Anda di halaman 1dari 15

Laporan Epidemiologi PROFIL PENYAKIT DEMAM TIFOID DI RAWAT INAP PUSKESMAS SAMBIREJO SRAGEN JAWA TENGAH PERIODE MARET

2012 MEI 2012

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

Disusun Oleh : Novi Hermawan (12712092) Ajeng Dennise Distelita (12712100) Evy Yulia Kusmayanti (12712113) Wahyu Prabowo (12712146)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2012


Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012 1

INTISARI Latar belakang: Demam tifoid merupakan masih merupakan masalah kesehatan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, karena insidensi demam tifoid ini masih tinggi pada musim kemarau panjang dan awal musim hujan. Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang semua orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Penilaian dini terhadap penyakit ini harus dinilai dengan baik dan benar Tujuan : Mengetahui profil penyakit demam tifoid di rawat inap Puskesmas Sambirejo Sragen periode Maret 2012-Mei 2012 Metode : Penelitian ini menggunakan metode deskriptif non eksperimental (observasional) dengan pendekatan retrospektif dari catatan rekam medis penderita demam tifoid di rawat inap Puskesmas Sambirejo Sragen periode Maret 2012-Mei 2012. Hasil :Dari hasil yang didapatkan demam 100%, nyeri kepala 88%, mual 81,3%, dan muntah 54,9%. Gejala yang paling sering timbul adalah demam, di ikuti nyeri kepala, mual dan muntah. Hasil ini sesuai dengan permasalahan yang timbul pada teori. Kesimpulan :hasil yang didapatkan demam 100%, nyeri kepala 88%, mual 81,3%, dan muntah 54,9%. Kata kunci : tifoid, demam tifoid

ABSTRACT

Background : Typhoid fever is still a health problem especially in developing countries such as Indonesia because the incidence of typhoid fever is still high on the long dry season and early rainy season. Typhoid fever is a contagious disease that may attack all people and causeplague. Early assessment of pain should be assessed properly. Purpose : To know about the profil of typhoid fever in inpatient health center Sambirejo Sragen on March 2012-May 2012 Methods : This study used a descriptive non-experimental methods (observational) with retrospective approach of the medical record notes on the typhoid fever inpatient health center Sambirejo Sragen on March 2012-May 2012. Results : The results obtained 100% fever, 88% headache, 81,3% nausea, and 54,9% vomiting. Symptoms that occur most often are fever, headache followed by nausea and vomiting. The results correspond to the problems that arise in theory. Conclusion : The results obtained 100% fever, 88% headache, 81,3% nausea and 54,9% vomiting. Keyword : typhoid, typhoid fever

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

PENDAHULUAN Dalam mewujudkan pembangunan Indonesia Sehat 2010, pemerintah mengadakan suatu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, bangsa dan negara diseluruh Republik Indonesia. Salah satu upaya tersebut melalui Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) yang bertujuan menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan serta akibat buruk dari penyakit menular tersebut (Depkes, 1999). Demam tifoid merupakan masih merupakan masalah kesehatan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, karena insidensi demam tifoid ini masih tinggi pada musim kemarau panjang dan awal musim hujan, meskipun komplikasi dan angka kematian sudah menurun (Setiabudi, 2005). Penyakit ini berhubungan dengan sanitasi lingkungan, fasilitas pelayanan kesehatan dan kebersihan perorangan yang rendah (Setyawan, et al., 1998). Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang semua orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Handojo, 2004). Demam tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhii atau Salmonella paratyphii A,B atau C (Setiabudi, 2005). Diperkirakan pada tahun 2000 demam tifoid telah menyebabkan lebih dari 21,6 juta angka kesakitan dan 216.510 angka kematian (WHO, 2003). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Nasional (SUKERNAS) pada tahun 2000, demam tifoid menempati urutan kedelapan dari sepuluh penyakit utama penyebab kematian umum di Indonesia. Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2005 demam tifoid menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15% (Depkes, 2006). Di Indonesia, demam tifoid lebih bersifat sporadik, berpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di daerah endemik, transmisi penyakit ini terjadi melalui air yang tercemar, sedangkan makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan tersering di daerah endemik (Widodo, 2006). Demam tifoid
Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012 3

merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dengan manifestasi klinis lebih ringan (Balentine, 2008). Bakteri tersebut pertama kali diisolasi dari seorang pasien demam tifoid oleh Gafkey di Jerman tahun 1884 (Feigin, 2002). Bakteri yang merupakan gram negatif ini bersifat aerob, motil dan tidak membetuk spora. Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 C (Lange, 2007). Mikroorganisme ini juga dapat bertahan di dalam air, es, sampah kering dan pakaian dalam beberapa minggu serta dapat berkembang biak dalam susu, daging, telur tanpa merubah warna atau bentuknya (Soegijanto, 2002). Menurut Krugman (2000), bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen yaitu : Antigen dinding sel (O) = Ohne Hauch = Somatik Antigen, yang tidak menyebar, merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen flagella (H) = Hauch = Menyebar, merupakan komponen protein dalam flagella, bersifat spesifk spesies, dan termolabil Antigen virulen (Vi) = Kapsul, merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi berhubungan dengan virulensi. Antigen Vi dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. S. typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopoliskarida dan lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin. Komponen Outer Membrane Protein (OMP). Antigen OMP S.typhi merupakan bagian dari dinding sle terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dalam membran sitoplasma. Selain itu, OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bekteriosin. OMP sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen
Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012 4

yang penting dalam mekanisme respon imun penjamu. Sedangkan protein non purin hingga kini belum diketahui secara pasti fungsinya. Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi bakteri Salmonella typhi. Faktor kebersihan lingkungan, pembuangan sampah, klorinisasi air minum harus diperhatikan karena bakteri ini dapat berkembang biak di air, es debu dan sampah kering (Widodo, 2006). Bakteri tifoid hanya menginfeksi manusia, dimana orang-orang karier sebagai sumber penularannya. Bakteri yang masuk ke dalam tubuh manusia dimusnahkan di dalam lambung oleh asam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak sampai ke lamina propia. Di lamina propia bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque payeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Melalui ductus torasikus bakteri ini akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di dalam organorgan ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di lurar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo 2006). Apabila makrofag dalam usus kembali teraktivasi dan hiperkatif karena cairan empedu yang mengandung bakteri diekskresikan secara intermiten, maka saat fagositosis terjadi pelepasan mediator inflamasi yang menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi (Salzler, 2004). Gambaran klinis yang khas pada demam tifoid merupakan interaksi antara Salmonella typhi dan makrofag di hati, limpa,

kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika (Lange, 2007). Demam tifoid memiliki masa inkubasi sekitar 7-21 hari walaupun pada umumnya sekitar 10-12 hari. Gambaran klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Di minggu pertama mungkin ditemukan gejala klinis berupa keluhan dan serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, dengan
Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012 5

sifat demam perlahan-lahan terutama pada sore dan malam hari yang bisa mencapai 40 C, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, obstipasi atau diare, perut kembung, perasaan tidak enak di perut, batuk, tenggorokan kering, dan epistaksis. Pemeriksaan fisik pada minggu pertama akan ditemukan denyut nadi 80-100 kali/menit, denyut lemah dan bersifat dicrotic. Lidah tampak kotor dan berkerah (furred tongue), berwarna merah di ujung dan tepi. Ruam kulit biasanya muncul pada hari ketujuh pada salah satu sisi abdomen, tidak merata, berlangsung selama 3-5 hari yang kemudian hilang secara sempurna (Widodo, 2006). Pada minggu kedua suhu badan tetap tinggi meskipun ada penurunan sedikit pada pagi hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gangguan pendengaran, lidah berselaput, nadi semakin cepat, tekanan darah menurun, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, somnolen, stupor, koma, delirium atau mungkin psikosis (Kumar, 1995). Pada minggu ketiga terdapat dua kejadian. Pertama bila keadaan membaik, gejala akan berkurang dan suhu badan mulai menurun. Kedua, jika keadaan makin memburuk, akan terjadi tanda-tanda khas berupa delirium, otot bergerak terus-menerus, inkontinesia alvi dan inkontinensia urin.

Meteorismus masih terjadi, tekanan abdomen meningkat dan diikuti nyeri perut sehingga pasien kolaps. Perdarahan dapat terjadi pada minggu ketiga ini, gambaran klinisnya berupa keringat dingin, gelisah, susah bernafas, dan kolaps nadi yang teraba berdenyut (Widodo, 2006). Penderita yang telah sembuh dari demam tifoid biasanya mendapat kekebalan sepanjang hidup, jarang didapatkan serangan demam tifoid yang kedua. Adanya aglutininn O, H dan Vi dalam serum menunjukkan kekebalan terhadap demam tifoid tetapi lebih bersifat diagnostik (Soegijanto, 2002). Menurut Widodo (2006), penatalaksanaan demam tifoid dibedakan menjadi tiga cara atau dikenal dengan trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : Istirahat dan perawatan Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya diperlukan untuk mencegah komplikasi. Diet dan terapi penunjang
Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012 6

Makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid Pemberian antimikroba Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid, dengan dosis 4x500 mg per hari baik oral maupun intravena. Diberikan hingga 7 hari bebas panas. Kelemahan dari penggunaan kloramfenikol adalah tingkat kekambuhanyang tinggi dan waktu pengobatan yang lama. Selain itu, tiamfenikol juga dapat digunakan sebagai terapi demam tifoid dengan dosis 4x250-500 mg. Efektifitas kotrimoksazol dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol sehingga bisa digunaka 2x2 tablet selama 2 minggu. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson (Hammad, 2011), dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gr dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari selama 3 hingga 5 hari. Banyak strain Salmonella yang resisten terhadap pemberian ampisilin, kloramfenikol dan kotrimoksazol sehingga direkomendasikan pemberian

fluorokuinolon seperti siprofloksasin 2x750 mg per oral selama 5-7 hari pada kasus tanpa komplikasi dan 10-14 hari dengan beberapa infeksi. Dari penelitian ini diharapkan pasien mengetahui informasi mengenai deskripsi beberapa faktor risiko yang dapat ditimbulkan dari demam tifoid,

sehingga dapat mengendalikan faktor risiko agar tidak berkembang menjadi komplikasi yang lebih membahayakan. METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian observasional (non eksperimental) analitik dengan desain penelitian cross-sectional pendekatan retrospektif. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien typhoid yang dirawat di Puskesmas Sambirejo Sragen periode Maret 2012 Mei 2012. Penelitian ini menggunakan populasi seluruh pasien tifoid yang menjalani rawat inap di Puskesmas Sambirejo periode Maret 2012 Mei 2012. Populasi diketahui dari catatan rekam medis di Puskesmas Sambirejo Sragen Jawa Tengah. Dari data tersebut diketahui besar

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

populasi 92 orang. Kriteri inklusi pada penelitian ini adalah seluruh pasien tifoid yang menjalani rawat inap di Puskesmas Sambirejo periode Maret 2012 Mei 2012 dan data dirinya tercatat dalam rekam medis secara lengkap. Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien tifoid yang data rekam medisnya tidak lengkap atau tidak jelas, pasien yang memiliki penyakit penurunan kekebalan tubuh (HIV), pasien yang memiliki penyakit keganasan dan pasien yang memiliki penyakit berat seperti DBD dan Malaria.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini data diambil dari rekam medis pasien yang dirawat di Puskesmas Sambirejo Sragen periode Maret 2012 Mei 2012. Data rekam medis yang diambil adalah sesuai dengan variabel penelitian, meliputi umur, jenis kelamin, dan manifestasi klinis seperti demam, sakit perut, mual, muntah dan diare. Dari hasil penelitian terhadap pasien yang dirawat di Puskesmas Sambirejo Sragen periode Maret 2012 Mei 2012 diperoleh data sebanyak 183 penderita. Dari perhitungan besar sampel didapatkan jumlah sampel minimal sebanyak 96 sampel namun karena data yang terdapat di puskesmas tidak lengkap sehingga yang diikutkan dalam penelitian dan memenuhi kriteria inklusi sebanyak 91 sampel. Dari hasil penelitian, diperoleh data meliputi umur, jenis kelamin, dan manifestasi klinis seperti demam, nyeri perut, mual, muntah, dan diare.

No. 1. 2. 3. 4. Anak-anak Dewasa

Kategori

Usia 0-17 tahun 18-40 tahun 41-60 tahun >60 tahun

Jumlah 14 (15,4%) 26 (28,6%) 44 (48,4%) 7 (7,7%)

Dewasa Tua Lansia

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

No. 1. 2.

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Jumlah 47 (51,6%) 44 (48,4%)

NO. 3. 4. 5. 6. 7.

MANIFESTASI KLINIS Demam Nyeri Perut Mual Muntah Diare

YA 91 (100%) 84 (92,3%) 74 (81,3%) 50 (54,9%) 18 (19,8%)

TIDAK 0 (0%) 7 (7,7%) 17 (18,7%) 41 (45,1%) 73 (80,2%)

1.

