Anda di halaman 1dari 4

TAFSIR IDEAL DEMOKRASI PANCASILA

Pendahuluan
Sebagai bangsa kita telah bersepakat memilih jalan / track demokrasi (kedaulatan rakyat) dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa terasa kita telah mempraktekkan demokrasi selama hampir 70 tahun. Ibarat umur manusi,a maka usia 70 tahun bukanlah usia muda akan tetapi usia lanjut (manula) . Seharusnya diusia senja kita sedang menikmati hasil jerih payah perjuangan (demokrasi) kita dimasa muda. Akan tetapi karena dalam prakteknya setiap rezim pemerintahan memiliki tafsir sendiri tentang demokrasi, maka diusia senja kita sebagai bangsa masih berada dikubangan (permasalahan) yang sama (klasik) dalam setiap pergantian rezim pemerintahan dari masa ke masa. Cita-cita luhur para pendiri republik ini untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia masih jauh panggang dari api. Dari uraian singkat tersebut penulis dapat membuat hipotesa sementara yaitu : 1. Jika kita (bangsa Indonesia) melaksanakan sila keempat (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dengan murni dan konsekuen, maka akan selaras dengan sila pertama (1)

Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Jika bangsa Indonesia menerapkan System Demokrasi yang benar (sebagaimana mestinya / ideal), maka seharusnya lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dipilih langsung dan berkedudukan sejajar (setara) 3. Jika bangsa Indonesia menerapkan System Demokrasi yang benar (sebagaimana mestinya / ideal), maka akan tercapai tujuan negara Demokrasi yaitu tujuan Kuantitas (Kesejahteraan & Kemakmuran) dan tujuan Kualitas (Keadilan & Kepastian Hukum) Adapun tulisan ini dibuat untuk membuktikan hipotesa tersebut.

Kerangka Teoritis
Secara teoritis ada empat kerangka teori yang mendasari analisis tafsir ideal demokrasi Pancasila :

Tafsir Pancasila Sebagai Dasar Hukum Tertinggi.


Pancasila merupakan dasar negara sekaligus menjadi sumber dari segala sumber hukum yang berlaku dinegara kita. Sila pertama dari Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa Artinya bangsa Indonesia yakin dan percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa (satu / tunggal). Tuhan adalah pencipta, penjaga dan pemelihara alam semesta jagat raya. Adapun Esa (satu) adalah salah satu dari sekian banyak sifat Tuhan.

Dalam terminologi agama Islam terdapat 99 asma (sifat Allah) seperti : Yang Maha Esa (AsShomad) Yang Maha Adil (Al Adl), Yang Maha Menghukum (Al-Hakim) dsb. Sifat-sifat Ketuhanan seperti itu dinamakan nilai-nilai Spiritual. Dengan kata lain bangsa Indonesia yakin dan percaya pada prinsipprinsip (nilai-nilai) Spiritual seperti : Kebenaran, Kejujuran, Keadilan dsb. Nilai-nilai Spiritual tersebut bersifat universal oleh karenanya dicintai oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Jika kita harus merangkum / meringkas kelima sila tersebut, maka sila yang tersisa adalah Ketuhanan Yang Maha Esa Sila pertama lah yang mendasari seluruh sila dalam Pancasila artinya kemanusiaan yang adil dan beradab harus berdasar pada prinsip Ketuhanan / Spiritual. Persatuan Indonesia harus didasarkan pada prinsip Spiritual. Musyawarah harus didasari pada prinsip Spitual. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus didasari pada prinsip Spiritual. Dalam pembukaan UUD 1945 tertera dengan jelas .. maka dibentuklah suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa .. Hal ini menjelaskan kepada kita dengan gamblang bahwa kedaulatan rakyat harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (nilai-nilai Spiritual) Khasanah hukum Islam memiliki pandangan yang sama dengan Pancasila bahwa kedaulatan mutlak berada di tangan Allah (Tuhan/Kholiq) dan bukan ditangan manusia (Makhluk). Adapun pelaksanaan permusyawarahan (syuro) dilaksanakan

