Anda di halaman 1dari 6

Pemanfaatan Selulosa Asetat Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku Pembuatan Membran Untuk Desalinasi

Rachmilda Pinnata D.* dan Alia Damayanti**


*

Jurusan Teknik Lingkungan ITS, milda@enviro.its.ac.id ** Jurusan Teknik Lingkungan ITS, lia@its.ac.id

Abstrak Air laut memiliki potensi untuk diolah menjadi air bersih melalui proses desalinasi. Teknologi yang saat ini sedang marak digunakan untuk proses desalinasi adalah melalui proses membran. Membran komersial memiliki harga yang relatif mahal. Oleh karena itu, perlu dicari metode yang sederhana untuk mendapatkan membran dengan harga yang lebih murah. Pada penelitian ini digunakan selulosa asetat dari eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan membran untuk desalinasi. Selulosa mikrobial dari eceng gondok yang dibentuk oleh starter Acetobacter xylinium dengan variasi 100 mL, 150 mL, dan 200 mL direndam dalam NaOH 4% selama 24 jam kemudian dicuci dengan aquadest. Perendaman dilanjutkan menggunakan CH3COOH 4% selama 24 jam. Selulosa asetat diperoleh melalui proses swelling, asetilasi, dan hidrolisis selulosa mikrobial. Membran dibuat dengan mencampurkan gumpalan-gumpalan selulosa asetat dalam pelarut diklorometan hingga terbentuk dope dan dicetak di atas pelat kaca. Dilakukan uji FTIR dan SEM pada membran untuk mengetahui struktur dan ukuran pori-pori membran, sedangkan uji karakterisasi membran selulosa asetat dilakukan melalui proses Dead-End dengan konsentrasi umpan 19.572 mg Cl-/L. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jumlah starter Acetobacter xylinium terhadap kemampuan membran dalam proses desalinasi. Penelitian ini menghasilkan membran selulosa asetat dari eceng gondok dengan jumlah 200 ml starter Acetobacter xylinium memiliki kemampuan terbaik dalam proses desalinasi, yaitu sebesar 25% koefisien rejeksi membran. Membran yang dihasilkan termasuk membran ultrafiltrasi dengan ukuran pori membran yang dihasilkan antara 19,43 nm hingga 58,28 nm. Kata kunci : desalinasi, eceng gondok, membran, selulosa asetat PENDAHULUAN Laju konsumsi air bersih di dunia meningkat dua kali lipat setiap dua puluh tahun, melebihi dua kali laju pertumbuhan manusia. Beberapa pihak memperhitungkan bahwa pada tahun 2025, permintaan air bersih akan melebihi persediaan hingga mencapai 56%. Kekurangan air bersih dapat berpengaruh terhadap banyak hal, diantaranya dapat mengurangi tingkat kehidupan dan mengurangi pembangunan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa dunia membutuhkan suatu cara untuk meningkatkan persediaan air bersih. Salah satu sumber yang berpotensi dijadikan sumber air bersih adalah air laut. Air laut dapat dijadikan air bersih dengan proses desalinasi. Desalinasi merupakan proses pemisahan untuk mengurangi kandungan garam terlarut pada air laut hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan. Beberapa metode desalinasi air laut telah diteliti dan dikembangkan untuk memperoleh air tawar dari air laut yang asin karena mengandung garam. Dewasa ini, desalinasi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan persediaan air bersih, merupakan salah satu masalah yang mendesak untuk mendapat perhatian. Hal tersebut dikarenakan pertambahan penduduk, industri dan irigasi harus diimbangi dengan tersedianya air tawar yang cukup. 1

