Anda di halaman 1dari 9

BATUBARA

KLASIFIKASI BATUBARA
Batubara bukan hanya merupakan material yang heterogen tapi juga merupakan material yang jenisnya beragam. Jenis batubara dapat dilihat dari umurnya atau ranknya, kandungan mineralnya atau grade, elemen tanaman pembentuk batubara (type) dan kegunaan batubara tersebut. Banyak para ahli mencoba untuk mengelompokkan jenis batubara tersebut berdasarkan parameter tersebut di atas, tapi yang paling banyak dipergunakan orang ialah berdasarkan umurnya (rank). Secara umum batubara diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Peat (gambut), sebagian para ahli mengatakan bahwa peat bukan batubara karena masih mengandung selulosa bebas, tapi sebagian lagi menyatakan bahwa peat adalah batubara muda. Carbon = 60% 64% (dmmf), Oxygen = 30% (dmmf) Golongan ini sebenarnya termasuk jenis batubara, tapi merupakan bahan bakar. Hal ini disebabkan karena masih merupakan fase awal dari proses pembentukan batubara. Endapan ini masih memperlihatkan sifat awal dari bahan dasarnya (tumbuh-tumbuhan). 2. Lignite, Carbon = 64% 75% (dmmf), Oxygen = 20% 25% (dmmf). Golongan ini sudah memperlihatkan proses selanjutnya berupa struktur kekar dan gejala pelapisan. Apabila dikeringkan, maka gas dan airnya akan keluar. Endapan ini bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan yang bersifat sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat rendah. 3. Sub-bituminous, Carbon = 75% 83% (dmmf), Oxygen = 10% 20% (dmmf) Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Endapan ini dapat digunakan untuk pemanfaatan pembakaran yang cukup dengan temperatur yang tidak terlalu tinggi. 4. Bituminous, Carbon = 83% 90% (dmmf), Oxygen = 5% 15% (dmmf) Golongan ini dicirikan dengan sifat-sifat yang padat, hitam, rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik. Berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila dikeringkan. Endapan ini dapat digunakan antara lain untuk kepentingan transportasi dan industri. 5. Semi-anthracdite, Carbon = 90% 93% (dmmf), Oxygen = 2% 4% (dmmf)

ANDI PRANATA (H1C109065)

BATUBARA
6. Anthracite, Carbon = > 93% Golongan ini berwarna hitam, keras, kilap tinggi, dan pecahannya memperlihatkan pecahan chocoidal. Pada proses pembakaran memperlihatkan warna biru dengan derajat pemanasan yang tinggi. Digunakan untuk berbagai macam industri besar yang memerlukan temperatur tinggi. Batubara memiliki berbagai penggunaan yang penting di seluruh dunia. Penggunaan yang paling penting adalah untuk membangkitkan tenaga listrik, produksi baja, pembuatan semen dan proses industri lainnya serta bahan bakar cair. Selain itu, batubara juga merupakan suatu bahan yang penting dalam pembuatan produk-produk tertentu seperti karbon aktif (digunakan pada saringan air dan pembersih udara serta mesin pencuci darah), serat karbon (bahan pengeras yang sangat kuat namun ringan yang digunakan pada konstruksi), dan metal silikon (digunakan untuk memproduksi silikon dan silan, yang digunakan untuk membuat pelumas, bahan kedap air, dan resin). Hasil sampingan dari batubara juga dapat digunakan untuk memproduksi beberapa produk kimia seperti minyak kreosot, naftalen, fenol, dan benzene. Analisa Kualitas Batubara Dalam pemanfaatannya, batubara harus diketahui terlebih dahulu kualitasnya. Hal ini dimaksudkan agar spesifikasi mesin atau peralatan yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakarnya sesuai dengan mutu batubara yang akan digunakan, sehingga mesin-mesin tersebut dapat berfungsi optimal dan tahan lama. Analisa yang dilakukan antara lain analisa proximate, analisa ultimate, mineral matters, physical & electrical properties, thermal properties, mechanical properties, spectroscopic properties, dan solvent properties. Secara umum, parameter kualitas batubara yang sering digunakan adalah: a) Kalori (Calorivic Value atau CV, satuan cal/gr atau kcal/gr) CV merupakan indikasi kandungan nilai energi yang terdapat pada batubara, dan merepresentasikan kombinasi pembakaran dari karbon, hidrogen, nitrogen, dan sulfur. b) Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen) Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM) dan inherent moisture (IM). Jumlah dari keduanya disebut dengan Total Moisture (TM). Kadar kelembaban ini mempengaruhui jumlah pemakaian udara primer untuk mengeringkan batubara tersebut.

