Akronim di Indonesia
Super semar, jas merah, puskesmas, Nasakom, kelompencapir, gestapu, dst. Dhakidae (2003) menunjuk akronim sebagai:
Teror bahasa Baru demi kebaruan itu sendiri Pemagisan pengertian (zauberung) Flag carrier kedekatan kekuasaan
Bahasa sintetis
Bahasa Indonesia dalam ranah politik merupakan bahasa sintetis yang mengopi tanpa pandang bulu semua istilah teknis dan abstraksi ideologis dari dunia modern berujung pada mabuk ideologi dan sinkretisme magis (Luethy dalam Anderson, 2006)
akronim
Singkatan yang berupa huruf awal, gabungan suku kata maupun gabungan huruf dan suku kata dari deret yang diperlukan sebagai kata (Depdikbud, 1996). Badudu (1983) mendefinisikan akronim sebagai singkatan kata yang dibaca sebagai kata seperti ABRI, sekjen, Dirjen
Rezim Bahasa
Akronim dalam praktik kebahasaan di Indonesia merupakan bahasa institusional politik karena dilahirkan di rahim institusi politik Negara Rezim bahasa adalah aturan de jure yang menggambarkan bahasa seperti apa yang dapat digunakan pada tempat dan waktu tertentu (Liu, 2009, hal. 15).
Mabuk ideologi
Akronim menjadi amusement center di bidang bahasa Penemuan akronim adalah bukti inventiveness Teknologi senjata yang membuat rakyat menerima akronim tanpa perlu berpikir (Dhakidae, 2003)
Sinkretisme magis
praktik pembelajaran di pesantren sebagai konfrontasi antara Jawa dan asing Metode dalam pengajaran di pesantren adalah dengan menghafalkan surat atau ayat yang panjang tanpa perlu dipikir Dalam praktek domestifikasi Islam, Quran di transformasikan menjadi teks suci atau buku mantra yang penuh teka-teki dan paradoks Bahasa Arab dijaga hanya sebagai bahasa inisiasi
Kerata bahasa
Kerata bahasa adalah fenomena kebahasaan yang dipakai untuk memberikan makna tertentu pada bentuk lingual, yang dilakukan secara asosiatif dengan memakai peranti persamaan bunyi (Rahardi, 2006). Kerata basa juga bisa dijelaskan sebagai kata-kata yang diberi arti yang diambil dari suku kata yang ada atau bagian pengucapan, dengan cara penyesuaian (bunyi dalam suku kata) agar cocok (dengan arti yang diberikan) (Padmosoekotjo dalam Moertono, 1985, hal. 25-26).
Kerata bahasa
Sembahyang = sembah ka Hyang Kuping = kaku tur njepiping Jas merah = jangan sekali-kali melupakan sejarah Permainan kata-kata yang hampir semua kata menjadi serba bermakna, kadangkala bernuansa jenaka, setidaknya secara ikonis atau onomatopis (Rahardi, 2006)
Kalimasada
Senjata Yudhistira, berbentuk kitab Kepusakaan Kalimasada sebagai kitab bukanlah pada isinya namun aksara tertentu yang tertulis dengan tatanan tertentu oleh orang terpilih pada waktu yang tidak boleh sembarangan (Anderson, 2006, hal. 128). Kalimasada = Kalimat syahadat (Sunan Kalijaga) Legenda Yudhistira bertemu Sunan Kalijaga
Teknik sosialisasi
Kalimahosaddha, simbol pra-Islam di Jawa menjadi umum dalam diskursus Islam di Jawa Macapat = maca sifat Its allusive alliterativeness, its highly developed onomatopoeia, and its rich sensory vocabulary provide a treasury of esoteric causalities and an enduring sense of a hidden continuity flowing through the phenomena, down to the most intimate sphere of peoples lives (Anderson, 2006, hal. 129).
Super Semar
pusaka (heirloom) seperti dalam cerita pewayangan dalam meneruskan posisi dari raja yang hendak mangkat kepada penggantinya Super (bahasa Inggris) Semar (tokoh pewayangan, kakak Betara Guru)
Teknik kuasa
Kerata bahasa menyediakan suara yang akrab untuk bisa masuk ke dalam rasa atau kemengertian, penyingkapan isinya merupakan revelasi yang juga mengundang kepenasaranan dan disiplin pencarian makna spiritual dari episteme tradisional.