Anda di halaman 1dari 5

Kisah Kadul dan Eras Kadul tengah memilah-milah kertas, memisahkan sampul yang terbuat dari plastik dan

karton di dalam sebuah ruangan yang penuh sesak dengan banyak barang rongsokan. Sesiangan ini, Kadul baru mendapatkan dua karung saja. Sementara temannya, Itok sudah mendapatkan empat karung. Rupanya usia menjadi alasan dalam menghasilkan jumlah karung kertas. Di usianya yang sudah senja, Kadul tetap mencari nafkah untuk keluarganya. Padahal nafasnya sudah mulai timbul tenggelam, juga langkah kaki yang sudah tidak selincah masa muda. Masa muda adalah masa yang berapi-api, begitu Rhoma Irama mendendangkan lagunya. Benar adanya bagi Kadul. Ia rasakan benar bagaimana bergeloranya semangat di waktu muda. Meski dua kali lamaran kepada Eras ditolak oleh orang tuanya habis-habisan. Ia tetap berjuang mempertahankan segenap cinta dan kasihnya hanya untuk Eras. Sejak kecil, Kadul memang berada di tengah-tengah keluarga yang tidak mampu.

Bapaknya meninggal ketika ia berusia enam tahun. Ibunya seorang petani yang mengurus sepetak sawah peninggalan bapaknya. Setiap pagi, ibunya berkeliling kampung untuk berjualan gorengan, leupeut, urab, gehu, pisang goreng dan beberapa makanan yang dapat dijadikan lauk untuk makan. Dari penghasilan itulah Kadul dapat menyelesaikan sekolahnya sampai Aliyah, sekolah Islam yang setara dengan SMA. Jika libur sekolah, Kadul membantu ibunya berjualan. Eras perempuan yang hidup dalam keluarga yang cukup mapan. Bapaknya seorang kepala desa. Sawahnya berlimpah, ia juragan sawah. Eras tak perlu bekerja seperti Kadul. Semua keperluan sudah tersedia. Jika pun ada keperluan yang lain, ia tinggal meminta pada Bapaknya. Tak perlu bersusah payah, apa yang diinginkah Eras akan terkabul. Jelas sudah keduanya berasal dari keadaan keluarga yang berbeda secara ekonomi. Kecil kemungkinan untuk dapat hidup bersama menurut pandangan orang. Cinta mereka sudah tumbuh ketika mereka sekolah di Tsanawiyah, sekolah Islam yang setara dengan SMP. Kadul telah mencuri hati Eras dengan beragam prestasi yang diraihnya. Eras pun terpikat. Mereka melanjutkan sekolah Aliyah di tempat yang sama. Mereka memadu asmara sampai lulus. Setamat sekolah Kadul memilih untuk bekerja. Ibunya sudah semakin kisut. Ia ingin meringankan beban orang tuanya. Ia akan bekerja untuk menyekolahkan adiknya, Milah. Sementara Eras akan kuliah di kota.

Kisah asmara mereka tidak kandas di tengah jalan meski berjauhan, Eras tidak terpikat dengan laki-laki di kota. Rupa-rupanya Kadul sudah bertahta di hati Eras. Kerap kali Kadul menyatakan ketidakmungkinannya mereka hidup bersama kepada Eras. Tetapi Eras bukan perempuan yang akan menerima alasan yang sudah jamak begitu saja. Ia yakin kan Kadul, bahwa suatu hari mereka akan dapat hidup bersama. Ketika lamaran pertamanya ke rumah Eras, kepala desa itu tidak mengijinkan ia masuk rumah sama sekali. Hanya dipersilahkan duduk di teras saja. Tetapi saat lamaran keduanya kepada Eras, Kadul dipersilahkan masuk dengan syarat harus memberikan mas kawin sebanyak lima puluh juta rupiah. Kadul nekat menerima tantangan orang tua Eras. Kadul dengan sangat maklum menerima itu semua. Hal seperti ini, sudah diperkirakannya jauh-jauh hari. Tak mungkin orang tua Eras menerima lamaran Kadul begitu saja. Pasti ada syarat yang diajukan. Padahal ia pun bingung bukan kepalang dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu. Barangkali itulah cinta yang tidak melemahkan. Bukan main perjuangan Kadul untuk mencari uang. Berbekal ijazah yang dimilikinya, ia mencari kerja dari pintu ke pintu. Kadul memang sudah punya pekerjaan sebelumnya. Menjadi karyawan di sebuah restoran. Tetapi tentu saja gajinya tidak cukup. Ia masih mempunyai waktu luang saat pagi sampai sore hari. Ia akan memadatkan jadwal kerjanya demi Eras. Nama Eraslah yang menjadi api di setiap langkahnya. Api yang tak pernah padam. Selalu menyala. Selalu berkobar. Penghasilan Kadul sudah bertambah sekarang. Tetapi masih saja tidak cukup. Memerlukan waktu yang lama untuk mencapai nominal itu. Sementara Kadul hanya memilki waktu lima bulan saja. Itu artinya setiap bulan ia harus mengeruk uang sebanyak sepuluh juta rupiah. Aih sepertinya Kadul harus menjadi angota DPR dahulu. Ibu Kadul sudah menyerah sejak lama. Ia katakan kepada Kadul keinginannya bagaikan punguk merindukan bulan. Hal yang mustahil terus saja dipertahankan. Masih banyak perempuan baik seperti Eras di kampungnya. Dan tentunya meraka akan mudah didapatkan, juga akan menerima Kadul apa adanya. Tidak seperti sekarang ini. Sama dengan Eras. Kadul pun tak pernah mengindahkan hal itu. Ia terus saja mempertahankan keinginannya. Cintanya lebih suci dari apapun.