ANDI PRANATA (H1C109065)

BATUBARA
c) Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen) Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Hal ini didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (fixed carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio, maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya lebih dari 1,2 maka pengapian akan kurang bagus sehingga mengakibatkan kecepatan pembakaran menurun. d) Kadar abu (Ash content, satuan persen) Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran, keausan, dan korosi peralatan yang dilalui. e) Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen) Kandungan sulfur dalam batubara biasanya dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur ini berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terdapat pada pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah daripada titik embun sulfur. Selain itu, berpengaruh juga terhadap efektivitas penangkapan abu pada electrostatic presipitator. f) Kadar karbon (Fixed carbon atau FC, satuan persen) Nilai kadar karbon ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya kualitas batubara. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio. g) Ukuran (Coal size) Ukuran batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir kasar. Butir paling halus untuk ukuran maksimum 3 mm, sedangkan butir paling kasar sampai dengan ukuran 50 mm. h) Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI) Kinerja pulverizer atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah, mesin harus beroperasi lebih rendah dari nilai standarnya untuk menghasilkan tingkat kehalusan yang sama.

ANDI PRANATA (H1C109065)

BATUBARA
Di bawah ini adalah klasifikasi yang banyak dipergunakan orang : 1. ASTM Classification Sistem klasifikasi ini mempergunakan volatile matter (dmmf), fixed carbon (dmmf) dan calorific value (dmmf) sebagai patokan. Untuk anthracite, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan utama, sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Bituminous mempergunakan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Lignite mempergunakan calorific value (dmmf) sebagai patokan. 2. Ralstons Classification Ralstons mempergunakan hasil analisa ultimate yang sudah dinormalisasi (C + H + O = 100). Ditampilkan dalam bentuk triaxial plot. Band yang terdapat pada triaxial plot tersebut ialah area dimana batubara berada. 3. Seylers Classification System klasifikasi ini mempergunakan % carbon (dmmf) dan % hydrogen (dmmf) sebagai dasar utama. Klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk beberapa grafik kecil yang bertumpu pada grafik utama. Grafik utama menghubungkan % carbon (dmmf) dengan % hydrogen (dmmf). sedangkan grafik kecil menggambarkan hubungan calorific value (dmmf) dengan % volatile matter (dmmf) dan % moisture (adb), menggambarkan % oxygen (dmmf), crucible swelling number dan rasio O/H=8. Ditengah grafik tersebut terdapat band yang menggambarkan yang menggambarkan area dimana 95% batubara inggris akan berada serta menunjukkan jenisnya.Batubara yang jatuh di atas band disebut per-hydrous sedangkan yang jatuh di bawahnya disebut sub-hyrous. Seylers chart ini tidak cocok untuk low rank coal. 4. ECE Classification ECE membuat system klasifikasi yang dapat dipergunakan secara luas, pada tahun 1965 yang kemudian menjadi standar international.Sistem ini mengelompokkan batubara dalam class, group dan sub-group.

ANDI PRANATA (H1C109065)

BATUBARA
Coal class mempergunakan calorific value atau volatile matter sebagai patokan. Coal group mempergunakan Gray-king coke type atau maximum dilatation pada Audibert-Arnu dilatometer test sebagai patokan, sedangkan coal sub-group mempergunakan crucible swelling number dan Roga test sebagai patokan. Sistem ini mampu menunjukkan coal rank dan potensi penggunaannya, terutama coal group dan coal sub-group yang menjelaskan perilaku batubara jika dipanaskan secara perlahan maupun secara cepat sehingga dapat memberikan gambaran kemungkinan penggunaannya. Pada tahun 1988 sistem ini dirubah dengan lebih menekankan pada pengukuran petrographic. 5. International Classification of Lignites ISO 2960:1974 Brown Coals and Lignites. Classification by Type on the Basis of Total Moisture content and Tar Yield. Mengelompokkan batubara yang mempunyai heating value (moist,ash free) lebih kecil dari 5700 cal/g. Batubara dikelompokkan dalam coal class dengan patokan total moisture dan coal group dengan patokan tar yield. Tar yield diukur dengan Gray-King Assay, dimana batubara didestilasi dan hasilnya berupa gas, air, cairan, tar dan char dilaporkan dalam persen. Tar yield mempunyai korelasi dengan hydrogen dan pengukuran ini cukup baik sebagai indicator komposisi petrographic.

ANDI PRANATA (H1C109065)

