Anda di halaman 1dari 14

DERMATITIS ATOPIK Nanda Earlia

I. DEFINISI Dermatitis atopik (DA) adalah inflamasi pada kulit yang menahun, residif, umumnya muncul pada bayi, kanak-kanak, ataupun dewasa, yang mempunyai riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun pada keluarganya, baik berupa astma, rhinitis alergika, konjunctivitis , maupun dermatitis atopik, dengan gejala pruritus dan distribusi khas. Dapat dikaitkan dengan gangguan pada fungsi barier kulit, sensitisasi alergen, dan infeksi kulit yang berulang.

II. IMUNOPATOGENESIS Paradigma baru tentang DA berdasarkan fakta bahwa kekeringan kulit merupakan faktor penting, sehingga DA terbagi 3 fase : Fase awal DA berupa nonatopic dermatitis terjadi pada bayi yang belum tersensitisasi. Fase kedua true atopic dermatitis (60-80% pasien DA)

dimana faktor genetik berpengaruh pada sensitisasi oleh makanan maupun alergen lingkungan yang diperantarai oleh IgE. Fase ketiga, pengaruh garukan yang dapat menimbulkan

kerusakan sel-sel dan jaringan kulit sehingga terjadi pelepasan autoantigen yang mengindusi autoantibodi. Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya dermatitis atopik : 1. Faktor herediter Genetik Peranan Kromosom 5q31 33 sangat penting karena mengandung gen penyandi Interleukin (IL) : IL3, IL4, IL13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) yang diproduksi oleh sel Thelper (Th)2. 2. Kelainan imunologi Reaksi hipersensitivitas tipe cepat (immediate type hypersensitivity), terdiri dari 2 fase : (1) Early phase reaction (EPR), terjadi 15-60 menit setelah penderita terpapar antigen, IgE akan mengadakan cross linking dengan FceRI, menyebabkan degranulasi sel mast dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya yang menyebabkan rasa gatal dan kemerahan dikulit. (2) Tiga sampai empat jam setelah EPR terjadilah late phase reaction (LPR) dimana terjadi ekspresi molekul adhesi pada dinding pembuluh darah yang diikuti terekrutnya eosinofil, limfosit, monosit, ketempat tersebut sehingga terjadi 46

radang pada kulit. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen, ataupun superantigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui reseptor FceRI, FceRII dan IgE-binding protein), kemudian bekerjasama dengan MHC class II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaif) yang mengakibatkan diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi menjadi sel T ke arah Th1 atau Th2. Sel Th1 akan mengeluarkan sitokin IFN-, TNF-, IL-2, yang merupakan sel efektor bagi infeksi oleh mikroba intrasel. Sitokin IFN- dapat mengaktivasi CD8+, sel NK (Natural Killer), dan makrofag. Sel Th2

memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-13, yang merupakan efektor pada infeksi nematoda didalam saluran cerna, dan proses alergi; yang dapat meningkatkan kadar antibodi imunoglibulin E (IgE) dalam serum, serta aktivasi eosinofil dan sel mast pada kulit. Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil. Penelitian terakhir menemukan sitokin baru, interleukin 17(IL-17) yang disekresikan oleh sel Thelper yang berbeda dengan Th1 dan Th2, yaitu Th17. Interleukin (IL) 17 dapat memobilisasi dan mengaktifkan neutrofil Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel Th2 namun kemudian sel Th1 juga ikut berpartisipasi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF dan sitokin pro inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA.

Respon imun sistemik pada DA adalah sebagai berikut : Sintesis IgE meningkat. IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat. 47

Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat. Respon hipersensitivitas lambat terganggu Eosinofilia pada darah perifer akibat akibat aktivitas Th2 Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel Th2 meningkat Sekresi IFN- oleh sel Th1 menurun Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat. Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2 (prostaglandin E2)