melalui mekanisme perwakilan yang bersifat Kualitatif dan bukan Kuantitatif karena dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan (ilmu pengetahuan (Al Aliim) / nilai-nilai Spiritual) bukan dipimpin oleh yang kuat atau suara terbanyak. Sebenarnya dasar negara kita Pancasila memberikan kejelasan urutan dasar yang tidak hanya tepat tapi juga benar dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Artinya The Founding Father (para pendiri negara) secara tersirat dan tersurat ingin mengatakan kepada kita bahwa kedaulatan tertinggi memang ditangan Tuhan (Kholiq) dan bukan ditangan kita (rakyat, manusia (Makhluk). Suara Tuhan tidak sama dengan suara rakyat. Suara Tuhan harus diletakkan diatas suara rakyat. Ketika suara rakyat bertentangan dengan suara Tuhan (prinsip / nilai-nilai Spiritual), maka kita harus meletakkan kedaulatan tertinggi ditangan Tuhan. Meletakkan kedaulatan Tuhan diatas segalanya berarti meletakkan nilai-nilai Spiritual : Kebenaran, Kejujuran, Keadilan dsb diatas segalanya. Sebagai contoh dibeberapa negara maju di Eropa dan Amerika yang katanya sangat menjunjung tinggi Hak Azazi Manusia (HAM) terjadi legalisasi prostitusi dan perjudian. Padahal kita tahu bahwa prostitusi dan judi merupakan perbuatan keji yang dilaknat Tuhan sepanjang sejarah peradaban manusia. Begitupula dengan upaya legalisasi penjarahan kekayaan negara oleh pihak swasta baik PMA (asing) maupun PMDN yang dilakukan oleh suatu rezim pemerintahan dan membiarkan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan.

Tafsir Demokrasi Pancasila


Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat karena itu dikenallah istilah pemerintahan demokratis artinya pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat (Abraham Lincoln). Untuk mewujudkan tujuan Kualitatif : Keadilan (supremasi hukum) dan tujuan Kuantitatif : Kemakmuran dan kesejahteraan, maka penggagas faham demokrasi telah membagi tiga pilar (tiang/ penyangga) utama kekuasaan dalam bangunan demokrasi yaitu : Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Montesquieu), dimana ketiga pilar (tiang) tersebut berkedudukan sejajar (sama) sebagai wujud perimbangan kekuasaan. Apakah System Demokrasi yang kita jalankan saat ini sudah sesuai dengan tafsir ideal demokrasi Pancasila? Demokrasi yang kita terapkan saat ini amat sangat berbeda dengan sila ke empat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Semestinya musyawarah yang tersirat dan tersurat dalam sila ke empat adalah musyawarah perwakilan yang bersifat Kualitatif sedangkan yang kita terapkan saat ini adalah musyawarah perwakilan yang bersifat Kuantitatif. Dimana suara warga negara yang berpendidikan disamakan nilainya dengan warga negara yang tidak berpendidikan. Dimana pemerintahan dipegang (dikuasai) oleh partai / capres dengan suara terbanyak (kuantitatif) hasil pemilu.

Demokrasi yang kita terapkan saat ini menempatkan pilar Yudikatif dibawah Legislatif dan Eksekutif. Kita dapat menganalisis Bab, pasal dan ayat tentang DPR (Bab VII pasal 19 ayat 1) dan tentang Kekuasaan Kehakiman (Bab IX pasal 24a,b,c ayat 3). Faktanya Pemilu hanya memilih Legislatif dan Eksekutif sedangkan Yudikatif dipilih atas usul Eksekutif dan harus mendapat persetujuan Legislatif sementara kita tahu bahwa baik Legislatif maupun Eksekutif punya kepentingan (Conflict of interest). Fakta riil yang tak terbantahkan adalah ketika anggota Legislatif dan Eksekutif ramai-ramai membancak proyek negara (Korupsi masal), maka para penegak hukum (Yudikatif) menjadi gagap, lamban dan gak punya nyali untuk menindak. Dibutuhkan waktu lebih dari tiga tahun untuk menangkap, memproses dasn menghukum Nazaruddin dkk. Kalau Yudikatif masih dibawah ketiak Legislatif dan Eksekutif, maka sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud Keadilan dan Kepastian Hukum Prinsip kesetaraan meletakkan kedudukan lembaga Legislative, Eksekutif dan Yudikatif setara atau sederajat. Kekuatan suatu pilar harus diimbangi oleh kekuatan pilar lainnya agar terjadi keseimbangan dalam demokrasi yang ideal. Ibarat sebuah pilar (tiang/penyangga) bangunan, maka akan terasa aneh jika sebuah pilar utama (tiang/penyangga) berdiameter beda, dimana satu pilar / tiang diameternya besar sedangkan pilar / tiang lainnya berdiameter kecil. Besar kemungkinan bangunan tersebut akan miring (tidak seimbang) atau bahkan runtuh jika salah satu pilar (tiang/penyangga) nya

