Anda di halaman 1dari 6

Indonesia, indahnya ada banyak cara bisa bicara

Hormat Gerak! Seperti biasa, peserta upacara dengan malas mengangkat tangannya untuk hormat kepada bendera Merah Putih. Melihat sikap siswa-siswi SMP yang kurang menghargai simbol negaranya membuatku terusik. Seraya menatap Sang Merah Putih naik dengan latar biru cerah kota Semarang. Aku memikirkan kembali jawaban atas pertanyaan guruku yang teringat tugas pelajaran Geografi yang baru kuselesaikan tengah malam tadi. Pertanyaan di dalam tugasnya tidak banyak, hanya satu. Bagaimana keindahan Indonesia menurut kalian? Bu Ismi, guru pelajaran Geografiku, memang berbeda dengan guru lainnya dari cara beliau menngajar hingga cara beliau berusaha memahami sifat-sifat muridmuridnya. Bisa-bisanya menyambungkan pelajaran Geografi dengan Bahasa Indonesia dan Kesenian. Benar bukan? Aku rasa tugas ini lebih cocok diberikan oleh guru Bahasa Indonesia daripada guru Geografi. Bahkan akan lebih mudah mengekspresikan keindahan Indonesia melalui karya seni di pelajaran kesenian daripada harus menjabarkannya dalam pelajaran Geografi. Entah apa yang beliau sembunyikan dibalik tugas yang diberikan, beliau meminta kami dan kelas IX lainnya untuk mengerjakan tugas ini dengan sungguhsungguh. Sebagian menganggap hal ini hanya sebagai brain storming bagi siswa-siswi kelas IX yang akan menempuh Ujian Sekolah agar mereka belajar bersungguh-sungguh. Tapi sebagian besar menganggap tugas ini memiliki porsi besar dalam nilai pelajaran geografi. Aku rasa pendapat terakhir adalah pendapat yang paling masuk akal. Namun Bu Ismi adalah guru yang penuh kejutan dalam mengajar. Aku berharap ada sesuatu yang lebih dari sekedar nilai bagi siswa yang mengerjakan tugasnya dengan baik. Bendera Merah Putih kini berada di tengah tiang berusaha menuju ujung tertinggi dengan tiang yang mulai bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri seolah ikut berusaha keras menopang negerinya yang besar. Pikiranku masih belum bergerak dari tugas geografi. Sudah tiga lembar kertas kuremas karena tak kunjung bisa mendeskripsikan jawaban apa yang diinginkan guruku agar mendapat nilai tugas terbaik. ***