Umur Herawati dan Ghani (2009) menyebutkan bahwa umur menjadi faktor

risiko yang berpengaruh pada kejadian demam tifoid, dimana semakin tua maka akan semakin mendapatkan paparan dari berbagai macam penyakit dikarenakan menurunnya respon imunitas tubuh. Selain itu adanya perbedaan pola hidup dan aktivitas keseharian. Rentannya usia tersebut terkena demam tifoid dapat dikaitkan dengan tingkat pengetahuan, pendidikan, dan sikap individual tersebut. Berbeda dengan penelitian Rahmawati (2010) yang mnyatakan bahwa anak-anak rentang umur 0-10 mempunyai insidensi penyakit ini lebih tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat higienitas, sistem daya tahan tubuh, dan kontaminasi susu atau produk susu dapat menyebabkan anak-anak rentan terinfeksi. Selain itu anak-anak tidak dapat bergantung pada diri mereka sendiri. Sehingga saat mereka melakukan sesuatu tidak memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan. Dari hasil yang didapatkan umur 0-17 tahun sedikit yang tekena penyakit tipes dengan 14 (15,4%) pasien, umur 18-40 tahun 26 (28,6%) pasien, umur 41-60 tahun angka kejadian sangat besar yaitu 44 (48,4%) pasien dan >60 tahun sebanyak 7 orang (7,7%) dari seluruh angka kesakitan di puskesmas Sambirejo. Umur sangat berpengaruh dalam angka kesakitan disini, karena dengan semakin bertambahnya
Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012 9

umur maka semakin rentan terkena penyakit, dengan munurunnya imun seseorang maka mudah terkena penyakit. Pengetahuan tentang penyakit demam tifoid yang kurang juga sangat berpengaruh terhadap angka kejadian.

2.

Jenis Kelamin Herawati dan Ghani (2009) menjelaskan bahwa beberapa literatur

disebutkan bahwa adanya perbedaan bentuk gen yang terdapat pada laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan respon yang berbeda terhadap suatu penyakit. Selain itu rentannya laki-laki terkena penyakit ini dikarenakan kebiasaan sehari-hari mereka yang tidak memperhatikan kesehatan diri dan lingkungan. Laki-laki menyukai makanan yang praktis dan lebih suka jajan di luar. Rahmawati (2010) menjelaskan bahwa seringnya aktivitas diluar rumah memungkinkan mereka untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi lebih besar dibanding perempuan. Kejadian demam tifoid ini bisa menyerang siapa saja, tidak terkecuali anak-anak, dewasa, ataupun lansia. Pada hasil penelitian dengan variable jenis kelamin didapatkan 47 pasien (51,6%) angka kesakitan pada jenis kelamin laki-laki, dan 44 pasien (48,4%) pada jenis kelamin perempuan. Hasil penelitian tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap variable jenis kelamin.

3.

Demam Gejala yang sering didapatkan pada pasien demam tifoid adalah demam,

biasanya 39-400C, dari hasil penelitian didapatkan 91 pasien (100%) yang menderita demam. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hammad et.al (2011) di Mesir yaitu demam menjadi manifestasi yang paling umum dan 100% terjadi pada pasien demam tifoid. Pada pasien yang menderita demam tifoid biasanya bisa melakukan aktifitas di siang hari, karena demam tidak begitu tinggi di siang hari, tetapi ketika malam hari demam semakin tinggi sehingga mengganggu aktifitas. Demam tiga minggu remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biaasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

10

penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga (Widodo, 2006). 4. Nyeri Perut Dari hasil penelitian 92,3% didapatkan nyeri perut dan 7,7% tidak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chalya et al., (2012) yang menyatakan bahwa terdapat nyeri perut pada 80,8% kasus di Tanzania. Hampir semua orang yang terkena demam tifoid sakit perut karena terjadi peradangan oleh bakteri pada usus sehingga terjadi nyeri pada perutnya. bakteri masuk ke dalam usus halus setelah lolos dari asam lambung, sebagian menetap dan hidup disana terjadi perdarahan dan bisa terjadi perforasi juga sehingga timbul peritonitis dengan adanya peradangan (Widodo, 2006). Di usus halus organisme ini dengan cepat menginvasi sel epitel dan tinggal dilamina propia. Di lamina propia mikroorganisme melepaskan endotoksin yaitu suatu molekul lipopolisakarida yang terdapat pada permukaan luar dinding sel berbagai patogen usus. Penetrasi mukosa pada manusia berlangsung di daerah jejunum. Dilamina propia organisme mengalami fagositosis dan berada di dalam sel mononuklear. Mikroorganisme yang sudah berada di dalam sel mononuklear ini masuk ke folikel limfoid intestin atau nodus Peyer dan mengadakan multiplikasi (Salzler et al., 2004). Perubahan pada jaringan limfoid di daerah ileocecal yang timbul selama demam tifoid dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : hiperplasia, nekrosis jaringan, ulserasi dan penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus Peyer tersebut menyebabkan penderita mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut dan diare (Widodo, 2006). 5. Mual dan muntah Salah satu cara bakteri masuk ke dalam tubuh yaitu lewat makanan, pada kasus tipoid penularan bakteri sangat sering terjadi lewat makanan yang

terkontaminasi bakteri bakteri masuk kedalam mulut diteruskan ke lambung, dan sebagian dimusnahkan oleh asam lambung sehingga sering terjadi manifestasi mual dan muntah. Pada kasus mual hasil penelitian didapatkan 81,3% muntah dan 18,7%

