Anda di halaman 1dari 40

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).1 Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). !aka untuk itulah dalam mengatur hubungan"

hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodi#ikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodi#ikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum. Seiring perkembangan $aman permasalahan di bidang hukumpun semakin hari semakin rumit dan kompleks. %hususnya lagi dalam hukum pidana yang mencita" citakan lahirnya sebuah kodi#ikasi baru pengganti %itab &ndang"undang Hukum 'idana (selanjutnya disebut %&H' saja) (arisan kolonial yang telah terlalu jauh tertinggal oleh $aman. 'atut dicatat, pembaharuan hukum pidana selalu menimbulkan
1

)arji )armodiharjo * Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, '.+. ,ramedia 'ustaka &tama, -akarta, 1../, hlm. 01. 2.-. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, '.+. 'radnya 'aramita, -akarta, 333, hlm. 4.

pertentangan"pertentangan pendapat yang tidak hanya terjadi antara para ahli hukum saja melainkan juga melahirkan pertentangan di tengah masyarakat. 'ertentangan yang terjadi tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum pidana ( penal reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan deliknya namun juga mencakup kebijakan criminal (criminal policy) yang merupakan persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya perkembangan5kecendrungan kejahatan (crime trend). Hukum pidana yang domeinnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat. 6ontoh kecil yang dapat kita lihat ialah bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap (acana penegasan ancaman pidana mati terhadap terhadap para koruptor. !enurut Hegel 7egara ialah realitas 8 oh9 atau kesadaran, yang menja(ab pertentangan dalam masyarakat. +anpa 7egara pertentangan yang ada di dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan. 1 !aka menyikapi permasalahan dan

pertentangan yang terjadi di dalam pembaharuan hukum pidana, 7egaralah yang harus mengambil kebijakan guna mencegah terjadi pertentangan yang semakin meluas yang bukannya mendatangkan solusi melainkan melahirkan debat kusir yang tak bermakna. Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam domein hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positi# maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana). Sebagaimana diketahui eksistensi lembaga pidana pidana mati dituangkan dalam %&H', yang secara terperinci menyatakan sebagai berikut : Pasal 10. 'idana terdiri atas:
1

)arsono ', !arl "ar# $konomi Politik dan Aksi- e%olusi, )iadit !edia, -akarta, 334, hlm. 1.

a. 'idana pokok : 1. pidana mati, . pidana penjara, 1. kurungan, ;. denda. b. 'idana tambahan 1. pencabutan hak"hak tertentu, . perampasan barang"barang tertentu, 1. pengumuman putusan hakim. ; <erdasarkan uraian pasal 13 %&H' tersebut dapatlah diketahui bah(a lembaga pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas keberadaannya sebagai bagian dari hukuman (pidana) yang dapat dijatuhkan. 'ro dan kontra mengenai pidana mati bukanlah suatu pertentangan yang baru timbul di tengah masyarakat luas dan para ahli hukum namun telah terjadi semenjak dahulu dan sebagai bukti, persoalan ini pernah diangkat oleh -.=.Sahetapy dalam skripsinya yang berjudul 8'idana !ati dalam 7egara 'ancasila9 (telah dipublikasikan dalam judul yang sama). Apakah pidana mati hanya merupakan suatu alasan murah bagi penguasa 7egara sebagai alat penegak untuk mempertahankan tertib hukum dalam memberantas penjahat"penjahat ulung dan berkaliber besar dengan ancaman maut, belum termasuk da#tar perghitungan terhadap orang"orang yang tak dapat dikenakan baju penjahat karena mereka adalah seperti la$im diberi julukan penjahat politik
/

merupakan salah satu alasan beliau untuk mempermasalahkan pidana mati

dalam tulisannya mengenai eksitensi pidana mati di 7egara 'ancasila (baca >ndonesia). Selayaknya %&H' yang diberlakukan secara umum di keseluruhan (ilayah ?epublik >ndonesia sejak tanggal . September 1./@ (berdasarkan && 7o. 01 +ahun 1./@, 27 +ahun 1./@ 7o. 1 0), maka pidana mati beserta pidana lainnya seperti yang termuat dalam pasal 13 %&H' juga berlaku secara keseluruhan di (ilayah ?epublik
; /

!oeljatno, !itab &ndang &ndang Hukum Pidana, <umi Aksara, -akarta, 33/, hlm. /"4. -.=. Sahetapy, Pidana "ati dalam 'egara Pancasila, '.+. 6itra Aditya <akti, <andung, 330, hlm. /"4.

>ndonesia (asas teritorialitas). Sebelumnya %&H' juga diberlakukan di >ndonesia namun didasarkan atas hukum transitoir (pasal >> Aturan 'eralihan &ndang"&ndang )asar 1.;/) dan masih kental nuansa dualismenya. &ni#ikasi hukum pidana nasional ini menimbulkan suatu kejanggalan karena sebagaimana diketahui %&H' yang merupakan (arisan kolonial (cerminan A.v.S. dari <elanda) tersebut masih memberlakukan pidana mati sedangkan <elanda sebagai 7egara kiblat %&H' 7asional kita telah menghapuskan ancama pidana mati sebagai hukuman (pidana) yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang dianggap bersalah oleh pengadilan dalam (rimineel )etboek nya (%&H' <elanda). !emang tidak ada suatu keharusan untuk menerapkan hukum pidana di >ndonesia harus seutuhnya sama dengan 7egara yang menjadi kiblat hukum pidana nasional kita, namun karena pidana mati berkaitan dengan hak hidup seseorang maka tentu menimbulkan pertentangan yang melahirkan pro kontra atau silang pendapat antara para ahli hukum pidana yang sampai pada saat ini belum jelas akhirnya. Aajar pertentangan tersebut muncul, namun perlu sekali lagi digaris ba(ahi bah(a 7egara tentu mempunyai pertimbangan khusus memberlakukan pidana mati dalam hukum pidana kita sebagaimana tertuang dalam pasal 13 huru# a angka 1 %&H' tersebut. Simons dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan, masalah adil"tidaknya hukuman mati itu tidaklah dapat dipersoalkan, apabila sudah jelas bah(a tanpa hukuman tersebut ketertiban hukum tidak dapat dipertahankan.4 !aka berdasarkan pendapat Simons tersebut jelas di sini bah(a keberadaan lembaga pidana mati

merupakan kebutuhan yang mutlak pada saat itu, mengingat keberadaan 7egara >ndonesia yang belum stabil saat itu dan bila dilihat dari segi adat istiadat di >ndonesia, hukuman (pidana) mati tidaklah bertentangan dengan adat istiadat dan
4

'.AB. 2amintang * ). Simons, !itab Pela*aran Hukum Pidana +,eerboek -an Het 'ederlanches .trafrecht), 'ionir -aya, <andung, 1.. , hlm. 1.1.

hukum agama, khususnya hukum pidana >slam yang juga mengenal adanya hukuman mati (yang mana mayoritas Aarga 7egara >ndonesia merupakan penganut agama >slam). Adapun pengaturan tentang pidana mati yang diatur dalam beberapa pasal di %&H' yaitu pasal 13;C pasal 111 ayat ( )C pasal 1 ; ayat (1)C pasal 1 ; bisC pasal 1;3 ayat (1)C pasal 1;3C pasal 14/ ayat (;)C pasal ;;;C pasal ;0.k ayat ( ) dan pasal ;0.o ayat ( ), sedangkan aturan di luar %&H' yang mengatur tentang pidana mati antara lain terangkum dalam &ndang"&ndang 7omor / +ahun 1..0 +entang 'sikotropika (pasal /. ayat ( ))C &ndang"&ndang 7omor +ahun 1..0 +entang 7arkotika (pasal