Tiada yang dapat mengalahkan kasih sayang seorang ibu. Walaupun ditentangnya pernikahan itu, pada akhirnya seorang ibu akan kembali setia pada keinginan anaknya. Ia akan selalu mengusahakan apa yang dapat dilakukan untuk anaknya. Demi kebahagiaanya. Tiada yang lebih diinginkan orang tua selain melihat anaknya berbahagia. Di mana pun itu. Ibunya merelakan sawahnya untuk dijual tidak kepada juragan sawah di kampungnya, tetapi kepada saudaranya untuk mas kawin Kadul. Tiba sudah waktu untuk melamar Eras. Ia sudah menunggu di teras rumah. Kadul belum datang. Paras dan hati Eras dipenuhi kecemasan. Sementara orang tua Eras menyimpul kebahagiaan di bibirnya. Ia tak akan datang, Eras, laki-laki miskin itu tak mungkin sanggup mendapatkan uang sebanyak itu. Eras hanya berdiam diri. Ia turut memilin doa. Tuhan mengabulkan. Kadul datang menghadap walaupun terlambat. Di tasnya ada uang sekitar lima belas juta, siap diserahkan kepada orang tuanya.Tentu saja jumlah itu masih kurang dari yang diinginkan. Sudah diduganya, orang tua Eras tentu tak mau menerimanya. Artinya lamaran pun tak diterima. Tetapi rupanya hati Eras sudah genap untuk Kadul. Ia melawan orang tuanya. Ia memutuskan lari dari rumah, dan kawin lari bersama Kadul. Ia tak sudi dijodohkan dengan laki-laki lain. Walaupun menjanjikan mas kawin intan berlian. Dengan keberanian Eras, tentu Kadul sangat bangga. Mereka cepat meminta doa restu pada orang tua Kadul. Mereka menikah. Hidup bersama di kota yang lain. Uang mas kawin itu diberikan kepada Ibu Kadul. Ia hanya membawa uang sebanyak lima juta rupiah. *** Tujuh tahun sudah usia pernikahan Kadul dan Eras. Buah hati yang selalu diimpikannya tak kunjung lahir dari rahim Eras. Banyak orang yang mengatakan bahwa pernikahan mereka tidak direstui Tuhan, dan sudah tentu tak direstui orang tua. Pernikahan mereka akan membawa kesialan selamanya. Pasangan ini acuh terhadap pandangan orang, mereka tak percaya akan itu, walaupun bisa jadi ada benarnya. Mereka tetap berusaha untuk mengahasilkan seorang anak. Mereka berobat.

