14
1.1 Gagasan baru Isu radikalisme yang mengintai kampus favorit di Indonesia ini menurut Ansyaad juga bukan hanya ditengarai terjadi pada fakultas agama atau kegiatan rohani saja. Tetapi juga masuk ke fakultas eksakta semacam Teknik dan MIPA. Menurut Mbai, saat ini di lingkungan kampus radikalisme menjadi gagasan baru dalam ruang diskusi bebas setelah Pancasila bukan lagi menjadi isu sentral. Radikalisme itu menyusup ke lingkungan kampus dengan memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah ''Pemerintah ini kafir, kita mau apa sekarang ? Itu yang jadi masalah, yang mudah disusupi'' kata Mbai. Mbai menengarai ideologi radikalisme ini berkembang akibat minimnya kegiatan organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan semacam BEM, HMI, dan KAMMI dinilai sudah tidak aktif lagi dalam dua tahun terakhir. 1.2 Mekanisme pencegahan "Contohnya sekitar tahun 1996, jaringan NII pernah masuk ke kampus kami, ada satu dua korban, tetapi berhasil kami endus" Devie Rahmawati Universitas Indonesia (UI) mengakui ada sejumlah pihak yang memang mencoba untuk menyusupi paham radikalisme ke dalam kampus. ''Contohnya sekitar tahun 1996, jaringan NII pernah masuk ke kampus kami, ada satu dua korban, tetapi berhasil kami endus, karena kami memiliki mekanisme untuk mendeteksi dini sehingga potensi-potensi tersebut tidak menjadi bencana sosial besar bagi UI,'' kata Devie Rahmawati, juru bicara Universitas Indonesia. Mekanisme pencegahan itu menurut Devie adalah sistem konseling atau bimbingan berkala yang dilakukan oleh pembimbing akademik dan mahasiswa senior.
''Sampai hal teknis seperti mengisi SKS saja kami bantu, sehingga kalau kami mendapati ada mahasiswa memiliki pola perilaku yang berbeda, itu pasti masuk dalam pengawasan kami, sehingga bisa langsung kami lakukan pendekatan,'' kata Devie. Sementara terkait dengan aktivitas organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), masuk dalam pengawasan direktorat kemahasiswaan sehingga bisa meminimalisir ancaman masuknya radikalisme ke dalam lingkungan kampus. 1.3 Revitalisasi mata kuliah
Gejala kampus dijadikan ladang untuk menanamkan paham radikalisme kembali mengemuka dalam beberapa tahun terakhir setelah dalam kasus terorisme terbaru melibatkan sejumlah mahasiswa. Pada 2010, dua mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti menyembunyikan teroris pelaku bom JW Mariot dan Ritz Carlton Setahun berikutnya seorang alumni UIN Syarif Hidayatullah juga ditangkap terkait upaya pengeboman jalur pipa gas di Serpong. Sementara puluhan mahasiswa lainnya dalam sejumlah laporan di media nasional disebutkan menghilang setelah direkrut dan dibaiat masuk ke dalam jaringan Negara Islam Indonesia atau NII. Gerakan NII ini sendiri diperkirakan aktif merekrut kalangan mahasiswa sejak tahun 1970-an.
1.4 Desain ulang "Perlu ada revitalisasi terhadap mata kuliah yang bersifat ideologis seperti Pancasila, pendidikan kewarganegaraan dan agama" Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah mengatakan kampus sebagai ranah publik membuat kehadiran kelompok radikal dan ekstrem selalu mengintai mahasiswa. Menurut Azyumardi, perlu ada desain ulang terhadap mata kuliah yang bersifat ideologis seperti Pancasila, pendidikan kewarganegaraan dan agama. ''Tapi tidak dilakukan secara indokrinasi seperti penataran P4 dulu. Perlu ada terobosan baru yang lebih dialogis, partisipatif, analitis, dan kritis yang memungkinkan internalisasi ke dalam diri para mahasiswa,'' kata Azyumardi. Azyumardi juga menyoroti disorientasi kegiatan mahasiswa yang dalam dua tahun terakhir ini dinilai mengalami penurunan. Ada kecenderungan keanggotaan sebagian besar organisasi kemahasiswaan merosot secara signifikan Padahal hasil penelitian UIN Jakarta menunjukkan, aktivitas dalam organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal dan ekstrem. 1.5 Solusi dari Mahasiswa Bagaimana Mahasiswa Menangkal Radikalisme? Sebagai seorang pelopor dalam mengubah jalan dan arahnya sebuah sejarah bangsa ini, tentu mahasiswa senantiasa menggunakan apa yang mereka miliki sebagai landasan dalam berpijak: intelektualitas. Maraknya tindakan-tindakan radikalistik di kalangan mahasiswa salah satu contohnya yang kerap terjadi di lingkungan kampus pada saat pentas demokrasi mahasiswa berlangsung seperti Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) hanya akan menyisakan beribu luka, serta harapan dan kekecewaan berlarut-larut tanpa akhir. Dan ini, justru akan menimbulkan beragam tanya bahwa apakah ketimpangan harus dijawab dengan ketimpangan yang serupa? Padahal, kita tahu bahwa posisi mahasiswa adalah sebagai problem solver(pemecah masalah) bukan pencari atau penambah masalah? Memang, kondisi objektif bangsa ini sangat sarat akan keragaman, apalagi di lingkungan kampus. Beragamnya budaya, etnis, bahasa, hingga pada tataran paling sensitif sekalipun seperti ideologi, sangat mungkin menjadi pemicu lahirnya trend-trend radikalisme di kalangan mahasiswa. Sehingga, banyak pihak yang tidak bertanggungjawab justru menjadikannya sebagai sebuah peluang strategis untuk melancarkan politik adu dombanya seperti sentimen organisasi ataupun kedaerahan, yang semuanya bermuara pada sebuah sengketa kekuasaan belaka. Sentimensentimen semacam inilah yang kemudian dijadikan landasan untuk membenarkan
radikalime bahkan pada tataran secara terang-terangan untuk meraup apa yang diinginkannya. Karena itu, peran mahasiswa sendirilah yang sangat diharapkan dalam persoalan semacam ini. Sebagai kaum muda terpelajar, semestinya mahasiswa mampu menempatkan keberagaman sebagai sebuah hal yang semestinya diapresiasi, atau bahkan dijadikan sebagai pendidikan multi-kultur di kalangan mahasiswa sendiri. Dengan begitu, perbedaan akan senantiasa dipandang sebagai rahmat, bukan sebagai pemicu sebuah perpecahan.