Anda di halaman 1dari 17

Kelisanan dalam Praktik Perbincangan Politik di Forum KASKUS S Kunto Adi Wibowo Abstrak Salah satu fitur utama

media sosial adalah perbincangan. Terdapat praktik perbincangan di media sosial dalam konteks Indonesia yang menghambat terciptanya diskusi sehat dan bebas. Banyaknya flaming sebagai bentuk ketidakpantasan perbincangan masih menjadi isu utama di dalam forum online di Indonesia. Tujuan makalah ini adalah untuk mendiskusikan bentuk praktik perbincangan politik di dalam sebuah forum online di Indonesia yang direlasikan dengan konsep kelisanan. Untuk memetakan bentuk perbincangan politik, makalah ini pertama menelaah secara kritis konsep kelisanan baik kelisanan sekunder dan residu kelisanan dari Walter J. Ong. Kedua, memetakan bentuk praktik perbincangan politik di dalam forum online KASKUS. Bentuk perbincangan politik di forum online KASKUS sarat dengan ciri spontanitas, komunalitas, agonistik, situasional, redundant dan additive yang merupakan ciri kelisanan yang mengendap dalam praktik perbincangan dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi.

Pendahuluan Visi yang berharap internet akan menjadi ajang yang bebas serta akses yang seimbang pada debat politik merupakan salah satu alasan perbincangan politik di forum online menjadi salah satu kajian penting di CMC. Pendukung visi ini mengasumsikan bahwa bahwa teknologi internet dapat di eksploitasi untuk membuat proses politik lebih inklusif dan konsultatif (Albrecht, 2003: 1). Di sisi lain, mereka yang skeptis memandang bahwa teknologi internet tidak bisa diakses secara universal atau adanya digital divide (Papacharissi, 2004: 260; Albrecht, 2003: 1; Freelon, 2010: 2). Selain isu ketimpangan akses terhadap internet dan forum online, beberapa peneliti memeriksa praktik perbincangan politik di forum online dari konsep ketidakpantasan yang sering muncul di dalam perbincangan politik di internet. Di Indonesia, optimisme yang sama tengah terjadi. Beberapa contoh di antaranya adalah kajian dari Hill dan Sen (2005), Lim (2003), dan Nugroho (2011) tentang internet dan cyberspace dalam proses demokratisasi di Indonesia. Di dalam salah satu sub-bab di dalam bukunya, Nugroho (2011) menyatakan bahwa terdapat permasalahan antara real engagement dan click activism. Merlyna Lim (2010) memotret aktivisme sosial di media sosial pada kasus Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari. Kasus Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari merupakan

monumen gerakan sosial Indonesia di dalam dunia cyber. Dukungan 1 juta facebooker untuk Bibit-Chandra yang berujung pada pembebasan kedua pimpinan KPK dari kriminalisasi terhadap mereka juga gerakan Koin untuk Prita yang berhasil menghimpun dana untuk membayar denda yang ditimpakan kepada Prita pada kasus pencemaran nama baik merupakan potret penguatan masyarakat sipil dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Kedua gerakan di atas menggunakan Facebook sebagai media penggalangan dukungan dan dana. Selain Facebook, media yang sering digunakan dalam aktivisme sosial di Indonesia adalah forum online KASKUS. KASKUS yang berarti Kasak-Kusuk, adalah forum online terbesar di Indonesia. Di dalamnya terdapat sub forum berita dan politik yang berisi perbincangan tentang berita yang tengah hangat di publik serta perbincangan tentang isu-isu politik. Sub forum ini yang akan menjadi fokus bahasan dalam makalah ini terkait dengan praktik perbincangan politik di Indonesia. Papacharisi (2004) menyatakan bahwa salah satu pandangan skeptis terhadap demokratisasi dan internet adalah bentuk ketidakpantasan dalam perbincangan online yang disebut dengan flaming. Flaming sendiri menurut Papacharisi (2004) adalah ones that frequently induce fragmented, nonsensical, and enraged discussion. (hal. 260). Von Arx (2002) menunjuk pada persoalan kesadaran kelisanan dan literasi yang memunculkan bentuk komunikasi baru yang hybrid, sebagian lisan dan sebagian tulisan (hal. 72). Avgerinakou (2002) mengatakan bahwa salah satu faktor pembentuk flaming di dalam CMC adalah fusi antara kelisanan dan literasi (hal. 284). Selain itu van Dijk (1996) mengatakan virtual communities are unable to make up for a lost public debate. They are still rather exclusive in social composition and the quality of discourse is poor because a real dialogue is missing. Most often, the discourse does not exceed the level of an exchange of separate distant voices on a central board. (van Dijk 1996: 59) Untuk memeriksa bagaimana praktik perbincangan politik di forum online, makalah ini pertama akan melihat konsep kelisanan dan literasi yang ditunjuk oleh von Arx (2002) dan Avgerinakou (2002). Mereka merujuk pada karya Walter J Ong (1982) terutama pada konsep kelisanan sekunder. Pemeriksaan kritis terhadap konsep kelisanan sekunder dan relasinya dengan perbincangan politik di forum online diharapkan mampu memetakan fenomena perbincangan online di Indonesia. Selanjutnya pada bagian kedua makalah ini akan dilakukan pemetaan terhadap perbincangan politik di forum online KASKUS berdasar konsep kelisanan yang telah di telaah secara kritis.

