Anda di halaman 1dari 10

ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI

1. Latar Belakang Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Hukum banyak sekali jenis dan turunannya, salah satunya adalah hukum bangunan dimana hukum yang mengatur tentang bangunan yang dibangun oleh manusia. Proses Kegiatan yang dilakukan oleh manusia bertolak pada salah satu prasarana penunjang dalam hal komponen fisik bangunan untuk dapat mengerjakan serta mengembangkan berbagai usahanya. Hingga saat ini kita dapat melihat bahwa pembangunan disegala bidang sedang giat-giatnya dilaksanakan baik proyek fisik berupa gedung, rumah, dsb maupun berupa nonfisik berupa fasilitas-fasilitas umum. Dari pelaksanaan proyek tersebut banyak tujuan (Goal Setting) yang dapat dicapai, namun harus kita akui juga, bahwa ada banyak proyek-proyek yang tidak berhasil bahkan gagal sama sekali. Kegagalan suatu proyek dapat dilihat dengan adanya proyek-proyek yang terlambat penyelesaiannya baik ditinjau dari segi waktu (time), biaya (Cost), dan mutu hasil pengerjaan (Quality Project), atau dalam hal lain dikarenakan tidak berfungsinya suatu bangunan sebagaimana awalnya perencanaannya (baik karena perubahan lingkungan, orang-orang yang terlibat, dsb), dan juga buruknya bangunan yang rusak dalam waktu yang relatif singkat (tidak mencapai umur rencana) setelah proyek selesai dikerjakan, hal ini tentunya memberi dampak pada pemborosan dana pembangunan. Tingkat keberhasilan ataupun kegagalan suatu proyek akan banyak ditentukan oleh pihak-pihak yang terkait secara tidak langsung (Dalam hal ini bisa pemilik proyek, badan swasta, dan pemerintah) maupun secara langsung yang dalam hal ini, yaitu Penyedia barang dan jasa (Kontraktor Pelaksana, Konsultan perencana, Konsultan pengawas) dalam suatu siklus/ tahapan manajemen meliputi Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing),

Pengisian staff (Staffing), pengarahan (Directing), pelaksanaan, pengendalian (controling), dan pengawasan (supervising). Proses pelaksanaan suatu proyek perlu melihat pada bagaimana suatu proyek pembangunan tersebut dapat dikerjakan secara efektif dan efisien dalam pencapaian suatu kebutuhan. Pengerjaan secara efektif dimaksudkan bahwa perlu adanya pengaktifan

semaksimal mungkin sumber daya yang ada (bahan, peralatan, material, dan pekerja), dan efisien dimaksudkan untuk meminimalkan segala biaya yang diperlukan untuk suatu proyek. Secara garis besar proses ini dapat berjalan dengan baik, jika pihak pelaksana proyek dapat memaksimalkan segala perihal yang mendukung pengerjaan tersebut, serta adanya hubungan kerja yang baik dengan fungsi-fungsi kerja yang lain. Pelaksanaan suatu proyek selalu didasari pada suatu kontrak kerja. dimana sebelumnya suatu suatu proses Pra kontrak. Kegiatan pra kontrak meliputi segala proses persiapan dan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi (Tender) baik melalui Pelelangan umum dan pelelangan terbatas. Globalisasi perdagangan bebas telah mengkaitkan, bahwa setiap kegiatan yang menjadi komoditi transaksi dalam perdagangan antar individu, antar regional dan antar negara harus menggunakan standar mutu, baik standar mutu produk, standar sistem, standar proses maupun standar keselamatan, standar kesehatan, standar keamanan, standar lingkungan dan lain-lainnya. Yang harus diatur dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada standar internasional yang ada. Komoditi produk yang diperdagangkan harus mencapai standar mutu yang telah disepakati bersama oleh semua pihak dan masyarakat dunia. Barang siapa yang tidak mampu memenuhi standar mutu tersebut tidak akan mampu bersaing, bahkan tidak akan dibeli orang. Globalisasi perdagangan ini telah melanda semua sektor, baik sektor produk barang maupun produk jasa. Tak ketinggalan produk jasa pelayanan konsultan yang dihasilkan atas dasar interaksi penggunaan pikiran manusia (man braind) sebagai output yang dihasilkan dari sekelompok orang yang menghasilkan produk jasa konsultan tersebut. Untuk mencapai mutu produk jasa konsultan yang mampu memuaskan pelanggan, maka setiap badan usaha konsultan dituntut untuk memiliki kemampuan kompetitif yang berdasarkan pada paradigma sebagai berikut 1. Pencapaian tingkat harapan pelanggan yang menyangkut kinerja (performance) konsultan, 2. Peningkatan efisiensi dalam pesaingan (competitifness) diantara para konsultan, 3. Manajemen badan usaha konsultan yang harus bersifat progresif fleksibel,

