Anda di halaman 1dari 21

BAHASA DALAM WACANA INTERAKTIF DI INTERNET

Suatu Kajian tentang Demokratisasi Melalui Tema Terorisme

Oleh, Aceng Ruhendi Saifullah

Abstrak

Sepanjang dekade terakhir, fenomena demokratisasi di Internet telah banyak menarik


perhatian para ahli. Penelitian ini bermaksud menelusuri dan memperlihatkan peran Internet
sebagai forum demokratisasi melalui kajian penggunaan bahasa dalam wacana interaktif.
Menggunakan kasus tanggapan pembaca terhadap informasi tentang terorisme di media
siber, analisis teks dilakukan berdasarkan paradigma kritis dan pendekatan grounded theory.
Secara garis besar, hasil analisis menemukan bahwa frasa yang mungkin paling
menggambarkan ciri pemahaman penanggap terhadap informasi tentang terorisme adalah
“konspirasi asing” dan “rekayasa politik” dengan segala variasi dan turunannya, sementara
media cenderung memahaminya sebagai “politik pencitraan”. Faktor Internet sebagai
teknologi dan media yang menjanjikan “keramahan” (conviviality) dan “keleluasaan”
(discretion) turut menentukan terjadinya perbedaan tersebut. Studi ini menyimpulkan, bahwa
secara formal, penggunaan bahasa dalam wacana Interaktif di Internet menunjukkan
terjadinya proses transformasi demokratisasi ke arah yang lebih setara dan adil, namun
secara substansial masih jauh dari harapan dan oleh karenanya masih harus diperjuangkan.

Kata-kata kunci: wacana interaktif, demokratisasi, terorisme

1. Pendahuluan

Kajian ini dilatari dan didorong oleh kondisi umum yang berkaitan dengan terjadinya
kecenderungan hegemoni pemaknaan atas realitas oleh pihak yang lebih dominan (dalam hal
ini: negara dan media) terhadap pihak yang kurang dominan (dalam hal ini: publik). Di
tataran teoritis, telah berkembang berbagai asumsi yang terkait dengan kecenderungan itu.
Foucault (1982), misalnya, berpendapat bahwa melalui wacana, seseorang atau sekelompok
orang, dapat merealisasikan kuasa, yang digunakan untuk “mengalahkan” pihak lain. Atas
dasar asumsinya itulah, ia kemudian menggagas konsep wacana sebagai refleksi relasi kuasa
dalam konteks sosial, yang pada perkembangan berikutnya memunculkan perspektif
fungsional dalam analisis bahasa (Halliday & Hassan 1984) dan paradigma analisis wacana
kritis (AWK) yang, antara lain, dikembangkan oleh van Dijk (1993, 2008, 2009) dan
Fairclough (1995, 2001). Sejak itu, konteks situasi interaktif dalam struktur wacana telah
menjadi focus kajian AWK, yang menunjuk pada adanya relasi kuasa yang cenderung tidak
seimbang atau asimetris, yang pada guliran berikutnya menjelma sebagai fenomena dominasi
dan hegemoni kekuasaan (van Dijk 1995). Namun begitu, struktur wacana yang berupa relasi
kuasa itu bukan sesuatu yang tetap, melainkan sesuatu yang dapat bertransformasi secara
dinamis (Fairclough 2001, Hoed 2011).
Di tataran empiris, berbagai kajian telah banyak dilakukan berkenaan dengan
kecenderungan hegemoni pemaknaan itu. Aitchison (2003), misalnya, melaporkan hasil
kajiannya yang berjudul “From Armageddon to War: The Vocabulary of Terrrorism”. Ia
menelusuri perubahan yang terjadi pada bahasa yang digunakan oleh media dalam
pemberitaan tentang peristiwa terorisme. Adi (2010), juga, menulis disertasi berjudul Critical
Discourse Analysis of Terorism in Newsweek Magazine: Uncovering Connection between
Language, Idelogy, and Power”. Menggunakan kasus pidato Presiden Amerika George W.
Bush terkait peristiwa terorisme “9/11”, ia menggambarkan terjadinya konspirasi antara
negara dan media untuk melakukan hegemoni pemaknaan atas peristiwa terorisme itu.
Dalam konteks perkembangan demokratisasi dan teknologi Internet yang pesat
sepanjang dekade terakhir ini, substansi dan efek jangka panjang dari kecenderungan itu
dapat dipermasalahkan. Demokratisasi tampaknya sulit direalisasikan dalam media yang
konvensional, seperti koran, majalah, radio, dan televisi. Dalam beberapa kasus, elite terbatas
cenderung mengendalikan proses pemaknaan atas realitas itu. Gunawan (2009) dan Sudibyo
(2011), misalnya, mencatat sejumlah bukti terjadinya konspirasi antara media dan pihak
kepolisian dalam proses peliputan dan pemberitaan tentang peristiwa terorisme “Bom
Kuningan II” yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah profesionalisme dan kode etik
jurnalistik. Sementara di sisi lain, Triharyanto (2011) melaporkan hasil penelitiannya tentang
eratnya relasi antara media dan teroris. Fenomena itulah tampaknya yang membuat beberapa
ahli bicara soal pentingnya kajian tentang “ fenomena demokratisasi di Internet” (lihat
Wilhelm 2000, Lim 2005, Dahlberg 2006, Trech 2009), dalam rangka mengakomodasi
kepentingan public, yaitu tersedianya alternatif media yang lebih setara dan adil.

Dalam konteks Indonesia, kajian berperspektif linguistik lintas disiplin yang berkaitan
dengan fenomena demokratisasi di Internet itu masih tergolong langka, bahkan mungkin
hampir belum tersentuh. Untuk mengisi kekosongan itulah, antara lain, penelitian ini
menemukan urgensinya. Sementara dalam konteks global, sesungguhnya fenomena
demokratisasi di Internet dalam kaitannya dengan kajian bahasa telah banyak menarik
perhatian para ahli dalam dekade terakhir ini. Fairclough (2001), misalnya, dalam buku
Language and Power edisi kedua, memasukkan bab baru yang mendiskusikan fenomena
globalisasi dalam kaitannya dengan kajian bahasa dan kekuasaan serta pengembangan
Internet. Sementara itu, van Dijk (2009), menandai kaitan fenomena demokratisasi dan
perkembangan teknologi Internet ini sebagai isyarat menguatnya “budaya partisipatif”.

