Anda di halaman 1dari 9

SINDROM NEFROTIK

I.

PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik

glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria massif >3,5g/hari, hipoalbuminemia <3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik. 1 Sindrom nefrotik primer merupakan kasus terbanyak yang ditemukan di klinik yakni 75%-80%. Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada perempuan. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa

3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. 2 Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN. 2

II.

ETIOLOGI Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)

yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Kelainan

histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal, nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif. 2 Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Dari 397 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara 1990-1999 dan representative untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pada 44,7% , GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0%, dan GNMN pada 6,5%. 1 Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosis sistemik dan diabetes mellitus. 1

III.

PATOFISIOLOGI SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer

glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T. Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal

segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif.
3

Berikut dijelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis pada SN:

a) Edema Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi

hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. 1 Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah efek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Factor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. 1

b) Proteinuria Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (charge barrier) dan yang kedua berdasarkan muaan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. 1 Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif

berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari

molekul beser seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. 1 Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proeoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negative MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. 1

c) Hipoalbuminemia Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hat, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskeresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumn oleh tubulus proksimal. 1

d) Hiperlipidemia dan Lipiduria Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan

peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Sipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia. 1

IV. a.

DIAGNOSIS Manifestasi Klinik Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai

40% daripada berat badan dan didapatkan anasarka. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 95%) sebanyak 10 15 gr/hari. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis urin meninggi. Pasien juga mengeluh sesak nafas (hidrotoraks, asites) dan dapat disertai keluhan diare, nyeri perut, anoreksia. Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, hipoproteinemia, hiperlipidemia hiperkolesteronemia. 5 b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah: 1) Darah Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai: a) Protein total menurun b) Albumin menurun c) globulin normal d) 1 globulin normal e) 2 globulin meninggi f) globulin normal g) Rasio albumin/globulin h) Komplemen C3 rendah/normal i) Ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal 6 2) Urin a) Albumin

Kualitatif : ++ sampai ++++ Kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa menggunkan reagen Esbach)

b) Sedimen : oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin, dan toraks eritrosit

c.

Pemeriksaan Tambahan Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan

diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal. 2

V.

DIAGNOSIS BANDING

Saat seseorang datang dengan edema seluruh badan, penyebab berikut harus disingkirkan: 1. Heart failure: pasien umur tua, dengan riwayat penyakit jantung. Tekanan vena jugularis meningkat pada pemeriksaan, mungkin terdengar murmur jantung. Echocardiogram adalah pemeriksaan gold standard. 2. Gagal hati: riwayat hepatitis/sirosis : alkoholisme, pengguna obat IV, beberapa penyebab herediter. Tanda penyakit hati adalah terlihat: jaundice (kulit dan mata kuning), dilatasi vena diatas umbilicus (caput medusa), scratch mark (berhubungan dengan penyebaran gatal, dikenal dengan pruritus), pembesaran lien, spider angiomata, ensefalopathy, hati noduler. 3. Overload cairan akut pada seseorang dengan gagal ginjal: orang ini diketahui memiliki gagal ginjal, dan minum terlalu banyak ataupun melewatkan dialysis mereka. 4. Kanker metastase: saat kanker menyebar ke paru-paru atau abdomen, ini menyebabkan efusi dan pengumpulan cairan berhubungan dengan obstruksi saluran limfe dan vena, juga exudasi serous. 7

VI.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal

atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.

1.

Diet/ Non-farmakologi Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari

karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton). 3 2. 1). Farmakologi Diuretik Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari. 2). Kortikosteroid Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya. 3 2). Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis rendah,

dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. 3 3). Angiotensin receptor blocker (ARB) ARB ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. 3 Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. 4). Siklosporin A Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan. 3 5). Terapi antikoagulan Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Bila terjadi penyulit Infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian

imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digu nakan vaksin pneumokokus. 3

VII.

PROGNOSIS Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1) menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun, 2) disertai oleh hipertensi, 3) disertai hematuria, 4) termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder, 5) gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. 4 Prognosis pada dewasa bervariasi dan besar hubungannya dengan penyebabnya, tingkat keparahan, progresivitas, dan respon dari penatalaksanaan apapun yang digunakan. 4

VIII. KESIMPULAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri massif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri, dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman pathogenesis dan patofsiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan/mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. 2 Menurut etiologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi sindrom nefrotik bawaan, sindrom nefrotik sekunder, sindrom nefrotik idiopatik, dan glomerulosklerosis fokal segmental. 5 Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda klinis, seperti edema, oliguria, proteinuria, hiperkolesteronemia dan. hipoalbuminemia. Terapi yang digunakan untuk sindrom nefrotik : bed rest, diet protein rendah garam, antibiotik bila ada indikasi, diuretik, kortikosteroid, dan pungsi asites bila ada indikasi vital. Komplikasi dari sindrom nefrotik adalah : infeksi, malnutrisi, thrombosis. 5

Anda mungkin juga menyukai