologi untuk identifikasi kuman patogen, yang paling baik didapatkan dari aspirasi sinus maksila. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan pain or tenderness on palpation over frontal or maxillary sinuses,oropharyngeal

erythema dan purulent secretions, dental caries dan ophthalmic manifestation (conjunctival congestion dan lacrimation, proptosis). Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen, CT scan, dan MRI. 3. Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinosinusitis kronis adalah terapi medikamentosa yang maksimal dan tindakan pembedahan seperti Nasoanthral window, intranasal

antrostom, functional endoscopy sinus surgery. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi inflamasi mukosa, meningkatkan drainase sinus dan mengeradikasi bakteri dan/atau jamur. Terapi ini meliputi antibiotik spektrum luas atau berdasarkan kultur dari meatus media, steroid oral (dimulai dari dosis 60 mg/hari dan tappering off selama 3 minggu), irigasi salin hipertonik, steroid semprot nasal, antihistamin oral atau semprot nasal (bila terdapat kecurigaan

19

alergi), mukolitik dan desensitisasi aspirin

(bila terdapat intoleransi aspirin).

Untuk rinosinusitis kronis dapat diberikan terapi antibiotik berupa amoksisilin klavulanat, golongan quinolon (seperti levofloksasin), atau terapi kombinasi seperti klindamisin dan trimetoprimsulfametoksazol. Namun untuk rinosinusitis kronis yang persisten meskipun telah dilakukan operasi sinus sebelumnya dapat diberikan terapi irigasi antibiotik topikal, antibiotik nebulisasi dan intravena. Selain itu,dapat diberikan steroid topikal dan sistemik serta antihistamin sistemik

20

BAB III LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA No. RM Nama Umur Jenis Kelamin Diagnosis pre operatif Diagnosis post operatif Macam Operasi Macam Anestesi Tanggal operasi : 01145842 : Sdr. M : 20 tahun : Laki-laki : Rhinosinusitis kronis dengan septum deviasi : Post Nasoanthral window dan septum reposisi : Nasoanthral window dan septum reposisi : Anestesi umum (GA) : 16 Oktober 2012

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI 1. Anamnesa a. Keluhan utama : Pasien mengeluhkan hidung tersumbat dan sering pilek hilang timbul. b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan utama hidung tersumbat, sering pilek yang hilang timbul, dan telinga terasa penuh. Selain itu pasien juga merasa ada cairan yang bergerak ditenggorokannya. Hidung tersumbat yang diderita pasien telah terjadi sejak 1 tahun yang lalu. Kadang pasien juga bersinbersin, dan pipi kanan dan kiri terasa tegang yang telah dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Telinga kanannya terasa penuh sejak 1 bulan. c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat mondok Riwayat alergi makanan / obat : : (-) : (-)

Riwayat asma dan penyakit paru : (-) Riwayat hipertensi Riwayat penyakit jantung : (-) : (-)

21

Riwayat merokok Riwayat DM 2. Pemeriksaan fisik: 15 Agustus 2012 Keadaan Umum

: (-) : (-)

: baik, compos mentis, gizi kesan cukup GCS E4 V5 M6

Vital Sign: Tensi Nadi Suhu Axiler Respirasi Berat badan Mata Hidung Mulut Telinga Leher Thorax : 110 / 70 mmHg : 75 x/menit : 36.3oC : 22 x/menit : 51 kg

: konjungtiva anemis ( -/- ), sklera ikterik ( -/- ) : lapang (+/+), nafas cuping hidung ( -/- ), sekret ( -/- ), deviasi (-/-) : buka mulut > 3cm, Mallampati I, sianosis ( - ), gigi goyah / palsu ( - ) : sekret ( - ). : gerak leher bebas, leher pendek (-), deviasi trakhea (-), TMD > 6 cm. : lihat status lokalis retraksi (-) Pulmo I : Pengembangan paru kanan = kiri P : Fremitus raba kanan = kiri P : Sonor/Sonor A: Suara dasar: vesikuler (+/+) Suara tambahan : (-/-) Jantung I : Ictus cordis tidak tampak P : Ictus cordis tidak kuat angkat P : Batas jantung kesan tidak melebar A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Abdomen :

I : Dinding perut sejajar dengan dinding dada

22

P : Nyeri tekan (-) P : Timpani A : Peristaltik usus (+) Ekstremitas : oedem - akral dingin -

