Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat
masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan industri. Keempat
masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan
jiwa dan kecelakaan (Mardjono, 1992 dalam Hawari, 2007). Meskipun gangguan
jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian
secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan
secara invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat
pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Setyonegoro, 1992
dalam Hawari, 2007)
Data statistik yang dikemukan oleh WHO pada tahun 1990 (Hawari,
2007) menyebutkan bahwa setiap saat 1% penduduk di dunia berada dalam
keadaan membutuhkan pertolongan serta pengobatan untuk suatu gangguan jiwa.
Sementara 10% dari penduduk memerlukan pertolongan medis pada suatu waktu
dalam hidupnya. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia
adalah gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia.
Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
berbagai area fungsi individu, termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi,
menerima dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi
dan berperilaku yang tidak dapat diterima secara rasional (Isaacs, 2005). Gangguan
ini ditandai dengan gejala-gejala positif yaitu bertambahnya kemunculan tingkah
laku yang berlebihan dan menunjukkan penyimpangan dari fungsi psikologis
seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi dan gangguan kognitif dan
persepsi. Gejala negatif yaitu penurunan kemunculan suatu tingkah laku yang juga
berarti penyimpangan dari fungsi psikologis yang normal seperti : berkurangannya
keinginan bicara, malas merawat diri. Afek datar dan terganggunya relasi personal
(Hawari, 2007). Peneliti menemukan di lapangan bahwa pasien-pasien yang masuk
dengan skizofrenia selalu ditandai dengan gejala positif misalnya : marah-marah,
agresif, adanya tindakan perilaku kekerasan pada saat dirumah, banyak mondar-
mandir dan adanya perubahan pola tidur.
Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri,
melainkan diduga sebagai sindrom atau proses penyakit yang mencakup banyak
jenis dengan berbagai gejala seperti kanker. Selama berpuluh-puluh tahun,
skizofrenia sering disalahartikan oleh masyarakat. Penyakit ini ditakuti sebagai
gangguan jiwa yang berbahaya dan tidak dapat dikontrol dan mereka yang
terdiagnosis penyakit ini digambarkan sebagai individu yang tidak mengalami
masalah emosional atau psikologis yang terkendali dan memperlihatkan perilaku
yang aneh dan amarah yang meledak-ledak (Videback, 2008).
Skizofrenia biasanya terdiagnosis pada masa remaja akhir dan dewasa
awal. Skizofrenia jarang terjadi pada masa kanak-kanak. Insiden puncak pada
umur 15-25 pada laki-laki dan umur 25-35 pada wanita. (Videback, 2008).
Prevalensi skizofrenia pada laki-laki dan wanita adalah sama tetapi pada tahap
pemulihan pada pasien skizofrenia pada wanita lebih baik daripada pasien
skizofrenia pada laki-laki dikarenakan pada laki-laki memiliki sikap sering
menentang tanpa alasan jelas, menganggu dan tidak disiplin.
Data American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1995,
Prevalensi skizofrenia diperkirakan sekitar 1% dari seluruh penduduk di dunia.
Penelitian yang sama yang dilakukan oleh WHO mengatakan bahwa prevalensi
skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara 1-3 per mil penduduk. Skizofrenia
lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok social ekonomi rendah
( Hawari, 2007)
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) kementerian kesehatan pada tahun
2007 menunjukkan, penderita gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 0,46
persen atau sekitar 1 juta orang. Prevalensi tertinggi di DKI J akarta (2,03 persen),
Aceh (1,9 persen), dan Sumatera Barat (1,6 persen). Selain itu diketahui bahwa
11,6% penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun mengalami masalah gangguan
kesehatan jiwa. Prevalensi nasional gangguan jiwa ansietas dan depresi sebesar
11,6% populasi (24.708.000 orang) dan prevalensi nasional gangguan jiwa berat
sebesar 0,46% (1.065.000 orang).