Berdasarkan latar belakang di atas, secara umum penelitian ini bermaksud menelusuri
dan memperlihatkan peran Internet sebagai forum demokratisasi, melalui kasus tanggapan
pembaca terhadap informasi tentang terorisme di media siber. Untuk itu, penelitian ini
berupaya menjawab permasalahan pokok, yaitu: apakah proses kewacanaan di Internet dapat
dirumuskan sebagai forum demokratisasi komunikasi? Berdasarkan permasalahan pokok
tersebut, penelitian ini berfokus pada dua pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana
informasi tentang terorisme di Internet dimaknai oleh penanggap; apakah informasi itu
dimaknai sebagaimana dimaksudkan oleh media? Kedua, faktor apa yang menyebabkan
adanya perbedaan pemaknaan tentang terorisme antara yang dimaksudkan oleh media dan
penanggap?
Dengan terjawabnya pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, paling tidak, ada dua
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini. Pertama, adanya pengembangan teori
tentang hubungan antara bahasa, media, teknologi komunikasi, dan proses transformasi
sosial budaya. Benarkah proposisi yang menyatakan bahwa relasi bahasa, media, dan
teknologi komunikasi bisa digunakan sebagai piranti demokratisasi dan penetrasi kesetaraan
dan keadilan? Bila benar, prasyarat apa yang harus dipenuhinya? Paragdigma AWK
tampaknya dapat digunakan untuk mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan
mengeksplanasikan relasi idealistik itu (Johnstone 2002, Lewis 2003). Kedua, kontribusi
praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah menemukan alternatif media yang dapat
dijadikan arena proses kewacanaan secara lebih demokratis. Dengan kata lain, secara praktis,
penelitian ini bermanfaat karena akan menunjukkan alternatif media yang dapat
mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam proses pemaknaan secara lebih setara, adil,
interaktif, dan produsemen (gabungan sisi pandang produsen dan konsumen).
2. Metodologi

2.1 Tumpuan Teoritis dan Kerangka Konseptual

Secara umum, penelitian ini bertumpu pada dua teori bahasa yang dipandang berpengaruh
besar terhadap perkembangan kajian wacana sejak akhir abad 20 hingga saat ini (lihat
Renkema 2004). Pertama, teori bahasa sebagai “tindakan komunikasi” dari Buhler (1934,
dalam Renkema 2004) yang dikenal sebagai “Model Organon”, yang pada perkembangan
berikutnya menurunkan teori tindak tutur (Searle 1969), prinsip kerja sama (Grice 1975),
teori kesantunan (Levinson 1983) dan teori relevansi (Sperber & Wilson 1995). Kedua, teori
wacana dari Foucault (1982) yang memandang wacana sebagai refleksi relasi kuasa dalam
konteks sosial, yang pada perkembangan berikutnya memunculkan perspektif fungsional
dalam analisis bahasa (Halliday & Hassan 1985) dan paradigma analisis wacana kritis
(misalnya, van Dijk 1993, 2008, 2009; Fairclough 1995, 2001).
Dalam kaitannya derngan teori bahasa sebagai tindakan komunikasi, Bühler
menyatakan bahwa suara atau bunyi hanya dapat memenuhi syarat sebagai tanda linguistik
jika terjalin hubungan tiga cabang yang mengaitkan pesan suara ke pengirim, penerima, dan
obyek yang dirujuk. Sejalan dengan hubungan tiga cabang itu, setiap tanda linguistic,
memiliki tiga fungsi secara bersamaan: 1) Fungsi tanda sebagai gejala seperti mengatakan
sesuatu tentang pengirim, misalnya, apakah pengirim adalah perempuan atau laki-laki atau
apa maksud dari ucapan tersebut. 2) Tanda adalah simbol karena mengacu pada benda dan
bidang tertentu. 3) Sebuah tanda berfungsi sebagai sinyal karena penerima harus menafsirkan
atau bereaksi terhadap apa yang telah dikatakan. Asumsi dasar dari model Organon adalah
memandang bahasa sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan dan bahwa instrumen tiga
kaki/cabang tidak dapat dianggap terpisah dari pembicara dan pendengar, atau penulis dan
pembaca, dalam melakukan tindakan komunikasi. Oleh karena itu bahasa, dalam hal ini
wacana, adalah instrumen dua arah, sebuah alat yang digunakan oleh pembicara dan
pendengar atau penulis dan pembaca. Dalam kaitan ini, Renkema (2004:12) mengutip
ungkapan filsuf linguistik Denmark Otto Jespersen yang menulis bagian pendahuluan tentang
Filsafat Tata Bahasa (1924): “The essence of language is human activity — activity on the
part of one individual to make himself understood by another, and activity on the part of that
other to understand what was in the mind of the first.”
Namun, keberadaan bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi semata untuk
menggambarkan fenomena sosial, melainkan dapat menentukan gambaran citra mengenai
suatu – yakni realitas media – yang akan muncul di benak khalayak. Oleh karena itu,
pertanyaan mendasar yanag diajukan Michel Foucault berkenaan dengan wacana adalah:
bagaimana wacana diproduksi dan apa efek dari produksi wacana? Dalam “The Order of
Discourse” (Foucault 1982), ia mengemukakan konsep mutakhir tentang wacana.
Menurutnya, wacana tidak hanya serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi lebih jauh
dari itu: wacana adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, boleh jadi sebuah gagasan,
konsep, atau efek. Oleh karena itu, menurutnya, wacana dapat diditeksi secara sistematis
karena suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu
sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang. Foucault berpendapat bahwa
melalui wacana, seseorang atau sekelompok orang, dapat merealisasikan kuasa, yang
digunakan untuk “mengalahkan” pihak lain ( Foucault 1970 dalam Hoed 2011). Atas dasar
asumsi itulah, maka dapat dinyatakan bahwa fitur esensial sebuah wacana adalah adanya
interaksi, sehingga makna yang terdapat di dalam wacana bukan hanya maksud (intention)
penutur, akan tetapi juga makna sebagaimana yang diterima (perception) oleh petutur
(Halliday 1978). Konteks situasi interaktif dalam struktur wacana menunjuk pada adanya
relasi kuasa yang cenderung tidak seimbang atau asimetris (Foucault 1979), yang pada
guliran berikutnya menjelma sebagai fenomena dominasi dan hegemoni kekuasaan (van Dijk
1995). Di samping itu, struktur wacana yang menggambarkan relasi kuasa itu bukan sesuatu
yang tetap, melainkan sesuatu yang dapat bertransformasi secara dinamis (Fairclough 2001,
Hoed 2011).
Demikianlah penjelasan mengenai tumpuan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini.
Asumsi-asumsi tersebut diharapkan mendapatkan landasan empirisnya dalam kajian ini.
Untuk kepentingan operasional penelitian, asumsi-asumsi tersebut dikembangkan melalui
kerangka konseptual sebagai berikut.
Gambar 1 Kerangka konseptual