@3 ayat (1) huru# aC pasal @3 ayat ( ) huru# bC pasal @3 ayat (1) huru# aC pasal @ ayat (1) huru# aC pasal @ ayat ( ) huru# aC pasal @ ayat (1) huru# &ndang"&ndang 331), &ndang"&ndang

'emberantasan +indak 'idana %orupsi (tahun 1... *

'engadilan HA! (tahun 333) dan &ndang"&ndang 'emberantasan +indak 'idana +erorisme (tahun 331). 'enjatuhan pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (e#traordinary crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bah(a ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup 0 (baca dipidana mati). Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah ?. Santoso 'oedjosoebroto yang merupakan mantan (akil ketua !ahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan,@ namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah

0 @

2eden !arpaung, Asas-/eori-Praktik Hukum Pidana, Sinar ,ra#ika, -akarta, 33/, hlm. 13/. )joko 'rakoso * 7ur(achid, .tudi /entang Pendapat-Pendapat "engenai $fekti%itas Pidana "ati di Indonesia 0e1asa Ini, ,halia >ndonesia, -akarta, 1.@;, hal /0.

diperhatikan hal"hal yang berkaitan dengan hak"hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan. +idak dapat dipungkiri masih banyak ahli yang tak sependapat dengan hal tersebut, namun keberadaan lembaga pidana mati haruslah dihargai dalam kedudukannya sebagai suatu bagian dari hukum pidana positi# >ndonesia. Selain Sahetapy, masih banyak ahli yang menentang atau kontra terhadap eksistensi lembaga pidana mati (namun tidak sepenuhnya menentang konsep pidana mati yang tertuang ?%&H') di >ndonesia yang salah satunya adalah Sudarto yang berpendapat : Hilangnya nya(a berarti hilangnya manusia itu sendiri. Adakah alasan yang cukup kuat untuk menghilangkan nya(a manusia itu sendiri D %ekeliruan dari pengadilan selalu dapat terjadi, dan kalau hal ini terjadi dalam penjatuhan hukuman mati, maka tidak ada kemungkinan lain sama sekali untuk memperbaiki. !an#aat dari pidana ini sangat diragukan.. %eberadaan pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang terjadi di >ndonesia namun juga terjadi di banyak 7egara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Eon Henting yang secara terang"terangan menolak mengenai

keberadaan lembaga pidana mati. <eliau berpendapat, ada pengaruh yang kriminogen dari pada pidana mati ini terutama sekali disebabkan karena 7egara telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut sebenarnya 7egaralah yang berke(ajiban untuk mempertahankan nya(a manusia, dalam keadaan yang bagaimanapun.13 Selain mengenai hilangnya hak untuk hidup seseorang, pidana mati juga menimbulkan permasalahan lain yang tak kalah pelik dan juga memiliki keterkaitan erat dengan ranah hak asasi manusia yaitu mengenai kapan pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan. 'eristi(a ini terjadi dikarenakan di >ndonesia tidak ada peraturan yang mengatur limit (batas) (aktu pelaksanaan eksekusi terhadap si terpidana. Hai inilah
. 13

ibib2, , hlm. 11 ibid2, hlm. 1 0.

yang mengakibatkan terjadinya suatu 8kumulasi pidana9. Secara normati#, kumulasi pidana ini tidak akan pernah didapati dasar hukum dan pengakuan mengenai keberadaannya, namun di dalam prakteknya akan sering kali diketumukan. !aka dapat penulis katakan bah(a penundaan eksekusi yang terlalu lama menyebabkan terjadinya 8kumulasi pidana9 penjara dan pidana mati terhadap si terpidana. <ila di lihat secara riil memang hal tersebut di atas mempunyai sisi positi# bagi si terdak(a, namun bila secara cermat diamati akan terlihat hal tersebut lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada keuntungan bagi si terdak(a. 6ontoh konkrit yang dapat kita lihat dari kasus %usni %asdut dan Hengki +upana(aei yang menunggu selama lebih kurang / tahun, terlepas dari aspek yuridis sesungguhnya merupakan pemidanaan tersendiri. Apalagi impliksai sosiologisnya : menunggu kematian selama / tahun.11 -elaslah di sini bah(a penundaan eksekusi pidana mati merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap penderitaan yang dialami oleh si terpidana. Selain itu, dalam keberadaan terpidana mati di 2embaga 'emasyarakatan menjelang pelaksanaan eksekusi yang tak jelas kapan (aktunya tersebut tentu memposisiskan si terdak(a selayaknya narapidana, bahkan si terpidana mati dipastikan akan jauh lebih banyak kehilangan hak"haknya di balik tembok tinggi tersebut dibandingkan narapidana penghuni 2embaga 'emasyarakatan dikarenakan sistem pengamanan dan penga(asan yang jauh lebih ketat pasti akan diterapkan terhadapnya. Analisis terhadap uraian di atas menunjukkan dengan jelas adanya 8pemerkosaan9 hak asasi manusia yang terjadi terhadap hak"hak si terpidana mati. Hipotesa tersebut muncul karena menurut &ndang"&ndang Hak Asasi !anusia setiap orang diberikan hak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin1 . -aminan tersebut juga merupakan conditio sine 3ua non (syarat mutlak yang
11 1

-.=. Sahetapy, 4p2(it, hlm. 00. 'asal . ayat ( ) &ndang"&ndang 7omor 1. +ahun 1... +entang Hak Asasi !anusia (2embaran 7egara ?epublik >ndonesia +ahun 1... 7omor 14/).

harus ada) terhadap semua orang termaksud terpidana yang menjalani masa hukuman di 2embaga 'emasyarakatan (alaupun ada batasan tertentu yang dapat dilanggar. <erdasarkan hal tersebut, timbullah pertanyaan, dapatkah jaminan tersebut kita temui pada perasaan sanubari setiap terpidana mati yang sampai sekarang gundah menunggu kapan maut dihadapakan padanya. %ontradiksi yang sebagaimana tersebut di atas, memang juga terjadi pada penerapan pidana mati, namun dengan adanya putusan !ahkamah %onstitusi terhadap uji materil keabsahan pidana mati yang diatur dalam && 7o +ahun 1..0

tentang 7arkotika yang memutuskan bah(a pidana mati tidaklah bertentangan dengan &&) 1.;/ (uji materil dimohonkan oleh pelaku kasus tindak pidana narkotika) jelas mementalkan penolakan terhadap keberadaan lembaga pidana mati di >ndonesia. <erbeda dengan kumulasi yang disebutkan penulis di atas yang jelas"jelas memperkosa hak asasi si terpidana mati karena tidak ada kepastian hukum yang menentukan kapan regu tembak akan di hadapkan padanya yang sudah barang tentu merampas rasa keadilan bagi si terpidana mati. !engutip apa yang dituliskan oleh <ung %arno, $aman akan menjadi hakim dan $aman akan menentukan siapa yang benar.11 Sungguh benar apa yang dikatakan oleh <ung %arno dan menurut penulis saat ($aman) inilah bangsa ini harus menja(ab permasalahan 8kumulasi pidana9 tersebut. )engan membiarkan $aman berikutnya memutuskan dan menyelesaikan persoalan ini, maka sama saja dengan membiarkan 8pemerkosaan9 hak asasi manusia terus berlangsung di depan mata kita. B. Masalah Pokok <erdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditetapkan masalah pokok dalam penelitian ini ialah :
11

Soekarno, 0iba1ah Bendera e%olusi, 'anitia 'enerbit )iba(ah <endera ?evolusi, -akarta, 1.4;, hlm. / 1.