Hingga sekarang penanganan penderita skizofrenia belumlah
memuaskan. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan keluarga maupun
masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini. Diantaranya adalah masih adanya
pandangan yang negatif. Sekitar 20.000 penderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) di Indonesia hidup dalam pasungan. Ketidaktahuan tentang penyakit
jiwa, kendala ekonomi, serta pengobatan yang mahal dan jauhnya akses kesehatan
menyebabkan hanya sedikit penderita gangguan jiwa berat yang mendapat
perawatan. (Anna, 2011)
Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia 0,3-1% artinya apabila
penduduk di Indonesia berjumlah 200 juta maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa
menderita skizofrenia, di mana sekitar 99% penderita skizofrenia di rawat di RSJ.
Salah satu masalah dalam penanganan skizofrenia adalah relaps. Relaps adalah
kembalinya suatu penyakit setelah nampaknya mereda. Relaps pada satu tahun
setelah terdiagnosa skizofrenia dialami oleh : 60-70% pasien yang tidak
mendapatkan terapi pengobatan, 40% pasien yang hanya mendapat pengobatan,
15,7 % pada pasien yang mendapat kombinasi terapi pengobatan dan mendapat
dukungan dari tenaga kesehatan , keluarga dan masyarakat (Olfson dkk, 2000
dalam Stuart & Laraia, 2005).
Data dari medical record RS. Sanatorium Dharmawangsa didapatkan
pada tahun 2010 bahwa pasien yang masuk dirawat 380 orang dengan angka yang
dirawat karena relaps 165 orang artinya sekitar 43,42 % sedangkan pada bulan
J anuari sampai November 2011 didapatkan data 345 orang yang dirawat dan 188
orang atau 54,5 % dirawat kembali karena relaps. Hal ini menunjukkan jumlah
pasien skizofrenia yang datang ke RS. Sanatorium Dharmawangsa guna dirawat
kembali akibat relaps mengalami peningkatan dari tahun 2010-2011. Tragisnya di
Indonesia, lebih dari 80% penderita skizofrenia tidak di obati. Mereka dibiarkan
dipasung, berkeliaran di jalanan. Padahal jika diobati dan dirawat dengan baik oleh
keluarga, 1/3 dari mereka bisa pulih kembali tetapi bila tidak dirawat maka akan
terus relaps (Himpunan J iwa sehat Indonesia/HSJ I, 2005)
Berdasarkan pengalaman peneliti sebagai perawat jiwa di RS.
Sanatorium Dharmawangsa, fenomena relaps lebih banyak diakibatkan oleh putus
obat, tidak adanya anggota keluarga yang mengingatkan dalam minum obat (lupa)
dan kurangnya peran keluarga dalam hal ini sebagai pemantau dan pengawas bagi
klien dalam minum obat secara teratur. Hal ini di dukung dalam penelitian yang
dilakukan oleh Ambari (2010) yang berjudul Hubungan antara dukungan keluarga
dengan keberfungsian soiial pada pasien skizofrenia pasca perawatan di RS yang
diperoleh kesimpulan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan
keberfungsian sosial pasien skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit adalah
dengan dukungan keluarga.
Relaps yang terjadi pada klien dengan skizofrenia dipengaruhi oleh :
klien sendiri, dokter, penanggung jawab klien (perawat) dan keluarga (Keliat,
1996). Klien dengan skizofreniamemerlukan perawatan yang berkelanjutan dalam
hal ini pasien yang sudah sembuhpun dan sudah diijinkan pulang ke rumah akan
memiliki gejala sisa dari skizofrenia maka dari itu, disinilah fungsi dan peran
keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia di rumah. Pentingnya peran
serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai
segi. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga adalah institusi pendidikan utama
bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan
perilaku. Individu menguji coba perilakunya didalam keluarga, dan umpan balik
keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini
merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. J ika keluarga
dipandang sebagai satu sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah satu
anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem.
Kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia
dipengaruhi oleh pengetahuan. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang
skizofrenia membuat penafsiran dan pemahaman yang salah dalam merawat
pasien, misalnya pencarian pertolongan pertama pada saat terjadinya serangan akut
skizofrenia. Kurangnya pengetahuan keluarga akan mempengaruhi tindakan yang
akan dilakukan, misalnya dipasung, dikerangkeng, direndam dalam air kolam dan
dimandikan dengan harapan agar roh jahat yang bersemayam dalam tubuhnya bisa
keluar.