Awalnya aku mencoba menggambar Peta Indonesia di selembar kertas lengkap dengan warna yang menunjukkan tinggi rendahnya dataran di tiap pulau. Tak ketinggalan pulau We dan Rote yang mungil di ujung terluar peta. Seraya tersenyum sendiri, aku membubuhi tanda di tiap kota yang menghasilkan Sumber Daya Alam. Aku yakin pasti nilai tugasku mendapat nilai yang bagus. Jawabanku tentu sesuai dengan yang Bu Ismi minta, geografi berkisar tentang bentang alam dan sumber daya alam. Hingga tiba, aku memikirkan kembali sebuah kata dalam pertanyaan tugasku, keindahan. Ya Allah! pekikku seraya menepuk dahi menyalahi ketidaktelitianku. Sudah seindah ini gambarku.. cepat-cepat kuremas kertas jawabanku mencoba berhenti menyesali waktu yang telah kuhabiskan seharian. Di hadapan kertas yang masih bersih, aku mengernyitkan dahi berusaha mengeluarkan jawaban dari otakku. Kali ini aku mencoba memilih cara menjawab yang berbeda dari caraku sebelumnya, mengarangnya dengan tulisan. Tugas ini menanyakan pendapat kita mengenai keindahan Indonesia bukan? Dalam hati aku berusaha meyakinkan diri. Aku rasa jawabanku tak akan salah, murid-murid lain pasti juga akan melakukan hal yang sama. Ah! Ini terlalu mainstream gumamku. Terlalu biasa dilakukan banyak siswa apalagi kemampuan mengarangku juga tidak seberapa. Bagaimana bisa aku mendapat niilai terbaik? Huh.. aku menghembuskan nafas pendek, menatap langit pagi yang mulai cerah. Pukul 04.00? Ini sudah minggu pagi! Aku tidak mungkin melewatkan perjalanan keliling Semarang hari ini karena mengulang tugas yang hanya satu pertanyaan. Kuputuskan untuk mematikan lampu kamar, membubuka gordeng jendela kamarku, lantas membuka kedua daun jendelanya. Udara pagi berusaha menenangkan diriku. Aku menatap ke arah luar jendela kamar, tampak daratan yang berbukit-bukit dihiasi lampu-lampu rumah yang menyelimutinya. Pemandangan ini selalu menyita perhatianku. Dengan kondisi yang berbukit-bukit, pemandangan landscape di Semarang menjadi sangat indah ketika malam. Apalagi posisi kamarku yang berada di lantai dua, dengan dua sisi kamar yang berjendela besar, membuatku leluasa memandangi pemandangan seolah berada di tengah langit yang bertabur bintang. Aku diam sejenak, kali ini bukan untuk mencari jawaban tugasku. Aku harus memutuskan terlebih dahulu apa yang harus aku pilih untuk menghabiskan waktu hari

ini. Aku menatap laptop yang masih menyala di tengah meja belajarku. Dengan segera pandangan kualihkan kembali ke luar jendela, tampak bangunan yang agak besar dibanding yang lain. Bangunan itu tak lain adalah Lawang Sewu, ikon kota Semarang. Meski banyak mendengar cerita menyeramkan mengenai bangunan bersejarah itu aku tak takut mengaguminya dari jauh di pagi buta. Pandangan mataku berkeliling mencari sisi keberadaan kelenteng Sam Poo Kong. Walaupun sempat sulit menemukan titik keberadaannya karena letaknya yang terlalu jauh dari rumah, akhirnya mataku dapat mendeteksinya. Sebagai pendatang di kota Semarang setahun lalu, aku merasa perlu memahami sisi menarik kota ini. Tentu saja hal ini kulakukan tak lain agar aku betah tinggal disini. Orangtuaku banyak menceritakan tempat-tempat menarik di Semarang karena yang menjadi perbedaan antara satu kota dengan kota lain adalah budayanya, dan budaya itu dapat kita lihat dengan mudah melalui bangunan-bangunan di dalamnya. Semarang memiliki banyak tempat bersejarah seperti Lawang Sewu, Sam Poo Kong, Candi Gedong Songo. Dan esok adalah hari yang kutunggu-tunggu dimana aku bisa menginjakkan kaki di tempat bersejarah yang memiliki banyak pesona. Tapi masalahnya bagaimana tugasku yang belum juga selesai padahal senin pagi sudah harus dikumpulkan? Aku menutup laptopku, silau lampunya menusuk mataku untuk menikmati lampu-lampu di bukit-bukit yang latar belakangnya mulai terang. Mataku menatap ke arah tempat tidur seolah meminta haknya untuk istirahat. Aku merebahkan diri diatas kasur dambil kembali menatap ke arah luar jendela. Dengan keras aku berusaha meredupkan keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat yang sinarnya sungguh mempesona dari kejauhan. Sesekali terbersit untuk menyerahkan saja tugas yang sudah aku buat tanpa tahu berapa nilai yang akan aku dapatkan. Letih dengan konflik dalam hati, aku pun tertidur pulas. Raraa! ayo sudah jam setengah enam, cepat solat subuh dan mandi! Seru Ibuku dari depan kamar. Suaranya membangunkanku penuh semangat. Aku menyeret badan untuk bergerak menghidupkan saklar lampu kamar. Dengan tersaruk-saruk aku keluar kamar untuk mengambil wudhu. Setelah menunaikan solat subuh aku menggantungkan mukena dan sreek.. tak sengaja menginjak tugas