1. <agaimanakah +ujuan 'emidanaan >ndonesiaD . <agaimana 'engaturan +entang 'idana 'enjara dan 'idana !ati D 1. <agaimanakah 'ro %ontra 'idana !ati di >ndonesiaD

BAB II TINJAUAN UMUM

A. Tujuan Pem !anaan Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. 'enghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan"alasan pembenar (*ustification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht %an ge(ijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. +entunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh. 'atut diketahui, bah(a tidaklah semua #ilsu# ataupun pakar hukum pidana sepakat bah(a negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan

(sub*ectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat He$e(inkel"Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bah(a si penjahat tidaklah boleh dila(an dan bah(a musuh tidaklah boleh dibenci.1; 'endapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari +uhan. 7egativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap 7egara adalah perpanjangan tangan +uhan di dunia. Sementara itu, de(asa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep"konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran"ajaran agama tertentu. <agi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme ((alaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari"hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak 7egara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum
1;

Airjono 'rodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia , '+. ?e#ika Aditama, <andung, 33@, hlm. 1.

13

pidana positi#. Hal ini dapat terlihat jelas pada 7egara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (#aktor kemajemukan sosial) dan juga pada 7egara"negara lainya. -adi, dapatlah kita berpedoman pada ma$hab (iena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.1/ %embali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bah(a pada prinsipnya tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang la$im dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana : 1. +eori absolut atau teori pembalasan (%ergeldings theorien), . +eori relati# atau teori tujuan (doeltheorien), 1. +eori gabungan (%erenigingstheorien).

Ad 1. +eori absolut atau teori pembalasan (%ergeldings theorien). +eori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan teori ini lahir pada akhir abad ke"1@. !enurut teori"teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana F tidak boleh tidak F tanpa ta(ar"mena(ar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. 14 !aka, pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan. Ada banyak #ilsu# dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori ini, diantaranya ialah >mmanuel %ant, Hegel, Herbart, Stahl, -- ?ousseau. )ari banyak pendapat ahli tersebut penulis tertarik dengan pendapat yang disampaikan Hegel
1/ 14

Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, '+. 'radnya 'aramita, -akarta, 33@, hlm. 40. 'rodjodikoro,,oc2(it2

11

mengenai argumennya terhadap hukuman bila dikolerasikan dengan teori absolut. )imana hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische %ergelding256 Hal ini memperlihatkan bah(a pembalasan (%ergelding) diuraikan dengan nuansa dialektika sebagaimana pola Hegel ber#ilsa#at. -adi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan penjahat akibat perbuatannya. +ujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang, yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan.1@ Ad . +eori relati# atau teori tujuan (doeltheorien). 2ahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi terhadap teori absolut ((alaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk penyempurnaan dari teori absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap penjahat. +eori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan man#aat dari suatu penghukuman (nut %an destraf). +eori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib masyarakat yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Aujud pidana ini berbeda"beda: menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. 2alu dibedakan prevensi umum dan khusus. 'revensi umum menghendaki agar orang"orang pada umumnya tidak melakukan delik.1. Beurbach sebagai salah satu #ilsu# penaganut aliran ini berpendapat pencegahan tidak usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca itu akan membatalkan
10 1@ 1.

!arpaung, ,oc2 (it2 )joko 'rakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, 2iberty, Gogyakarta, 1.@@, hlm. ;0. Andi Ham$ah, 4p2cit2, hlm. 1;.

niat jahatnya. 3 Selain dengan pemberian ancaman hukuman, prevensi umum (general pre%entie) juga dilakukan dengan cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi). =ksekusi yang dimaksud dilangsungkan dengan cara"cara yang kejam agar khalayak umum takut dan tidak melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh si penjahat. Seiring perkembangan $aman, apa yang menjadi substansi tujuan pemidanaan sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan. Salah satu kritikan yang paling mendasar dapat penulis perlihatkan berdasarkan pendapat )e(ey yang menyatakan : <anyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. +erkadang karena mereka mengalasakit ji(a ayau 8feebleminded7 8 atau berbuat diba(ah tekanan emosi yang berat. +erkadang ancaman hukuman itu menjadikan mereka seolah"olah dibujuk. <anyak tahanan yang mengemukakan reaksi keji(aaannya dikala proses dari pelanggaran undang"undang. Semua ini memperlihatkan bah(a sesunggyhnya hanya sedikit yang mempertimbangkan undang"undang penghukuman. 1 'ada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si penjahat agar ia tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Ean Hamel dalam hal ini menunjukkan bah(a prevensi khusus dari suatu pidana ialah : 1. 'idana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya. . 'idana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana. 1. 'idana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. ;. +ujuan satu"satunya pidana ialah mempertahnkan tertib hukum. !aka dapat disimpulkan bah(a dalam teori relati#, negara dalam kedudukannya sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan hukum dengan cara cara prenventi# guna menegakkan tertib hukum dalam masyarakat. Ad 1. +eori gabungan (%erenigingstheorien).
3 1

'rakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, ,oc2 (it2 Sutherland * 6ressey (disadur oleh Sudjono )), /he (ontrol of (rime Hukuman dalam Perkembangan Hukum Pidana, +arsito, <andung, 1.0;, hlm. 4 . Andi Ham$ah, 4p2cit2, hlm. 14.

11

+eori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relati# yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat. )alam teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah dapat diabaikan antara satu dengan yang lainnya. <erdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan tiga bentuk yaitu, teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat. !enurut, Airjono 'rodjodikoro, bagi pembentuk undang"undang hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas. 1 'enulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang disampaikan Airjono 'rodjodikoro dikarenakan nilai"nilai keadilan bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui perpaduan logika dan hati yang terlahir dalam sebuah nurani.

B. P !ana Mat !an P !ana Penjara ! In!ones a 'idana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis"jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positi# >ndonesia. Sebagaimana diketahui kedua bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal ini sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta korelasi

Airjono 'rodjodikoro, 4p2cit2, hlm. ..

1;

kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya. a. 'idana 'enjara 'idana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Satochid %artanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama" sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang"orang yang melanggar undang"undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si narapidana mempunyai beberapa hak istime(a yang tidak dipunyai oleh narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole, sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. <erdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang merampas kemerdekaan barulah dikenal pada a(al abad ke"1@. 'ada saat itu pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. ; >ndonesia sendiri mengenal pidana penjara secara normati# sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie13 )esember 1.10 .taatsblad tahun 1.10 7o. 03@ yang dikenal dengan

9estichtenreglement:; yang berinduk pada )%.2 'ada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di >ndonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan &ndang"&ndang 7omor 1 tahun 1../ +entang

'emasyarakatan dan dan berbagai peraturan diba(ahnya. )alam hal itu, pelaksanaan pidana penjara disesuaikan dengan #ungi pokok 2embaga 'emasyarakatan sebagai
;

)(idja 'riyatno, .istem Pelaksanaan Pidana Pen*ara di Indonesia, ?e#ika Aditama, <andung, 334, hlm. @@. )joko 'rakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, 4p2cit2, hlm. 41.