3. Kelainan kulit Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum mengikat air) menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk melewati kulit. 4. Lingkungan sebagai faktor pencetus a. Bahan iritan : sabun, detergen, bahan kimia,asap, pakaian kasar yang abrasif, paparan suhu, astrigen. b. Bahan alergen : aeroalergen (house dust mite,animal dander, human dander, mold, polen). Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang dapat menjadi faktor pencetus DA, dan 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. c. Mikroba sebagai alergen : Mekanisme 1 : Sel imunitas alamiah seperti makrofag dan sel dendritik mengekspresikan pattern recognition receptors (PRR) yang dapat mengenali mikroorganisme melalui pathogen assaciated moleculer pattern (PAMP). Aktivasi PRR setelah paparan mikroorganisme menginduksi respon sel Th1, sehingga pada kondisi tidak adanya mikroorganisme patogen dapat menyebabkan deviasi respon imun sehingga meningkatkan respon sel Th2 terhadap alergen ; Mekanisme 2 : Berkurangnya paparan dengan mikroorganisme non patogen pada sel 48

dendritik (karena seringnya menggunakan antibiotika pada periode antenatal) dapat menghambat sel TRegulatory (Treg) yang seharusnya menekan produksi Th1 dan Th2. Mekanisme ini menjelaskan peran probiotik pada pencegahan dan penurunan derajat keparahan DA. Hubungan antara berkurangnya paparan infeksi dengan

peningkatan keparahan dan prevalensi DA disebut hygiene hypothesis (HH), yang dapat dijelaskan melalui konsep Treg dan Th17 pada teori Th1/Th2. Dengan

ditemukannya Th17 yang memiliki peran yang berlawanan dengan Treg maka dapat dijelaskan peran Th1, Th2, Th17, dan Treg yang saling antagonis dalam mempertahankan keseimbangan, dengan penjelasan sebagai berikut : o Sel Th1 menghasilkan IL12 yang menghambat perkembangan Th2 o Sel Th2 menghasilkan IL4 yang menghambat perkembangan Th1 o IFN yang berasal dari Th1 menghambat perkembangan Th17 o IL6 yang dihasilkan Th17 menghambat Treg o Treg menghambat perkembangan Th1 dan sel Th2 melalui kontak langsung serta menghambat perkembangan sel Th17 melalui TGF Staphylococcus aureus yang dapat melepaskan Protein A, alpha toksin, dan eksotoksin sebagai superantigen yang mempunyai efek sitotoksik terhadap keratinosit sehingga melepaskan TNF . Antigen Staphylococcus aureus dapat merangsang pembentukan IgE. S aureus juga meningkatkan regulasi Homing cutaneoous

lymphocyte factor (CLA) dipermukaan sel Th2 sehingga menarik limfosit lebih banyak. d. Iklim : Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat menjadi masalah bagi penderita DA. Pada penderita DA terjadi kelainan instrinsik pada parasimpatik sehingga mengganggu fungsi thermoregulator yang menyebabkan eksaserbasi penyakit. DA biasanya membaik pada musim panas dan memburuk pada musim dingin dan kering. Aktivitas olahraga dan berkeringat juga menjadi pencetus, tergantung keseimbangan antara panas dan hilangnya air melalui kulit. e. Stress emosi : Hubungan psikis dan penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang 49

menimbulkan rasa gatal. f. Hormonal : premenstrual dapat mencetuskan DA, demikian juga dengan kehamilan, terutama pada trimester 1 dan 2

III.

KRITERIA DIAGNOSTIK A. ANAMNESIS Berdasarkan kriteria Hanifin Rajka. B. KLINIS Fase klinis DA : DA infantil (2 bulan 2 tahun), DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua. Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak. DA pada anak (2 10 tahun) Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de novo). Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. Lesi berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan. DA pada remaja dan dewasa Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang khas, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan 50

akhirnya menjadi hiperpigmentasi. Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecil sampai tua.