geografi yang kuremas semalam. Oh Tugasku! Belum selesai keterkejutanku, tiba-tiba datang suara mengejutkan lain dari luar kamar Raraa! Kamu sudah bangunkan? Suara yang tidak asing terdengar di telingaku. Otakku segera tepat mengenalinya. Nizma? Kamu disini? aku menyambar daun pintu segera membukanya, menyambut kedatangan saudaraku yang dua hari lalu pulang dari ibadah umrah. Kok malah kamu yang berkunjung ke sini? Aku jadi enak. Haha.. maaf ya belum sempat ke rumahmu pelukku melepas rindu Iya ga masalah kok. Aku dengar kamu mau keliling Semarang? sebagai orang asli semarang aku siap jadi tour guide-mu, sekalian kitatemu kangen. Hehe.. Asyik. Tapi aku mandi dulu ya? pertanyaanku itu sekaligus pernyataan untuk berhenti melanjutkan tugas geografiku. Tugas geografiku sepertnya sudah kalah telak. *** Dengan memikul tas ransel dan mengalungkan kamera aku berangkat memulai hariku yang bahagia. Tujuan pertama adalah Lawang Sewu, megah menatap langsung Tugu Muda di tengah kota. Sama seperti sebutannya, Lawang Sewu berati seribu pintu, bangunan ini memiliki banyak pintu sehingga sudah pasti sangat besar. Arsitektur kuno Eropanya menambah kuat mitos Rumah Hantu melekat padaya. Seperti kembali ke masa lalu ketika meyusuri tiap sisi gedung ini. Bangunannya penuh lorong yang terdiri dari pintu-pintu. Mungkin akan sulit menyelesaikan permainan petak umpet disini gumamku berusaha mengusir ketakutan sendiri. Setelah dimanjakan dengan bangunan bersejarah dengan gaya Eropa, keluarga besarku membawaku ke bangunan bersejarah yang memiliki arsitektur khas Cina, Sam Poo Kong. Didirkan oleh Laksamana Ceng Ho, kebesaran bangunannya serupa dengan kebesaran nama yang ia miliki. Hebat bukan? tak perlu keliling dunia, semuanya berhasil disuguhkan di negeri ini, Indonesia. Bangunan ini di dominasi dengan warna merah. Sebenarnya tujuan dibangunnya Sam Poo Kong bukanlah sebagai kelenteng karena Laksmana Ceng Ho sendiri merupakan seorang Muslim. Namun karena orang Cina mengannggap bahwa ruh orang yang telah meninggal bisa memberikan pertolongan, banyak masyarakat yang berdoa di bangunan ini dan akhirnya bangunan ini pun dijadikan sebuah kelenteng.