Menurut Chandra (2008) yang merupakan ketua dari Himpunan J iwa
Sehat Indonesia (HJ SI) serta Direktur Utama dari RS. Sanatorium Dharmawangsa,
J akarta Selatan mengatakan bahwa penderita skizofrenia memerlukan empati yang
sangat besar dari keluarga dalam bentuk dukungan secara fisik dan psikis. Namun
keluarga perlu menghindari sikap Ekspressed Emotional (EE) atau reaksi yang
berlebihan, seperti terlalu mengkritik, memanjakan dengan harapan agar pasien
tidak marah dan mengamuk di rumah jika keinginannya tidak segera dipenuhi, dan
terlalu mengontrol dan membatasi setiap pergerakan dari penderita. Disini jugalah
pentingnya pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat anggota keluarganya
yang mengalami skizofrenia.
Keluarga merupakan pendukung sosial yang lebih dekat dengan klien
dan sangat berpengaruh dalam pemulihan klien pada saat dirumah serta
pencegahan terjadinya kekambuhan tapi tidak semua keluarga kooperatif dalam
merawat klien dirumah, tidak mau pro aktif terhadap proses penyembuhan klien,
sebagai contoh pada saat klien menunjukkan gejala relaps, keluarga tidak langsung
membawa klien untuk mendapatkan pertolongan pertama melainkan cuek dan
menganggap klien adalah beban bagi keluarga. Tidak ada yang mengawasi klien
dalam minum obat, koping keluarga yang tidak efektif dalam mengenal masalah
kesehatan keluarga khususnya masalah kesehatan dengan anggota keluarga yang
menderita skizofrenia hal inilah yang dapat menyebabkan klien relaps lagi. Koping
keluarga terhadap skizofrenia merupakan penyesuaian utama baik bagi klien
maupun keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2006) yang berjudul
Pengalaman Keluarga Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota Keluarga Dengan
Skizofrenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik : Pengobatan diperoleh
kesimpulan ketidakpatuhan merupakan masalah yang banyak dialami oleh pasien
skizofrenia. Keluarga sebagai caregiver di rumah dituntut untuk mampu mengatasi
masalah ini. Penelitian dilakukan di RSMM, Bogor. Fokus perawatan adalah
pasien dan keluarga. Keluarga diberikan pendidikan kesehatan sebanyak 1-2x
pertemuan setiap minggu termasuk melibatkan keluarga dalam merawat klien
selama pasien dirawat. Paket pendidikan kesehatan yang diberikan dengan cara
merawat anggota keluarga sesuai dengan masalah keperawatan yang dialami.
Namun kenyataannya, masih banyak pasien yang mengalami relaps akibat
ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Relaps pada klien menimbulkan masalah bagi keluarga, klien dan
rumah sakit. Bagi keluarga, menambah beban keluarga dalam hal biaya
pengobatan selama di rumah sakit selain itu mungkin beberapa anggota keluarga
merasa malu atau ketakutan terhadap perilaku klien yang aneh atau mengancam..
Disinilah beban emosi keluarga dalam bentuk keletihan secara emosional. bagi
klien, sulit diterima di dalam lingkungan atau masyarakat sekitar. Bagi rumah
sakit, beban akan bertambah berat dan akan terjadi penumpukan jumlah pasien
sehingga pemberian keperawatan yang dilakukan tim medis di rumah sakit tidak
dapat dilakukan secara optimal karena terbatasannya jumlah tenaga. Maka dari itu
pada saat pasien masuk ke Rumah sakit, selain pasien yang mendapatkan
pengobatan, keluargapun ikut diterapi dengan maksud agar keluarga mengerti
mengenai penyakit yang sedang diderita oleh anggota keluarganya dalam bentuk
pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat. Pemberian informasi yang
terkait yang disampaikan pada keluarga adalah memberikan informasi faktual
tentang skizofrenia, mengidentifikasi tanda-tanda awal relaps dan mengidentifikasi
pemicu gejala atau faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko relaps dan
menyarankan keluarga untuk kontrol teratur dan minum obat teratur sesuai dengan
dosis terapi obat yang diberikan oleh dokter.