- -

3. Pemeriksaan Penunjang : Laboratorium darah (15 Oktober 2012) Hemoglobin Hct Eritrosit Lekosit Trombosit Gol darah PT APTT INR 4. Kesimpulan : Pasien seorang laki-laki, usia 20 tahun, dengan keluhan utama hidung tersumbat dan sering pilek hilang timbul dan didiagnosa : Rhinosinusitis kronis dengan septum deviasi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan : Vital Sign : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 75x/menit, respirasi rate 22x/menit, suhu axiller 36.3oC, BB 51 kg. Cor dan pulmo dalam batas normal, abdomen: nyeri (-), peristaltik usus (+) normal. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 14.8 g/dl, AE 4,82 juta/uL, Hct 45 %, AL 7.2 ribu/uL, AT 222 ribu/uL, GDS 89 mg/dl, Ureum 19 mg/dl, Kreatinine 0,8 mg/dl, Natrium 138 mmol/L, Kalium 3,5 mmol/L, Clorida 109 mmol/L. Akan dilakukan nasoanthral window dan septum reposisi dengan general anestesi. Kelainan sistemik (-), Kegawatan bedah : (-), Status fisik : ASA I. : 14.8 gr/dl : 45 % : 4,82 juta/ uL : 7.2 ribu / uL : 222 ribu/ uL : B : 11.9 detik : 29.3 detik : 0,930 GDS Kreatinin Ureum Natrium Kalium Clorida Hbs Ag : 89 mg/dl : 0,8 mg/dl : 19 mg/dl : 138 mmol/L : 3,5 mmol/L : 109 mmol/L : Non reaktif

23

C. RENCANA ANESTESI 1. Persiapan Operasi a. Persetujuan operasi tertulis ( + ) b. Suhu tubuh pasien dibawah 38o C c. Puasa > 6 jam d. Oksigenasi 3 L / menit e. Infus RL , NaCl 20 tetes/menit. 2. Jenis Anestesi : General anestesi

3. Teknik anestesi: Semi closed inhalasi dengan Endotracheal Tube no 7.5 4. Pre medikasi :

a. Miloz 5 mg iv b. Fentanyl 100 g iv 5. Induksi : Propofol 80 mg iv 6. Maintenance : a. N2O : O2 = 2L : 2L b. Halotan 1 vol % 7. Pelumpuh otot: Atracurium 30 mg iv tiap 30 menit 8. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman anestesi, cairan, perdarahan. 9. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan (Recovery Room).

D. TATA LAKSANA ANESTESI 1. Di ruang persiapan a. Jam 10.30 dilakukan pemeriksaan kembali identitas penderita, persetujuan operasi, lama puasa 6 jam, lembar konsul anestesi, obat-obatan dan perlengkapan yang diperlukan. b. Jam 10.35 pemeriksaan tanda-tanda vital T N : 110/70 mmHg :75 x/menit Rr : 22 x/menit S : 36.3C

c. Infus RL 20 tetes/menit terpasang pada tangan kanan. d. Posisi terlentang.

24

e. Mengganti pakaian penderita dengan pakaian operasi 2. Di ruang operasi a. Jam 10.45 penderita ditidurkan di ruang operasi telentang dipasang monitor tekanan darah (manset) pada tangan kanan, saturasi O2, dan lead EKG. Kemudian pasien diberikan premedikasi dengan miloz 5 mg i.v serta Fentanyl 100 mcg i.v b. Jam 10.55 dilakukan induksi dengan Propofol 70 mg i.v lalu segera kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6 l/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang, dimasukkan Atracurium 30 mg i.v. Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan orotrakhea no.7 Setelah terpasang baik dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O2 2 l/menit dan N2O 2 l/menit. Untuk maintenance digunakan Halotan 1 vol %, cairan RL masuk 300cc. c. Jam 11.00 Anestesi sudah cukup dalam dan Operator memulai Operasi, selama operasi dimonitor tanda vital dan Sat O2 tiap 5 menit. d. e. f. g. h. Jam 11.40 diberi injeksi atracurium 10 mg iv. Jam 12.10 diberi injeksi atracurium 10 mg iv. Jam 12.40 diberi injeksi atracurium 10 mg iv. Jam 13.10 diberi injeksi atracurium 10 mg iv. Jam 13.45 operasi hampir selesai, N2O dimatikan, halotan dimatikan, O2 dinaikkan 6 l/menit. i. j. Jam 14.00 operasi selesai, alat anestesi dilepas. Jam 14.15 pasien dipindahkan ke ruang RR.

Monitoring Selama Anestesi Nadi Jam Tensi (kali per menit) 10.45 10.50 117/78 118/75 90 90 Sa02 (%)

Keterangan

100 100

premedikasi premedikasi dengan miloz 5 mg i.v serta Fentanyl 100 mcg i.v

25

10.55 11.00 11.05 11.10 11.15 11.20 11.25 11.30 11.35 11.40 11.45 11.50 11.55 12.00 12.05 12.10 12.15 12.20 12.25 12.35 12.40 12.45 12.50 12.55 13.00 13.05 13.10 13.15 13.20 13.25

120/76 110/70 116/75 122/70 110/73 115/74 117/75 116/70 110/74 110/76 116/76 120/70 120/70 114/70 115/74 114/78 114/76 112/72 112/74 112/74 110/77 110/70 116/67 118/67 116/60 112/64 115/66 115/66 114/67 116/68

88 87 87 89 87 87 86 85 87 88 89 80 83 83 81 78 79 80 80 78 77 77 77 76 75 75 76 78 80 75

100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 98 98 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

induksi dengan Propofol 70 mg i.v Injeksi Atracurium 30 mg i.v.

Injeksi atracurium 10 mg iv.

injeksi atracurium 10 mg iv.

Injeksi atracurium 10 mg iv.

Injeksi atracurium 10 mg iv.

26

13.30 13.40 13.45 13.50 13.55 14.00 14.05 14.10 14.15

118/68 118/68 110/65 110/60 110/68 108/62 100/61 100/63 103/66

75 75 77 76 76 76 76 78 80

100 100 100 operasi hampir selesai, N2O dimatikan, halotan dimatikan, O2 dinaikkan 6 l/menit. 100 100 100 100 100 100 pasien dipindahkan ke ruang RR. operasi selesai, alat anestesi dilepas

3. Di ruang pemulihan a. Jam 14.15 : pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan posisi terlentang kepala diektensikan, diberikan O2 3 liter/menit, lendir dihisap dan tandatanda vital dimonitoring. b. Jam 14.35 : Pasien sadar penuh. c. Jam 15.00 : Pasien dipindah ke bangsal. 4. Instruksi Pasca Anestesi a. Rawat pasien posisi setengah duduk, oksigen 3 L/mnt, kontrol tanda vital tiap 15 menit. Bila tensi turun dibawah 90/60mmHg, berikan Ephedrine 10 mg. Bila muntah berikan injeksi Ondansetron 4 mg IV. Bila kesakitan berikan injeksi Ketorolac 30 mg IV. b. Lain-lain 1) Puasa sampai dengan flatus atau bising usus (+) 2) Post op cek DR3. 3) Monitor tanda vital, kontrol balance cairan 4) Bila nyeri hebat, konsul Anestesi

27

BAB V PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi. A. Permasalahan Dari Segi Medik Adanya penyakit tersebut menyebabkan meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi saat operasi. Dapat pula terjadi sepsis. B. Permasalahan Dari Segi Bedah 1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi. 2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan) 3. Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi perdarahan. C. Permasalahan Dari Segi Anestesi Pemeriksaan pra anestesi Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain : 1. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam) 2. Pemeriksaan laboratorium darah Permasalahan yang ada adalah : 1. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan anestesi dan operasi. 2. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan umum penderita. Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan : 1. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. 2. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga muntah dan aspirasi dapat dihindarkan. bahaya

28

3. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada operasi ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit dan amnesia dengan menggunakan premedikasi midazolam dan fentanyl. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube, dan perencanaan ini sudah tepat karena bila dengan face mask bahaya aspirasi dan terganggunya jalan napas lebih besar. Selain itu, akan menganggu jalannya operasi, karena operasi dilakukan di bagian hidung. 4. Selama operasi dipasang ET teknik cepat. Premedikasi 1. Midazolam digunakan untuk premedikasi pada kasus ini karena selain baik untuk anak-anak, midazolam mempunyai efek sedatif dan hipnotik kuat serta amnesia retrograde sehingga mengurangi trauma psikis saat operasi. 2. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan fentanyl mg IV. Induksi 1. Digunakan Propofol 70 mg i.v karena memiliki induksi yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, jarang menimbulkan mual dan muntah, tensi juga kondisi pernapasan yang normal. 2. Untuk mengurangi cedera karena pemasangan ET, merelaksasikan otot saluran napas untuk sementara maka digunakan atracurium yang merupakan pelumpuh otot non depolarisasi. Maintenance Dipakai N20 dan 02 dengan perbandingan 2 L : 2 L, serta halotan 1-2 vol%. Diberikan injeksi Propofol 10mg iv untuk kendali hipotensi pada pasien. Terapi Cairan a. Defisit cairan karena puasa 6 jam 2cc x 51 kg x 6 jam = 612 cc b. Kebutuhan cairan selama operasi sedang dan karena trauma operasi selama 3 jam (2cc x 51 kg x 3) + (6 cc x 51kgx 3) = 306 + 918 = 1224 cc c. Perdarahan yang terjadi = 150 cc EBV = 75 cc x 51 kg = 3825 cc

29

Jadi kehilangan darah = 150/3825 x 100% = 3.92 % Urine 200 cc Diganti dengan cairan kristaloid 3x150 = 450 Kebutuhan cairan total = 612 + 1224 + 450 + 200 = 2486 cc Cairan yang sudah diberikan : a. Pra anestesi = 300 cc b. Saat operasi = 2000 cc Total cairan yang masuk = 2300 cc Jadi terdapat kekurangan cairan yaitu 186 cc, sehingga pengawasan terhadap pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di bangsal, diperhatikan kemungkinan terjadinya dehidrasi dan diperhatikan pula produksi urin.

30

BAB V KESIMPULAN

Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi elektif pada laki-laki 20 tahun dengan Rhinosinusitis kronis dengan septum deviasi dengan menggunakan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7,5. Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

31

DAFTAR PUSTAKA

Dobson Michael B. 1994.Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gan, Sulistia. 1986.Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3. Jakarta : FK UI. Muhardi, M, dkk. 1989. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,. Jakarta : FKUI, CV Infomedia. Snow, J.C. 1982.Manual of Anasthaesiology, 2 nd edition. Boston : Little Brown and Company. Soepardi EA. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tony H. 1998. Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV. Jakarta Balai Penerbit FKUI. Wim de Jong, Sjamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi. Jakarta : EGC. Wirjoatmojo, K. 2000.Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

32

Anda mungkin juga menyukai