dicabut (tidak ada). Jika dalam pemilu kita hanya memilih anggota Legislative (DPR/DPD/DPRD I & II) dan Eksekutif (Capres & Cawapres), maka implikasi yang terjadi adalah satu pilar (Yudikatif) harus diletakkan (berada) dibawah pilar lainnya (Legislatif or Eksekutif). Sedangkan pemilihan dan penetapan para pejabat di lembaga Yudikatif melanggar prinsip hukum Lex Superiori derogate Lex inferiori karena Legislator dan Eksekutor ditetapkan melalui UUD sedangkan Yudikator ditetapkan melalui UU. Disinilah titik rawan terjadinya status quo (mempertahankan diri / self protection) dari pilar yang membawahi pilar Yudikatif bilamana terjadi kesalahan (penyimpangan). Sebab lembaga Yudikatif sebagai representasi dari pilar Yudikatif adalah lembaga yang paling berwenang dalam menentukan status hukum seseorang atau suatu lembaga. Sebagai komponen anak bangsa yang cerdas dan dewasa, kita memahami bahwa setiap warga negara sama (status) kedudukannya di mata hukum dan tidak ada seorang pun diantara kita yang tidak luput dari kesalahan dan dosa termasuk kesalahan dalam membuat kebijakan. Akan tetapi bagaimana kita akan berlaku adil jika kita yang berbuat salah dan dosa tetapi kita pula yang menentukan hukumannya. Fenomena dan kenyataan inilah yang terus terulang dan terulang terus dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan lainnya tanpa kemauan dan usaha keras menuju system pemerintahan demokrasi yang ideal.

Pemilu LUBERJURDIL
Secara filosofis perhelatan akbar nasional (pemilu) ditujukan untuk menyeleksi putra putri terbaik bangsa yang akan duduk di lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif oleh karena itu harus benarbenar dipersiapkan dengan sangat matang proses pemilihannya. Tidak masalah sebesar apapun biaya yang akan dikeluarkan sepanjang jelas ukuran (parameter) keberhasilannya. Idealnya ketiga pilar (tiang/penyangga) utama bangunan demokrasi ini dihasilkan melalui mekanisme proses pemilihan umum (pemilu) yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luberjurdil) Kita tidak boleh terjebak pada perdebatan apakah lembaga pemilu (KPU) harus berada dibawah Eksekutif, Legislative atau Yudikatif. Yang terpenting adalah lembaga tersebut harus independent, akuntable dan transparan. Dengan demikian lembaga tersebut dapat menetapkan ukuran (parameter) keberhasilan pemilu dengan baik. Karena kita sudah menetapkan ukuran (parameter) keberhasilan pemilu yang sekaligus menjadi azas pemilu yaitu : Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBERJURDIL), maka kriteria inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi penilaian keberhasilan kinerja lembaga pemilihan umum (KPU). KPU harus mampu menjabarkan secara detail azas pemilu secara menyeluruh dan terperinci dalam setiap tahapan pemilu. KPU harus memberikan