Pemetaan ini diharapkan mampu memberikan wawasan tentang bentuk perbincangan politik di forum online di Indonesia.

Kelisanan Sekunder (Secondary Orality) Dalam membahas kelisanan (orality) dalam bukunya Orality and Literacy: Technologizing of the Word, Ong tidak hanya membedakan kelisanan dan penulisan secara sederhana; bahwa yang kelisanan semata tidak tertulis sementara penulisan adalah segala bentuk yang tertulis. Pembedaan ini sering dilakukan para sarjana yang memfokuskan diri pada kajian ideologi. Mereka yang sangat memperhatikan teks, berasumsi bahwa verbalisasi dalam bentuk oral pada esensinya sama dengan verbalisasi dalam bentuk tertulis, bedanya yang oral adalah tidak tertulis. Pembedaan seperti itu pada akhirnya membuat kelisanan dimaknai sebagai unskillful dan tidak terlalu berharga untuk dipelajari (Ong, 2002; 10). Untuk memahami konsep kelisanan versi Ong, orang harus keluar dari kategori sederhana tersebut, -dan bahkan membalik keyakinannya dan turut pada gagasan utama Ong yakni; bahasa adalah sebuah fenomena lisan dan bukan tulisan: It would seem inescapably obvious that language is an oral phenomenon. Human beings communicate in countless ways, making use of all their senses, touch, taste, smell, and especially sight, as well as hearing (Ong 1967b, pp. 19). Some non-oral communication is exceedingly rich gesture, for example. Yet in a deep sense language, articulated sound, is paramount. Not only communication, but thought itself relates in an altogether special way to sound. (Ong. 2002; 10) Lalu apa arti penulisan (writing) bagi bahasa? Menurutnya, penulisan tidak dapat menggantikan kelisanan (orality). Mengikuti gagasan Jurij Lotman, ia menyebut penulisan sebagai a secondary modeling sistem, dependent on a prior primary sistem, spoken language (Ong, 2002;8). Jika penulisan mengubah kata-kata menjadi tulisan, maka penulisan selalu meninggalkan jejak sementara kelisanan seakan-akan tidak meninggalkan jejak. Jika kelisanan tak bisa diganti dengan bentuk apapun dari penulisan (written/print) dan keduanya adalah dua sistem yang saling dependent maka, menurut Ong, kelisanan dari sebuah budaya tidak akan pernah disentuh oleh penulisan (writing/print). Ia menyebut orality, dalam hubungannya yang saling dependent dengan penulisan (writing/print) ini sebagai primary orality atau kelisanan primer (Ong, 2002; 10).

Lalu apa yang disebut kelisanan sekunder (secondary orality)? Dalam artikelnya yang berjudul Orality, Literacy and The Modern Media, Ong (1982) menyatakan: ...With telephone, radio, television and various kinds of sounds tape, electronic technology has brought us into the age of "secondary orality." This new orality has striking resemblances to the old in its participatory mystique, its fostering of a communal sense, its concentration on the present moment, and even its use of formulas (Ong, 1982: 69). Ong mengatakan bentuk kelisanan yang dibangun oleh telepon, radio, televisi dan peralatan elektronik (high tech) itulah kelisanan sekunder (secondary orality). Mengapa ia disebut sekunder? Pasalnya eksistensi kelisanan dalam alat-alat high-tech tersebut sangat bergantung pada eksistensi tulisan (writing/print) (Ong, 2002; 10). Sederhananya, ia disebut kelisanan sekunder karena menyerupai kelisanan (penggunaan suara) akan tetapi sebenarnya ia, yang menggunakan teknologi, sangat bergantung pada sistem tulisan (dimana sistem writing tidak pernah menyatu dengan sistem kelisanan). Dalam sebuah wawancara Ong menjelaskannya sebagai berikut: When I first used the term secondary orality, I was thinking of the kind of orality you get on radio and television, where oral performance produces effects somewhat like those of primary orality, the orality using the unprocessed human voice, particularly in addressing groups, but where the creation of orality is of a new sort. Orality here is produced by technology. Radio and television are secondary in the sense that they are technologically powered, demanding the use of writing and other technologies in designing and manufacturing the machines which reproduce voice. They are thus unlike primary orality, which uses no tools or technology at all. Radio and television provide technologized orality. This is what I originally referred to by the term secondary orality. 1 Memang Ong begitu sering merujuk pada term teknologi untuk mengidentifikasi apa yang ia sebut sebagai kelisanan sekunder. Akan tetapi, mengambil kesimpulan bahwa semua yang terjadi dengan teknologi adalah kelisanan sekunder barangkali adalah hal gegabah. Sebab masalah utama Ong bukanlah semata penggunaan teknologi, melainkan bagaimana sistem tulisan (writing) yang merupakan basis teknologi dapat memodifikasi dirinya sendiri, dan tampil sebagai kelisanan; bagaimana tulisan (basis teknologi) sebagai sesuatu hal yang terlihat dan hanya bisa dicerap dengan indera penglihatan, kini tampil dengan menggunakan elemen suara (yang merupakan elemen kelisanan); dan kemudian bagaimana kelisanan yang berbasis
1

Kleine, Michael, and Fredric G. Gale. The Elusive Presence of the Word: An Interview with Walter Ong. Composition FORUM 7.2 (1996): 65-86 diakses pada tanggal 20 Maret 2011 dari http://www.jpwalter.com/machina/?p=331

suara dan tidak pernah meninggalkan jejak, dengan media teknologi, kini mempunyai jejak seperti halnya tulisan/writing. Pendeknya, dengan mengacu pada keyakinan Ong bahwa kelisanan dan penulisan merupakan dua sistem yang tidak dapat saling menggantikan, kelisanan sekunder adalah sistem writing yang dilisankan. Jadi sepanjang teknologi tidak dapat menampilkan elemen kelisanan (suara) ia tidak dapat disebut kelisanan sekunder. Dengan demikian status facebook, tulisan di blog, email, juga twit dan re-twit bukanlah kelisanan sekunder.