Fenomena Konsep demokratisasi


demokratisasi dalam dalam wacana interaktif
wacana Interaktif di di Internet
Internet

Model wacana
interaktif di media
PELIBAT WACANA: BAHASA DALAM berita siber
WACANA INTERAKTIF DI sebagai forum
 Sumber informasi INTERNET: Kasus demokratisasi
 Pembuat/pengirim
pemberitaan tentang
 pembaca.penanggap
terorisme di media
berita siber

Cara bertutur
Analisis wacana kritis
penanggap dalam
perilaku wacana interaktif
berbahasa
penanggap dalam
wacana interaktif

Dalam kerangka konseptual tersebut di atas, ada dua konsep utama yang menjadi jantung
kajian ini. Pertama adalah konsep wacana interaktif yang menunjuk pada peristiwa
komunikasi yang berlangsung melalui media komputer dan saluran Internet, yang disebut
Herring (2004) sebagai Computer-Mediated Discourse (CMD), yang mengandung ciri-ciri:
interactivity, demassification, asynchronous and simultaneous. Kedua adalah konsep
demokratisasi yang menunjuk pada proses komunikasi yang secara formal berlandaskan
pada gagasan-gagasan tentang kesetaraan, keterbukaan, dan kebebasan dalam berekspresi
(Huntington 1991, Uhlin 1997, dan Mcluhan 1998), dan secara substansial bertumpu pada
nilai-nilai rasional, toleransi, dan kesantunan (Locke (1994, Diamond 1999). Dalam
penelitian ini, kedua konsep utama itu dicoba ditelusuri dan diperlihatkan hubungannya
melalui peristiwa wacana (field of discourse) yang berlangsung di media siber yang
bertemakan terorisme.
2.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis teks yang berbasiskan pendekatan


grounded theory, karena kajian ini mencoba mengkonseptualisasikan asumsi-asumsi yang
berbasis pada data. Fokus analisisnya tidak hanya pengumpulan atau penataan sejumlah besar
data, melainkan juga mengorganisasikan banyak gagasan yang muncul dalam aktivitas
analisis data-data tersebut. (Strauss dan Corbin 1990:7). Oleh karena itu, penelitian ini tidak
memulainya dengan teori dan kemudian membuktikannya. Namun, penelitian ini
memulainya dengan suatu bidang kajian dan segala hal yang relevan dengan bidang itu
dibiarkan muncul sendiri. (Strauss & Corbin 1990: 23).

Sesuai dengan yang disarankan dalam pendekatan grounded theory, penelitian ini
didasarkan pada suatu model indikator-konsep. Dengan rnenggunakan model tersebut,
indikator-indikator empiris dikodekan menurut konsep-konsep yang ada (Strauss 1987: 25).
Konsep adalah penamaan atau label yang dilekatkan pada peristiwa-peristiwa secara individu
(indikator-indikator) (Simak Strauss & Corbin 1990: 61). Jadi, dalam penelitian ini,
permasalahannya bukanlah masalah operasionalisasi konsep-konsep teoretis secara apriori
(misalnya, seperti pada analisis isi klasik), namun mencari indikator-indikator konsep
sementara yang terdapat dalam data yang ditelaah.

2.3 Konteks Penelitian dan Partisipan

Penelitian ini berlangsung di Internet, yakni di delapan media siber terpopuler di Indonesia
versi Lembaga Survey Alexa edisi 2009, yaitu Arrahmah.com, Detik.com, okezone.com,
Kompas.com, Republika Online, Tempointeraktif, Rakyat Merdeka online, dan vivanews.com.
Menggunakan dokumen terpublikasi (published document) yang berkaitan dengan
pemberitaan tentang “Peristiwa Bom Kuningan II”, yang terjadi pada Jumat 17 Juli 2009, di
tengah ketegangan politik di tingkat elit yang berkaitan dengan kontroversi hasil Pilpres
2009, penelitian ini berlangsung satu bulan, dari 17 Juli 2009 – 15 Agustus 2009.

Sepanjang periode itu, kedelapan media siber mengkonstruksi 25 teks berita dengan
berbagai topik yang menginformasikan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) yang berkaitan dengan “Peristiwa Bom KUningan II” dan tanggapan berbagai pihak,
terutama dari kalangan politisi dan professional. Mengiringi pemberitaan itu, melalui media
yang sama, tanggapan pun muncul dari para pembaca/pengguna Internet. Jadi, teks
penanggap yang menjadi obyek kajian ini adalah dalam konteks wacana perdebatan
bertemakan terorisme, yang berlangsung di Internet, yang diinformasikan oleh media dan
ditanggapi oleh penanggap. Dengan demikian, sangat disadari bahwa yang menjadi partisipan
atau subyek kajian ini ada dua, yaitu media dan penanggap. Namun, dalam kajian ini, sesuai
dengan fokus dan pertanyaan penelitian, yang menjadi perhatian utama adalah penanggap.