treatment luberjurdil baik terhadap pemilih maupun yang dipilih (calon anggota : Legislative, Eksekutif dan Yudikatif). Karena ajang pemilu bertujuan untuk menyeleksi putra putri terbaik bangsa, maka idealnya semua biaya harus ditanggung oleh negara, mulai dari tahap persiapan (perencanaan) hingga pelantikan anggota Legislative, Eksekutif dan Yudikatif terpilih. Para kontestan pemilu (Calon Anggota Legislative (CALEG), Calon Anggota Eksekutif (CAEKS) dan Calon Anggota Yudikatif (CAYUD) memang berasal dari partai politik dengan latar belakang partisipasi masyarakat yang beraneka ragam (majemuk) akan tetapi mereka bertarung untuk kemajuan bangsa sehingga mereka semua harus mendapatkan perhatian, perlakuan dan dukungan dana yang sama dari pemerintah sehingga tidak ada lagi kejadian seseorang (sebuah parpol) menang hanya karena memiliki media penyiaran tv, radio, surat kabar dsb), modal kampanyenya yang paling besar atau cuma sekedar demam pencitraan. KPU harus memiliki wakil dan saksi ditiap TPS (KPPS) untuk menghindari berbagai macam kemungkinan kecurangan disamping untuk check and balances dengan saksi parpol serta untuk memudahkan Mahkamah Konstitusi memutus perkara karena tercatat semua bukti yang otentik diseluruh TPS yang datanya dipegang oleh KPU. Sebagaimana banyak dikeluhkan oleh partai kecil yang tidak memiliki kader dipelosok daerah dan tidak punya dana yang cukup untuk membayar saksi di TPS.

Amandemen UUD 45 & Sempurnakan Hukum Tata Negara


Dari uraian tersebut diatas maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus mengamandemen kembali UUD 1945 untuk selanjutnya menyempurnakan Hukum Tata Negara yang berlaku dinegara kita. Diawal era reformasi ada parpol yang menyuarakan jargon : Tidak ada reformasi tanpa reformasi Konstitusi ternyata ini bukan sekedar jargon akan tetapi jargon yang memang harus di tindak lanjuti menuju kesempurnaan. Terkatung katungnya proses amandemen UUD 1945 bukti bahwa banyak anggota Legislative dan Eksekutif yang masih meraba-raba arah pergerakan pemerintahan demokratis atau paling tidak semua pihak punya tafsir sendiri-sendiri (tafsir jalan lain bukan tafsir jalalain). Amandemen UUD 1945 IV merupakan terobosan yang sangat luar biasa dalam sejarah bangsa kita akan tetapi harus diakui bahwa amandemen tersebut belum sempurna. Pada amandemen I-IV perhatian kita masih terfokus pada pembatasan waktu berkuasanya seorang presiden. Dan belum menyentuh pada aspek substansial yaitu meletakkan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif secara seimbang (setara). Pintu dan jalan untuk mengamandemen UUD tersedia dengan syarat dan mekanisme sebagaimana diatur dalam UUD 45 Bab XVI pasal 37. Dalam kaidah ushul fiqh terdapat penjelasan bahwa jika suatu perbuatan wajib akan syah

hukumnya bila syaratnya terpenuhi, maka syarat syahnya perbuatan tersebut menjadi wajib. Sebagai contoh salah satu syarat syahnya sholat adalah berwudhu atau tayamum, tidak akan syah sholat seseorang tanpa berwudhu (tayamum). Dengan demikian berwudhu (tayamum) akan menjadi wajib bagi orang yang ingin sholat. Dengan kata lain saya ingin mengatakan bahwa amandemen UUD 1945 untuk menyempurnakan Hukum Tata Negara merupakan kewajiban bagi kita semua guna mewujudkan system pemerintahan demokratis untuk mewujudkan tujuan Kualitatif (Supremasi Hukum : Keadilan) dan tujuan Kuantitatif (Kesejahteraan dan Kemakmuran). Tidak ada reformasi tanpa reformasi konstitusi. Tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan penyempurnaan amandemen UUD 1945 sebagai UUD Negara yang menaungi produk hukum yang berada dibawahnya baru kemudian dengan menyempurnakan UU tentang Pemilu dsb. Siapapun yang terpilih dalam pemilu (pileg & pilpres) 2014 ini mudah-mudahan bisa mewujudkan keinginan dan harapan tersebut. Depok, 17 January 2014 HUZAIFAH, SE. MM Jl. Mahakam IV / 53 Depok (021 771 2939 / 08577-372-372-6)

Anda mungkin juga menyukai