Anda di halaman 1dari 13

Penyebab dan Gejala Malaria serta Penanganannya

Tesa Iswa Rahman 102012179 A3 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Koresponden: tesarahman@gmail.com

Pendahuluan Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi parasit yang merupakan masalah kesehatan di banyak negara di seluruh dunia. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dengan genus Plasmodium. Penyakit malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk dari jenis Anopheles. Setiap tahun 300-500 juta kasus malaria menyebabkan 2 juta kematian menurut data WHO pada tahun 2005. Salah satu negara yang memiliki masalah utama terhadap penyakit malaria adalah Indonesia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak diderita. Penyakit ini pada umumnya menyerang penduduk yang tinggal di pedesaan yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia.

Pembahasan Anamnesis Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamanesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Anamnesis sendiri terdiri dari beberapa pertanyaan yang dapat mengarahkan kita untuk dapat mendiagnosa penyakit apa yang diderita oleh pasien. Pertanyaan tersebut meliputi: Identitas: Menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi. Keluhan utama: Pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Riwayat penyakit sekarang (RPS): Jelaskan penyakitnya berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan, intermitten. Informasi harus dalam susunan yang kronologis, termasuk test diagnostik yang dilakukan sebelum kunjungan pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan apakah ada demam, nyeri

kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): Penjelasan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami pasien Riwayat Keluarga: Umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah kesehatan pada anggota keluarga. Riwayat Sosial: Stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan). Berdasarkan data yang diperoleh dari skenario bahwa pasien adalah laki-laki berumur 35 tahun dengan keluhan utama demam yang hilang timbul serta keluhan tambahan menggigil, berkeringat, sakit kepala, dan mual. Diketahui pula pasien baru 1 bulan ini pindah di papua.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Tekhnik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang(inspeksi), pemeriksaan raba(palpasi), pemeriksaan ketok(perkusi) dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop(auskultasi).1 Pada skenario B yang harus kita lakukan dalam pemeriksaan fisik adalah, sebagai berikut: Inspeksi : Melihat keadaan umum pasien, melihat tingkat kesadaran pasien, melihat apakah telah terjadi perubahan pada warna kulit(ikterus) Palpasi dan perkusi: Pemeriksaan pada abdomen apakah telah terjadi splenomegali Pemeriksaan tanda-tanda vital: Suhu, tekanan darah, nadi Perangsangan Meningeal(bila diperlukan) : kaku duduk, tanda lasegue, tanda kerning, tanda brudzinski I dan II Tingkat kesadaran seseorang di bagi menjadi beberapa tingkat, yaitu :1 Kompos mentis: Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. Apatis: Keadaan di mana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Delirium: Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta. Somnolen(letargia, obtundasi, hipersomnia): Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.

Supor(Stupor): Keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik. Semi koma: Penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks(kornea, pupil) masih baik. Respon terhadap rangsang nyeri tidak adekuat. Koma: Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respon terhadap rangsang nyeri.

Pemeriksaan Penunjang Selain pemeriksaan fisik yang utama, kita dapat melakukan pemeriksaan penunjang sebagai langkah memperkuat diagnosa. Contoh pemeriksaan penunjang untuk diagnosa penyakit malaria adalah, sebagai berikut : Pemeriksaan dengan Mikroskop Cahaya Pemeriksaan dapat mikroskopik dengan pewarnaan Giemsa sampai saat ini

merupakan baku emas pemeriksaan malaria. Selain untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan mikroskopik dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan hal ini tidak dapat diterapkan dengan uji cepat malaria maupun tekhnik PCR. Pada infeksi Plasmodium falciparum yang stadium lanjutnya berada di kapiler alat dalam (sekuestrasi), parasit tersebut sulit di temukan dalam darah tepi sehingga memerlukan pemeriksaan serial darah(3 kali dalam 48 jam)untuk memastikan ada tidaknya parasit. Pengambilan darah dilakukan pada ujung jari atau tumit kaki(bayi). Pewarnaan optimal untuk mendapatkan morfologi parasit dengan Giemsa. Jumlah darah yang diambil harus sesuai dengan volume antikoagulannya. Jika pembuatan sediaan darah yang mengandung antikoagulan dilakukan 24 jam setelah pengambilan darah maka jumlah parasit dapat berkurang sampai 50% dan morfologi parasit sudah berubah. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera(<1jam) membuat sediaan darah tipis dan tebal dari darah dengan antikoagulan tersebut. Dengan menggunakan sediaan darah tebal sensitivitas pemeriksaan mikroskopik akan meningkat sampai 10 kali dibandingkan sediaan darah tipis.2 Lamanya pewarnaan yang optimal adalah 30 menit dengan 3% Giemsa. Perhitungan jumlah parasit dapat dilakukan secara kuantitatif dan semikuantitatif. Perhitungan semikuantitatif biasanya kurang akurat dan dilakukan dalam keadaan darurat dengan sediaan darah tebal. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut :2 + ++ : 1-10 parasit stadium aseksual per 1100 lapang pandang mikroskop : 11-100 parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop

+++

: 1-10 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop

++++ : 11-100 parasit stadium aseksual per satu lapang pandang mikroskop Perhitungan secara kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan darah tipis dan sediaan darah tebal. Jumlah parasit aseksual(cincin, trofozoit dan skizon) dan

seksual(gametosit) dihitung secara terpisah. Pada sediaan darah tebal parasit dihitung berdasarkan jumlah leukosit per l darahjika tidak diketahui biasanya diasumsikan leukosit penderita berjumlah 8000/l, dengan rumus berikut :2 Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit 200 Perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah eritrosit per l darah. Jika nilai ini tidak diketahui, diasumsikan penderita mengandung erittrosit 5.000.000/l (laki-laki dan 4.500.000/l (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut :2 Jumlah parasit stadium aseksual x Jumlah eritrosit Total eritrosit dalam 25 lapangan pandang Atau dengan cara sebagai berikut : Jumlah parasit stadium aseksual dalam 25 lapangan pandang mikrooskopik x 100% Total eritrosit dalam 25 lapangan pandang mikroskopik Pemeriksaan dengan Mikroskop Fluoresensi Zat fluorensi dapat berikatan dengan asam nukleat dalam intparasit dan berfluoresensi jika disinari dengan sinar ultra violet yang mempunyai panjang gelombang tertentu. Mulamula digunakan acridine orange(AO) dan benzothiocarboxypurine(BCP). Keduanya dieksitasi pada panjang gelombang 490 nm dan akan berfluoresensi dengan warna kehijauan atau kekuningan. Acridine orange dapat digunakan langsung pada sediaan darah di kaca atau dengan menggunakan capilary tubes yang bagian dalamnya dilapisi dengan zat warna acridine orange. Pada waktu sentrifugasi, capillary tubes yang berisi leukosit, trombosit, dan eritrosit akan terpisah. Parasit dapat dilihat menggunakan mikroskop fluoresensi dan akan terkonsentrasi terutama di bagian atas lapisan eritrosit.2 Tekhnik kawamoto menggunakkan filter yang dapat mengeksitasi panjang gelombang 470nm-490nm sehingga pada waktu cahaya melewati sediaan darah yang diwarnai acridine orange, parasit akan terlihat berfluoresensi. Acridine orange akan berikatan dengan asam nukleat semua jenis sel sehingga fluoresensinya menjadi tidak spesifik. Pemeriksa akan kesulitan dalam membedakan parasit dengan badan Howell Jolly yang ditemukan pada penderita anemia hemolitik. Sensitivitas tekhnik ini tinggi untuk mendiagnosa Plasmodium

falciparum yaitu lebih dari 93%. Pada metode yang menggunakan capillary tubes parasit yang berukuran besar akan tersembunyi pada lapisan sel darah putih. Benzothiocarboxypurine(BCP) digunakan langsung pada sediaan darah tebal atau suspensi darahyang sudah dilisiskan. Zat warna ini tidak cepat pudar seperti acridini orange. BCP memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (>95%) untuk mendiagnosis Plasmodium falciparum.2 Pemeriksaan dengan Rapid Test Pemeriksaan Rapid test(P-F test) merupakan diagnosi malaria yang didasarkan pada deteksi antigen yang spesifik dalam darah penderita malarria mulai diperkenalkan pada permulaan tahun 1990. Deteksi dangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik(95% untuk Plasmodium falciparum) dan tidak memerlukan alat khusus. Prinsip kerjanya adalah imunokromatografi yang cairannya akan naik sepanjang kertas nitroselulosa. Pada beberapa titik kertas nitroselulosa diletakkan antibodi monoklonal terhadap beberapa antigen malaria yang spesifik sehingga pada penderita positif akan terjadi reaksi antigen-antibodi yang tervisualisasi dalam bentuk garis. Secara garis besar hanya ada 3 macam antigen malaria yang digunakan dalam rapide test, yaitu Histidine Rich Protein2(HRP-2), lactate dehydrogenase(LDH) dan aldolase. HRP-2 merupakan protein yang larut dalam air dan disekresikan oleh berbagai stadium aseksual dan gametosit muda Plasmodium falciparum.2 HRP-2 dapat bertahan dalam darah penderita yang diobati sampai 28 hari, walaupun parasitemia negatif dengan pemeriksaan mikroskopik. Reaksi positif palsu dilaporkan pada penderita yang mengandung faktor rematoid dalam darahnya, karena bereaksi silang dengan monoklonal IgG dalam kit rapid test. Reaksi negatif palsu dapat dijumpai pada penderita, baik dengan jumlah parasit rendah(<100 parasit/l) atau dengan jumlah parasit yang tinggi(>10.000parasit/l).2 Rapid test di pasarkan dengan nama dagang OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200parasit/l darah.3 Polymerase Chain Reaction(PCR) Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA, waktu yang dipakai cukup cepat dan sensitivitas(5 parasit/l darah) maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan test ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Test ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.3 Deteksi Pigmen Malaria Deteksi pigmen malaria, yaitu hemozoin merupakan salah satu cara otomatis yang dikembangkan dengan menggunakan alat FBC(Full blood count) analyzer, dengan