Karakteristik Kelisanan Banyak yang meyakini bahwa ciri khas kelisanan sekunder adalah apapun yang dihasilkan teknologi, Akan tetapi sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tidak semua yang dihasilkan oleh teknologi adalah kelisanan sekunder. Biasanya peneliti yang terjebak pada determinasi teknologi tersebut mengacuhkan beberapa karakteristik utama kelisanan (orality) yang disebutkan oleh Ong. Karakteristik pertama dari kelisanan adalah Sound (suara). Berbeda dengan tulisan yang dapat meninggalkan jejak. Suara, meski dapat diingat tetapi tidak dapat dicari kemanapun. Suara tidak mempunyai focus dan tidak punya jejak. Atau dalam bahasa Ong; They have no focus and no trace (a visual metaphor, showing dependency on writing), not even a trajectory. They are occurrences, events (Ong, 2002; 31). Tidak ada cara untuk menghentikan suara dan memiliki suara. Kita dapat memberhentikan gerakan gambar dan kemudian memilih satu gambar dalam sebuah layar. Tetapi jika kita menghentikan gerakan suara, kita tidak memiliki sesuatu hanya kebisuan, atau tidak ada suara sama sekali. Karena berbasis pada suara, dan tanpa teks. Suara adalah tanpa jejak, dan karakteristik kedua orality muncul dari masalah bagaimana kemudian memanggil kembali rekaman suara atau bagaimana suara menjadi sesuatu yang organized material? Ong (2002) yang meminjam konsep dari Havelock menjawab: The only answer is: Think memorable thoughts. In a primary oral culture, to solve effectively the problem of retaining and retrieving carefully articulated thought, you

have to do your thinking in mnemonic patterns, shaped for ready oral recurrence (Havelock dalam Ong, 2002; 33). Ketika tidak ada jejak, sebab tidak ada teks, kelisanan mengembangkan pikiran dengan pola mnemonic; segala teknik yang bermaksud mengembalikan memori. Biasanya teknik mnemonic mempunyai formula ekspresi tertentu misalnya ritmis (ada irama), polanya

seimbang, banyak repetisi dan sebagainya. Dongeng/cerita adalah salah satu bentuk mnemonic, tetapi dongeng itu pada akhirnya menempatkan kita pada cerita yang lain lagi, dan cerita lebih besar dan akhirnya pada keseluruhan jejaring budaya2. Tetapi yang harus digarisbawahi bahwa masalah mnemonic dan formula ekspresi ini pada akhirnya tidak hanya berhubungan dengan ingatan, tetapi juga pemikian (thought) dalam budaya kelisanan. Jadi patut dicatat disini adalah apa yang sedang dipikirkan oleh Ong, sebenarnya tidak sekadar bertujuan membedakan bagaimana tulisan dan lisan, atau bagaimana konfigurasi kelisanan dalam teknologi modern, tetapi masalah yang lebih besar; masalah peradaban. Kesadaran terhadap mnemonic mempengaruhi pemikiran dan cara berekspresi masyarakat kelisanan. Dengan asumsi dasar tersebut, Ong kemudian menyarankan beberapa karakter style pemikiran dan cara berekspresi dalam masyarakat orality (dapat dilihat secara lengkap di Ong, 2002; 3656), yang dijelaskan secara singkat dalam tulisan ini; 1. Cenderung additive ketimbang subordinative: Dalam penjelasan mengenai ini, Walter Ong membandingkan ayat yang sama dalam Kitab Kejadian (1-5) dari versi The Douay (1610) dan versi New American (1970). Dalam The Douay, kata and digunakan sembilan kali, sementara and di New American hanya 2 kali sebab yang lain di-translasi menjadi when, thus, or while, sehingga terjalin sebuah narasi dimana sebuah kalimat menjadi sub-ordinat dari kalimat yang lain. 2. Aggregative ketimbang analitis: Dalam beberapa hal, budaya oral biasanya memilih menyebut the brave soldier ketimbang the soldier, the beautiful princess ketimbang the princess. Kelisanan biasanya lebih aggregative, menambahkan sifat begitu saja, tanpa harus menganalisis