Pruritus merupakan gejala subjektif yang paling dominan dan terutama dirasakan pada malam hari. Histamin yang keluar akibat degranulasi sel mast bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit, perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus. Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, KRITERIA MAYOR : - Pruritus - Dermatitis kronis atau residif - Distribusi dan morfologi lesi khas : o dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak , o dermatitis di fleksura pada dewasa, - Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya KRITERIA MINOR : - Xerosis - Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) - Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki - Hiperlinearity pada telapak tangan (Hiperlinearis palmaris) ; bertambahnya garisgaris tangan, ternyata terdapat hubungan antara hyperlinearity dengan ichtyosis vulgaris pada penderita DA. - Pitiriasis alba - Dermatitis di papila mammae - White dermatografism dan delayed blanched response ; adanya kelainan respon vaskular pada DA, walaupun tanda ini cukup banyak dijumpai pada DA, tetapi bukan patognomonis, Tanda ini merupakan respon vaskular terhadap berbagai 51

macam rangsangan terhadap sistem vaskular perifer. - Keilitis - Lipatan infra orbital (Dennie Morgan fold) ; merupakan lipatan linear yang masuk kedalam kelopak mata bawah. Denni Morgan fold patognomonis utuk DA. - Hertoge sign ; merupakan penipisan atau kelonggaran alis bagian lateral, selain terdapat pada dermatitis atopik, juga ditemukan pada pasien hipotiroidisme. Hal ini diduga suatu kelainan otonom atau akibat garukan terus menerus. - Konjungtivitis berulang - Keratokonus - Katarak subkapsular anterior - Orbita menjadi gelap (orbital darkening) : bertambah gelapnya daerah kelopak mata terutama kelopak mata bawah, kadang terlihat sedikit edema dan lebih sering usia muda. Terjadi oleh karena gangguan tidur. - Wajah pucat (facial pallor) dan eritema : terjadi karena peninggian tonus dari pembuluh darah perifer; dan terjadinya kemerahan pada wajah (facial eritem) apabila kena rangsangan dari luar terutama sinar matahari - Gatal bila berkeringat - Intolerans perifolikular - Hipersensitif terhadap makanan (Food intolerance) ; banyak terjadi pada anak, biasanya telur ayam , susu sapi, kacang-kacangan, gandum, ikan laut - Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi - Tes alergi kulit tipe cepat : positif - Kadar IgE dalam serum meningkat - Awitan pada usia dini

C. Diagnosis Banding Sangat mirip : 1. Dermatitis seboroik (terutama DA fase infantil) 2. Dermatitis numularis (terutama DA fase anak/dewasa) 3. Dermatitis kontak (alergika/iritan) 4. Skabies 52

5. Psoriasis vulgaris 6. Iktiosis vulgaris 7. Dermatofitosis Dipertimbangkan : 1. Dermatitis asteatotik 2. Liken simpleks kronis 3. Impetigo 4. Drug eruption 5. Perioral dermatitis 6. Porfiria 7. Juvenile palmoplantar dermatosis

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Uji klinis white dermographysm Atopic patch test dan prick test Pemeriksaan darah tepi : eosinofilia Pemeriksaan level serum IgE

Tes tempel (patch test) dengan menggunakan bahan standar atau bahan yang dicurigai hanya diperlukan bila tidak dapat dibedakan dengan dermatitis kotak alergi

IV. KOMPLIKASI Infeksi sekunder

V. PENATALAKSANAAN Prinsip terapi : 1. Hindari paparan antigen 2. Cegah timbulnya ikatan antigen dengan IgE 3. Hambat sekresi mediator radang yang disekresi mastosit dan eosinofil 4. Kurangi populasi sel imun yang reaktif 5. Cegah infeksi berarti mencegah kekambuhan

53

A. NON MEDIKAMENTOSA Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor pencetus. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll) Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi. Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA. Melakukan hal-hal yang mengurangi jumlah tungau debu rumah/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu, menghindarkan stres emosi.

B. MEDIKAMENTOSA TOPIKAL : Hidrasi kulit (pelembab) Tujuan : mengatasi xerosis (kulit kering) akibat berkurangnya ceramide dikulit yang menyebabkan hilangnya air melalui lapisan epidermis. Kekeringan ini

menyebabkan mikrofisura serta celah di kulit yang memungkinkan masuknya patogen, antigen, dan bahan iritan, sehingga menyebabkan timbulnya keinginan penderita untuk menggaruk sehingga proses penyakit jadi menetap atau terjadi eksaserbasi penyakit. Pelembab merupakan standar dalam perawatan kulit penderita DA, guna mengatasi kondisi kulit yang kering juga sebagai steroid sparing dan pencegahan dan terapi rumatan (maintenance therapy) Pemakaian pelembab dilakukan beberapa kali sehari, setelah mandi, idealnya dalam bentuk ointment seperti petrolatum atau cream, juga hydrophilic ointment. Pada lesi DA yang berat dan kronis dapat dilakukan kompres (wet dressing). Hidrasi dengan berendam atau kompres meningkatkan penetrasi glukokortikoid topikal, kompres juga berfungsi sebagai penghalang yang efektif untuk melakukan garukan. Kortikosteroid topikal 54