CellDyn3500 atau CellDyn 4000. Prinsip kerja sama dengan flow ctomettry, yaitu dengan mengukur jumlah sinar laser yang dipantulkan suatu sel dari berbagai sudut.2

Diagnosis Kerja Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringab, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin. Keluha prodromal sering terjadi pada P. Vivax dan P. Ovale. Sedangkan pada P. Falciparum dan P. Malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak. Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria, secara berurutan terbagi menjadi periode-periode berikut ini: I. Periode dingin (15-60 menit), mulai menggigil, penderita sering membungkus diri

dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigigigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur. II. Periode panas, pada periode ini penderita mukanya merah, nadi cepat, dan panas badan

tetap tinggi dalam beberapa jam, lalu diikuti dengan keadaan berkeringat. III. Periode berkeringat, penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita

merasa sehat.

Diagnosis Pembanding Demam Berdarah Dengue (DBD) Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dnegue atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini, pasien sudah tidak demam, akan tetapai mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat. Demam Tifoid Masa tunas demem tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis timbul sangat bervariasi, dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demem, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, ostipasi

atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistakis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas, bradikardia relatif (adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung lidah berwarna merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, dan roseolae (jarang ditemukan di Indonesia). Leptospirosis Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari, rata-rata 10 hari. Gambaran klinisnya terbagi menjadi 2, yaitu yang sering dan yang jarang. Yang sering terjadi, seperti demam, menggigil, sakit kepala, meningimus, anoreksia, mialgia, conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, dan fotopobi. Sedangkan yang jarang adalah pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, proferal neuritis, pankretitis, parotitis, epididimitis, hematemesis, asites, dan mikarditis. Jadi, dari keempat gejala klinik di atas, yang sesuai dengan kondisi pasien pada skenario adalah malaria. Untuk itu akan dibahas mengenai penyakit malaria, sebagai berikut:1, 3,4

Etiologi Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reftil, dan mamalia. Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium ini pada mnusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi di tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reftil, dan 22 pada binatang primata. Parasit malaria yang terdapat di Indonesia, yang sering dijumpai adalah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana (benign malaria) dan plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika (malignan malaria). P. Malariae pernah juga dijumpai tetapi sangat jarang. Sedangkan P. Ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, pulau Owi (utara Irian Jaya).

Epidemiologi Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika (bagian selatan), dan daerah Oeceania, serta kepulauan Caribia. Namun terdapat juga daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunai dan Australia. Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik. Walupun demikian di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimport karena pendatang dari negara malaria atau penduduknya berkunjung ke daerah-daerah malaria. P. Falciparum dan P. Malariae umumnya dijumpai pada semua negara dengan malaria, seperti di Afrika, Haiti dan Papua Nugini, umumnya P. Falciparum. P. Vivax banyak di Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya P. Falciparum dan P. Vivax. P. Ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombor sampai Nusa Tenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P. Falciparum dan P. Vivax.