2.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan teknik observasi dan telaah
wacana terpublikasi (published discourse). Observasi dalam hal ini dilakukan melalui cara
membaca langsung 1310 teks tanggapan dan 25 teks berita, setidaknya tiga kali: tahap
pengenalan, tahap meringkas (reduksi data), dan tahap pengkodean/analisis. Dalam prosedur
ini, sebagaimana disarankan oleh Strauss dan Corbin (1990: 56), pengumpulan data
dilakukan melalui dan bersamaan dengan proses koding dan penulisan memo, untuk
memperluas konsep dan kategori-kategori (theoretical sampling).

2.5 Metode: Prosedur dan Teknik Pengkodean

Prosedur dan teknik pengkodeaan yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan teks dan
pengetahuan kontekstual, kemudian konsep-konsep dikembangkan, dikategorisasikan, dan
ditentukan dimensinya. Secara bersama-sama, konsep-konsep tersebut diperkaya dengan
indikator-indikator (contoh-contoh tekstual). Dasar yang digunakan untuk koding itu
terutama bertumpu pada rumpun koding penyebab  konsekuensi  korelasi  konstrain ,
sebagaimana yang disarankan dalam grounded theory, untuk kepentingan konseptualisasi dan
kategorisasi teks serta penentuan dimensinya. Sementara variabel-variabelnya dibuat dalam
level-level besaran (scalar) atau kecenderungan dominasi yang berbeda-beda. Proses
pengkodean itu berlangsung dalam tiga tahap: pengkodean terbuka, pengkodeaan terporos,
dan pengkodeaan terpilih.

3. Penyajian Hasil Analisis

Terkait dengan pertanyaan penelitian pertama, hasil analisis menemukan bahwa frasa yang
mungkin paling menggambarkan ciri pemahaman penanggap terhadap informasi tentang
terorisme adalah “konspirasi asing” dan “rekayasa intelejen” dengan segala variasi dan
turunannya, sebagai wujud bantahan terhadap pernyataan pihak negara yang menyatakan
bahwa peristiwa terorisme itu terkait dengan “kegaduhan politik di tingkat elit yang terkait
dengan hasil pilpres 2009”. Pemaknaan itu dilakukan oleh penanggap dengan cara yang
cenderung subyektif, berlebihan, dan emotif. Sementara media, cenderung memaknai
informasi tentang terorisme itu secara obyektif dan konfrontatif melalui opini yang
dikonfirmasi di kalangan politisi dan profesional, yang cenderung terpusat pada frasa “politik
pencitraan” dan “pengalihan isu politik”, dengan segala variasi dan turunannya. Hasil
analisis terhadap teks tanggapan berikut menggambarkan kecenderungan itu.

Peraga 1 berikut menunjukkan percontoh kecenderungan terjadinya keragaman pemaknaan


antarpenanggap di tataran kosakata, frasa, kalimat, dan teks. .

Peraga 1 Keragaman pemaknaan antarpenanggap

Kosakata:
terkutuk, picik, setan, drakula. revolusi, ambisi, carut-marut, muak, berkoar, biadab, kambing
hitam, sensasi, munafik, murahan, bloon, licik, bodoh, abisius, gila, rekayasa, pencitraan,
konspirasi, kiamat, amburadul, kacau, mengerikan,
Frasa:
antek Amerika Serikat, rekayasa intelejen, tindakan terkutuk, tabiat setan, revolusi kentut,
intelejen bodoh, konspirasi asing, gila kuasa, politik pencitraan, aksi murahan, melukai
demokrasi, ambisi kelompok tertentu, Doktrin jahiliyah, Pengamat gendeng, gerakan
islamisasi
Kalimat:
(1) Payah deh, kamu SBY!
(2) Gue muak dengan segala kepalsuan ini.
(3) Ini kerjaan neoliberalisme.
(4) Mana tanggung jawab negara melindungi rakyatnya?
(5) Media jangan jadi corong teroris, dong!
(6) Ini bukan revolusi Islam, tapi revolusi kentut!
(7) Jangan ambil nyawaku, kata si dodol…hehe hehe…
(8) Pengamat apaan ngaco begitu!?
Teks lengkap:
(1) Kuncen kuburan:
Kalau ada orang yang mengait-ngaitkan bom marriot dengan capres itu hanya orang
yang bloon aja yang ngomong, kenapa nggak ditujukan langsung ke orangnya aja
bukannya ke hotel, makanya sebelon bikin stetmen dipikir dulu bung…
(arrahmah.com 17 Juli 2009)
(2) Centil:
SBY gitu loch. paling jago bikin politik pencitraan dan memanfaatkan situasi untuk
kepentingan dia dan paling jago bikin sensasi dan tebar pesona biar orang kasihan or
simpati. (Kompas.com 17 Juli 2009)
(3) Anak zaman:
Hei, Manullang!.Mending lu diem aja.! Udah pikun? tambah memperkeruh suasana
aja,pake mengait2kan dgn islam..,islamisasi...Sgla!! Pikir seribu kali klo ngmng.!
(Detik.com 17 Juli 2009)
Sumber: Hasil penelitian 2013

Untuk mengetahui tingkat dominasinya, keragaman pemaknaan yang tersebar secara acak
dalam 1310 teks tanggapan pembaca itu, dicoba dikelompokkan dalam empat kategori
berdasarkan kata-kata kunci dominan yang secara signifikan dipandang berbeda, yaitu politik
pencitraan, rekayasa intelejen, konspirasi asing, pengalihan isu, gerakan militan, aksi
frustasi, dan aksi balas dendam. Tabel 1 berikut menggambarkan dominasi kecenderungan
pemaknaan itu.

Tabel 1 Kategorisasi keragaman pemaknaan antarpenanggap

No. Kategori Persentase


pemaknaan dominasi (%)
1 Politik pencitraan 8
2 Rekayasa intelejen 20
3 Konspirasi asing 53
4 Pengalihaan isu 5
5 Gerakan militan 3
6 Aksi frustasi 4
7 Aksi balas dendam 2
8 Aksi kriminal 3
7 Lain-lain 2
Sumber: Hasil Penelitian 2013

Pada tataran semantis, terjadi keragaman pemaknaan antarpenanggap, sebagaimana tampak


pada Peraga 2 berikut.