Kortikosteroid potensi lemah-sedang diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi sedang dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol, kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu, dikombinasikan dengan pelembab.

Sediaan ointment lebih poten, paling oklusif, paling sedikit mengandung pengawer. Selain itu sangat bagus sebagai penghantar obat dan kurang terjadi penguapan. Ointment harus dihindari pada lesi terbuka , basah, dan area lipatan. Sediaan cream lebih disukai pada cuaca panas, ketat dan lembab karena mudah dioleskan, namun dapat mencetuskan dermatitis kontak alergika karena mengandung pengawet. Sedangkan solusio dapat dipakai untuk kulit kepala atau daerah berambut lainnya.

Frekuensi pengolesan disarankan dua kali sehari, bisa dikurangi misalnya area fleksural atau ditambah misalnya di tangan.

Penelitian menunjukkan kortikosteroid aman dan efektif untuk terapi DA pada penggunaan hingga 4 minggu, namun kortikosteroid potensi kuat dianjurkan tidak digunakan lebih dari 2 minggu.

Preparat Tar Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5%, 10% atau crude coal tar 1% - 5%. Digunakan untuk likenifikasi.

Antihistamin Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim Doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.

Antibiotika topikal Penggunaan antibiotika anti Staphylococcus bermanfaat bagi penderita yang terinfeksi atau trerdapat kolonisasi S.aureus yang banyak. Dapat diberi sediaan antibiotik berupa mupirosin, ataupun asamdan natrium fusidat. bergantung pada luasnya lesi dan derajat keparahan infeksi. Pemakaian

Juga terdapat

penelitian yang menunjukkan penggunaan antibiotika topikal dan kortikosteroid 55

memberi hasil yang memuaskan. Imunomodulator topikal : Merupakan imunomodulator non steroid sebagai alternatif kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat calcineurin di kulit sehingga terjadi hambatan aktivitas awal dan proliferasi sel T serta pelepasan berbagai sitokin dari Th1 dan Th2. Dapat digunakan untuk pemakaian jangka lama pada DA yang sering kambuh, penderita yang tidak dapat menggunakan steroid topikal, atau untuk mengurangi pemakaian steroid topikal. Keuntungan sediaan ini tidak

menimbulkan atropi kulit sehingga berguna di wajah termasuk kelopak mata, intertriginosa, dan hanya diabsorbsi minimal kedalam darah A. Takrolimus Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk ointment 0,03% untuk anak usia 2 16 tahun dan konsentrasi 0,1% usia 17 tahun. Indikasi : DA derajat sedang hingga berat. Pemakaian dua kali sehari. Pada

pengobatan jangka panjang, tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat. B. Pimekrolimus Suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah cream konsentrasi 1%, aman pada anak dan dewasa dapat dipakai pada DA yang ringan dan sedang, pemakaian 2 kali sehari. 2. Pengobatan sistemik Kortikosteroid Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat ( 3 minggu) dan dosis rendah, bila masih diperlukan disarankan dosis minimal diberikan secara alternate saja. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen. Antihistamin Sedatif (untuk bayi dan anak) atau non sedatif terapi ajuvan, bila gatal sangat menggaggu. Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Pada kasus sulit dapat diberi 56

doxepin

hidrochloride

75

mg/oral/2

sehari

yang sebagai

tricyclic

antidepressant) dan menghambat reseptor histamin H1 dan H2. Anti infeksi Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S. aureus pada kulit penderita DA. (eritromisin, azitromisin, Dapat diberikan golongan macrolide penisilinase resisten penisilin

klaritromisin),

(dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin). Interferon IFN bekerja menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel Th1 sehingga menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