Rupanya rahim Eras bermasalah. Eras merasa bersalah kepada suaminya. Eras mengijinkan suaminya untuk menikah dengan perempuan yang dapat memberikan keturunan untuknya. Tetapi beruntunglah Eras, karena Kadul memang lelaki yang baik nan setia. Ia tetap menghargai Eras seperti dulu. Seperti tak pernah ada persoalan rumah tangga yang terjadi pada mereka. Walaupun memang sesekali keinginan untuk menikah lagi muncul di hati Kadul, tetapi selalu buru-buru ia tepis hasrat itu. Di tengah kesabaran mereka, Tuhan memberikan rezeki kepada pasangan yang romantis ini. Selain usaha Kadul yang terus membaik, delapan bulan lagi Eras akan menjadi perempuan yang sesungguhnya. Eras mengandung seorang anak. Bukan main bahagianya mereka. Eras memberikan kabar kepada orang tuanya, walaupun orang tua Eras tak pernah bersilaturahmi kepada mereka. Lahir seorang anak perempuan di tengah-tengah mereka. Namanya Neneng. Seharusnya kebahagian terus mengalir memanjang di hati mereka. Tetapi rupanya Neneng lahir dalam keadaan cacat.. Sampai usianya lima belas tahun Neneng belum menunjukan kedewasaan. Ia masih saja senang bermain rumah-rumahan di pos ronda depan rumahnya. Sendirian saja. Anakanak kampung tak ada yang menemaninya, mereka menganggap Neneng berbeda. Dan memang Neneng berbeda. Ia sekolah di sekolah luar biasa. Eras yang selalu mengantarkan Neneng ke sekolah, sementara Kadul yang menjemputnya. Mereka berusaha mencarikan obat untuk Neneng. Tetapi walaupun segala usaha sudah diupayakan, neneng tak kunjung sembuh. Tuhan mengambil Neneng tepat di usianya yang keenam belas tahun. Orang tua Eras tak kunjung berniat baik pada Kadul dan Eras. Ia terus saja menghina apa yang sudah terjadi. Ditambah lagi usaha Kadul mulai berantakan kembali. Usaha rongsokan bosnya gulung tikar. Padahal saat itu ia menjadi orang kepercayaan bosnya, dan dipercaya untuk memegang satu gudang rongsokan untuk dikelolanya. Ia kehilangan pekerjaan. Uang yang ditabungnya sejak dulu untuk membangun usaha, habis untuk mengobati Neneng. Penghasilan keluarga itu hanya dari Eras sekarang. Ia mengajar di salah satu sekolah negeri di kota. Tentu itu semua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena gaji yang ia dapatkan hanya seberapa. Berulang kali ia mengikuti tes calon pegawai negeri sipil, tetapi tak kunjung berbuah usahanya.

Badan Eras kini semakin kisut menanggung penderitaan. Padahal usianya masih terbilang muda. Tiga puluh enam tahun. Dari hari ke hari, keluarga ini seperti semakin berada dalam kesulitan. Orang tua Eras mulai kembali menyayangi Eras. Ia mulai kembali menelpon Eras, menanyakan kabar, dan menyuruh ia pulang. Pernah, pada suatu sore ia meminta izin kepada Kadul untuk menemui ibunya, Kadul dengan senang hati mengijinkan. Ia menginap satu hari di sana, dan tak lagi mau mneginap jika hanya dipanas-panasi sebuah perceraian, dengan imingiming laki-laki muda, tampan, dan juga kaya. Eras tentu saja memilih setia kepada kadul. Segala aral melintang kehidupan rumah tangga mereka, sudah membuat Eras dan Kadul tidak memikirkan untuk mencari pasagan kembali, justru mereka semakin kokoh berdiri. Usia mereka kian menua. Selama hidupnya tak pernah lagi mereka dihadiahi anak oleh Sang Pencipta. Eras sering sakit-sakitan sekarang. Batuknya tidak sembuh-sembuh. Sudah tidak ada uang untuk berobat ke dokter. Ia hanya meminum tuak bitung yang ditadahnya semalaman di depan rumahnya. Kadul bekerja pada tetangganya, Itok. Tetapi penghasilannya tak melebihi penghasilan istrinya, bahkan nyaris kurang. Hanya cukup untuk membeli beras dan lauk saja. Kadul terus berusaha memilih dan memilah kertas hari itu. sesekali ia berhenti dan memandang ke arah jalan pulang dengan tatapan berat dan kosong. Di rumah, Eras sedang bertarung, berjuang menghadap Tuhan dalam ketenangan dan kesenangan. Tersimpul senmburat senyum di bibir Eras. Ia berpulang.

# Terinspirasi dari cerpen Hasan Al Banna berjudul Tiurmaida. Yogyakarta, 2013-2014

Anda mungkin juga menyukai