1/

tempat narapidana dibina selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana juga dikategorikan sebagai (arga binaan 2embaga 'emasyarakata. Adapun #ungsi pokok 2embaga 'emasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota masyarakat yang lain.
4

<erdasarkan pasal 1 ayat (1) %&H', pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu seumur hidup dan selama (aktu tertentu. )ilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersi#at pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka (aktu yang pasti (a definite periode of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini 0. Selain itu, pidana seumur hidup juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. <ahkan ada pendapat seorang terpidana mati ()oris Ann Boster) di salah satu 7egara bagian Amerika Serikat yang secara #rontal menolak pidana penjara seumur hidup. >a menyatakan, bah(a ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur hidup. I 1ant to die or to be free, katanya.
@

!enurut penulis, apa yang disampaikan Boster sangatlah menarik untuk dicermati, dikarenakan hampir sebagia besar terpidana mati memiliki pandangan yang berbeda sengan Boster. 7amun, 'ada pidana penjara selama (aktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut"turut. 'idana penjara selama (aktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut"turut dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan
)alil Adisubroto, Pembinaan 'arapidana sebagai .arana "erealisasikan /u*uan Pidana ,embaga Pemasyarakatan ()isampaikan dalam Seminar 7asional +entang 'emasyarakatan : 'engintegrasian +ujuan 'emidanaan dengan Sistem 'emasyarakatan !endatang. Bakultas Hukum &>> ; -uli 1../. 0 )(idja 'riyatno, 4p2cit2, hlm. 1. @ A. Ham$ah * A. Sumangelipu, Pidana "ati di Indonesia di "asa ,alu, !ini dan di "asa 0epan, ,halia >ndonesia, -akarta, 1.@/, hlm. 0;.
4

14

pidana penjara selama (aktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus), pengulangan (recidi%e) ataupun ditentukan lain oleh aturan perundang"undangan di luar %&H'. Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama (aktu tertentu berdasarkan #ungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial
.

(arga

binaan

pemasyarakatan yang telah melahirakan suatu sistem pembinaan.

<erdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana seumur hidup dan pidana penjara selama (aktu tertentu berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. )alam hal ini, <arda 7a(a(i arie# berpendapat : !engingat si#at5karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan ini. 'idana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara denagn sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan5pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan kepada masyarakat.13 -adi dapat penulis simpulkan bah(a ada ketidak singkronan pada sistem pemasyarakatan dengan bentuk pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah sepatutnya diadakan perbaikan"perbaikan pada pidana penjara sebagai sarana penal yang paling 8laris9 untuk menghindari kekeliruan yang dapat muncul di kemudian hari. b. 'idana !ati <entuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas ji(a seseorang yang melanggar ketentuan undang"undang. 'idana ini juga

merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. +ujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat
. 13

)(idja 'riyatno, 4p2cit2, hlm. 1. <arda 7a(a(i Arie#, Bunga ampai !ebi*akan Hukum Pidana, '+. 6itra Aditya <akti, <andung, 33/, hlm. 1@.

10

memperhatikan bah(a pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.11 <erdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relati# baru di >ndonesia. 'idana ini telah dikenal sejak $aman kerajaan"kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis"jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya : a. mencuri dihukum potong tangan C b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong"motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.1 'elaksanaan eksekusi mati di (ilayah >ndonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas. !isalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di <ali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternati# dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis" jenis eksekusi mati lainnya. )engan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai >rian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di >ndonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bah(a bukan <elanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini. 'enerapan hukum pidana oleh pemerintah <elanda di (ilayah >ndonesia diberlakukan berdasarkan pemberlakuan <)et boek %an .trafrecht7 yang mulai

berlaku pada 1 -anuari 1.1@. 'ada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 13. 'elaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 13 %&H'. %emudian dengan .taatsblad 1.;/ 7omor1 1 yang dikeluarkan oleh pemerintah
11

?. Abdoel )jamali, Pengantar Hukum Indonesia +$disi e%isi), ?aja(ali 'ers, -akarta, 33/, hlm. 1@0. 1 ?. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan &mum dan 0elik-0elik !husus, 'olitea, <ogor,hlm 1;.

1@

<elanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan 'enetapan 'residen 7omor +ahun 1.4; tahun 1.4;, 2embaran 7egara 1.4; 7omor

1@ kemudian ditetapkan menjadi &ndang"undang nomor / +ahun 1.4. yang menetapkan bah(a pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. )alam hal ini eksekusi harus dihadiri -aksa (%epala %ejaksaan 7egeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian. 'atut diketahui bah(a pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada 'residen. 'elaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat e#ecutie (persetujuan 'residen). !aka jelaslah disini bah(a pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang"orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan

membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun !engenai korelasi pidana penjara secara normati# tidak ada kaitanya sama sekali, hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi 7egara untuk merampas kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri. <erdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan 7egara sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap terpidana mati. )ikatakan demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam (aktu yang relati# lama. !aka di 7egara ini seolah"olah sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan dia(ali pidana penjara terlebih dahulu, lalu

1.

barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana mati. 'ermasalahan ini menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada pidana mati. %ini topik pemberitaan seolah"olah bergeser menyangkut problematika penundaan eksekusi pidana mati.11 Oleh beberapa alasan yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap eksistensi mengenai lembaga pidana mati.

". Pro #ontra P !ana Mat ! In!ones a 'idana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. 'ro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di >ndonesia, namun terjadi hampir di seluruh 7egara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional. %ecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang"orang yang dianggap

membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati la$imnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim Selanjutnya, penulis akan menguraikan berbagai "alasan dan para ahli yang pro (mendukung) maupun kontra terhadap pidana mati, serta pandangan penulis mengenai eksistensi lembaga pidana mati.

11

-.=. sahetapy, 4p2cit2, hlm 0/.

Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah -onkers, 2ambroso, ,aro#alo, Ha$e(inkel Suringa, Ean Hanttum, <arda 7ama(i Arie#, Oemar Senoadji, dan +.< Simatupang. -onkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bah(a 8alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan9 bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan 9pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan"alasan yang benar.91; Selanjutnya, 2ambroso dan ,aro#alo berpendapat bah(a pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.1/ >ndividu itu tentunya adalah orang"orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (e#traordinary crime) 'ada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam (aktu yang singkat. 'enulis bergumen seperti itu didasarkan pendapat Suringa yang menyatakan bah(a pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakanya.14 Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional <arda 7a(a(i Arie# secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bah(a pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan %&H' 7asional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan : 8bah(a (alaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersi#at