Lihat http://www.jpwalter.com/machina/?p=5

apakah benar pada kenyataanya the princess itu memiliki sifat beautiful. Hal ini dimungkinkan, karena aggregative ini penting dalam untuk memori. 3. Redundant atau copious: Jalur pada sesuatu tergantung pada kontinuitas. Pada tulisan, kontinuitas terjaga dengan adanya teks. Akan tetapi tidak demikian dalam sebuah kelisanan. Kelisanan mempunyai kontinuitas yang pendek. Oleh karenanya redundansi, repetisi dari apa yang dilakukan menjaga pembicara dan pendengar berada dalam jalur pembicaraan. Repetisi ini juga dimungkinkan jika menghadapi audiens yang besar. 4. Conservative atau mengembangkan tradisi: Ketiadan tulisan, membuat masyarakat kelisanan mencurahkan seluruh energinya untuk terus-menerus mengulang/mengkonservasi apa yang ada dalam cerita. Cerita/dongeng adalah sebuah pengetahuan, dan pengetahuan bagaimanapun adalah mahal. Untuk itulah sering muncul tokoh-tokoh yang dianggap penting karena menguasai cerita, dalam konteks ini, ia berarti menguasai pengetahuan. Ong meyakini juga bahwa tulisan pada awalnya adalah upaya konservasi. Ia mengikuti gagasan Oppenheim bahwa tulisan Sumeria pada awalnya adalah untuk meng-konservasi hukum pada masa Sumeria awal. 5. Dekat kepada kehidupan manusia Karena ketiadaan kategori analitis, kelisanan biasanya mengkonseptualisasi dan membahasakan semua pengetahuan yang mereka punyai dengan kehidupan manusia saat itu. Ini berbeda dengan budaya chirographic (penulisan) dan bahkan tipografi (cetak) yang dapat membuat jarak, dengan cara mengubah sifat sesuatu benda bahkan manusia, mendaftar hal-hal seperti nama-nama pemimpin dan divisi politik dengan sebuah abstraksi. Bahkan beberapa benda netral biasanya tidak meurujuk pada konteks tindakan manusia. 6. Nadanya cenderung agonistic Karena biasanya membahasakan dengan kehidupan manusia pada saat itu, kelisanan dalam penampilannya biasanya cenderung agonistic; nada yang mencerminkan tentang perjuangan hidup, bagaimana seseorang harus melawan seseorang lainnya. Sementara literasi yang mempunyai banyak abstraksi, membuat jarak dari kehidupan manusia sehingga tidak banyak memunculkan nada agonistic. 7. Cenderung Empathetic and partisipatoris ketimbang objektifikasi berjarak: Dalam kelisanan pembelajaran atau mengetahui berarti menerima secara dekat, menjalankan empati, dan secara komunal mengidentifikasi apa yang hendak diketahui

atau getting with it. Sementara penulisan memisahkan the knower dari the known, dan kemudian hal ini memebentuk kondisi-kondisi untuk objektivikasi sehingga berjarak. 8. Homeostatic Masyarakat dalam budaya kelisanan biasanya banyak hidup dalam kondisi sekarang (present) yang menjaganya selalu dalam titik ekuilibrium. Dengan kelisanan, mereka biasanya akan selalu memotong ingatan-ingatan yang tidak lagi relevan dengan masa mereka (their present). Sementara budaya cetak telah menemukan kamus-kamus dimana kata mempunyai banyak makna. 9. Situational ketimbang abstrak Budaya kelisanan biasanya menggunakan konsep-konsep secara situasional. Situasi adalah praktik frame of reference yang mempunyai minimal abstrak, sehingga mereka tetap dekat dengan kehidupan dunia. Ong menyitir Havelock (1978a) yang menunjukkan bahwa pemikiran mengenai hukum dalam masa pre-Socratik adalah dikonseptualisasi secara operasional ketimbang formal. Setelah menjabarkan penjelasan di atas secara singkat kita dapat melihat bahwa asumsi Ong terhadap kelisanan dan literasi pada dasarnya mempunyai dasar argumen yang sangat material/inderawi: kelisanan mempunyai basis suara (sound) sementara literasi mempunyai basis penglihatan (sight). Ong tampaknya focus pada tubuh manusia (alat inderawi) sebagai sebuah teknologi dalam peradaban. Peradaban yang berbasis kelisanan memanfaatkan indera pendengar karena media yang digunakan adalah suara. Sementara peradaban yang berbasis literasi/tulisan memanfaatkan indera penglihatan karena media yang digunakan adalah visual. Kata-kata, tidaklah dilihat sebagai sign seperti halnya dalam pengertian semiologi. Kata-kata sepanjang ia digunakan dalam writing menurut Ong adalah visual yang tercerap melalui penglihatan, sebuah bentuk secondary modeling sistem of thought.

Tulisan di Internet: kelisanan sekunder atau residu kelisanan? Konsep orality pada dasarnya adalah pemanfaatan indera pendengaran manusia, dengan demikian semua hal yang merupakan produk teknologi tidak dapat dinilai sebagai kelisanan sekunder sepanjang ia hanya memanfaatkan indera penglihatan.