Peraga 2 Keragaman pemaknaan antarpenanggap pada tataran semantis

Kosakata Frasa
Rekayasa, pencitraan, kospirasi, Rekayasa intelejen, pencitraan politik, konspirasi pihak
kekerasan, gerakan asing, aksi kekerasan, gerakan Islamisasi
Terkutuk, picik, biadab, gila, Aksi terkutuk, serangan picik, tindakan biadab, gila kuasa,
bodoh presiden bodoh
Setan, drakula, gendeng, Tabiat setan, kerjaan drakula, pengamat gendeng, doktrin
jahiliyah, bloon jahiliyah, pengamat bloon
Titik hitam, kambing hitam, Titik hitam dalam sejarah, mengkambinghitamkan lawan
melukai, kentut politik, melukai demokrasi, revolusi kentut

Sumber: Hasil penelitian 2013


Berdasarkan Peraga 2 di atas, paling tidak ada empat kategori semantis, yaitu: lugas,
berlebihan, kasar, dan metafora. Penanggap cenderung memaknai informasi tentang terorisme
secara berlebihan, dengan ragam bahasa sehari-hari yang kasar (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Kategorisasi semantis teks tanggapan pembaca

No. Kategori (%)

1 Lugas 8
2 Berlebihan 35
3 Kasar 40
4 Metaforis 7
5 Lain-lain 10

Sumber: Hasil penelitian 2013

Pada tataran pragmatis terjadi keragaman antarpenanggap, sebagaimana tampak pada Peraga
3 berikut.

Peraga 3. Keragaman pemaknaan antarpenanggap pada tataran pragmatis

Contoh teks tanggapan


Lanjutkan, Pak Presiden…Biarkan anjing menggonggong, kafilah jalan terus….horeeee!
(Repbulikaonline.com 21 Juli 2009).
Kalau ada orang yang mengait-ngaitkan bom marriot dengan capres itu hanya orang yang
bloon aja yang ngomong, kenapa nggak ditujukan langsung ke orangnya aja bukannya ke
hotel, makanya sebelon bikin stetmen dipikir dulu bung… (arrahmah.com 17 Juli 2009)
Prabowo memang hebat, battt… dituduh teroris, malah ketawa2…Tempo.co, 18 Jili 2009)
Payah deh, kamu SBY! Mendingan lu pension aja jadi presiden, kalo kagak becus nangkep
teroris. Suara Merdeka Online, 17 Juli 2009)
Hei, Manullang!.Dasar pengamat gebleg! Mending lu diem aja.! Udah pikun? tambah
memperkeruh suasana aja,pake mengait2kan dgn islam..,islamisasi...Sgla!! Pikir seribu kali
klo ngmng.! (Detik.com 17 Juli 2009)
SBY gitu loch. paling jago bikin politik pencitraan dan memanfaatkan situasi untuk
kepentingan dia dan paling jago bikin sensasi dan tebar pesona biar orang kasihan or
simpati. (Kompas.com 17 Juli 2009)
Kongkalikong….kong…jepret! (vivanews.com. 18 Juli 2009)
Sumber: Hasil penelitian 2013

Berdasarkan contoh teks tanggapan pada Peraga 3 di atas, keragaman pemaknaan


teks tanggapan pembaca pada tataran pragmatis dapat dikategorisasikan, paling tidak,
menjadi enam kategori, yaitu: mendukung, membantah, memuji, mengejek, menghina, dan
bercanda. Sebagaimana tampak pada Tabel 3, penanggap cenderung bermaksud membantah
dengan cara mengecam dan merendahkan.

Tabel 3. Kategorisasi pragmatis teks tanggapan pembaca

No. Kategori %
1 Mendukung 6
2 Membantah 52
3 Memuji 4
4 Mengejek 15
5 Menghina 12
6 bercanda 8
7 Lain-lain 3

Sumber: Hasil penelitian 2013

Hasil analisis menunjukkan dominannya ragam sehari-hari daripada ragam resmi.


Contoh kalimat nomor (1 s.d. 7) dan contoh teks nomor (1 s.d. 3) pada Peraga 1 di atas
menunjukkan dominannya penggunaan ragam bahasa sehari-hari beserta kecenderungannya
bercampur dengan ragam resmi. Ungkapan-ungkapan seperti payah, deh; gue muak; ini
kerjaan, revolusi kentut, bloon, dan mending lu diem aja, dalam contoh-contoh kalimat dan
teks itu dapat dijadikan ciri kecenderungan itu. Ciri berikutnya yang cukup banyak dan
menonjol adalah penggunaan kata sapaan yang bernada akrab dan setara, bahkan
merendahkan dan menghina, seperti tampak dalam contoh kalimat (1) dan contoh teks (3)
pada Peraga 1. Penggunaan kata sapaan kamu, lu, ente, atau kata sapaan yang menggunakan
penyifatan seperti presiden licik, pengamat linglung, media sableng, untuk menyapa orang-
orang yang secara status sosial relatif lebih tinggi, tampak sangat mendominasi dalam teks
tanggapan pembaca.

Hasil analisis menunjukkan bertebarannya kosakata, frasa, dan kalimat yang


cenderung bermuatan emosi tinggi, yang mengacu kepada peristiwa, tindakan, karakter,
situasi, dan istilah yang berkaitan dengan tema terorisme. Sebagai peristiwa, terorisme
cenderung dimaknai sebagai peristiwa kekerasan, kejahatan, kemarahan, kezaliman,
kemurkaan, ketidakadilan, keserakahan, dan kekejaman. Sebagai tindakan, terorisme
cenderung dimaknai sebagai tindakan membunuh, melukai, menghancurkan, memaksa,
menekan, menakut-nakuti, meneror, mengerikan, menakutkan, menipu, membohongi, balas-
dendam, Sebagai karakter, terorisme dimaknai sebagai karakter pengecut, sadis, kejam,
biadab, gila, setan, biangkerok. Sebagai situasi, terorisme dimaknai sebagai situasi kacau,
tegang, bising, tertekan, guncang, Sebagai istilah, terorisme dimaknai sebagai istilah
rekayasa, konspirasi pencitraan, pengalihan isu.

Analisis konteks tuturan mencakup pertanyaan: siapa menangapi siapa, apa yang
ditanggapi dan dengan cara bagaimana? Gambar 2 berikut menunjukkan konteks tuturan
yang berlangsung dalam wacana interaktif di media siber yang berpusat pada penanggap.