1; 1/

A. Ham$ah * A. Sumangelipu, 4p2cit2, hlm / * 4. Ibid2, hlm. 0 14 Ibid2, hlm. 0

selekti#, hati"hati dan berorientasi juga pada perlindungan5kepentingan individu (pelaku tindak pidana).10 Hal yang disampaikan <arda ini hampir senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh seorang jenderal purna(ira(an dan tokoh gereja di >ndonesia yang pada dasarnya sepakat apabila lembaga pidana mati dihapuskan keberadaannya di >ndonesia, namun dengan pertimbangan lain ia juga secara tegas menyatakan pidana mati masih harus dipertahnkan dikarenakan hukuman tersebut adalah alat untuk menjaga ketentraman masyarakat. Hukuman mati harus dibicarakan dari segi kepentingan masyarakat.1@ <ahkan !arjono ?eksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan e#ektivitas pidana mati melalui penndapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangat hipotetical. %urang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bah(a tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bah(a pidana mati itu tidak e#ekti#.1. <erdasarkan pendapat Andi Ham$ah dan A. Sumangelipu dinyatakan secara tegas pidana mati sama sekali tidaklah bertentangan dengan 'ancasila. Hal ini tergambar dari bab empat ('idana !ati dalam 'ancasila) buku mereka yang berjudul 8'idana mati di >ndonesia di !asa 2alu, %ini dan !asa )epan9 yang menggambarkan secara terperinci bah(a tidakaada di antara keseluruhan sila dalam 'ancasila yang bertentangan dengan keberadaan pidana mati di negra >ndonesia. Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terja(ab dalam putusan !ahkamah %onstitusi pada 'ermohonan 'engujian materil
10 1@

<arda 7a(a(i Arie#, 4p2cit2, hlm @.. A. Ham$ah * A. Sumangelipu, 4p2cit2, hlm 1/. 1. Herliady , =#ektivitas Hukuman !ati, http:55herliady.blog.#riendster.com5e#ektivitas"hukuman"mati5. )iakses pada . April 33..

&ndang"&ndang 7omor

tahun 1..0 +entang 7arkotika terhadap &ndang"&ndang

)asar 1.;/ yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam &ndang"&ndang 7omor tahun 1..0 +entang 7arkotika. <erdasarkan

putusan !ahkamah %onstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bah(a ancaman pidana mati pada &ndang"&ndang 7omor tahun 1..0 +entang 7arkotika tidaklah

bertentangan dengan %onstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah kesimpulan bah(a pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional. &ntuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis memperkuatnya dengan menyajikan bunyi dari %onklusi dari 'utusan !ahkamah %onstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan : %etentuan 'asal @3 Ayat (1) huru# a, Ayat ( ) huru# (a), Ayat (1) huru# aC 'asal @1 Ayat (1) huru# (a)C 'asal @ Ayat (1) huru# a, Ayat (huru#) a dan Ayat (1) huru# a dalam && 7arkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan 'asal @A dan 'asal @> ayat (1) &&) 1.;/.;3 <erdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bah(a pidana mati tidaklah bertentangan dengan %onstitusi 7egara kita dan masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positi#. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh"sungguh hal sebagai berikut : a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersi#at khusus dan alternati#C b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 3 puluh tahunC c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak"anak yang belum de(asaC d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit ji(a ditangguhkan sampai perempuanhamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit ji(a tersebut sembuh.;1
;3 ;1

'utusan !ahkamah %onstitusi 'utusan !ahkamah %onstistusi

-adi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bah(a para pendukung pidana mati pada $aman modern ini semata"mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan 7egara baik dalam bentuk preventi# maupun represi#. ?epresi# di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah; layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang"orang yang bersebrangan dengan penguasa. Selain itu, dalam perumusan %&H' 7asional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan buni putusan di atas. )emikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan >talia yang bernama <eccaria. Alasan <eccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali;1 terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa (aktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bah(a putusan tersebut salah). Setelah keharuman nama <eccaria tenggelam, maka muncullah nama"nama tokoh dan ahli yang menentang pidana mati. Adapun nama"nama tersebut adalah Berri, 2eo 'olak, !odderman dan tokoh lainnya, sedangkan di >ndonesia tokoh yang sanat vokal menentang pidana mati ialah ?oeslan Saleh, -.=. Sahetapy, dan +odung !ulia 2ubis yang semenjak muda telah terang"terangan menolak keberadaan pidana mati sedari muda (serta tokoh dan ahli lainnya yang tidak penulis sebutkan secara satu persatu). Berri yang juga seorang berkbangsaan >talia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bah(a untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk
; ;1

'hilip 7onet * 'hilip Sel$nick, Hukum esponsif, 7usamedia, <andung, 330, hlm. 11. A. Ham$ah * A. Sumangelipu, 4p2cit2, hlm 10.

kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.;; Apa yang disampaikan Berri tidak jauh berbeda dengan yang diampaikan krminolog OHvord, ?oger Hood yang menggunakan anaalisis e#ek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya adalah gegabah bila kita menerima hipotesis bah(a hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan e#ek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.;/ !enurut penulis jelas pendapat Berri maupun ?oger Hood bertentatangan dengan apa yang telah disampaikan Boster (terpidana mati) yang lebih memilih mati dibandingkan dipidana penjara seumur hidupnya. -elas, hal ini melahirkan kontradiksi sikap batin yang sangat mencolok yang menurut penulis melahirkan pendapat yang apriori dikarenakan sikap batin pada setiap orang adalah relati#. 'endapat lainya yang disampaikan oleh !odderman menggunakan analogi dalam menolak adanya pidana mati : +okh saudara"saudara masih mendirikan kebun"kebun binatang di mana dikumpulkan binatang"binatang buas, yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kekurangan"kekurangannya dan mengacau keamanan masyarakat. Saya akan lebih takut andaikata tiba"tiba kepergok dengan binatang buas demikian, daripada kepergok denagn penjahat penjahat yang dimaksudkan di atas.;4 'endapat ini sungguh kontras dengan yang terjadi di >ndonesia, dikarenakan beberapa tahun setelah pendapat !odderman disepakati mengenai penghapusan pidana mati, di >ndonesia malah diberlakukan pidana mati. <erdasarkan perbandingan hukum pidana dapat kita simak pendapat Andi Ham$ah, sebagaimana terurai berikut :

;; ;/

Ibid2, hlm. 1@. +odung mulia 2ubis * AleHander 2ay, !ontro%ersi Hukuman "ati Perbedaan Pendapat Hakim !onstitusi, %ompas !edia ,roup, -akarta, 33., hlm. 134. ;4 A. Ham$ah * A. Sumangelipu, 4p2cit2, hlm. ;

)i dalam %&H' >ndonesia tercantum pidana mati, sedangklan di <elanda sejak tahun 1@03 sudah dihapus. Alasannya, ialah keadaan di >ndonesia berbeda dengan <elanda, ribuan pulau"pulau, beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang mencukupi, jadi perlu pidana yang lebih berat. )engan sendirinyap pasal"pasal yang berkaitan dengan pidana mati seperti pasal 4 dan pasal 11 (pelaksanaan pidana mati) terdapat dalam AvS> (%&H') tetapi tentu tidak ada dalam 7ed. AvS.;0 Secara historis dapat kita ambil sebuah kesimpulan bah(a ketidak konsistenan <elanda dalam penolakan terhadap pidana mati sesungguhnya didasakan pada konsep tirani untuk mempertahankan kekuasaan di negeri jajahan >ndonesia. Sebuah kisah yag menarik dalam kontroversi pidana mati dapat juga kita rasakan dari rasa pertobatan seorang terpidana mati. Hal ini dapat penulis perlihatkan melalui penggalan surat dari seorang terpidana mati tertanggal 1 #ebruari 1.40 berikut ini : 0ear Rev. Khoo2 .o forgi%e me for this2 "y fare1ell letter being so brief, and I fear incoherent2 0o you remember the day you first sa1 me here, ho1 I kept repeating to you =I am an atheist> almost 1ith pride ? But as I 1atched you come here so often, spending so much of your time and gi%ing so much yourself to the Pulau .enang boys and the rest of us, e#pecting and recei%ing nothing in return, I asked myself, <)hat is the moti%ates this man such altruistic acts ? Is there really a 9od as he so undoubtedly belie%es ?7 But one day @ 56 of 0ecember 5AB; @ apparent reason I 1as o%er 1h1lmed by desire to kneel do1n in prayer and pour out my heart to 9od, surrendering my self to him and admitting to Him that re%enge 1as in my heart2 He listen and understood and as I got to kno1 Him better trought the succeeding days and 1eeks, He told me that I should be abo%e re%enge and hate, that only lo%e and understanding should occupy my thoughts and guide my action2 /hro yoi I found (hrist and thro him I shall find the kingdom of hea%en2 /ill then, fare thee 1ell2 Cours in (hrist, Sd. Sunny Ang.48
th