4. Berorientasi pada kemampuan kompetisi (competitifness oriented), bukan profit oriented. Peningkatan kinerja konsultan yang secara terus menerus pada zaman kini merupakan tantangan, mengingat jumlah badan usaha konsultan yang mengikuti persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin banyak pula. Dituntut setiap konsultan harus mampu menekan biaya seefisien mungkin, sehingga mampu memberikan penawaran harga yang bersaing, tetapi tetap memberikan jasa sesuai standar, spesifikasi teknis dan harapan pelanggan yang telah ditetapkan. Memperhatikan kondisi yang menuju efisiensi tersebut, maka setiap badan usaha harus mengubah orientasinya dalam kemampuan bersaing (competitifness oriented) dengan pandai-pandai memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin. Tidak lagi berorientasi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (profit oeriented) yang bakal menjadikan kalah bersaing, sehingga selalu menemui kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Setiap pelaku usaha jasa konsultan harus mencermati kondisi akibat globalisasi ini. 2. Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, di mana pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, dirasakan perlu pengaturan secara rinci dan jelas mengenai jasa konstruksi, yang kemudian dituangkan dalam di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi). 2.1. Jasa Konstruksi Secara Umum Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi

dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. 2.2. Perizinan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Penyedia jasa konstruksi yang berbentuk badan usaha harus (i) memenuhi ketentuan perizinan usaha di bidang jasa konstruksi dan (ii) memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Berkenaan dengan izin usaha jasa konstruksi, telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 28/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 28/2000 (PP 4/2010) dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional. Pengikatan Suatu Pekerjaan Konstruksi Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas, dan dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Berkenaan dengan tata cara pemilihan penyedia jasa ini, telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP 29/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 29/2000.

2.3. Kontrak Kerja Konstruksi Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai (i) para pihak; (ii) rumusan pekerjaan; (iii) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan; (iv) tenaga ahli; (v) hak dan kewajiban para pihak; (vi) tata cara pembayaran; (vii) cidera janji; (viii) penyelesaian perselisihan; (ix) pemutusan kontrak kerja konstruksi; (x) keadaan memaksa (force majeure); (xi) kegagalan bangunan; (xii) perlindungan pekerja; (xiii) aspek lingkungan. Sehubungan dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. Uraian mengenai rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan. 3. Aspek Hukum dalam penanganan masalah kerusakan Prasarana dan Bangunan

3.1. Pengertian Kerusakan Bangunan 3.1.1. Kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan Menurut Peraturan Pemerintah No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dibedakan dua macam kerusakan yang dapat terjadi pada suatu bangunan sejak saat dibangun hingga selesai (masa konstruksi) maupun peristiwa yang terjadi setelah bangunan tersebut diserah terimakan.