Gambar 2 Pola interaksi dan kalkulasi identitas penanggap, sasaran dan arah
tanggapan Pelaku peristiwa

5%
Sumber informasi
Peristiwa
negara
2%
72%

Penanggap

4%
Media
PENANGGAP:
2%
identitas: 67% AN, 33% NN

Sasaran: FT 18%, OP 82%

Sumber konfirmasi
politisi/profesional

15%

Sumber: diolah dari hasil penelitian 2009

Berdasarkan deskripsi hasil analisis di atas, tampak sejumlah ciri dan karaktristik teks
tanggapan pembaca sebagai berikut.

1) Informasi tentang terorisme cenderung dipandang sebagai peristiwa di bidang politik


yang berkaitan dengan “konspirasi asing” dan “rekayasa politik”.
2) Informasi tentang terorisme cenderung ditanggapi secara kasar dan berlebihan dengan
kata-kata dan ungkapan yang bermuatan emosi tinggi.
3) Informasi tentang terorisme yang dikonstruksi oleh media cenderung dibantah dengan
cara mengejek, menghina, dan bercanda.
4) Ragam bahasa yang digunakan dalam teks tanggapan cenderung menggunakan ragam
bahasa sehari-hari.
5) Kata sapaan yang dipergunakan di dalam teks tanggapan cenderung bernada akrab
dan setara.
6) Identitas penanggap cenderung anonim.
7) Arah tanggapan cenderung ditujukan kepada sumber informasi Negara.
8) Sasaran tanggapan cenderung ditujukan kepada opini daripada fakta.

Ada pun hasil analisis terhadap teks media melalui judul-judul berita, secara garis
besar, menunjukkan bahwa media cenderung memaknai informasi tentang terorisme
berdasarkan opini yang dikonformasinya dan mengkonstruksinya secara relative obyektif.
Hasil analisis terhadap teks media berikut menggambarkan kecenderungan itu., sebagaimana
tampak pada Peraga 4 yang menunjukkan percontoh judul berita yang dikonstruksi media.

Peraga 4. Percontoh Keragaman pemaknaan antarmedia Berdasarkan Judul Berita.

Judul Teks Berita

1) Pengamat: Ada Keterkaitan Pilpres dan Unjuk Gigi Teroris (Detik.com Sabtu,
18/07/2009)
2) Munarman: SBY Manfaatkan Isu Terorisme Untuk Tarik Simpati Masyarakat
(Arrahmah.com 17/07/2009)
3) JK: Ledakan Tak Ada Hubungannya dengan Pilpres (Kompas. Com 17 Juli 2009)
4) Mega: Jangan Politisasi Bom Kuningan (Republika.co.id 18/07/2009)
5) Fadli Zon: Teror Bom Tak Hentikan Gugatan Hukum Pemilu (rakyatmerdekaonline
18/07/2009)
6) SBY: Ledakan Kuningan Atas Kegaduhan di Tingkat Elit (okezone.com 17 JUli
2009)
7) Sidney Jones: Bom Carlton-Marriott Tidak Terkait Pemilu (Tempo.co 17 /07/2009)
8) Mega-Prabowo: SBY Cari Kambing Hitam (vivanews 17/07/2009)
Sumber: Hasil penelitian 2013

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa isi berita lebih didominasi oleh opini tentang
peristiwa terorisme daripada fakta tentang terorisme, sehingga bentuk penyajiannya lebih
berupa rangkaian pernyataan-pernyataan yang argumentatif berdasarkan pendapat sumber
informasi/narasumber daripada deskripsi secara detail dan narasi secara episodik tentang
peristiwa terorisme yang diliput oleh media . Tabel 4 berikut menunjukkan dominasi itu.

Tabel 4. Kategorisasi keragaman isi berita antarmedia

No. Kategori isi Persentase


dominasi
(%)
1 Fakta 4
2 Opini 92
3 Campuran 4

Melalui analisis teks berdasarkaan judul berita terhadap 25 teks berita, keragaman
pemaknaan antarmedia sebagaimana tampak pada Contoh 4 di atas dapat dikategorikan
menjadi lima: pengalihan isu politik, politik pencitraan, terkait pilpres/pemilu, aksi balas
dendam, dan gerakan fundamentalis Islam, dengan tingkat dominasi yang berbeda,
sebagaimana tampak pada Tabel 2 berikut.

Tabel 5. Kategorisasi keragaman pemaknaan antarmedia

No. Ketagori Persentase Dominasi (%)


1 Pengalihan isu politik 30
2 Politik pencitraan 60
3 Terkait Pilpres/Pemilu 3
4 Aksi balas dendam 2
5 Gerakan fundamentalis Islam 2
3 Lain-lain 3
Sumber: Hasil penelitian 2013

Berdasarkan hasil analisis terhadap teks media di atas, tampak ciri-ciri dan karakteristik teks
media yang ditanggapi oleh penanggap sebagai berikut.

1) Media cenderung memaknai informasi tentang terorisme secara obyektif berdasarkan


opini yang berkembang, yang terpusat pada frasa “politik pencitraan” dan “pengalihan
isu pilitik”.
2) Media cenderung mengkonstruksi informasi tentang terorisme secara konfrontatif
dengan cara membenturkan pernyataan yang bersumber ari Negara dengan opini yang
berkembang di kalangan politisi dan profesional.

Selanjutnya, terkait dengan pertanyaan penelitian kedua, yakni faktor apa yang
menyebabkan adanya perbedaan pemaknaan terhadap informasi tentang terorisme antara
yang diberikan oleh media dan penanggap? Secara garis besar, hasil analisis menunjukkan
bahwa faktor media dan saluran (medium dan channel) turut menentukan cara bertutur dan
pemahaman penanggap dan media terhadap informasi tentang terorisme. Karakteristik media
siber dan saluran Internet tampak memberikan kesempatan yang relatif lebih “ramah” dan
ruang yang relatif lebih “leluasa” bagi terjadinya perbedaan cara bertutur dan pemaknaan
terhadap informasi tentang terorisme antarpenanggap dan antara penanggap--media. Gambar
2 di atas, misalnya, menunjukkan pola dan proses interaksi di media siber yang memberikan
keleluasaan bagi penanggap untuk mengungkapkan tanggapannya ke semua arah. Di samping
itu, tingginya dominasi sudut pandang subyektif dan tingkat penggunaan kosakata dan frasa
yang cenderung emotif tampak berkiatan dengan ciri dan karakteristik teknologi dan media
Internet yang cenderung lebih ramah dan lebih leluasa dalam proses kewacanaan interaktif.