Dalam konteks internet, tayangan dalam situs Youtube, yang memanfaatkan indera pendengaran dapat disebut sebagai kelisanan sekunder. Akan tetapi status situs facebook, email, percakapan dalam forum, tulisan dalam blog juga re-twit dalam twitter tidak dapat disebut sebagai kelisanan sekunder. Anehnya banyak sarjana menggunakan konsep kelisanan sekunder di internet justru untuk melihat fenomana yang basisnya adalah writing dan sama sekali bukan oral. Ong pernah menyatakan: I have also heard the term secondary orality lately applied by some to other sorts of electronic verbalization which are really not oral at allto the Internet and similar computerized creations for text. 3 Menurutnya hal ini karena penerima pesan dalam internet (computer network) dapat menerima apa yang sedang dikomunikasikan tanpa interval waktu. Meski tidak sama persis sebagaimana komunikasi oral, hubungan pesan dari satu orang ke orang lain sangat cepat dan efeknya dapat dirasakan pada saat yang sama, seperti halnya yang ditimbu lkan oleh suara. Itulah mengapa pembahasaan pada internet kemudian disamakan dengan kelisanan sekunder, meski hal tersebut tidak tepat. Untuk memahami fenomena non-oral (tidak berbasis pada suara) dalam internet, kita harus kembali pada asumsi awal Walter Ong bahwa kelisanan dan penulisan adalah sistem yang berbeda. Meski demikian, tulisan, dengan bantuan teknologi, mampu mewujud dengan tampilan oral (disebut kemudian sebagai kelisanan sekunder). Sementara kelisanan yang merupakan pembentuk awal bahasa tentu saja mampu mewujud dalam tulisan, dan Ong menyebutnya sebagai secondary oral residue. Dalam karyanya Oral Residue in Tudor Prose Style (1965) Ong secara langsung menunjuk fenomena karakteristik oral yang ditemukan dalam tulisan. Ong kemudian mengusulkan bahwa residu oral ini bukanlah rekonstruksi kesadaran dari komunikasi oral karena literasi melainkan habits of thought and expression tracing back to preliterate situations or practice, or deriving from the dominance of the oral as a medium in a given culture, or indicating a reluctance or inability to dissociate the written medium from the spoken
4

Kleine, Michael, and Fredric G. Gale. The Elusive Presence of the Word: An Interview with Walter Ong. Composition FORUM 7.2 (1996): 80 dapat diakses di http://www.jpwalter.com/machina/?p=331 4 dapat diakses di http://www.jpwalter.com/machina/?p=331

Residu oral inilah sebenarnya yang ditemukan dalam fenomena non-oral (non suara) dalam internet; misalnya status facebook, twitter, tulisan di blog dan dalam forum-forum internet sepanjang teknologi tersebut tidak menggunakan suara.

Sekilas Gambaran Kelisanan (Orality) di Indonesia Pembahasan residu kelisanan dalam pembicaraan politik di sebuah forum yang berkonteks di Indonesia, tentu saja harus dibarengi dengan gambaran mengenai bagaimana kelisanan di Indonesia. Pertama, meski karakter kelisanan yang ditawarkan Ong berbasis pada teknologi tubuh (alat inderawi manusia) dapat berlaku universal, kita tetap tidak dapat menolak prasangka bahwa apa yang menjadi konteks gagasan Walter J Ong adalah western culture dan berbeda dengan kita yang non-western. Kedua, bagaimana mungkin seseorang dapat melihat residu kelisanan tanpa mengetahui kelisanan? Namun tentu saja apa yang akan penulis gambarkan disini tidak merupakan sebuah gambaran utuh bahkan barangkali merupakan hipotesis yang harus dilihat lagi. Untuk kemudahan, penulis akan memperlihatkan fenomena sederhana yang mungkin setiap hari ditemui atau dilakukan oleh orang Indonesia kebanyakan yakni pembacaan kitab suci Quran di kalangan masyarakat muslim. Meski sekarang banyak muncul ustaz, sekolah, dan lembaga yang mentafsir/mengajarkan tafsir ayat quran secara rasional, diakui atau tidak, banyak di antara masyarakat Indonesia, pada saat mereka membaca Quran, tidak mengetahui artinya. Jauh sebelumnya, Van der Chisj telah mengamati hal ini. Tulisnya; Penduduk Bumiputera mengenal dua cara membaca; pertama, dengan cara seperti kita, bedanya mereka jarang memahami tujuan resitasi; kedua, membaca dengan cara menyanyikannya (nembang maca). Mereka hanya menggunakan cara pertama, apabila cara kedua tidak mungkin, karena bagi mereka cara kedua pasti sangat digemari dan betul-betul dirasakan sebagai cara yang benar. (Chijs, 1867b; 7 dalam Moriyama, 2003; 57) Selain itu Van der Chijs juga menyebut apa yang ia namakan sebagai pembacaan mekanik, dimana asumsi utamanya adalah masyarakat hampir tidak mengerti apa yang me reka baca kecuali jika mereka menyanyikannya (Chijs, 1867b; 7 dalam Moriyama, 2003; 57). Penduduk Bumiputera yang disebut oleh Chijs dalam teks di atas tentu saja adalah masyarakat Jawa. Namun, penulis meyakini bahwa tipe pembacaan ini dilakukan oleh hampir