Puas berkeliling dunia tiba saatnya mengunjungi peninggalan sejarah asli buatan bangsa, Candi Gedong Songo. Setelah merayapi bukit demi bukit, tibalah kami di Gunung Ungaran kawasan Candi Gedongsongo berada. Dengan menaiki kuda aku berlagak seperti seorang pendekar menuju kawasan Candi. Candi Gedongsongo berada di kawasan yang asri dan sejuk membuatku sembuh dari konflik batin semalam. Tidak percuma aku memilih mengikuti city tour ini, gumamku. *** Puas perjalanan hari ini, sepupuku langsung memintaku mengupload semua foto di media sosial. Sambil menunggu upload foto ke media sosial aku menikmati kembali tempat-tempat bersejarah itu. Bagaimana cara medeskripsikan negara yang seindah ini, satu kota saja sudah begitu indahnya kataku sok puitis Cara menyampaikan keindahan adalah dengan menyampaikannya dengan indah. Baiklah oikirku, aku akan menyampaikan jawaban tugasku dengan seindah mungkin agar pembacanya juga turut merasan keindahan Indonesia juga tergerak untuk berpendapat serupa mengenai bagaimana keindahan Indonesia. Aku memasukkan beberapa foto-foto terbaikku dari perjalanan hari ini ke dalam lampiran tugasku. Karangan dan Peta yang sudah kuselesaikan kemarin juga dengan yakin aku lampirkan. Seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, aku menjilid sendiri tugasku sebanyak 15 lembar itu. *** Hiduplah Indonesia Raya.. Setelah merenungkan kembali tugasku yang telah kuselesaikan sebanyak 15 lembar, aku memutuskan untuk menghargai pendapatku sendiri. Selama tidak melanggar aturan dan norma yang berlaku untuk apa ragu mengumpulkan penjelasan satu pertanyaan sebanyak lima belas lembar ? Setiba di kelas usai upacara bendera, satu persatu kulihat teman-teman mengumpulkan lembaran-lembaran tugas mereka ke meja guru. Bu Ismi memang meminta tugas kami telah ada diatas mejanya sebelum beliau masuk. Aku berharap ada beberapa anak yang memiliki penjelasan yang juga cukup menghabiskan beberapa lembar kertas. Hingga terlihat olehku dari jendela kelas, Bu Ismi ingin membuka pintu kelas. Aku langsung bergegas mengambil tugasku yang masih berada di dalam tas dan segera menuju ke meja guru. Malu karena penjelasanku paling banyak, aku setengah

berlari mengumpulkan tugas ke depan kelas, berusaha mengindari respon Bu Ismi ketika melihat tugasku. Karena terlalu lama menunggu teman senasib alhasil tugasku berada di tumpukkan paling atas Usahaku sia-sia, ketika berbalik badan dari meja guru, Bu Ismi sudah tersenyum dibelakangku. Kaget bukan kepalang, hampir saja badanku terjungkal ke belakang. Belum sembuh rasa maluku, aku malah melihat teman-temanku cekikikan tak kuasa menahan tawa. *** Seminggu berlalu, aku sudah enggan memikirkan nilai tugas geografiku. Aku sudah ikhlas berapapun nilai yag diberikan atas tugasku. Rara.. panggil Bu Ismi saat menuju pintu kelas usai pelajaran Geografi, tolong kamu ambil tugas minggu kemarin yang sudah saya nilai ya di ruang guru? Bagikan pada eman-temanmu. Wajahku memerah mendengar perintah Bu Ismi. Iya Bu jawaban yang sudah pasti segera keluar dari mulutku Aku berjalan di belakang mengikuti Bu Ismi ke ruang guru, beberapa langkah sebelum sampai ke meja beliau, lagi-lagi aku mendapati tugasku yang cukup tebal itu di tumpukkan paling atas. Dengan gugup aku memicingkan mata, tapi tak mendapatkan penglihatan nilai di sampul tugasku. Sepi sejenak. Terimakasih Bu. Tugasnya saya ambil kataku dengan wajah penuh senyum Sebentar nak, ini surat untukmu. Darahku berdesir, surat apa ini? Apakah jawaban tugasku salah? Ataukah terlewat banyak? Amplop surat masih terlekat rapi. Aku berusaha menenangkan diri, mengurungkan niatku untuk langsung membuka amplop surat. Sebaiknya aku buka di kamar mandi saja, pikirku. Saya permisi Bu kataku datar. Bu Ismi terlihat bingung menanggapi perkataanku I..ya, silahkan Bergegas aku ke arah kamar mandi. Tugas milik teman-teman masih berada dalam pelukanku. Sedikit membantingkan aku menaruh tugas sisi wastafel. Dengan cepat dan penuh kehati-hatian aku membuka amplop surat. Surat permohonan delegasi konferensi pemuda, 7 Januari 2012. Tempat.. Pulau Derawan! ***

Anda mungkin juga menyukai