Secara jujur penulis sangat tersentuh dengan penggalan surat ini, namun patut diketahui +uhan juga menciptakan suatu hukuman bagi umatnya yang berbuat salah dan begitu jugalah hal ini terjadi dalam realitas kehidupan bernegara. <ila dibedah melalui pisau religius, sebenarnya keberadaan pidana mati di sini memba(a sebuah

;0

Andi Ham$ah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa 'egara, Sinar ,ra#ika, -akarta, 33@, hlm 11. ;@ Sahetapy, 4p2cit2, hlm 1 1 * 1 ;.

anugerah kepada Ang, dengan hukuman tersebut mengenal +uhan secara lebih dalam terlepaskan dari belenggu ateisme. <erkaitan dengan keberadaan pidana mati dalam korelasinya dengan 'ancasila, Sahetapy memiliki pendapat yang berbeda dengan Andi Ham$ah dan A. Sumangelipu. Sahetapy dalam skripsinya (telah dipublikasikan) menjelaskan ;. bah(a pidana mati bertentangan dengan norma dasar 7egara ini yaitu 'ancasila. Hal ini disandarkan pada pasal ./ ayat ( ), (alaupun pada saat itu telah didekritkan kembali pada &&) 1.;/ (namun patut diketahui bah(a &&)S juga dlahirkan dari 'ancasila). Selain bersandarkan alasan tersebut, Sahetapy juga menyatakan bah(a pidana mati merupan (arisan kolonial yang tidaklah pantas untuk dilanjutkan (sebagaimana diterangkan di atas). 'ada putusan !ahkamah %onstitusi dalam 'ermohonan 'engujian materil &ndang"&ndang 7omor tahun 1..0 +entang 7arkotika terhadap &ndang"&ndang

)asar 1.;/ yang menyatakan bah(a pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim"hakim tersebut adalah Hakim %onstitusi H. Harjono, Hakim %onstitusi H. Achmad ?oestandi, Hakim %onstitusi H.!. 2aica !ar$uki, dan Hakim %onstitusi !aruarar Siahaan. )alam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim %onstitusi !aruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. : <agi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan"pembinaan tertentu yang di(ajibkan.

;.

Sahetapy, 4p2cit2, hlm 1;.

-elas pendapat Hakim %onstitusi !aruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati de(asa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang kejam dan e#ektivitas pidana mati tersebut). !aka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang. %ontroversi penolakan (kontra) terhadap eksistensi lembaga pidana mati memba(a sebuah ekses yang sangat luar biasa dahsyatnya, dimana banyak 7egara yang menghapuskan jenis pidana ini pada hukum pidana positi# negaranya. <erdasarkan data Amnesty >nternational ( 334) menyebutkan bah(a sampai saat ini ada 1 . negara yang telah menghapuskan pidana mati (death penalty) dari ketentuan hukum pidana positi#nya. )ari data tersebut, @@ negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesi#ik, yaitu hanya untuk kejahatan di (aktu perang (1ar time), dan 13 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik. !enurut ?oeslan Saleh beberapa 7egara yang tidak lagi mengancamkan pidana mati pada %&H' nasionalnya ialah : 'ortugal tahun 1@;4, 7egara <agian di Amerika Serikat tahun 1@;0, di San !arino tahun 1@;@, di Eene$uela tahun 14;., di ?hode >sland (&SA) tahun 1@/ , di Aiscounsin tahun 1@/1, di +oskane tahun 1@/., 6olumbia dan ?umania tahun 1@4;, di 7etherland tahun 1@03, di 6osta ?ica tahun 1@@3. di !aine tahun 1@@0, di >talia tahun 1@.3, di <ra$ilia tahun 1@.1, di =Iuador dan 'eru tahun tahun 1@./, di 7or(egia tahun 1.3 , ?usia tahun 1.31, (sekarang pidana mati berlaku di &ni Soviet), di Austria tahun 1.1@, di S(edia tahun 1. 1, 2ituania 1. , di 7e( Jeland tahun 1. /, di &ruguay tahun 1. 4, di 6hili tahun 1.13 dan )enmark tahun 1..1. +etapi ada di antara yang tersebut di atas yang memberlakukan lagi pidana mati sesuai dengan kebutuhan masyarakat./3

/3

Ibid2, hlm ;1.

Sebagai contoh 7egara <elanda yang menghapuskan pidana mati pada ketentuan hukum pidananya masih mencantumkan pidana mati pada %itab &ndang" &ndang Hukum 'idana !iliter 7egara tersebut. Hanya saja penjatuhan hukuman tersebut hanya dapat dilakukan, apabila hakim berpendapat bah(a keamanan dari negara itu menghendakinya demikian (pasal .)./1 Selain itu, 7egara tetangganya <elgia mencantumkan pidana mati di dalam %&H' sipilnya, diamana ketentuan tersebut tidak pernah lagi dilaksanakan lagi dalam prakteknya. Sementara itu, masih ada 4@ negara yang sampai kini masih konsisten mempertahnkan pidana mati pada ketentuan hukum pidana nasionalnya. )imana >ndonesia adalah salah satu dari negara tersebut. &ntuk menutup bab ini, penulis akan menguraikan pendapat pribadi mengenai pidana mati. 'ada dasarnya, penulis tidaklah sepakat dengan keberadaan pidana mati dalam konteks hukum pidana nasional ataupun secara global, namun secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan pada saat ini maupun ke depan, penulis menyadari pidana mati masih dibutuhkan sebagai suatu alat untuk melindungi masyarakat. 'erlunya pidana mati dipertahankan menurut penulis berdasarkan tiga alasan. Pertama, masalah keadilan dan kepastian hukum. Apabila pidana mati dihapuskan dan kemudian diadakan kembali dengan mengenyampingkan asas non retroaktif, lebih patut dipertanyakan dimana keadilan yang seharusnya menjadi satu dalam bentuk kepastian hukum. >ni dikarenakan suatu keadaan ke depan tidaklah dapat diprediksi dan dita#sirkan secara mutlak dengan mengadakan pengandaian" pengandaian yang apriori. !aka, lebih baik pidana mati tetap dipertahankan dengan catatan hanya ditujukan kepada pelaku kejahatan yang luar biasa serius (e#traordinary crime).

/1

'.AB. 2amintang * ). Simons, 4p2cit2, hlm 1. .

