Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

A.

Definisi Congestive Heart Failure (CHF)/gagal jantung adalah suatu keadaan

patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001). (1,2) Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. (2,3) Suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. 3 B. Etiologi Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertansi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. (1) Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu : a. Disritmia seperti : bradikardi, takikardi, dan kontraksi prematur yang sering dapat menurunkan curah jantung. b. Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang, seperti stenosis katup

aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri. c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi luas karena hipertensi pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik. d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari pertama setelah infark. (2) Menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung kongestif : 1. Kelainan otot jantung. Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hiprtensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi. 2. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitaas menurun. 3. Hipertensi sistemik atau pulmonal ( peningkatan afterload ) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. 4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun. 5. Penyakit jantung lain. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.

6. Faktor sistemik. Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (mis : demam, tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia peperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elekttronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung (2,3)

C.

Patofisiologi Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat: 1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik, 2) Meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, dan 3) Hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. (1) Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Menurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan

respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.(1) Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa: 1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus, 2) pelepasan renin dari apparatus juksta glomerulus, 3)interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, 4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, 5) Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan 6) retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul. (1)

Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung, sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial. Respon miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta,ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding.(1) Menurut tahanan (afterload) Soeparman pada (2000) yang beban pengisian (preload) dan dan beban

ventrikel

mengalami

dilatasi

hipertrofi

memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. (1) Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diatas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung. Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. (1) Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru - paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda - tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa

darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastol ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastol, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bika keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites. (2)

D.

Klasifikasi. Menurut Mansjoer (2001), berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu deffort, fatigue, ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, pulsus alternans, ronkhi dan kongesti vena pulmonalis. (1,2) Pada gagal jantung kanan timbul edema, liver engorgement, anoreksia,dan

kembung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, asites, hidrothoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan pitting edema. Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan.(1,2)

New York Heart Association (NYHA), Mansjoer (2001) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas : 1. Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan. 2. Kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan 3. Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan. 4. Kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring. (1,2,3,4)

E.

Manifestasi klinis Manifestasi klinis dari gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan fisik yang menyababkan timbulnya gejala. Pada permulaan, secara khas gejala-gejala hanya muncul pada latihan atau aktivitas fisik. Toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Diagnosa gagal jantung kongestif menurut Framingham dibagi menjadi 2 yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor : 1. Dispnea nocturnal paroksismal atau ortopnea. 2. Peningkatan tekanan vena jugularis 3. Ronkhi basah tidak nyaring 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Irama derap S3 7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H20 8. Refluks hepatojugular.(1,2,4) Kriteria minor : 1. Edema pergelangan kaki 2. Batuk malam hari 3. Dispneu deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura

6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum 7. Takikardi (.120x/menit). (1,2,4) Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan. (2)

F.

Penatalaksanaan Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari beban awal, kontraktilitas, dan beban akhir. Prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure menurut Mansjoer (2001) adalah : 1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas. 2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan aritmia. Digitalisasi Dosis digitalis : Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4 hari. Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam. Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.

Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat : Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.

3.

Menurunkan beban jantung. Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik dan vasodilator.

a.

Diet rendah garam Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan diuretic, digoksin dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek. Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan: o Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80 mg) o Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan sinus o Penghambat ACE (captopril mulai dari dosis 2 X 6,25 mg atau setara penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isorbid dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya iskemia yang menetap, dosis dimulai 3 X 10-15 mg. Semua obat harus dititrasi secara bertahap.

b.

Diuretik Yang digunakan furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20 mg. Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam etakrinat. Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau kelangsungan, tapi merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Penggunaan penghambat ACE bersama diuretik hemat kalium harus berhati-hati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia.

c.

Vasodilator Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 g/kg BB/menit iv. Nitroprusid 0,5-1 g/kgBB/menit iv Prazosin per oral 2-5 mg Penghambat ACE: captopril 2 X 6,25 mg Isosorbid dinitrat (ISDN) 10 40 mg peroral atau 5 15 mg sublingual setiap 4 6 jam

Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol. (1,2,4)

G.

Prognosis

Tiga faktor penting yang menentukan indeks prognosis, yaitu potensi terjadinya aritmia yang gawat, potensi serangan iskemik yang lebih jauh dan potensi pemburukan gangguan hemodinamik lebih jauh. (4)

Anda mungkin juga menyukai