masyarakat muslim di seluruh tanah Nusantara, saat itu dan mungkin sampai sekarang sekarang. Chijs menyebut pembacaan mekanik yang biasa dilakukan adalah tanpa pengertian dan pemahaman seakan-akan masyarakat kita dulu adalah tidak mempunyai sistem pengetahuan sama sekali. Akan tetapi asumsi Chijs tentu saja didasarkan pada konsep literasi yang ketat, dimana tulisan harus dimengerti dengan jalinan logika atau rasionalisasi tulisan. Jadi apa yang ditemui Chijs pada dasarnya adalah kelisanan, dimana pembacaan Quran ditujukan untuk menumbuhkan rasa. Sehingga tidak mungkin membacanya dengan konsep literasi yang berusaha untuk mencapai kesesuaian logika. Bagaimanapun tidak mengertinya seseorang mengenai kalimat atau kata dalam Quran, ia tetap merasa sah dan tetap disebut telah membaca Quran. Problem bagi pembaca Quran bukanlah pengertian, akan tetapi masalah sampainya rasa ke hadlirat Tuhan. Anehnya, Chijs tetap menulis bahwa pembaca quran yang ia temui hanya mengerti jika mereka menyanyikannya. Menyanyi dan membaca, di hadapan sebuah tulisan, sama-sama merupakan kegiatan yang melibatkan indera penglihatan, dengan demikian pengertian yang didapatkan adalah pengertian dari pembacaan. Lalu bentuk pengertian macam apa yang didapat dari menyanyi, jika dari membaca saja tidak mengerti? Kita hanya bisa mengerti jenis pengertian ini pada perbedaan perilaku terhadap suara (sound) pada dua kegiatan tersebut. Suara, seperti kita telah yakini di awal, merupakan basis kelisanan. Menyanyi/nembang Quran (bahasa lainnya; dengan tartil/mujawwad)

memanfaatkan suara yang ritmis, dengan irama, sehingga pengertian yang dituju oleh pembaca quran bukanlah pengertian dalam term rasional, melainkan rasa. Ukuran keberhasilan teknik menyanyikan Quran tentu saja berbeda dengan teknik membaca biasa. Untuk menuju rasa, yang diukur dalam tekniknya barangkali bukanlah kebenaran membaca akan tetapi keindahan. Dan hingga sekarang, dalam masyarakat kita, penilaian penguasaan al-Quran adalah pada kemampuan untuk membaca (tentu saja dengan melagukan) dan bukan untuk menafsirkannya. Ketepatan mengeluarkan suara/huruf arab (makhrojul huruf), barangkali bukan saja agar pelafalan kalimat Arab itu tepat sesuai artinya (kalimat Arab menuntut pembedaan keluarnya suara yang berbeda dengan lidah melayu/jawa). Akan tetapi barangkali ditujukan untuk keindahan demi penghayatan/rasa.

Pencapaian akan rasa dan keindahan teknik menyanyikan Quran tentu saja sukar diukur. Sehingga hal ini tentu saja bersifat sangat situasional. Masyarakat kita meyakini bahwa ketika menghadapi situasi yang rumit atau menghadapi sebuah masalah, membaca Quran dipercaya berfungsi untuk menenangkan atau menentramkan. Tentu saja sulit untuk mengukurnya dengan rasionalitas, dan oleh karenanya hanya bersandar pada common-sense.

Kelisanan dalam Pembicaraan Politik di Forum Kaskus Dari kajian tentang kelisanan dan literasi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perbincangan politik di sebuah forum online merupakan bentuk literasi. Literasi karena perbincangan politik di forum internet menggunakan tulisan, bukan suara. Analisis oleh para sarjana yang melihat perbincangan politik seperti Avgerinakou (2002) dan von Arx (2002) yang memasukkan tulisan di internet sebagai kelisanan sekunder merupakan bentuk pengkategorisasian yang tidak tepat. Meskipun demikian, kita bisa mengambil pemikiran dari para pemikir yang skeptis terhadap perbincangan politik di internet yakni fusi kelisanan dan literasi yang ada di internet bisa menjadi faktor penghalang bagi tumbuhnya diskusi yang bebas dan rasional. Untuk memeriksa bagaimana kelisanan dan literasi bercampur -aduk dan mewarnai bentuk perbincangan politik di internet, makalah ini akan mengambil kasus perbincangan politik di forum online KASKUS. Thread atau perbincangan yang akan dianalisis adalah perbincangan tentang pemberitaan rencana pembangunan gedung baru DPR-RI. Pemberitaan ini menyita perhatian publik juga pro dan kontra di media-media di Indonesia. Di forum KASKUS perbincangan ini terletak di sub forum Berita dan Politik, sebuah sub forum yang mengkhususkan pada diskusi dan perbincangan pada pemberitaan yang menjadi isu utama pada saat tertentu dan isu-isu politik. Perbincangan tentang rencana pembangunan gedung DPR pada forum KASKUS khususnya pada sub forum Berita dan Politik termuat pada thread dengan judul [merged] Semua tentang Rencana Pembangunan Gedung DPR5. Terdapat tag [merged] yang berarti semua posting tentang rencana pembangunan gedung DPR dikumpulkan menjadi satu thread. Thread yang dimulai pada tanggal 1 April 2011 ini juga sempat di tempatkan pada thread