Pengetahuan keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang
mengalami skizofrenia masih sangatlah kurang hal itu didapatkan pada saat
wawancara pada keluarga, biasanya mereka sangat tertutup dan enggan untuk
diwawancarai, merasa malu untuk menceritakan asal muasal penyakit skizofrenia
yang dialami oleh anggota keluarganya karena mereka beranggap bahwa menderita
skizofrenia adalah aib bagi keluarga. Hal ini tidak hanya terjadi pada keluarga
dengan status ekonomi rendah, pendidikan rendah saja namun dialami pula dengan
oleh keluarga dengan kalangan atas. (Hawari, 2007)
Penelitian yang dilakukan oleh Wulansih (2008) dengan judul
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Keluarga dalam Kekambuhan
Pada Pasien Skizofrenia di RSJ D. Surakarta diperoleh kesimpulan bahwa
masalah yang dihadapi adalah karena sebagian besar keluarga klien skizofrenia
kurang memahami dan pengetahuan tentang perawatan klien skizofrenia masih
rendah ditandai dengan keterangan dari petugas RSJ D. Surakarta dimana
didapatkan gambaran umum tentang pengetahuan dan sikap keluarga klien
skizofrenia rata-rata masih kurang hal ini ditandai dengan klien yang sudah
sembuh dan dipulangkan ke lingkungan keluarga umumnya beberapa hari, minggu
atau bulan dirumah kembali dirawat dengan alasan perilaku klien tidak diterima
oleh keluarga. Keluarga selalu mengawasi, dilarang keluar, selalu dicurigai dan
klien cenderung terisolasir dari pergaulannya dan cenderung menutup diri.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Wibowo, 2009 dengan judul
Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dengan Perilaku Perawatan Diri Pada
Pasien Dengan Halusinasi Di RSJ P. Dr. Soeharto Heerdjan, J akarta diperoleh
kesimpulan bahwa untuk pasien gangguan jiwa khususnya yang mengalami
halusinasi kebanyakan perawatan diri pasien yang dirawat sangat kurang hal ini
salah satu disebabkan oleh kurangnya dukungan keluarga terhadap pasien yang
mengalami gangguan jiwa.
Pengetahuan dan peran keluarga sangat diperlukan dengan harapan
mampu menekan frekuensi relaps pada klien dengan skizofrenia. Dengan latar
belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti dan mengidentifikasi lebih
dalam tentang hubungan pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat pasien
skizofrenia yang mengalami gejala relaps di RS. Sanatorium Dharmawangsa.
Harapan peneliti, dengan diketahuinya pengetahuan dan peran keluarga tentang
skizofrenia dapat meminimalkan frekuensi relaps klien dan perawatan ulang
kembali di dalam rumah sakit dan pasien dapat melakukan fungsinya secara
mandiri di dalam kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah
Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia 0,3-1% artinya apabila
penduduk di Indonesia berjumlah 200 juta maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa
menderita skizofrenia, di mana sekitar 99% penderita skizofrenia di rawat di RSJ.
Berdasarkan data dari medical record RS. Sanatorium Dharmawangsa didapatkan
data pada tahun 2010 bahwa pasien yang masuk dirawat 380 orang dengan angka
yang dirawat karena relaps 165 orang artinya sekitar 43,42 % sedangkan pada
bulan J anuari sampai November 2011 didapatkan data 345 orang yang dirawat dan
188 orang atau 54,5 % dirawat kembali karena relaps.
Relaps pada pasien dengan skizofrenia dipengaruhi oleh: klien sendiri,
dokter, penanggung jawab klien (Perawat) dan keluarga (Keliat, 1995).
Kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan skizofrenia dipengaruhi oleh
pengetahuan. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang skizofrenia membuat
penafsiran dan pemahaman yang salah dalam merawat pasien, misalnya pencarian
pertolongan pertama pada saat terjadinya serangan akut skizofrenia. Kurangnya
pengetahuan keluarga akan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan,
misalnya dipasung, dikerangkeng, direndam dalam air kolam dan dimandikan
dengan harapan agar roh jahat yang bersemayam dalam tubuhnya bisa keluar.