Patofisiologi Infeksi parasit malaria mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoitnya ke dalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual. Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk P. Falciparum dan 15 hari untuk P. Malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk skizon hati yang apabila pecah aan banyak mengeluarkan merozoit ke sirkulasi darah. Pada P. Vivax dan P. Ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria. Setelah berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. Vivax reseptor ini berhubungan dengan faltor antigen duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah duffy negatif tidak terinfeksi penyakit malaria vivax. Dalam waktu kurang dari 12 jam, parasit berubah menjadi bentuk rings. Pada P. Falciparum menjadi bentuk stereo-headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding

berubah menjadi lonjong. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengeluaran 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P. Falciparum, P. Vivax, P. Ovale adalah 48 jam dan pada P. Malariae adalah 72 jam. Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina. Bila nyamuk menghisap darah manusia yang sakit, akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk ookista yang akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap untuk menginfeksi manusia.5

Gejala klinis Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya tranmisi infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium, daerah asal infeksi, umur,faktor genetik, keadaaan kesehatan dan nutrisi, pengobatan sebelumnya. Keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria:3,6 Serangan primer: yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksimal yang terdiri dari menggigil, panas dan berkeringat. Serangan paroksimal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita. Periode latent: yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal. Recrudescense: yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya serangan primer. Berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dan serangan primer. Recurrence: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan primer. Relaps: berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari waktu diantara serangan periodik dari infeksi prime yaitu setelah periode yang lama dari masa latent (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar eritrosit (hati) pada malaria vivax atau ovale.

Penatalaksanaan Pengobatan penderita malaria dapat dengan memakai ACT (Artemisinin base Combination Therapy), dengan obat-obat non-ACT atau dengan penggunaan obat kombinasi Non-ACT. Berikut penjelasannya:1. Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT. Golongan artemisinin telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja dalam membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit juga efektif terhadap spesies (plasmodium-plasmodium pada malaria). Laporan kegagalan terhadap ART belum ada pada sat ini. Obat ini dapat diberi dengan cara oral, parenteral/injeksi dan suppositoria. Catatan: Untuk pemakaian obat golongan artemisinin, harus disertai bukti dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis/tidak ada hasil pemeriksaan parasitologik, tetap menggunakan obat non-ACT. Obat non-ACT Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non-ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Di beberapa daerah pengobatan menggunakan obat standar seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan. Jenis-jenis obat non-ACT adalah klorokuin difosfat/sulfat, sulfadoksin-pirimetamin (SP), kina sulfat, dan primakuin. Penggunaan obat kombinasi non-ACT Apabila pola resistensi masih rendah dan belum tejadi multiresistensi dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut:1 Kombinasi klorokuin + sulfadoksin pirimetamin. Kombinasi SP + kina. Kombinasi klotokuin + doksisiklin/tetrasiklin. Kombinasi kina + doksisiklin/tetrasiklin. Kombinasi kina + klindasimin.

Komplikasi Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena Plasmodium falciparum dan sering disebut pernicious manifestations. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebelumnya,

dan sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5-10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat di RS dan 20% dari padanya merupakan kasus yang fatal. Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut: Malaria serebral (coma): tidak disebabkan penyakit lain atau lkebih dari 30 menit setelah serangan kejang, Acidemia/acidosis: pH darah <7,2, Anemia berat, Gagal ginjal akut, Hipoglikemi: gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70mmHg) disertai keringat dingin. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam, Gangguan kesadaran ringan (GCS <15) , Kelemahan otot (tidak bisa duduk ataupun berjalan), Hiperparasitemia >5%, Ikterik (bilirubin > 3mg/dl), Hiperpireksia (temperature rektal > 400C) pada orang dewasa dan anak.

Pencegahan Pencegahan malaria secara umum meliputi 3 hal, yaitu edukasi, kemoprofilaksis, dan upaya menghindari gigitan nyamuk. Edukasi adalah faktor terpenting pencegahan malaria yang harus diberikan kepada setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis. Materi utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan malaria, risiko terkena malaria, dan yang terpenting pengenalan tentang gejaladan tanda malaria, pengobatan malaria terutama SBET, dan pencegahan malaria dengan kemoprofilaksis serta pencegahan gigitan nyamuk, dan pengetahuan tentang upaya menghilangkan tempat perindukan nyamuk seperti membuat drainase yang efektif dan singkirkan tempat pembiakan nyamuk terutama rawa atau tempat air tergenang. Upaya paling efektif mencegah malaria adalah menghindari gigitan nyamuk naopheles. Upaya tersebut berupa proteksi pribadi, modifikasi perilaku dan modifikasi lingkungan. Contoh dari proteksi diri adalah menggunakan insektisida, repellent dan mengurangi aktivittas di luar rumah mulai senja.2 Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis digunakan untuk mengurangi risiko jatuh sakit jika telah tergigit nyamuk infeksius. Beberapa obat antimalaria yang sekarang digunakan sebagai kemoprofilaksis adalah klorokuin, meflokuin(belum tersedia di Indonesia), kombinasi atovaquoneproquanil(belum tersedia di Indonesia), doksisiklin, dan primakuin. Tingkat efektivitas kemoprofilaksis sangat ditentukan oleh tingkat resistensi Plasmodium setempat terhadap obat anti malaria dan tingkat kepatuhan penggunaannya. Klorokuin sudah tidak direkomendasikan lagi di dunia karena terbukti resisten. Klorokuin digunakan pada daerah Plasmodium falciparum sensitif klorokuin. 500mg basa, per oral, sekali seminggu dimulai 2 minggu