Teknologi yang saat ini sedang marak digunakan untuk proses desalinasi adalah melalui proses membran, namun harga membran komersial relatif mahal. Hal tersebut menyebabkan perlunya teknologi dalam negeri untuk membuat membran dengan harga yang lebih murah. Pada penelitian ini digunakan selulosa asetat dari eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan membran untuk desalinasi. Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms. merupakan tanaman di wilayah perairan yang hidup terapung pada air. Eceng gondok berkembangbiak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari. Perkembangbiakannya yang demikian cepat menyebabkan tanaman eceng gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma eceng gondok di kawasan perairan adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan membran selulosa asetat. Eceng gondok mengandung senyawa kimia selulosa yang cukup tinggi, yaitu 64,51%. Selulosa asetat pada eceng gondok diperoleh melalui proses pembentukan selulosa mikrobial dengan starter Acetobater xylinium, pemurnian selulosa mikrobial kering melalui perendaman dengan larutan NaOH dan CH3COOH pada konsentrasi tertentu, dan dilanjutkan dengan proses pembuatan selulosa asetat. Pada proses pembentukan selulosa mikrobial, jumlah starter berpengaruh pada kualitas membran yang dibentuk. Selulosa asetat merupakan ester yang paling penting yang berasal dari asam organik. Selulosa asetat tidak mudah terbakar, berbentuk padatan putih, tidak beracun, tidak berasa, tidak berbau, dan umumnya digunakan untuk pembuatan serat. Selulosa asetat telah dipakai secara luas, diantaranya sebagai material membran, filter rokok, tekstil, plastik dan industri makanan serta farmasi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, eceng gondok dengan jumlah yang melimpah akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan membran selulosa asetat untuk desalinasi. Hal ini dilakukan sebagai wujud pemanfaatan limbah agar menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat. Pada penelitian ini, membran akan dibuat dengan variasi starter Acetobater xylinium, yaitu : 100 mL, 150 mL, 200 mL. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Peralatan Bahan : eceng gondok, (NH4)2SO4, NaOH, CH3COOH, asam asetat glacial, asam sulfat, aquadest, 2-propanol, diklorometan. Peralatan : blender, magnetic stirrer, shakker, kertas saring, batang pengaduk, FTIR, SEM, reaktor Dead-End. B. Pembuatan Selulosa Mikrobial Eceng Gondok Eceng gondok yang sudah dicuci bersih, dipotong kecil-kecil kemudian diblender, disaring untuk diambil cairan konsentratnya. Konsentrat tersebut dipanaskan dengan suhu 100C hingga mendidih, kemudian ditambahkan gula pasir 10% dan (NH4)2SO4 2,5% diaduk lalu didinginkan dan atur pH = 4. Dimasukkan starter Acetobacter xylinium ke dalam campuran tersebut dengan variasi jumlah starter Acetobacter xylinium : 100 mL, 150 mL, dan 200 mL. Pada Penelitian ini digunakan waktu inkubasi selama sembilan hari, sehingga dihasilkan nata berupa gel berwarna keputih-putihan dengan ketebalan 3mm hingga 8 mm dan permukaannya licin.

C. Pemurnian Selulosa Mikrobial Proses pemurnian selulosa mikrobial dilakukan dengan merendam nata ke dalam larutan NaOH 4% selama 24 jam. Perendaman dengan NaOH bertujuan untuk menghilangkan komponen-komponen non selulosa dan sisa bakteri, dimana komponenkoponen non selulosa ini akan menghalangi ikatan hidrogen yang terjadi antar rantai molekul selulosa. Perendaman dilanjutkan menggunakan CH3COOH 4% selama 24 jam. Tujuan dari perendaman ini adalah untuk menetralkan NaOH yang masih terdapat pada selulosa mikrobial. Setelah direndam dengan asam asetat, selulosa mikrobial direndam dalam air berulang kali untuk menghilangkan bau asam serta mengurangi kandungan asamnya, selanjutnya dikeringkan di bawah sinar matahari dan dilanjutkan dengan proses pembuatan selulosa asetat. D. Pembuatan Selulosa Asetat Proses pembuatan selulosa asetat terdiri atas tiga tahap, yaitu : tahap swelling, tahap asetilasi, dan tahap hidrolisis. Tahap swelling bertujuan untuk aktivasi pulp, aktivator yang digunakan adalah asam asetat glacial. Pada tahap ini dilakukan pengadukan selulosa mikrobial dengan asam asetat glacial selama 24 jam. Reaksi swelling akan memperluas permukaan selulosa asetat dan akan membantu meningkatkan reaktivitas selulosa asetat terhadap reaksi asetilasi. Dilanjutkan pada tahap asetilasi dengan menambahkan asam sulfat pekat yang berfungsi sebagai katalis dan diaduk kontinyu selama 24 jam. Kemudian ke dalam selulosa hasil asetilasi ditambahkan air dingin dan dilakukan pengadukan selama 1 jam. Tahap ini disebut sebagai tahap hidrolisis yang bertujuan untuk menguraikan asam asetat glacial menjadi asam asetat. Hasil yang diperoleh dari pengendapan ini adalah berupa gumpalangumpalan selulosa asetat berwarna putih kekuning-kuningan. E. Preparasi dan Pencetakan Membran Pada tahap awal preparasi membran selulosa asetat, dilakukan dengan menyaring gumpalan-gumpalan putih kekuningan hasil reaksi hidrolisis dengan menggunakan kertas saring dan dilakukan pencucian berkali-kali menggunakan aquadest dan etanol yang bertujuan untuk mengurangi bau asam dan kandungan asam. Dilanjutkan dengan proses vacum pump dan pencampuran dengan diklorometan untuk mendapatkan larutan dope. Pada proses pencetakan membran, digunakan lapisan pendukung berupa poliester. Membran selulosa asetat dengan lapisan pendukung poliester memiliki kekuatan tarik dan daya dukung membran lebih baik daripada membran selulosa asetat tidak berpendukung (Pratomo, 2001). Pencetakan membran dilakukan di atas pelat kaca. Poliester dihamparkan di atas kaca, diselotip dengan ketebalan tertentu kemudian dope selulosa asetat dicetak di atasnya dan diratakan dengan batang silinder lalu diangin-anginkan di udara terbuka selama 15 menit. Setelah itu, pelat kaca dimasukkan ke dalam koagulan 2-propanol selama 24 jam. Proses tersebut bertujuan untuk mendapatkan struktur membran yang lebih rapat. Membran yang telah terbentuk dicuci berkali-kali dengan air yang mengalir untuk menghilangkan seluruh pelarut dan aditif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada membran yang telah terbentuk dilakukan karakterisasi melalui proses DeadEnd, uji FTIR, dan SEM. Karakterisasi membran bertujuan untuk mengetahui kemampuan membran dalam proses desalinasi, struktur membran, dan ukuran pori-pori membran.