Kedua kejadian tersebut masing-masing dinamakan : a. Kegagalan Konstruksi : Hasil pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis (sebagian atau seluruhnya) akibat kesalahan Pengguna Jasa / Penyedia Jasa (Pasal 31). b. Kegagalan Bangunan : Keadaan bangunan yang tidak berfungsi sebagian/seluruhnya dari segi teknis, manfaat, keselamatan, kesehatan kerja atau keselamatan umum akibat kesalahan Pengguna Jasa / Penyedia Jasa setelah Serah Terima Akhir (Pasal 34). Dari kedua pengertian tersebut diatas terlihat bahwa : terdapat 2 macam kegagalan yang terjadi menurut waktu kejadiannya yaitu disebut kegagalan konstruksi jika hal tersebut terjadi selama masa konstruksi, dimana bangunannya sendiri belum selesai. Kegagalan jenis kedua adalah apa yang disebut kegagalan bangunan yang terjadi setelah serah terima akhir pekerjaan. Baik kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan menurut Peraturan Pemerintah terjadi karena kesalahan Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa. 3.1.2. Kegagalan lawan kerusakan Kerusakan konstruksi dan bangunan yang terjadi akibat gempa baru-baru ini tidak serta merta dapat dikatakan sebagai bencana alam (natural disaster) murni tanpa menyelidiki lebih mendalam kemungkinan terdapat kesalahan manusia (human error). Mungkin saja gempa bumi tersebut untuk bangunan tertentu hanya merupakan pemicu (trigger) dari kerusakan bangunan tersebut. Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa bangunan tersebut secara struktural memang tidak memenuhi syarat antara lain karena tidak memperhitungkan faktor gempa atau dalam perhitungan struktur menggunakan angka keamanan yang sangat kecil. Jika laporan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh para pakar dibidang teknik struktur, ahli gempa dari suatu Lembaga yang berkompeten dan independen seperti Laboratorium Struktur Fakultas Teknik UGM menyimpulkan bahwa kerusakan konstruksi dan bangunan tersebut misalnya karena gempa bumi yang terjadi melebihi intensitas gempa yang telah diperhitungkan dalam analisis struktur bangunan tersebut, maka kerusakan yang terjadi adalah murni suatu bencana alam dan bukan kelalaian atau kesalahan manusia (human error).

Berdasarkan informasi dari Laboratorium Stuktur FT-UGM, gempa yang terjadi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya baru-baru ini bersifat tiga dimensi (berbeda dengan gaya gempa yang pada umumnya bersifat lateral). Bila hal ini terjadi maka baik Pengguna Jasa maupun Penyedia Jasa secara hukum bebas dari tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karena kerusakan tersebut murni sebagai bencana alam. Sebaliknya jika terbukti bahwa bangunan tersebut tidak sanggup menahan gaya gempa karena faktor gempa memang tidak dimasukkan kedalam perhitungan analisis struktur atau perhitungan strukturnya sendiri secara keseluruhan memang tidak memenuhi syarat, maka kerusakan yang terjadi tidak dapat digolongkan sebagai kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan.

3.1.3. Kategori kerusakan Dari uraian tersebut dalam butir 2.2 dapat disimpulkan bahwa: a. walaupun akibat yang timbul adalah sama yaitu terjadi kerusakan terhadap konstruksi dan bangunan namun penyebab kejadian tersebut berbeda dan hal ini menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda pula. b. Jika kerusakan terjadi, murni karena gempa bumi yang sesungguhnya sudah diperhitungkan dalam analisis struktur namun tetap terjadi diluar kekuasaan manusia maka peristiwa tersebut digolongkan sebagai kerusakan konstruksi (construction damage) atau kerusakan bangunan (building damage). c. Sebaliknya kerusakan yang terjadi karena kelalaian manusia yang tidak memperhitungkan faktor gempa sehingga tidak mampu mengantisipasi gempa, maka peristiwa tersebut digolongkan sebagai kegagalan konstruksi (construction failure) atau kegagalan bangunan (building failure). d. Secara hukum jika terjadi kerusakan konstruksi atau kerusakan bangunan tidak ada pihak yang dapat di tuntut atau diminta pertanggung jawaban karena hal tersebut merupakan bencana alam. e. Namun jika terjadi kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan maka pihak yang melakukan kesalahan akan ditindak secara hukum sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku antara lain Peraturan Pemerintah No. 29/2000 Pasal 32 ayat 2 dan Pasal 40 ayat 2.