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7847282

penting dengan tag sticky yang berarti bahwa thread tersebut adalah penting dan web-master menempatkannya di atas semua thread sehingga mudah ditemui dan dikunjungi kembali6. Dari tanggal 1 April 2011 sampai dengan tanggal 28 April 2011 terdapat 4936 posting di dalam thread rencana pembangunan gedung DPR. Perbincangan ini dimulai dengan berita tentang pernyataan Ketua DPR-RI Marzuki Alie tentang serangan publik terhadap dirinya. Berita yang dikutip dari situs berita Detik yang menjadi pencetus perbincangan tentang rencana pembangunan gedung DPR. Berita yang berjudul Marzuki Alie: Tolonglah, Saya Ketua DPR, Jangan dizalimi 7 berisi pernyataan Marzuki Alie sebagai ketua DPR terkait dengan rencana pembangunan gedung DPR yang mendapatkan banyak kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Dalam berita tersebut terdapat kutipan pernyataan Marzuki sebagai berikut "Soal beginian itu elit yang pinter-pinter. Kalau dibawa ke kampus, profesor, akademisi, baru bisa ngerti. Kalau rakyat biasa yang penting perut terisi, kalau ursan begini orang yang penting. Isi komentar dan posting berikutnya hampir semua memusatkan diri pada pernyataan Marzuki Alie tersebut. Alih-alih sebuah diskusi sehat dan rasional tentang kebijakan rencana pembangunan gedung DPR, thread ini dipenuhi posting yang berisi kritik terhadap Marzuki Alie secara personal, partainya, bahkan cacian dan hinaan. Kata-kata yang digunakan cenderung kasar dengan makian yang merujuk pada binatang, ketidakmampuan berpikir, bahkan sangat kasar untuk dituliskan di sini. 259 posting pertama semuanya berisi cacian dan hinaan terhadap Marzuki Alie. Hampir tidak ada perbincangan atau engagement. Hanya pada posting ke 260 terdapat pernyataan dari anggota KASKUS dengan nama pengguna beretekyunior seperti gambar di bawah ini

Gambar 1: komentar baretekyunior pada thread rencana pembangunan gedung DPR8 Komentar ini bernada satir dengan menyatakan kesetujuan terhadap musuh bersama dalam posting sebelumnya yakni Marzuki Alie yang dipanggil zuki di dalam posting di atas. Di
6 7

Sticky Content dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sticky_content http://www.detiknews.com/read/2011/04/01/182216/1606750/10/marzuki-alie-tolonglah-saya-ketua-dprjangan-dizalimi?9911012 8 http://www.kaskus.us/showthread.php?p=398201578#post398201578

dalam posting ini juga terdapat gambar atau emoticon orang tertawa atau di forum KASKUS merupakan emoticon ngakak, yakni tertawa terbahak-bahak. Pernyataan beretekyunior adalah satu-satunya pernyataan yang bernada setuju, walaupun satir dari 260 posting. Pernyataan baretekyunior kemudian dijawab oleh oldcurse seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2: komentar oldcurse pada thread rencana pembangunan gedung DPR9 Komentar oldcurse merupakan reaksi terhadap komentar beretekyunior yang juga dengan nada satir mengatakan bahwa komentar beretekyunior bagus (keren). Kalimat berikutnya adalah cek kulkas yah, ada hadiah dari a ne dan gambar emoticon blue guy bata yang diartikan sebagai melemparkan bata yang didalam KASKUS berarti pengurangan reputasi terhadap salah seorang pengguna. Kedua komentar di atas adalah bentuk perbincangan atau engagement di dalam media sosial. Ketika sebuah komentar di komentari lagi dan berkelanjutan menjadi perbincangan tidak hanya dari dua orang pengguna tapi juga oleh pengguna lainnya. Namun perbincangan di atas sangat singkat dan sifatnya reaksional agonistik. Dengan bentuk melawan komentar sebelumnya baik yang dilakukan oleh beretekyunior atau oldcurse atau semata-mata negasi dari nada pembicaraan dan bukan pada substansi. Komentar oldcurse merupakan bentuk hukuman atas beretekyunior yang menjadi defian dalam kelompok perbincangan tentang rencana pembangunan gedung DPR. Rasa kesatuan komunal yang menjadi tujuan utama budaya kelisanan masih tersisa dalam perbincangan di forum online. Hampir semua mengatakan hal yang sama demi komunalitas atau kesamaan sebagai sebuah kelompok. Mereka yang berbeda akan dihukum, dalam kasus ini pengurangan reputasi bagi pengguna yang berkomentar lain. Dari kasus di atas, perbincangan politik di dalam forum online KASKUS dipenuhi oleh bentuk-bentuk kelisanan yang menjadi residu bahkan ketika media yang digunakan adala h
9

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7847282&page=17

media tulisan. Residu kelisanan ini dicirikan dengan bentuk spontanitas, seperti cacian, hinaan, kata-kata kotor, serta bentuk bahasa tidak baku yang seringkali jauh dari kaidah gramatika bahasa atau bentuk-bentuk bahasa lisan yang mengedepankan hubungan atau relasi dari pada kebenaran. Bentuk residu kelisanan lainnya adalah sifat situasional yang menjadi fokus pembicaraan. Thread di atas berjudul rencana pembangunan gedung DPR yang ternyata berisi reaksi keras terhadap Ketua DPR-Ri Marzuki Alie atas pernyataanya di dalam sebuah berita. Hampir tidak ada perbincangan tentang substansi tema yang tertera pada judul. Semua pembicaraan sifatnya situasional dalam artian hanya menunjuk pada situasi pernyataan Marzuki Alie dan bukan substansi rencana pembangunan gedung DPR-RI. Perbincangan politik di atas juga bersifat redundant dan additive, pengulangan atas komentar yang bernada sama dan penambahan atas karakteristik Mazuki alie yang berupa hinaan semakin memperkuat ciri residu kelisanan. Hampir tidak ada wawasan atau pengetahuan baru atas perbincangan politik rencana pembangunan gedung DPR. Walau demikian bentuk agonistik yang melawan bisa dipandang sebagai bentuk suara alternatif yang selama ini tidak muncul dalam perbincangan politik arus utama (mainstram).