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

11

tidak muntah, sangat besar sekali angka kesakitan untuk point mual tersebut. Dan hasil kasus muntah pada penelitian didapatkan 54,9% muntah dan 45,1% tidak muntah. Semua tergantung banyaknya paparan bakteri tersebut didalam usus dan pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Semakin banyak bakterinya semakin banyak pula asam lambung yang dikeluarkan sehingga manifestasi mual dan muntah meninggkat atau banyak (Widodo, 2006). 6. Diare Diare adalah salah satu manifestasi dari demam tifoid. Pada hasil penelitian didapatkan angka 19,8% kasus yang menderita diare dan 80,2% kasus tidak diare, hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hammad et al.,(2011) yaitu diare terjadi sebanyak 33% pada kasus demam tifoid di Mesir. Pada orang yang terkena tipus dalam tubuh terjadi respon imun, dan yang terlibat adalah sel mononuklear. Sehingga keterlibatan sel PMN hanya sedikit dan tidak terjadi adanyapelepasan prostaglandin.Apabila tidak terjadi pelepasan prostaglandin maka aktivasi adenil siklase tidak akan terjadi. Hal inilah menjadi penyebab pada beberapa serotipe invasif tidak didapatkan adanya gejala klinis diare (Widodo, 2006). Manifestasi diare tidak selalu ada pada orang yang menderita sakit tipus, sehingga dalam klinis tidak ditemukan kasus yang banyak.

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

12

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gejala yang signifikan dan sering terjadi pada kasus nyata adalah demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri perut. Dari hasil yang didapatkan demam 100%, nyeri kepala 88%, mual 81,3%, dan muntah 54,9%. Hasil sesuai dengan permasalahan yang timbul pada teori.

Saran 1. Dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam soal demam tifoid. Agar data bisa valid dan bisa digunakan sebagai literatur. 2. Tambahan waktu dalam melakukan penelitian 3. Diadakannya penyuluhan tentang penyakit demam tifoid sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan akibat demam tifoid

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

13

DAFTAR PUSTAKA 1. Chalya PL., Mabula JB., Koy M., Kataraihya JB., 2012. Typhoid Intestinal perforations at a University teaching hospital in Northwestern Tanzania : A surgical experience of 104 cases in a resource-limited setting. World Journal of Emergency Surgery. 2. Departemen Kesehatan RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Departemen Kesehatan RI.Jakarta 3. Ditjen Yan Medik, Depkes RI., 2006. Health Statistics, Jakarta,

http://www.depkes.go.id 4. Hammad, O.M., Hifnawy, T., Omran, D., 2011. Ceftriaxone versus Chloramphienicol for Treatment of Acute Typhoid Fever. Life Science Journal. 5. Handojo, I., 2004. Imunoasai Terapan pada beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga University Press. Surabaya 6. Herawati MH., Ghani L., 2009.Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Rifoid di Indonesia Tahun 2007. Media Peneliti dan Pengembangan Kesehatan Volume XIX Nomor 4 Tahun 2009 7. Rahmawati AD., 2010. Analisis Spasiotemporal Kasus Demam Tipoid Di kota Semarang, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 8. Salzler M J C., Crawfor J M., Kumar V., Typhoid. In : Kumar V, Cortran R S, Robbins SL., : Buku Ajar Patologi Edisi VII Jilid II, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004 9. Setiabudi, D., Mediapermana,K., 2005. Demam Tifoid. Sari Pediatri, Vol 7 No 1 10. Setyawan, S.H., Gasen, H., Hadisaputro, S., 1998. Studi Karier Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi pada pengelola makanan di warung makan. Jurnal Media Medika Indonesiana, 33:1 11. Widodo, D., 2006. Demam Tifoid dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi,B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (ed), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III (edisi IV). Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitaws Indonesia. Jakarta.

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

14

12. World Health Organization. 2003 Background Document : The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. 13. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14663/1/10E00215.pdf 14. www.scribd.com/doc/50280425/BST-teori-typhoid

Epidemiologi Stase IKM Periode 21 Mei-14 Juli 2012

15

Anda mungkin juga menyukai