!edua, masalah kebudayaan. +idaklah dapat disangkal bah(a 7egara kita yang multi cultural ini mengenal pidana mati dalam berbagai peraturan adat semenjak $aman kerajaan dahulu (sebelum terbentuknya 7egara >ndonesia). &ntuk memperkuat pendapat ini, maka penulis menyandarkannya pada pendapat Eon Savigny yang menyatakan hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator ), tetapi dibangun dan dapat ditemukan dalam ji(a masyarakat. !etiga, unsur religius. !emperhatikan norma dasar 7egara kita yang memperlihatkan bah(a bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan +uhan yang berarti tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama mengakui hukuman sebagai akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat. Sebagai contoh, >slam mengenal hukuman mati (3ishas) sebagai bentuk hukuman terhadap *arimah yang mutlak telah digariskan oleh A22AH dan hanya dapat hapus apabila keluarga korban memberi maa# dan barulah dapat diberlakukansemacam ganti rugi (diyat). <erdasarkan ketiga alasan tersebut, penulis beranggapan bah(a nilai"nilai humanis yang berlebihanlah yang sebenarnya menyeret kita dalam penolakan terhadap pidana mati. -ika sebelum pidana tersebut dilaksanakan diberikan kesempatan terlebih dahulu kepada si terpidana untuk berertobat dan eksekusi pun dilakukan dengan cara meringankan penderitaan"penderitaan #isik yang berlebihan, maka tidaklah beralasan untuk menolak pidana mati sebagai suatu sarana perlindungan rakyat.

13

BAB III PENUTUP

A. #es m$ulan 'idana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. 'ro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di >ndonesia, namun terjadi hampir di seluruh 7egara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional. <entuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas ji(a seseorang yang melanggar ketentuan undang"undang. 'idana ini juga

merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. +ujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bah(a pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.

11

DA%TA& PU'TA#A

1. Buku A. Ham$ah * A. Sumangelipu, Pidana "ati di Indonesia di "asa ,alu, !ini dan di "asa 0epan, ,halia >ndonesia, -akarta, 1.@/. Andi Ham$ah, Asas-Asas Hukum Pidana, ?ineka 6ipta, -akarta, 1..;. KKKKKKKKKKKKK, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa 'egara, Sinar ,ra#ika, -akarta, 33@. <arda 7a(a(i Arie#, Bunga <akti, <andung, 33/. )alil Adisubroto, Pembinaan 'arapidana sebagai .arana "erealisasikan /u*uan Pidana ,embaga Pemasyarakatan ()isampaikan dalam Seminar 7asional 1 ampai !ebi*akan Hukum Pidana, '+. 6itra Aditya

+entang 'emasyarakatan : 'engintegrasian +ujuan 'emidanaan dengan Sistem 'emasyarakatan !endatang. Bakultas Hukum &>> ; -uli 1../ )arji )armodiharjo * Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, '.+. ,ramedia 'ustaka &tama, -akarta, 1../. )arsono ', !arl "ar# $konomi Politik dan Aksi- e%olusi, )iadit !edia, -akarta, 334. )joko 'rakoso * 7ur(achid, .tudi /entang Pendapat-Pendapat "engenai $fekti%itas Pidana "ati di Indonesia 0e1asa Ini, ,halia >ndonesia, -akarta, 1.@;. KKKKKKKKKKKKK, Hukum Penitensier di Indonesia, 2iberty, Gogyakarta, 1.@@. )(idja 'riyatno, .istem Pelaksanaan Pidana Pen*ara di Indonesia, ?e#ika Aditama, <andung, 334 Bakultas Hukum &niversitas >slam ?iau, Buku Panduan Penyusunan Penulisan .kripsi, :DD62 H.A.A. Aidjaja, Penerapan 'ilai-'ilai Pancasila E HA" di Indonsia, ?ineka 6ipta, -akarta, 333. Hans %elsen, /eori /entang Hukum dan 'egara, 7usa !edia * 7uansa, <andung, 334. -.=. Sahetapy, Pidana "ati dalam 'egara Pancasila, '.+. 6itra Aditya <akti, <andung, 330. -imly AsshidiIie, Pokok-Pokok Hukum /ata 'egara Indonesia Pasca <uana >lmu 'opuler, -akarta, 33@. !oeljatno, !itab &ndang &ndang Hukum Pidana, <umi Aksara, -akarta, 33/. '.AB. 2amintang * ). Simons, !itab Pela*aran Hukum Pidana +,eerboek -an Het 'ederlanches .trafrecht), 'ionir -aya, <andung, 1.. . 'hilip 7onet * 'hilip Sel$nick, Hukum esponsif, 7usamedia, <andung, 330. ?. Abdoel )jamali, Pengantar Hukum Indonesia +$disi -akarta, 33/. e%isi), ?aja(ali 'ers, eformasi,

11

?. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan &mum dan 0elik-0elik !husus , 'olitea, <ogor ?. +resna, Azas-Azaz Hukum Pidana, '.+. +iara, -akarta, 1./.. ?id(an H?, Hukum Administrasi 'egara, ?aja ,ra#indo 'ersada, -akarta, 334. Satochid %artanegara, Hukum Pidana Bagian .atu, <alai 2ektur !ahasis(a. Soerjono Soekanto * Sri !amudji, Penelitian Hukum 'ormatif .uatu /u*uan .ingkat, '.+. ?aja,ra#indo 'ersada, -akarta. KKKKKKKKKKKKK, Pengantar Penelitian Hukum, &>"'res, -akarta, 1.@4. Soekarno, 0iba1ah Bendera e%olusi, 'anitia 'enerbit )iba(ah <endera ?evolusi, -akarta, 1.4;. Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, '+. 'radnya 'aramita, -akarta, 33@. Subekti * ?. +jitrosoedibio, !amus Hukum, '.+. 'radnya 'aramita, -akata, 1.0@. (. Internet http:55(((.inilah.com5berita5politik5 3305135135101.5hukuman"mati"tidak" bertentangan"dengan"uud5). )iakses pada tanggal 0 September 33@. http:55herliady.blog.#riendster.com5e#ektivitas"hukuman"mati5. )iakses pada . April 33.. http:55(((.iddaily.net5 33@5305terpidana"mati"sugeng"saya"lebih"senang.html. )iakses pada tanggal . April 33.. http:55thephenomena.(ordpress.com5 33@5305 ;5di"balik"eksekusi"mati"sumiarsih" sugeng5. )iakses pada tanggal . April 33.. http:55(((.iddaily.net5 33@5305terpidana"mati"sugeng"saya"lebih"senang.html. http:55thephenomena.(ordpress.com5 33@5305 ;5di"balik"eksekusi"mati"sumiarsih" sugeng5. http:55cetak.bangkapos.com5selebne(s5read51134/.html. 1;

http:55(((.suarakarya"online.com5ne(s.htmlDidL101@0. . ). Peraturan Perun!ang*Un!angan &ndang"&ndang )asar 1.;/ &ndang"&ndang 7omor / +ahun 1.4. ('enpres 7omor +ahun 1.4; (27 1.4; 7o 1@) yang ditetapkan menjadi undang"undang dengan && 7o / +ahun 1.4.. &ndang"&ndang 7omor 1 +ahun 1../ +entang 'emasyarakatan. &ndang"&ndang 7omor 1. +ahun 1... +entang Hak Asasi !anusia. 'eraturan 'emerintah 7omor 11 +ahun 1... +entang 'embinaan dan 'embimbingan Aarga <inaan 'emasyarakatan. &ndang"&ndang 7omor +ahun 33 +entang ,rasi.

?ancangan %itab &ndang"&ndang Hukum 'idana +ahun 33;.

