Anda di halaman 1dari 2

OPINI

Lahat dan Demokrasi Hijau


Dewasa ini demokrasi menjadi suatu istilah yang tak jarang dipertontonkan. Negara yang dianggap
maju berarti telah membuka diri dengan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi menjadi simbol bergesernya sistem otoriter menjadi egaliter. Selain itu, demokrasi juga sebagai alat ukur dalam mempersepsikan multiaspek kehidupan, baik itu pada aspek politik, hukum, sosial, budaya dsb. Bangsa ini memiliki keyakinan yang kuat atas apa yang dijanjikan oleh sistem demokrasi. Sebab cita-cita luhur "demokrasi" akan berpusat pada keadilan sosial yang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Dalam konteks demikian, demokrasi menjadi hal yang mesti dan patut diperjuangkan. Hanya saja dalam praktiknya, demokrasi mendapat ujian yang tidak mudah, bilamana ia telah masuk ke dalam struktur sosial masyarakatnya. Demokrasi sering menjadi teks yang rentan ditafsirkan bahkan disalahgunakan. Hal itu dapat dirasakan apabila praktik demokrasi dihadapkan dengan realitas kesenjangan sosial yang melahirkan angka kemiskinan semakin tajam, tebang pilih dalam penegakan hukum, diskriminasi pendidikan, dan yang tak kalah pentingnya ialah problem kerusakan lingkungan. Keberlangsungan reformasi yang sampai saat ini terus mengalami evaluasi, hanya memobilisasi demokrasi berhenti pada kekuatan simbolik yang memiliki energi abstrak. Demokrasi hanya sebagai sarana pergaulan simbolik dalam mengilmiahkan setiap kepentingan. Sebab demokrasi jarang menjadi aksi dalam arena yang sebenarnya, demokrasi lebih sering menjadi teks ilmiah yang "omong-kosong", omong demokrasi, tapi kosong kepedulian. Problem serius bagi keberlangsungan demokrasi ke depan ialah terletak pada pembacaan dan pemetaan kondisi sosial masyarakat. Mengingat kerangka dasar demokrasi menempatkan "kedaulatan rakyat" sebagai kondisi objektif yang ingin diperjuangkan secara bersama-sama "dari, oleh, dan untuk rakyat". Maka, setiap dimensi demokrasi politik, hukum, budaya dan ekonomi harus memperhatikan persoalan keadilan sosial masyarakatnya. Hubungan itu diharapkan menjadi dinamis dengan tidak mengorbankan hak sosial masyarakat yang lain.

Tentu kita tak ingin melihat demokrasi menjadi tidak mulia dalam praktik, tadinya diharapkan
menjamin keadilan dan kesejahteraan, malah sebaliknya praktik demokrasi malah melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan yang secara riil dirasakan masyarakat.

Demokrasi Hijau Di tengah derita


krisis demokrasi yang bersanding dengan ketimpangan pada krisis lingkungan, suatu terobosan demokrasi "komunikatif" menjadi keniscayaan bagi masyarakat Lahat. Demokrasi komunikatif dapat melahirkan tindakan partisipatoris yang melibatkan peran serta kekuatan sosial masyarakat. Tindakan partasipatif itu akan menghadapi tantangan guna mengatasi krisis demokrasi dengan kenyataan bahwa demokrasi yang ada ternyata masih belum ramah lingkungan.

Titik balik persoalannya berada pada harapan perbaikan lingkungan yang bergandengan tangan dengan
tindakan demokrasi komunikatif yang tergabung untuk memedulikan satu persoalan besar dalam satu wadah demokrasi ekologis atau "demokrasi hijau".

Demokrasi hijau secara sempit dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengambilan keputusan kolektif
berkenaan dengan masalah-masalah ekologis/lingkungan melalui tindakan komunikasi ekologis, politis, dan sosial. Dalam praktiknya, demokrasi hijau mesti membangun sistem yang peka terhadap lingkungan dan menghasilkan kebijakan yang bersahabat dengan lingkungan.

Demokrasi hijau adalah sebuah gagasan yang menempatkan hubungan manusia dengan alam sebagai
tindakan komunikatif dan dinamis. Bahwa demokrasi hadir bukan saja untuk melayani kepentingan manusia, sebaliknya juga memedulikan keseimbangan lingkungan/alam. Sehingga ada upaya revitalisasi demokrasi menjadi suatu perenungan ulang terhadap demokrasi yang tidak hanya berpusat pada manusia, tapi juga mempertimbangkan hak dasar keberlangsungan dan kelestarian lingkungan atau alam.

Lahat dan Lingkungan Bilamana kita berbicara cita-cita demokrasi, yaitu; keadilan dan kesejahteraan, maka hal itu tak
bisa dilepaskan dari konteks demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi menjadi ruh dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 45 : "perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan menjaga keseimbangan lingkungan, demi kemandirian dan kemajuan ekonomi nasional".

Secara konstitusional demokrasi ekonomi menjamin terciptanya keseimbangan lingkungan dengan penggunaan hutan sebagai kekayaan dan modal nasional secara bertanggungjawab.

Akan tetapi, demokrasi ekonomi tidak berjalan sendiri, dan biasanya ia akan berafiliasi dengan
demokrasi politik. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, demokrasi politik yang tumbuh terkesan membatasi diri pada masalah kekuasaan dan modal ekonomi semata. Sementara itu, pengabaian dan bahkan pemiskinan demokrasi substantif justru semakin marak.

Misalnya saja, kekayaan alam yang dimiliki oleh bumi seganti setungguan (Lahat) bukan tergolong
main-main, sebagaimana perkebunan, pertanian, tambang galian C dan sekarang ada tambang batubara yang terletak di daratan sebagai kekayaan daerah yang dampaknya sangat positif bagi rakyat. Lahat mulai tahun 2007 mengandalkan pembangunannya pada pertambangan dan membuat ekonomi masyarakat tergeser dari pertanian. Padahal sebelum tahun itu dikenal dengan kopi, tetapi kini tanaman ini tidak menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat Lahat, karena adanya penambangan batubara. pertambangan sering menimbulkan kesan ganda, di satu pihak usaha ini penting bagi pembangunan guna menaikkan pendapatan daerah, di lain pihak merusak lingkungan dan ekosistem sekitarnya. Pada dasarnya pemanfaatan kekayaan alam demi kepentingan sosial masyarakat luas bukan masalah, terlebih lagi demokrasi ekonomi memerlukan potensi kekayan alam yang produktif. Persoalannya adalah, kehidupan demokrasi Indonesia yang "luwes" atau kaya dengan aturan, akan tetapi miskin nurani dan defisit kaum demokratik yang benar-benar menjaga keseimbangan lingkungan dengan benar.

Usaha

Akibatnya, demokrasi ekonomi pun tidak tumbuh, melainkan makin diperosotkan ke dalam kubangan ketidakadilan ekonomi. Atas nama pembangunan yang merupakan selubung ketamakan dan kerakusan, ekonomi dihambakan dengan menistakan esensi keberlangsungan lingkungan. Perusakan lingkungan menjadi suatu kezaliman. Hingga tiba saat petaka datang bertubi-tubi, mulai gempa hingga banjir, dari polusi sampai abrasi. Begitulah bila alam tengah balas dendam.

Gambar : Kesejukan Bukit Serelo & Sungai Lematang Lahat < 2006

Gambar : Kehawatiran yang akan dialami daerah Lahat 15 - 30 tahun kedepan Lahat > 2006

Mungkinkah akan seperti lubang itu terus ....?????

Anda mungkin juga menyukai