BATUBARA

MASERAL PADA BATUBARA


Petrografi Batubara Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen-komponen organik (maceral) dan anorganik (mineral matter) secara mikroskopik. Seperti pada petrografi mineral, petrografi batubara memerikan komponen-komponen penyusun batubara secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui asal mula dan genesa pembentukkan batubara. Gambaran Sejarah Lahirnya ilmu petrografi batubara sering dihubungkan dengan dua nama tokoh penting yaitu M. Stope (1919) dan Thiessen (1920) (dikutip dari Nining, N.S., 2001). Keduanya adalah ahli paleobotani. Selain mereka juga ada dua ahli dari Jerman yaitu H. Potonie (1920) dan yang banyak memberikan pemikiran penting dalam ilmu ini. Stope dan Thiessen mengembangkan ide-ide dalam hal terminalogi dan klasifikasi batubara dengan menggunakan mikroskop cahaya tembus, tetapi kemudian Stope lebih lanjut memperdalam pengamatannya menggunakan cahaya pantul. Pemikiran Thiessen menganai klasifikasi batubara berdasarkan sistem U.S. Bureau of Mines. Salah satu hasil penelitian mereka yang sangat penting adalah informasi mengenai tanaman asal pembentuk batubara. Awal tahun 1930, Thiessen, Stopes dan beberapa peneliti dari Perancis dan Jerman, yang tergabung dalam ahli-ahli mineral dan tanaman, menyelidiki komponen-komponen batubara dengan metoda petrografi. Untuk memadukan pemikiran-pemikiran yang berbeda latar belakang keahlian maka diadakan konferensi di Heerlen Netherland pada tahun 1935. Salah satu keputusan penting konferensi tersebut adalah terbentuknya susatu sistem penamaan sistem Stope-Heerlen. Pada tahun 1932 diperkenalkan teknik baru mengenai pengukuran reflektan yang digunakan sebagai petunjuk peringkat batubara. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan metoda ini adalah Hoofmann dan Jenker dari Jerman. Di tahun 1930-an, para peneliti memulai penelitian mengenai hubungan antara komposisi petrografi dengan karakteristik batubara dalam suatu proses pengolahan. Salah satu hasil penelitian menyatakan bahwa dalam batuabara yang kaya vitrinit dan eksinit mempunyai perbedaan karakteristik dalam proses pencairan, gasifikasi dan ekstrasi, dibandingkan dengan batubara yang kaya inertinit.

ANDI PRANATA (H1C109065)

BATUBARA
Selanjutnya, pada tahun 1950 dibentuk komite yang bertujuan menstandarkan metoda dan terminalogi petrologi batubara (coal petrology) yaitu International Commite for Coal Petrology (ICCP). Kemudian di tahun 1965, petrologi batubara mulai digunakan untuk memprediksi kualitas kokas. Pada periode tahun 1960 hingga 1969 ditemukan komponen-komponen yang reaktif dan inert dalam batubara, penemuan ini diperoleh dari pengamatan terhadap sifat-sifat batubara selama proses karbonisasi. Sejak penemuan tersebut, jumlah peneliti yang turut berpartisipasi dalam petrologi batubara semakin meningkat, sehingga cakupan penelitian juga semakin melebar, diantaranya mempelajari sifat-sifat kimia dan fisika maseral, hubungan langsung dengan teknologi pemanfaatan batuabara. Dua teknik terbaru yang dipakai dalam petrografi batubara ditemukan pada tahun 1970-an, yaitu teknik penggunaan mikroskop otomatis dan pemakaian sinar fluorence untuk mengidentifikasi meseral tertentu, terutama kelompok maseral liptinit/eksinit. Konsep Maseral Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral), analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh M. Stopes (1935) (dalam buku Stach dkk, 1982) untuk menunjukkan material terkecil penyusun batubara yang hanya dapat diamati dibawah mikroskop sinar pantul. Dalam petrografi batubara, maseral dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok (group) yang didasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia warna pantul, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam Coal Petrology oleh Stach dkk, 1982), yaitu: Macam-macam maseral pada batubara

Maceral Group

Maceral Subgroup

Maceral Textinite* Texto-ulminite *

Telovitrinite E-ulminite* Telocollinite Vitrinite Attrinite* Detrovitrinite Densinite* Desmocollinite Gelovitrinite ANDI PRANATA (H1C109065) Corpogelinite 7

BATUBARA
Porigelinite* Eugelinite Sporinite Cutinite Resinite Liptodetrinite Liptinite Alginite Suberinite Fluorinite Exsudatinite Bituminite Fusinite Telo-inertinite Inertinite Inertodetrinite Detro-inertinite Micrinite Gelo-inertinite Macrinite Semifusinite Sclerotinite

a) Kelompok Maseral Vitrinite umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu dan maseral inisebagai bahan pembentu utama suatu batubara. Tipe kerogen Vitrinite, yaitu tipe ketiga dimana tipe ini memiliki kandungan hydrogen yang sedikit. Jadi, tipe kerogenini merupakan bahan bakar yang sangat baik. b) Kelompok Maseral Liptinite umumnya berasal dari organ-organ tumbuhan, serbuk sari, dan getahnya. Tipe kerogen Liptinite pada umumnya, yaitu tipe kedua, tetapiada satu macam maseral Liptinite yang merupakan tipe kerogen pertama, yaitu Alginite. Tipe kerogen kedua dan pertamaini memiliki kandungan hydrogen yang sangat tinggi dan memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah itu diakibatkan material lemak saat terbentuk miskin oksigen. Tipe kerogen pertama kecenderungan besar menghasilkan hidrokarbon cair atau minyak. c) Kelompok Maseral Inertinite umumnya terbentuk berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar atau berasal dari maseral lain yang telah mengalami proses oksidasi. Tipe kerogen inertinite , yaitumemiliki tipe kerogen yang keempat dimana tipe kerogen pada kelompok maseral inertinite tidak memiliki kecenderungan menghasilkan hidrokarbon ANDI PRANATA (H1C109065) 8

BATUBARA
sehingga terkadang dianggap bukan sebagai kerogen yang sebenarnya. Kerogen ini hanya tersusun atas senyawa aromatik.

ANDI PRANATA (H1C109065)

Anda mungkin juga menyukai