sebelum berangkat dan dilanjutkan sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis. Doksisiklin digunakan 100 mg per oral sekali sehari, dimulai 2 hari sebelum berangkat dan dilanjutkan sampai 4 minggu setelah pulang.2 Stand by Emergency Self Treatment (SBET) Stand by Emergency Treatment didefinisikan sebagai pelancong minum obat anti malaria yang dibawanya sendiri ketika curiga sakit malaria, dan tidak tersediapelayanan medis yang cepat dalam 24 jam timbulnya gejala penyakit. Kelemahan cara ini adalah penggunaan obat anti malaria yang berlebihan disertai meningkatnya laporan efek samping obat. Obat SBET yang diberikan haru sberbeda dengan obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis dan dipastikan malaria di daerah yang dikunjungi masih sensitif terhadap obat SBET. Obat SBET yang direkomendasikan adalah klorokuin, meflokuin, kina kombinasi dengan doksisiklin, artesunat-lumefrantin, artesunat piperakuin. SBET di Indonesia sebaiknya menggunakan ACT dan untuk kunjungan ke daerah endemis seperti pedalaman Papua, Nusa Tenggara dan Maluku.2 Pengobatan Pencegahan Secara Intermiten(Intermitten Preventive Treatment) Intermitten Preventive Treatment(IPT) adalah pemberian dosis terapeutik obat anti malaria dengan waktu atau jadwal tertentu kepada orang-orang yang beresiko untuk pengobatan maupun pencegahan, jadi tidak memandang status infeksi pasien saat ini apakah sedang sehat atau sakit. IPT menggunakan dosis terapeutik penuh, diberikan pada penduduk daerah endemis malaria stabil dengan interval pemberian yang lebih panjang, biasanya sebulan atau beberapa bulan sekali. Dikenal beberapa IPT, yaitu IPT pada ibu hamil(IPTp), IPT pada bayi (IPTi), IPT pada anak-anak (IPTc), dan IPT dewasa (IPTa).2 Vaksin Terhadap Malaria Terdapat 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu, vaksin sporozoit(bentuk intera hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal adalah vaksin yang multi-stage (sporozoit, aseksual), multivalen(terdiri dari beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun.3 Pencegahan Pada Kunjungan Singkat Pencegahan dapat dilakukan dengan cara edukasi, Kemoprofilaksi dengan doksisiklin dan untuk daerah terpencil melakukan SBET.2

Prognosis

Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa dikenal ada 4 jenis plasmodium pada malraia. Keempat jenis plasmodium ini memiliki masing-masing prognosis. Sebagai berikut:1 P. Vivax (baik, tidak menyebabkan kematian). P. Malariae (tanpa pengobatan dapat menimbulkan relaps 30-50 tahun). P. Ovale (baik). P. Falciparum (banyak komplikasi, menyebabkan malaria berat, juga kematian).

Kesimpulan Jadi, dari gejala klinik keempat penyakit yang dapat menyebabkan demam di atas, disimpulkan bahwa, laki-laki 30 tahun yang mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu dengan sifat demam yang sempat menghilang kemudian naik lagi disertai menggigil, berkeringat, sakit kepala dan mual, menderita penyakit malaria, sesuai dengan hipotesa yang diambil untuk kasus.

Daftar Pustaka 1. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Anamnesis. Ed.5. Vol.1. Jakarta. Interna Publishing, 2009. H. 25-7. 2. Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA. Malaria dari molekuler ke kilinis. Ed.2. Jakarta. EGC, 2010. H.1-9, 103-14, 325-36. 3. Harijanto PN. Buku ajar ilmu penyakit dalam:Malaria. Ed.5. Vol.3. Jakarta. Interna Publishing, 2009. H. 2813-25. 4. Sutanto I, dkk. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta. Badan Penerbit FKUI, 2011. 5. Nasronudin, dkk. Biologi molekular penyakit infeksi. Surabaya. Airlangga University Press, 2008. 6. Mcphee SJ, Papadaksis MA, Tierney LM. Current medical diiagnosis and treatment. Ed.6. USA. Lange, 2007. H. 1517-9.

Anda mungkin juga menyukai