A. Kemampuan Membran Dalam Proses Desalinasi Kemampuan membran dalam proses desalinasi tergantung dari kemampuan membran dalam merejeksi partikel Cl-. Digunakan umpan dengan konsentrasi 19.572 mg Cl-/L, dimana umpan disaring melalui alat saring berupa reaktor Dead-End. Pada tiap 10 menit, permeat air laut diukur nilai rejeksinya (%) dengan tekanan yang digunakan adalah sebesar 1 atm. Terlihat pada Gambar 1 perbedaan nilai rejeksi tiap 10 menit, dimana nilai rejeksi bertambah seiring bertambahnya waktu. Perubahan nilai rejeksi tersebut dapat terjadi dikarenakan adanya proses fouling (penyumbatan pori) membran yang dapat menahan partikel terlarut di dalam umpan. Semakin lama waktu maka akan semakin banyak partikel yang tertahan pada membran yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pori membran. Nilai rejeksi membran dihitung melalui persamaan : R = ( 1 Cp/CJ ) x 100% (1) Keterangan : R = koefisien rejeksi Cp = konsentrasi partikel dalam permeat CJ = konsentrasi partikel dalam umpan
30 25 20 15 10 5 0 0 20 40 Waktu (menit) 60 80
Variasi 100 ml Acetobacter Xylinium Variasi 150 ml Acetobacter Xylinium Variasi 200 ml Acetobacter Xylinium

Gambar 1 Hubungan antara nilai rejeksi membran seiring bertambahnya waktu pada tekanan 1 atm selama 60 menit Jumlah starter Acetobacter xylinium yang digunakan pada proses pembentukan selulosa mikrobial berpengaruh terhadap kandungan selulosa yang terbentuk dalam suatu membran selulosa asetat. Semakin banyak jumlah starter Acetobacter xylinum yang digunakan, maka kandungan selulosa yang terbentuk dalam suatu membran selulosa asetat menjadi lebih banyak dan menyebabkan distribusi ukuran pori pada membran semakin merata, sehingga ukuran pori pada membran lebih rapat. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa jumlah 200 mL starter Acetobacter xylinium memiliki kemampuan rejeksi lebih baik dibandingkan jumlah 100 mL dan 150 mL starter Acetobacter xylinium, yaitu mencapai 25%. Nilai rejeksi tersebut belum cukup baik untuk memisahkan partikel terlarut dalam kurun waktu yang ditentukan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghasilkan membran selulosa asetat yang baik adalah dengan menambahkan konsentrasi selulosa asetat atau dengan mencampurkan bahan polimer yang diketahui dapat memperkecil pori-pori membran. Selain konsentrasi selulosa asetat, konsentrasi sampel yang digunakan juga dapat mempengaruhi nilai rejeksi membran (Pasla, 2006). 4

Rejeksi (%)