Relaps pada klien menimbulkan masalah bagi keluarga, klien dan rumah
sakit. Bagi keluarga, menambah beban keluarga dalam hal biaya pengobatan
selama di rumah sakit. bagi klien, sulit diterima di dalam lingkungan atau
masyarakat sekitar. Bagi rumah sakit, beban akan bertambah berat dan akan terjadi
penumpukan jumlah pasien sehingga pemberian keperawatan yang dilakukan tim
medis di rumah sakit tidak dapat dilakukan secara optimal karena terbatasannya
jumlah tenaga
Pengetahuan dan peran keluarga sangat diperlukan dengan harapan
mampu menekan frekuensi relaps pada klien dengan skizofrenia.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan
permasalahan penelitian sebagai berikut : adakah hubungan pengetahuan dan peran
keluarga dalam merawat pasien skizofrenia yang mengalami gejala relaps di RS.
Sanatorium Dharmawangsa J akarta Selatan ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui adakah hubungan pengetahuan dan peran keluarga
dalam merawat pasien skizofrenia dengan gejala relaps di RS.
Sanatorium Dharmawangsa, J akarta Selatan ?
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui gambaran tentang karakteristik keluarga yang
mempunyai keluarga dengan gangguan jiwa yang meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan, suku/bangsa, agama dan hubungan
keluarga dengan pasien.
1.3.2.2 Untuk mengetahui gambaran pengetahuan keluarga tentang
skizofrenia
1.3.2.3 Untuk mengetahui peran keluarga dalam merawat pasien
skizofrenia di rumah
1.3.2.4 Untuk mengetahui gambaran tentang gejala relaps pasien
skizofrenia
1.3.2.5 Untuk memperoleh informasi mengenai hubungan antara
pengetahuan keluarga dengan relaps skizofrenia
1.3.2.6 Untuk memperoleh informasi mengenai hubungan antara peran
keluarga dengan relaps skizofrenia
1.3.2.7 Untuk mengetahui faktor-faktor lain yang menyebabkan relaps
selain pengetahuan dan peran keluarga

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang pengetahuan dan
peran keluarga dalam merawat pasien skizofrenia dengan gejala relaps
serta menambah pengalaman belajar dalam meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa
1.4.2 Bagi Keluarga
Menambah pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang menderita skizofrenia dan keluarga dapat mengambil
keputusan yang tepat saat anggota keluarga yang menderita skizofrenia
menunjukkan tanda dan gejala relaps kembali.
1.4.3 Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan
referensi bagi profesi dalam mengembangkan perencanaan keperawatan
yang akan dilakukan pada keluarga pasien skizofrenia yang mengalami
relaps.
1.4.4 Bagi Klien
Mendapatkan support dan dukungan dari keluarga sehingga dapat
mencegah terjadinya relaps kembali dan meningkatkan kemampuan klien
untuk mengenal penyakitnya dan klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-
hari dengan mandiri dan bantuan seminimal mungkin
1.4.5 Bagi Rumah Sakit
1.4.5.1 Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan pelayanan
perawatan khususnya bagi klien skizofrenia melalui pemberian
psikoedukasi secara rutin pada keluarga.
1.4.5.2 Memberikan informasi mengenai cara perawatan klien dirumah
pasca perawatan dengan cara kontrol dengan dokter secara rutin
sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, memantau klien dalam
minum obat, memotivasi klien untuk selalu melakukan aktivitas.
1.4.5.3 Menerapkan SP (Strategi Pelaksanaan) Keluarga dengan harapan
keluarga mampu untuk merawat pasien pasca perawatan di RS
sehingga gejala relaps dapat menghindari terjadinya gejala relaps
1.4.6 Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mampu memberikan masukkan
dalam merumuskan masalah penelitian sebelumnya.

1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada pasien yang dibawa pihak keluarga
yang dirawat kembali karena gejala relaps di RS. Sanatorium Dharmawangsa
J akarta Selatan. Penelitian ini dilakukan dari bulan J anuari 2012

Anda mungkin juga menyukai