1/

!A%A2AH +=7+A7, '>)A7A !A+> )A7 '>)A7A '=7-A?A )A2A! '?=S'=%+>B HA!

<A< 1 '=7)AH&2&A7
1.1. 2atar <elakang 'enegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau ber#ungsinya norma"norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. )itinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normati# atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. )alam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. 'engertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. )alam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. )alam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai"nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan #ormal maupun nilai"nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. +atapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang #ormal dan tertulis saja. %arena itu, penerjemahan perkataan,a1 enforcement ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan 'enegakan Hukum dalam arti luas dapat pula digunakan istilah 'enegakan 'eraturan dalam arti sempit. 'embedaan antara #ormalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule o# la( atau dalam istilah the rule of la1 and not of a manversus istilah the rule by la1 yang berarti the rule o# man by la( )alam istilah the rule o# la( terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang #ormal, melainkan mencakup pula nilai"nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. %arena itu, digunakan istilah the rule o# just la(. )alam istilah the rule o# la( and not o# man, dimaksudkan untuk menegaskan bah(a pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. >stilah sebaliknya adalah the rule by la1 yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. <ermacam"macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman yang dalam hal ini hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. 'idana mati merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling kontroversial didunia. )ari 14

jaman <abilonia hingga saat ini, hukuman tersebut masih digunakan sebagai salah satu sangsi bagi mereka yang dituduh5terbukti melakukan satu tindak kejahatan. +idak ada catatan yang pasti menyatakan a(al digunakannya hukuman mati. 'idana mati dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, karena tidak ada lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya ()joko 'rakoso, 1.@0: 1 ). =ksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. %etika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini. 'idana penjara seumur hidup akan selalu dihadapkan dengan suatu persoalan pergulatan tentang kemanusiaan. )isatu sisi pidana penjara seumur hidup digunakan sebagai sarana represi# untuk melindungi masyarakat dari perbuatan dan pelaku kejahatan yang dipandang sangat membahayakan. 7amun di sisi lain pidana penjara seumur hidup meniadakan hak narapidana mengakhiri masa menjalankan pidana. ,aris kebijakan tujuan pelaksanaan pidana di >ndonesia adalah pemasyarakan sebagaimana diatur dalam && 7o. 1 +ahun 1../ tentang 'emasyarakatan. !eskipun pidana penjara seumur hidup dalam kenyataannya masih digunakan, namun dalam praktik pelaksanaannya cenderung berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pemasyarakatan yang berorientasi pembinaan. Hal demikian ditempuh untuk mengatasi benturan kepentingan dalam konsep pemasyarakatan yang berorientasi kepada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana untuk kembali ke masyarakat dan kepentingan untuk memisahkan narapidana dengan masyarakat dalam jangka (aktu lama. 'erlu keari#an dalam memandang tujuan pemidanaan yang tidak bermaksud semata memisahkan pelaku kejahatan dari masyarakat dalam jangka (aktu lama demi alasan suatu pelanggaran hukum. !eskipun pemidanaan disahkan sebagai konsekuensi atas suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun secara substansial dan pelaksanaanya hendaknya menghormati narapidana sebagai manusia yang dijadikan obyek pemidanaan. <agaimanapun tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku kejahatan yang memiliki kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki. -ika demikian #aktanya bukankah suatu hal yang berlebihan apabila pidana penjara diterapkan hanya semata"mata di#okuskan kepada perampasan kebebasan seseorang selama hidup tanpa memberi kesempatan untuk kembali kepada masyarakat D. <ukankah hal demikian merupakan pemidanaan yang cenderung melanggar HA! seseorang, yakni hak kebebasan yang menurut hukum dilindungi keberadaannya. 1. . 'erumusan !asalah 1. =ksitensi 'idana !ati dalam prespekti# HA! D . =ksitensi 'idana 'enjara dalam prespekti# HA! D

10

<A< '=!<AHASA7
.1. 'idana !ati dalam presppekti# HA! A. Analisis hukuman mati menurut ketentuan internasional Hak Asasi !anusia >nternasional -ika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan )&HA!, terdapat beberapa pasal didalam )&HA! yang tidak memperbolehkan hukuman mati, antara lain: <erdasarkan 'asal 1 9 .etiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi 9. <entuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( 2eah 2evin, 1.@0: ;/). Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. <agaimanapun juga hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan +uhan.)apat dilihat banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di 6ina, Saddam Hussein, ataupun lainnya. 7amun seperti kasus ?(anda dan Gugoslavia pelaku pelanggaran HA! hanya diganjar dengan hukuman maksimal pidana seumur hidup, karena hukuman mati di jaman modern ini mulai ditinggalkan oleh negara"negara di dunia, meskipun masih ada beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, seperti digantung, ditembak, dan disuntik. <agaimanapun caranya hukuman mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang. -ika pidana mati ditinjau menurut %ovenan >nternasional +entang Hak Sipil politik yaitu 'asal 4 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup2 Hak ini harus dilindungi oleh hukum2 /idak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada 'asal 1 )&HA! bah(a pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 4 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan #isik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan 'asal 4 ayat (1) >66'? dan 'asal 1 )&HA!. !eskipun banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain >ndonesia, 6ina dan negara >rak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan pidana hukuman tersebut baik itu dalam proses penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan konsep the rule of la1 dimana terdapatnya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka hukum dan juga terdapatnya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka. 'asal 4 ayat ( ) %ovenen >nternasional +entang Hak Sipil 'olitik menyatakan bah(a 0i negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk ke*ahatan yang paling berat, sesuai dengan undangundang yang berlaku pada 1aktu ke*ahatan demikian dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari !o%enan ini dan !on%ensi /entang Pencegahan 0an Penghukuman !e*ahatan Pemusnahan +suku) Bangsa2 Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan terakhir dari pengadilan yang ber1enang. 2ebih lanjut 'asal 4 ayat (;) %ovenan >nternasional tentang Hak Sipil 'olitik mengatur 1@

bah(a .eseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman2 Amnesti, pengampunan, atau keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab2 )alam hal ini menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan memperhatikan beberapa aspek, karena dalam memahami suatu peraturan hendanknya diperhatikan aspek #iloso#is, sosiologis, dan yuridis dalam dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HA! hukuman mati dilarang karena tidak sesuai dengan 'asal 1 )&HA! dan juga banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati. )i samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur dalam )&HA! tersebut yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman mati, terdapat pengecualian terhadap pelaksanaan hak tersebut yaitu dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, yaitu dalam hal yang pertama 9a public emergency 1hich treatens the life of nation9 dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak"hak kebebasan dasar, dengan syarat bah(a kondisi keadaan darurat (public emergency) tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersi#at terbatas serta tidak boleh diskriminati#. (!uladi, 33; : 131). Hal tersebut diatur secara limitati# dalam %ovenan >nternasional +entang Hak Sipil dan 'olitik, dalam 'asal ; ayat (1) >66'? menyatakan, dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan terdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, negara"negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil upaya"upaya yang menyimpang (derogate) dari ke(ajiban mereka berdasarkan kovenan ini, sejauh hal itu dutuntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bah(a upaya"upaya tersebut tidak bertentangan dengan ke(ajiban negara"negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, (arna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal"usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam tidak bertentangan dengan 'asal 1 )&HA!, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan HA! berat dan memenuhi ketentuan 'asal ; >66'?.

1.

;3

Anda mungkin juga menyukai