4. Pembahasan, Simpulan, Implikasi

Berdasarkan hasil penelitian ini saja, sesungguhnya sulit untuk memastikan faktor-
faktor yang meyebabkan terjadinya perbedaan pemaknaan antara penanggap dan media,
apalagi memproyeksikannya untuk sampai pada kesimpulan yang berkaitan dengan peran
Internet sebagai forum demokratisasi. Banyak variabel yang tak tersentuh oleh kajian ini:
misalnya, yang berkaitan dengan kognisi sosial dan ideologi. Namun, ada sejumlah isyarat-
isyarat halus bahwa karakteristik teknologi dan media yang digunakan dalam proses
kewacanaan interaktif di Internet itu turut menentukan dan menjadi salah satu faktor
terjadinya demokratisasi.
Penelitian sebelumnya mengenai peran Internet sebagai forum demokratisasi dengan
mengunakan data sosiologis yang berkaitan dengan perilaku politik (lihat, misalnya, Lim
2005, Dalberg 2006) telah menyimpulkan bahwa pengguna Internet, dengan kandungan
karakteristiknya yang “ramah”, cenderung merasa lebih bebas dan otonom dalam
mengungkapkan idea atau opininya dibanding dengan menggunakan media konvensional,
karena Internet menyediakan semacam “panggung” bagi aktor kurang dominan untuk
menggunakan teknologi ini tanpa dikendalikan oleh aktor dominan.
Sementara penelitian ini menghasilkan potret yang berbeda dalam hal bidang kajian,
sudut pandang, dan konteks yang spesifik, sehingga menemukan hipotesis yang baru
berkenaan dengan peran Internet sebagai forum demokratisasi itu. Di samping “keramahan”
(conviviality), “keleluasaan” (discretion) tampaknya dapat dijadikan kata kunci untuk
menunjuk salah satu karakteristik teknologi dan media Internet dalam kaitannya dengan
perilaku dan proses kewacanaan yang berlangsung di media siber, yang menunjuk pada
keadaan teknologi dan media Internet dan perilaku pengguna yang cenderung terbuka, bebas,
dan mandiri. Dalam kategori yang dikembangkan oleh Huntington (1991), Uhlin (1997), dan
Mcluhan (1998), indikator-indikator itu tercakup dalam konsep “demokrasi formal”.
Sedangkan yang menyangkut indikator-indikator dari konsep “demokrasi substansial”, yang
mencakup kerasionalan, toleransi, dan kesantunan, sebagaimana yang dikembangkan oleh
Locke (1994) dan Diamond (1999), tampak belum mewujud, karena hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa cara bertutur penanggap masih sangat didominasi oleh kosakata/frasa
yang bermuatan emosi tinggi yang diungkapkan dengan cara berlebihan, cenderung kasar dan
mengandung unsur penghinaan. Dengan demikian, demokrasi dan proses demokratisasi,
yang secara klasik dipahami sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”,
yang digambarkan secara ringkas dan padat oleh Huntington (1991) dalam karya
monumentalnya, Third Wave of Democratization, sebagai “sesuatu yang terus
menggelombang”, dalam konteks penggunaan bahasa di Internet dan dalam batas-batas
tertentu sudah terealisasi secara formal, akan tetapi belum mewujud secara substansial.

Lebih jauh, adanya temuan tak terduga menyangkut terjadinya perluasan agenda/topik
dan pergeseran peran penanggap. Seperti diketahui, penanggap didefinisikan secara
tradisional sebagai penerima atau konsumen wacana, yang bereaksi atau melakukan
tanggapan sesuai dengan yang dimaksud oleh pengirim atau produsen wacana (Buhler 1934
dalam Renkema 2004). Hasil analisis penelitian ini menunjukkan hal yang berbeda. Dalam
konteks wacana interaktif di Internet peran penanggap cenderung bergeser menjadi konsumen
sekaligus produsen wacana (produsemen), dengan salah satu penandanya adalah terjadinya
perluasan agenda atau topik yang berkaitan dengan tema terorisme. Terorisme, yang lazim
didefinisikan sebagai suatu aksi kekerasan yang mempunyai motivasi politik dan kekuasaan
dengan tujuan untuk menebarkan teror dan ketakutan baik psikologis maupun fisik terhadap
publik (Chomsky 2005), dalam teks tanggapan pembaca telah memunculkan beragam
spekulasi yang terkait dengan motivasi atau latar belakang aksi-aksi kekerasan tersebut.
Mulai dari tesis “benturan peradaban” (Huntington 1996), “kematian demokrasi” (Mc
Chesney 1998, Altheide 2007),”ledakan gerakan fundamentalisme Islam” ( Jackson 2005,
Hodges 2007), sampai tesis “Blowback” dan “McTeror” (Huda 2006) yang menggambarkan
unintended consequences dari agresifitas kebijakan-kebijakan tersembunyi dan militerisasi
Amerika Serikat.

Jadi, simpulan penelitian ini menyangkut jawaban atas pertanyaan pokok penelitian:
apakah Internet dapat dirumuskan sebagai forum dmokratisasi? Secara umum, ada dua
simpulan yang dapat ditarik berdasarkan temuan-temuan dalam hasil analisis di atas.
Pertama, secara formal, Internet dapat dirumuskan sebagai forum demokratisasi, karena
sebagai artefak teknologi dan media, Internet menyediakan semacam “panggung” untuk
terjadinya proses kewacanaan interaktif yang “ramah” dan “leluasa” bagi publik, yang
menunjukkan adanya atmosfer relasi kuasa yang relatif terbuka, bebas, dan mandiri, sehingga
proses komunikasi relatif lebih simetris dan adil. Kedua, secara substansial, Internet belum
dapat dirumuskan sebagai forum demokratisasi, karena perilaku publik sebagai pengguna
Internet dan penanggap berita masih didominasi oleh ungkapan-ungkapan bahasa yang
cenderung emosional, berlebihan, kasar, dan menghina, yang berlawanan dengan nilai-nilai
demokrasi secara substansial, yakni kerasionalan, toleransi, dan kesantunan.