B. Struktur dan Marfologi Membran Pengujian struktur dilakukan untuk mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik. Pengujian struktur dilakukan melalui uji FTIR yang berupa spektroskopi inframerah, prinsip kerja dari metode ini adalah penyerapan radiasi inframerah oleh sampel agar mengalami perpindahan ke tingkat vibrasi tereksitasi pertama. Dari hasil tersebut dapat diindetifikasi gugus fungsi karbonil (C=O) dari selulosa asetat. Selulosa adalah polimer glukosa yang tidak bercabang. Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Sedangkan selulosa asetat merupakan ester dari asam asetat dan selulosa. Perbedaan antara selulosa mikrobial dengan selulosa asetat terletak pada gugus fungsi karbonil. Pada Gambar 2 dapat dilihat serapan gugus OH pada bilangan gelombang 3364,36 cm-1 dan gugus C-O pada bilangan gelombang 1635,78 cm -1

Gambar 2 Spektrum Membran Selulosa Asetat Analiisis marfologi membran dilakukan untuk melihat ukuran pori-pori membran yang digunakan. Untuk melihat dan mengukur pori-pori membran digunakan SEM. Dari foto SEM dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

Gambar 3 Foto SEM Permukaan Membran Selulosa Asetat (a) Perbesaran 5000 kali, (b) Perbesaran 15000 kali 5

Ukuran pori-pori yang teridentifikasi melalui foto SEM adalah berkisar antara 19,43 nm hingga 58,28 nm. Dari hasil data ukuran ini, maka membran tersebut merupakan membran ultrafiltrasi. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil analisa dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa jumlah starter Acetobacter xylinium yang digunakan pada proses pembentukan selulosa mikrobial memiliki pengaruh yang signiifikan terhadap kemampuan membran dalam proses desalinasi (merejeksi partikel Cl-). Jumlah starter 200 mL Acetobacter xylinium memiliki kemampuan terbaik dalam proses desalinasi, yaitu dengan nilai rejeksi mencapai 25%. B. Saran Perlu dilakukan penambahan variasi jumlah starter Acetobacter xylinium yang optimum sebagai bahan untuk pembuatan membran selulosa asetat untuk desalinansi air laut. Pengukuran rejeksi sebaiknya dilanjutkan sampai membran dapat menahan partikel tertentu mencapai 90% dan sebaiknya dilakukan pencirian lain untuk menguji kemampuan membran, seperti uji tarik dan ketahanan sobek. DAFTAR PUSTAKA Mnif, A., Bouguecha, S., Hamrouni, B., Dhahbi, M. 2007. Coupling of Membrane Processes for Brackish Water Desalination. Desalination, 203:331-336. Akili, D. K., Kutubkhanah, I. K., J-M, Wie. 2008. Advances in Seawater Desalinatiom Technologies. Desalination, 221:47-69. APHA, AWWA, AWPCF. 1998. Standard Methods for the Examination of Water adn Wastewater 20th edition. New York. Damayantib, A., Ujang, Z. Salim, M. R., Ollson, G. 2011. The Effect of Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) on Biofouling in a Hybrid Membrane Bioreactor for the Treatment of High Concentration Organic Wastewater. Water Science and Technology, 63(8). Lindu, M., Puspitasari, T., Ismi, E., 2010. Sintesis dan Karakterisasi selulosa Asetat Dari Nata de Coco Sebagai Bahan Baku Membran Ultrafiltrasi. Jurnal Sains Materi Indonesia, 12:17-23. Siswarni. 2007. Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Sebagai Membran Selulosa. Jurnal teknologi Proses 6, 1:49-51. Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Pasaribu, G. 2008. Pengolahan Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku Kertas Seni. Makalah Utama Pada Eksposs Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang. Pasla, F., R. 2006. Pencirian membran Selulosa Asetat Berbahan Dasar Selulosa Bakteri dari Limbah Nanas. PKM-GT Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB, Bogor. Pratomo, H. 2007. Pembuatan Dan Karakterisasi Membran Komposit Polisulfon Selulosa Asetat Untuk Proses Ultrafiltrasi. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, Edisi 3 Tahun VIII. Radiman, C. L., Eka, I. 2007. Pengaruh Jenis Temperatur Koagulan Terhadap Marfologi dan Karakteristik Membran Selulosa Asetat. Makara, Sains, 11:80-84. Wenten, I. G. 1995. Teknologi Membran Industrial. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 6

Anda mungkin juga menyukai