Imunosupresan sistemik Siklosporin Imunosupresan poten yang bekerjanya pada sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Obat ini akan berikatan denagn cyclopilin, suatu protein intraseluler dan akan menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin, suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin. Dosis anak 5 mg/kg

BB/oral/ hari diturunkan menjadi 2,5-5 mg/kg/hari atau dewasa 150 mg atau 300 mg/hari, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan : kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi Anti metabolit : Mofetil mikofenolat (DA refrakter), 2gr/hari Metotreksat (DA rekalsitran) : merupakan antimetabolit dengan efek inhibisi poten pada sintesa sitokin dan kemotaksis sel,telah digunakan pada penderita DA denagn kondisi yang parah dan tidak responsif terhadap modalitas terapi lain. Azatioprin (DA berat) : bekerja menghambat sintesa DNA dan RNA, berguna pada kasus rekalsitran melalui efek imunosupresif dan sitotoksik. Dosis 2,5 mg/kg/hari atau 50 mg dua kali sehari Probiotik 57

Pemberian probiotik perinatal akan menurunkan resiko DA pada anak di usia 2 tahun pertama. Laporan beberapa penelitian, menyatakan bahwa lactobacillus tidak hanya menurunkan resiko juga menurunkan keparahan DA

VI.

PENCEGAHAN 1. Probiotik Probiotik adalah mikroorganisme , yang memberikan efek menguntungkan berupa anti alergenik pada epitel saluran cerna bayi, dengan meningkatkan respon imun Th1 terhadap alergen 2. Proteksi sawar kulit Penambahan moisturier pada terapy dengana nati inflamasi akan meningkatkan hasil serta menurunkan kebutuhan akan steroid topikal. Penelitian terbaru, penambahan moisturizer atau lipid stratum korneum pada emolien dan emolien dominan ceramid dapat meningkatkan fungsi sawar kulit 3. Modulasi sistem umun Paparan bahan iritan, toksin mikroba, alergen yang masuk melalui sawar kulit yang terganggu, merupakan mekanisme yang melatrbelakani stimulasi dan respon imun dan sel inflamasi. 4. Menghindari alergen di lingkungan sekitar 5. Pemberian air susu ibu (ASI) hingga usia 4 bulan. Sebaiknya ibu tidak konsumsi susu sapi, produk yang mengandung susu (dairy product) dan telur selama 2-3 minggu. Jika tidak ada perbaikan kulit, ibu dapat makan seperti biasa 6. Hindari stress 7. Hindari perubahan suhu secar tiba-tiba misalnya dari rumah yang panas ke udara luar yang dingin 8. Obati bila terdapat infeksi

VII.

PROGNOSIS Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang 58

berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah : DA yang luas pada anak. Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale. Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya. Awitan (onset) DA pada usia muda. Anak tunggal. Kadar IgE serum sangat tinggi. Diperkirakan 30 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever.

VIII. KEPUSTAKAAN 1. Leung DMY, Eichenfield LF, Boguniewick M. Atopic dermatitis In: Goldsmith LA, Katz IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K, editor.
th

Fitzpatricks Dermatology in

General Medicine. 8 ed. New York: Mc Graw-Hill;2012.p.165-82. 2. Bieber T, Bussmann C. Atopic dermatitis . In: Bolognia, JL, Jorizzo J L, Schaferr Julie V, editor. Dermatology.Edisi ke-33rded. New York: Elsevier; 2012.p.203-19 3. Prakoeswa CR. Does hygiene hypothesis support the immunopathogenesis of atopic dermatitis ? Dalam: Pendidikan kedokteran berkelanjutan New perspective of dermatitis, Surabaya;2008:47-55 4. Murphy Kenneth P. Allergy and allergic disease. Dalam: Janeway CA Jr,travers P, walport M, editors. Janeways Immunobiology. Edisi ke-8th ed. New York:Garland Science, 2012.p.571-606 5. Bieber T. Mechanism of Disease : Atopic Dermatitis. N Eng J Med 2008;358(14):1483-94

59

Anda mungkin juga menyukai