Kesimpulan Setelah makalah ini memeriksa secara kritis bentuk kelisanan dari konsep Walter J Ong, dapat disimpulkan bahwa bentuk perbincangan politik di dalam forum online merupakan bentuk residu kelisanan dan bukan kelisanan sekunder. Semua bentuk tulisan merupakan bentuk literasi dan dengan demikian tidak mungkin menjadi sebuah kelisanan. Kelisanan hanya berupa residu atau endapan di dalam budaya forum online. Bentuk-bentuk residu kelisanan tersebut dari kasus perbincangan politik tentang rencana pembangunan gedung DPR di forum KASKUS antara lain bentuk spontanitas dan rasa komunal yang juga menjadi ciri kelisanan sekunder. Lebih dari itu, terdapat residu kelisanan dari bentuk agonistik, situasional, redundant dan additive. Makalah ini memiliki beberapa keterbatasan data dan perspektif yang tidak memungkinkan untuk menyimpulkan lebih jauh tentang masa depan serta prospek perbincangan politik di forum online. Namun berdasar pandangan skeptis pada demokratisasi di internet, makalah ini

bisa dijadikan rujukan awal untuk melihat apakah memang terjadi diskusi rasional dan sehat di dalam perbincangan politik di forum online dengan residu kelisanan yang sangat kental dan mewarnai media baru yang menggunakan tulisan.

Daftar Pustaka
Albrecht, Steffen (2003), Whose Voice is heard in the virtual public sphere, Dahlberg, Lincoln (2001), The internet and democratic discourse: Exploring the prospects of online deliberative forums extending the public sphere, Information, Communication & Society, 4(4): 615633, DOI: 10.1080/13691180110097030 Dunne, Kerill (2010), Can Online Forums Address Political Disengagement for Local Government, Journal of Information Technology & Politics, 7(4): 300-317, DOI: 10.1080/19331681.2010.491023 Freelon, Deen G. (2010), Analyzing online political discussion using three models of democratic communication, New Media Society, XX(X):1-19, DOI: 10.1177/1461444809357927 Hill, D. T., & Sen, K. (2005), The Internet in Indonesia's new democracy, London, Routledge. Joyce, Michael (2002), No One Tells You This: Secondary Orality and Hypertextuality, Oral Tradition, 17(2): 325-345, diunduh dari http://journal.oraltradition.org/files/articles/17ii/Joyce.pdf Lim, Merlyna (2002), Cyber-civic space in Indonesia: From panopticon to pandemonium, International Development and Planning Review (Third World Planning Review), Liverpool, Liverpool University Press, 24 (4): 383400, doi:10.3828/idpr.24.4.3 Lim, Merlyna (2003), "From Real to Virtual (and back again): Civil Society, Public Sphere, and Internet in Indonesia". In K. C. Ho, R. Kluver, & C. C. Yang. From Real to Virtual (and back again): Civil Society, Public Sphere, and Internet in Indonesia, New York, Routledge. Lim, Merlyna (2010), [Talk] Pop n Politics: Web 2.0 and Participatory Culture in Indonesia, [web blog message], diunduh dari http://merlyna.org/?p=1192 Moriyama, Mikihiro, (2003), Semangat Baru. Jakarta, KPG. Nugroho, Yanuar, (2011), Citizens in @action: Collaboration, participatory democracy and freedom of information Mapping contemporary civic activism and the use of new social media in Indonesia, Report, Research collaboration of Manchester Institute of Innovation Research, University of Manchester and HIVOS Regional Office Southeast Asia. Manchester and Jakarta. Ong, Walter J. (2002), Orality and literacy: Technologizing of the word, New York, Routledge. Ong, Walter J. (1982), Orality, literacy, and modern media, dalam Crowley dan Heyer (eds) (2003), Communication in history: Technology, culture, society, Boston, Allyn & Bacon/Pearson Papacharissi, Zizi (2004), Democracy online: civility, politeness, and the democratic potential of online political discussion groups, New Media Society, 6(2): 259283, DOI: 10.1177/1461444804041444 Sticky contents (n.d) dalam Wikipedia, diunduh 20 April 2011 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sticky_content

von Arx, Kim (2002), LitOral: A New Form of Defamation Consciousness, Canadian Journal of Law & Technology, 1(2): 63-76, diunduh dari http://cjlt.dal.ca/vol1_no2/pdfarticles/vonarx.pdf van Dijk, J. (1996), The Reality of Virtual Communities, in J. Groebel (ed.): New Media Developments, Amsterdam, Boom. Walter, John (2005), Story as knowledge, (web blog message), diunduh dari http://www.jpwalter.com/machina/?p=5 Walter, John (2006), (Mis)Uses of secondary orality, (web blog message), diunduh dari http://www.jpwalter.com/machina/?p=331

S Kunto Adi Wibowo adalah pengajar di Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Mengajar mata kuliah studi media, filsafat komunikasi, riset media dan perencanaan media. Ranah penelitan antara lain media dan budaya, media sosial, partisipasi politik, komunikasi kesehatan, dan komunikasi lingkungan hidup. Makalah ini dipresentasikan pada Commweek Universitas Mercu Buana, Jakarta pada tanggal 10 Mei 2011. Alamat: Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD Jl Raya Bandung-Sumedang Km 21, Bandung [email: kuntoadi@unpad.ac.id]

Anda mungkin juga menyukai