3.2. Sebab-sebab Kerusakan Konstruksi


3.2.1. Sebab alamiah Secara awam dan kasat mata dapat dikatakan bahwa kerusakan atau kegagalan atas prasarana dan bangunan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya terjadi akibat gempa bumi yang merupakan bencana alam. 3.2.2. Sebab yang sesungguhnya Sebab-sebab yang sesungguhnya dari kerusakan tersebut setelah diselidiki dan diteliti secara mendalam adalah sebagai berikut : a. Kesalahan atau kelalaian manusia yaitu: - dalam perencanaan : tidak memperhitungkan faktor gempa atau perhitungan struktur yang kurang. - dalam pelaksanaan : pengurangan mutu sehingga tidak sesuai perencanaan dan spesifikasi teknis. - dalam penggunaan bahan : bahan bermutu rendah. b. Murni karena gempa bumi (bencana alam) yang sesungguhnya telah diantisipasi namun tetap tidak dapat diatasi karena sifat gempa yang terjadi berbeda dengan yang biasa terjadi. 3.4. Tanggung Jawab Terhadap Kerusakan 3.4.1 Tanggung jawab terhadap kegagalan konstruksi Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 32 dan Pasal 33 mengatur mengenai tanggung jawab atas kegagalan konstruksi yang secara ringkas menyatakan sebagai berikut : a) Baik Perencana konstruksi, Pelaksana Konstruksi maupun Pengawas Konstruksi bebas dari kewajiban mengganti/memperbaiki kegagalan konstruksi karena kesalahan pihak lain (Pasal 32 ayat 1, ayat 2 dan 3) b) Penyedia Jasa wajib mengganti/memperbaiki kegagalan konstruksi karena kesalahan sendiri atas biaya sendiri (Pasal 32 ayat 4). c) Pemerintah berwewenang mengambil tindakan tertentu bila kegagalan konstruksi merugikan/mengganggu keselamatan umum (Pasal 33). 3.4.2 Tanggung jawab terhadap kegagalan bangunan Selanjutnya Peraturan Pemerintah yang sama Pasal 40 dan Pasal 41 mengatur mengenai tanggung jawab atas kegagalan bangunan sebagai berikut : a) Perencana Konstruksi wajib menyatakan dengan tegas dan jelas tentang umur konstruksi yang direncanakan dan bila terjadi kegagalan bangunan karena kesalahannya maka dia hanya

bertanggungjawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaan yang belum/tidak diubah (Pasal 40 ayat 1 dan 2). b) Bila terjadi kegagalan bangunan karena kesalahan Pelaksana Konstruksi atau Pengawas Konstrusi maka tanggungjawab berupa sanksi dan ganti rugi dikenakan pada yang menandatangani kontrak (Pasal 40 ayat 3 dan 4). c) Pelaksana Konstruksi wajib menyimpan dan memelihara dokumen pelaksanaan sebagai alat bantu jika terjadi kegagalan bangunan (Pasal 41 ayat 1). Dari uraian tersebut butir 3.4.1 dan 3.4.2 terlihat bahwa Peraturan Pemerintah No. 29/2000 tersebut hanya mengatur mengenai tanggung jawab terhadap kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan yang terjadi karena kesalahan manusia (Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa). Jadi apabila terbukti (berdasarkan penyelidikan) bahwa kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa di Yogyakarta baru-baru ini dapat digolongkan sebagai kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan maka ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku. 3.4.3 Syarat-syarat Umum (AV) 41 Pasal 54 Suatu hal yang cukup menarik untuk direnungkan adalah tentang tanggung jawab atas konstruksi berdasarkan ketentuan Syarat-Syarat Umum (AV) 41 Pasal 54 ayat 1 c tentang Tanggung Jawab Penyedia Jasa yang berbunyi kurang lebih : Penyedia Jasa bertanggung jawab terhadap bangunan selama 5 (lima) tahun sejak serah terima akhir jika :Rencana dibuat Pengguna Jasa namun seharusnya secara wajar Penyedia Jasa mengetahui sebelumnya bahwa rencana tersebut kurang sempurna dan perlu dirubah tapi hal tersebut tidak dilaporkan kepada Pengguna Jasa. Ketentuan tersebut sangat menarik dimana suatu Penyedia Jasa dituntut untuk memiliki profesionalisme yang memadai walaupun bukan dia yang membuat perencanaan dan hal ini telah diatur pada tahun 1941 (65 tahun yang lalu). Sayang sekali ketentuan yang sangat baik ini tidak terdapat lagi dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18/1999 dan PP No. 29/2000. 3.5. Ganti Rugi Atas Kegagalan Bangunan 3.5.1 Ganti rugi melalui asuransi Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 46, 47 dan 48 mengatur mengenai ganti rugi dalam hal terjadi kegagalan bangunan yang secara singkat berbunyi antara lain : Pelaksanaan ganti rugi melalui pihak ketiga/asuransi (Pasal 46 ayat 1), besarnya kerugian ditetapkan oleh penilai ahli yang bersifat final dan mengikat (Pasal 47), biaya penilai ahli

menjadi beban pihak yang bersalah (Pasal 48 ayat 1) dan selama penilai ahli bertugas biaya pendahuluan ditanggung Pengguna Jasa (Pasal 48 ayat 2) . Dari uraian tersebut dalam butir 3.5.1 terlihat bahwa PP No. 29/2000 hanya mengatur ganti rugi melalui asuransi yang disepakati dalam kontrak kerja konstruksi.

3.6. Peran dan Fungsi Forensic Engineering 3.6.1 Peran dan fungsi secara umum Secara garis besar peran dan fungsi Forensic Engineering dalam penanggulangan kerusakan kegagalan bangunan adalah sebagai berikut : a. Sebagai langkah darurat, atas permintaan pemilik bangunan memeriksa dan menyelidiki kelayakan bangunan dan menetapkan apakah suatu bangunan atau prasarana yang mengalami kerusakan tersebut akibat gempa, masih layak huni atau layak pakai dan memberikan petunjuk-petunjuk mengenai langkah-langkah pengamanan darurat atas bagian yang mengalami kerusakan. b. Atas permintaan pemilik bangunan atau Perusahaan Asuransi meneliti lebih lanjut tingkat kerusakan bangunan dan cara-cara perbaikan serta membuat perhitungan biaya perbaikan bangunan. c. Meneliti lebih lanjut (atas permintaan pemilik bangunan) sebab-sebab yang sesungguhnya terjadi kerusakan dengan meneliti seluruh perhitungan struktur, melakukan serangkaian pengetesan termasuk pengetesan tanpa merusak komponen bangunan (Non Destructive Test) dengan Ultra Sono Grafi (USG), Hammer Test dan lain-lain. d. Menyusun laporan lengkap mengenai sebab-sebab kerusakan dan menetapkan pihak yang bertanggung jawab mengenai terjadinya kerusakan disertai rekomendasi perbaikan gedung tersebut secara menyeluruh. 3.6.2 Pengertian Forensic Engineering Rangkaian penyelidikan dan penelitian tersebut dalam butir 3.6.1 dilakukan oleh para pakar di bidang teknik struktur, gempa bumi, geologi dan sebagainya dari suatu Laboratorium Strukstur yang dikenal dengan istilah Forensic Engineering. Di Indonesia Perguruan Tinggi yang telah memiliki peralatan pengetesan untuk kegiatan Forensic Engineering adalah Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai