Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KEWARGANEGARAAN KELAS 31

Maraknya Radikalisme Mulai Mengincar Perguruan Tinggi Negeri


Nama : Rheza Satria Ryadenata NRP : 4212100128

14

Radikalisme Mengincar Kampus


Bab 1. Definisi Radikalisme Secara bahasa, radikalisme berasal dari kata radik yang berarti mendasar. Sedangkan radikal sendiri merupakan sebuah sikap atau cara berpikir secara mendasar sampai ke akar persoalannya. Secara harfiah, sikap semacam ini sangat keras dalam hal menentukan sebuah perubahan mana yang mesti dicanangkan dan mana yang tidak. Tentu juga, radikalisme sangat mungkin menjadi tantangan terberat terhadap persoalan penegakan hukum di Indonesia pada umumnya ada logika yang menyatakan bahwa jika penegakan hukum melemah maka radikalisme akan menguat. Di samping itu, radikalisme juga menjadi sebuah model bagaimana konsep Hak Asasi Manusia (HAM) disinyalir atas hak kebebasan aspirasi (hak mengemukakan pendapat) setiap warga Negara di ruang-ruang publik. Kita tahu bahwa menggunakan ruang-ruang publik, secara tak langsung menggunakan hak-hak orang lain, seperti hak kelancaran berlalu lintas atau hak orang lain untuk bebas dari rasa takut. Pertanyaannya, apakah dengan menggunakan radikalisme, apalagi di setiap pemenuhan hasrat diri pribadi, bisa dipastikan bahwa ide, pemikiran, dan perubahan dapat terselesaikan? Artinya, melaksanakan kehendak tentu harus dilakukan dengan cara dan metode yang tepat. Radikalisme sebagai sebuah gerakan memang tidak lahir dari ruang hampa belaka. Pemetaan dan prosedur dilakukan dengan cara yang seksama. Tentunya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi berkembangnya radikalisme, yakni faktor sosialpolitik, emosi keagamaan, budaya, ideologi, hingga pada kebijakan yang timpang. Radikalisme selama ini dianggap tumbuh subur dalam pendidikan di pesantren atau sekolah agama. Tetapi dalam laporan terbaru disebutkan bahwa radikalisme juga mengintai perguruan tinggi, dan mengapa hal ini bisa terjadi? Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut pihaknya mendapat laporan dari sejumlah perguruan tinggi favorit terkait masuknya radikalisme di lingkungan kampus. ''Radikalisme saat ini semakin hebat perkembangannya. Berpenetrasi ke dalam perguruan tinggi berkualitas baik dan favorit seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung,'' kata Mbai. ''Pihak universitas, mulai dari rektor, dekan, sampai pembantu rektor pernah melapor kepada BNPT soal isu radikalisme di kampus mereka,'' kata Mbai dalam sebuah acara dialog di Jakarta, awal Oktober.

GAMBAR 1. Aksi demonstrasi mahasiswa rentan disusupi ideologis radikalisme

1.1 Gagasan baru Isu radikalisme yang mengintai kampus favorit di Indonesia ini menurut Ansyaad juga bukan hanya ditengarai terjadi pada fakultas agama atau kegiatan rohani saja. Tetapi juga masuk ke fakultas eksakta semacam Teknik dan MIPA. Menurut Mbai, saat ini di lingkungan kampus radikalisme menjadi gagasan baru dalam ruang diskusi bebas setelah Pancasila bukan lagi menjadi isu sentral. Radikalisme itu menyusup ke lingkungan kampus dengan memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah ''Pemerintah ini kafir, kita mau apa sekarang ? Itu yang jadi masalah, yang mudah disusupi'' kata Mbai. Mbai menengarai ideologi radikalisme ini berkembang akibat minimnya kegiatan organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan semacam BEM, HMI, dan KAMMI dinilai sudah tidak aktif lagi dalam dua tahun terakhir. 1.2 Mekanisme pencegahan "Contohnya sekitar tahun 1996, jaringan NII pernah masuk ke kampus kami, ada satu dua korban, tetapi berhasil kami endus" Devie Rahmawati Universitas Indonesia (UI) mengakui ada sejumlah pihak yang memang mencoba untuk menyusupi paham radikalisme ke dalam kampus. ''Contohnya sekitar tahun 1996, jaringan NII pernah masuk ke kampus kami, ada satu dua korban, tetapi berhasil kami endus, karena kami memiliki mekanisme untuk mendeteksi dini sehingga potensi-potensi tersebut tidak menjadi bencana sosial besar bagi UI,'' kata Devie Rahmawati, juru bicara Universitas Indonesia. Mekanisme pencegahan itu menurut Devie adalah sistem konseling atau bimbingan berkala yang dilakukan oleh pembimbing akademik dan mahasiswa senior.

''Sampai hal teknis seperti mengisi SKS saja kami bantu, sehingga kalau kami mendapati ada mahasiswa memiliki pola perilaku yang berbeda, itu pasti masuk dalam pengawasan kami, sehingga bisa langsung kami lakukan pendekatan,'' kata Devie. Sementara terkait dengan aktivitas organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), masuk dalam pengawasan direktorat kemahasiswaan sehingga bisa meminimalisir ancaman masuknya radikalisme ke dalam lingkungan kampus. 1.3 Revitalisasi mata kuliah

GAMBAR 2. Universitas Indonesia pernah disusupi NII pada tahun 1996

Gejala kampus dijadikan ladang untuk menanamkan paham radikalisme kembali mengemuka dalam beberapa tahun terakhir setelah dalam kasus terorisme terbaru melibatkan sejumlah mahasiswa. Pada 2010, dua mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti menyembunyikan teroris pelaku bom JW Mariot dan Ritz Carlton Setahun berikutnya seorang alumni UIN Syarif Hidayatullah juga ditangkap terkait upaya pengeboman jalur pipa gas di Serpong. Sementara puluhan mahasiswa lainnya dalam sejumlah laporan di media nasional disebutkan menghilang setelah direkrut dan dibaiat masuk ke dalam jaringan Negara Islam Indonesia atau NII. Gerakan NII ini sendiri diperkirakan aktif merekrut kalangan mahasiswa sejak tahun 1970-an.

1.4 Desain ulang "Perlu ada revitalisasi terhadap mata kuliah yang bersifat ideologis seperti Pancasila, pendidikan kewarganegaraan dan agama" Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah mengatakan kampus sebagai ranah publik membuat kehadiran kelompok radikal dan ekstrem selalu mengintai mahasiswa. Menurut Azyumardi, perlu ada desain ulang terhadap mata kuliah yang bersifat ideologis seperti Pancasila, pendidikan kewarganegaraan dan agama. ''Tapi tidak dilakukan secara indokrinasi seperti penataran P4 dulu. Perlu ada terobosan baru yang lebih dialogis, partisipatif, analitis, dan kritis yang memungkinkan internalisasi ke dalam diri para mahasiswa,'' kata Azyumardi. Azyumardi juga menyoroti disorientasi kegiatan mahasiswa yang dalam dua tahun terakhir ini dinilai mengalami penurunan. Ada kecenderungan keanggotaan sebagian besar organisasi kemahasiswaan merosot secara signifikan Padahal hasil penelitian UIN Jakarta menunjukkan, aktivitas dalam organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrem. 1.5 Solusi dari Mahasiswa Bagaimana Mahasiswa Menangkal Radikalisme? Sebagai seorang pelopor dalam mengubah jalan dan arahnya sebuah sejarah bangsa ini, tentu mahasiswa senantiasa menggunakan apa yang mereka miliki sebagai landasan dalam berpijak: intelektualitas. Maraknya tindakan-tindakan radikalistik di kalangan mahasiswa salah satu contohnya yang kerap terjadi di lingkungan kampus pada saat pentas demokrasi mahasiswa berlangsung seperti Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) hanya akan menyisakan beribu luka, serta harapan dan kekecewaan berlarut-larut tanpa akhir. Dan ini, justru akan menimbulkan beragam tanya bahwa apakah ketimpangan harus dijawab dengan ketimpangan yang serupa? Padahal, kita tahu bahwa posisi mahasiswa adalah sebagai problem solver(pemecah masalah) bukan pencari atau penambah masalah? Memang, kondisi objektif bangsa ini sangat sarat akan keragaman, apalagi di lingkungan kampus. Beragamnya budaya, etnis, bahasa, hingga pada tataran paling sensitif sekalipun seperti ideologi, sangat mungkin menjadi pemicu lahirnya trend-trend radikalisme di kalangan mahasiswa. Sehingga, banyak pihak yang tidak bertanggungjawab justru menjadikannya sebagai sebuah peluang strategis untuk melancarkan politik adu dombanya seperti sentimen organisasi ataupun kedaerahan, yang semuanya bermuara pada sebuah sengketa kekuasaan belaka. Sentimensentimen semacam inilah yang kemudian dijadikan landasan untuk membenarkan

radikalime bahkan pada tataran secara terang-terangan untuk meraup apa yang diinginkannya. Karena itu, peran mahasiswa sendirilah yang sangat diharapkan dalam persoalan semacam ini. Sebagai kaum muda terpelajar, semestinya mahasiswa mampu menempatkan keberagaman sebagai sebuah hal yang semestinya diapresiasi, atau bahkan dijadikan sebagai pendidikan multi-kultur di kalangan mahasiswa sendiri. Dengan begitu, perbedaan akan senantiasa dipandang sebagai rahmat, bukan sebagai pemicu sebuah perpecahan.

Anda mungkin juga menyukai