Sementara studi kasus tunggal ini tidak memberikan dasar yang kuat untuk
merumuskan generalisasi tentang proses demokratisasi di Internet, implikasi praktis dari
hasil penelitian ini adalah, terutama, ditemukannya alternatif media yang dapat dijadikan
arena proses kewacanaan secara lebih demokratis. Dengan kata lain, secara praktis, penelitian
ini bermanfaat karena menunjukkan adanya alternatif media yang dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat dalam proses pemaknaan secara lebih setara, adil, interaktif, dan
produsemen (gabungan sisi pandang produsen dan konsumen).
Untuk pengujian dan pengembangan dari hasil penelitian ini, penelitian lanjutan perlu
dilakukan, terutama yang berkaitan dengan variabel-variabel yang belum tersentuh oleh
kajian ini, yaitu variabel kognisi sosial dan ideologi.
Pustaka Acuan

Adi , Bambang Trisno . 2010. Critical Discourse Analysis (CDA) of Terrorism in Newsweek
Magazine: Uncovering Connections between Language, Ideology and Power.
Amazon.com.
Aitchison, Jean. 2003. “From Armageddon to War: The Vocabulary of Terrrorism”. Dalam
New Media Language. Jean Aitchison & Diana M. Lewis (ed). London: Routledge.

Altheide, David L. 2007. “The mass media and terrorism”. Sage Journals Online: Arizona
State University; david.altheide@asu.edu.

Chomsky, Noam. 2005. Imperial Ambitions: Conversations on the Post-9/11 World.


NewYork: Metropolitan Books.

Dahlberg Lincoln. 2006.“ Computer-Mediated Communication and The Public Sphere: A


Critical Analysis”. Dalam Journal of Computer-Mediated Communication,
volume 7, Oktober 2006),
http://jcmc.indiana.edu/vol7/issue1/dahlberg.html

Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation. Baltimore: The John
Hopkins University Press.

Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: the critical study of language.
London. Longman.
Fairclough, Norman. 2001. Language and Power. 2nd edition. Language in social life series.
Harlow, Eng.; New York: Longman.
Foucault, Michel. 1982. “The order of discourse”. Dalam M. Shapiro (editor) Language and
Politics. Oxford: Blackwell.
Grice, H.P. “Logic and conversation”. Dalam P. Cole & J.L. Morgan (peny.), Syntax and
semantics: Vol 3 Speech Act (hal 41—58). New York: Academic Press.

Gunawan, Arya. 2009. “Gairah Berbuat Dosa”. Jakarta: Tempointeraktif.

Halliday, M.A.K. & Hasan. 1994. An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-2.
London: Arnold.
Herring, Susan C. 2004. “Computer-Mediated Discourse”. Dalam Handbook of Discourse
Analysis. Deborah Tannem, Deboraah Schiffrin, Heidi Hamilton (Peny.) Oxford:
Blackwell.
Hodges, Adam & Chad Nilep (Ed.). 2007. Discourse, War and Terrorism. Colorado: John
Benyamins Publishing Company.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas bambu.
Huntington, Samuel P. 1991. The Third Wave Democratization in the Late Twentieth
Century. London: University of Oklahoma Press.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations: Remaking of World Order. New
York: Simon & Schuster
Jackson, Richard. 2005. Writing the War on Terrorism: Language, Politics and Counter
terrorism. Manchester University Press: Oxford.
Johnstone, Barbara. 2002. Discourse Analysis. Oxford: Blackwell.
Lewis., Diana M. 2003. “Online news: a new genre?”. Dalam New Media Language. Jean
Aitchison & Diana M. Lewis (ed). London: Routledge.
Lim, Merlyna. 2005. @rchipelago Online: The Internet and Political Activism in Indonesia.
Disertasi. Netherland: University of Twente.
Locke, John. 1994. “Surat Mengenai Toleransi” , dalam Diane Ravitch dan Abigail
Thernstrorm, terjemahan Hermoyo, Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Mc Chesney, Robert. 1998. Konglomerasi Media Massa Ancaman Terhadap Demokrasi.
Terjemahan Andi Achdian. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.
McLuhan, Marshall. 1998. War and Peace in the Global Village. New York: Gingko Press
Renkema, Jan. 2004. Discourse Studies: An Introductory Textbook. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjaminn Publishing Company.

Strauss, Anselm & Cobin, Juliet. 1990. Basics of Qualitative Research:


GroundedTheory,Prosedure and Technique. Newbury Park, London, New Delhi:
SAGE Publications.
Sudibyo, Agus. 2011. “80 Persen Media di Indonesia Langgar Kode Etik”.: TempoInteraktif,
Senin, 07 Februari 2011. Jakarta: Temprint.
Trench, Brian. 2009. “Exploring the application of interactivity through European case
studies”. Dalam Jean Aitchison dan Diana M. Lewis (eds) New Media Language.
London & NewYork: Routledge
Triharyanto, Basil. 2011. “Terorisme, Media, dan Bin Ladin”. Jakarta: Koran Tempo
Uhlin, Anders. 1997. Indonesia and the “ Third Wave Democratization”: The Indonesian
Pro-democracy Movement in a Changing World. London: Curzon Press.
van Dijk, Teun A. 1995. “Principles of critical discourse analysis” dalam Discourse &
Society, Vol. 4/2, hal. 249-283.
van Dijk, Teun A. 2008. Discourse and Contekxt: A Sociocognitive Approach. Cambridge:
Cambridge University Press.
van Dijk, Teun A. 2009. Sociey and Discourse: How Social Context Influence Text and Talk.
Cambridge: Cambride University Press.

Wilhelm, A. G. (2000). Democracy in the digital age: Challenges to political life in


cyberspace. London : Routledge.

Anda mungkin juga menyukai