Tesa Iswa Rahman 102012179 D8 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Koresponden: tesarahman@gmail.com
Pendahuluan Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan atau asma pada keluarga maupun penderita. Menurut definisi Rajka dermatitis atopik adalah suatu inflamasi yang spesifik pada kompartemen dermo-epidermal, terjadi pada kulit atopik yang bereaksi abnormal; dengan manifestasi klinis timbulnya gatal dan lesi kulit inflamasi bersifat eczematou. Istilah dermatitis banyak digunakan oleh para dermatologist yang berorientasi pada sumber ilmu dari Amerika, digunakan untuk mengganti kata eksema yang banyak dipakai di benua Eropa. Kata eksema sendiri telah lama dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum masehi berasal dari bahasa Yunani ekzein yang berarti mendidih atau berbuih. Istilah eksema ini barangkali digunakan untuk menggambarkan penyakit kulit yang beragam wujud kelainan kulitnya, seperti air mendidih. 1
Pembahasan Anamnesis 2,3 Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan riwayat perjalanan penyakit. Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan. Riwayat penyakit: Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak harus sejalan dengan diagnosis utama. 2
Riwayat perjalanan penyakit: Riwayat perjalanan penyakit mencakup cerita kronologis, rinci dan jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai dibawa berobat, pengobatan sebelumnya dan hasilnya, tindakan sebelumnya, perkembangan penyakit gejala sisa atau cacat, riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya.
Pada anamnesis pasien didapat hasil sebagai berikut: Anak laki-laki berusia 10 tahun ke poloklinik dengan papul bersisik kemerahan yang terasa gatal pada badan serta kedua tungkai atas dan bawah sejak 2 minggu lalu. Kulit terlihat sangat kering. Dan dia sudah sering mengalami ini sejak bayi.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dermatitis atopik dilakukan dalam bentuk pemeriksaan kulit, yang dibagi menjadi dua berdasarkan : Lokalisasi. Bayi : kedua pipi, kepala, badan, lipat siku, lipat lutut. Anak : tengkuk, lipat siku, lipat lutut. Dewasa : tengkuk, lipat lutut, lipat siku, punggung kaki. Efloresensi/ sifat-sifatnya. Bayi : eritema berbatas tegas, papula/ vesikel miliar disertai erosi dan eksudasi serta krusta. Anak : papula-papula miliar, likenifikasi, tidak eksudatif. Dewasa : biasanya hiperpigmentasi, kering dan likenifikasi. 3,4
Pemeriksaan Penunjang 4 IgE serum. IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80% pada penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum terutama bila disertai gejala atopi ( alergi ). Eosinofil. Kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis atopik. Berbagai mediatore berperan sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil untuk menuju ke tempat peradangan dan kemudian mengeluarkan berbagai zat antara lain Major Basic Protein (MBP). Peninggian kadar eosinofil dalam darah terutama pada MBP.
Differential Diagnosis Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti:
3
Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik terhadap paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit. Dermatitis kontak terbagi 2 yaitu: dermatitis kontak iritan (mekanisme non imunologik) dan dermatitis kontak alergik (mekanisme imunologik spesifik). 5 Dermatitis Kontak Iritan Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin. 2
Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi. Ada dua jenis bahan iritan yaitu: 5
Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang.
Iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
Gambar 1. Dermatitis Kontak Iritan Kronis. 6 4
Dermatitis Kontak Alergi
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu: Fase Sensitisasi:
disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal). 2 Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik. 5 Fase elisitasi: Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1(intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. 6 5
Gambar 2. Dermatitis Kontak Alergi. 6 Dermatitis Numularis Dermatitis numularis adalah dermatitis dengan lesi-lesi khas berbentuk bulat nummular (seperti koin), berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (mandidans). Stafilokokus aureus, stress emosi, trauma local baik fisik/kimiawi, kulit penderita yang cenderung kering diduga berpengaruh munculnya dermatitis numularis. Dermatitis numularis ini biasanya perkembangan / manifestasi dari dermatitis atopik yang terjadi pada bayi dan anak di bawah 10 tahun, namun pada orang dewasa tidak berhubungan dengan gangguan atopi. Gejala klinis secara subyektif sangatlah gatal sedangkan secara obyektif dermatitis sebesar uang logam, terdiri atas eritem, edema, kadang-kadang ada vesikel, krusta atau papul. Lokasi terkena ialah ekstensor ekstremitas terutama tungkai bawa, bahu dan bokong. Dermatitis Seboroik Penyebabnya masih belum diketahui pasti. Faktor predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik yang diturunkan. D.S. berubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea, yaitu kematangannnya merupakan faktor timbulnya D.S., tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh D.S. D.S dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat. Pada orang yang telah mempunyai fakktor predisposisi, timbulnya D.S. dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress emosional, infeksi atau defisiensi umum. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan batasnya agak kurang tegas. D.S yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak yang kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama- 6
skuama yang halus dan kasar yang disebut pitiriasis sika, sedangkan bentuk yang berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunya kecenderungan rontok. Pada bentuk yang berat maka dapat meluas kedahi, glabela, telinga posaurikular dan leher. Pada bentuk yang lebih berat lagi seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan-kumpulan debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap. Selain tempat-tempat tersebut D.S. juga dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sterenal, areola mame, lipatan dibawah mame pada wanita, interskapular, umbilicus, lipat paha dan daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung dan dahi kelainan dapat berupa papul-papul. Terdapat sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang. D.S. pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal.
Working Diagnosis Work Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Setiap diagnosis kerja haruslah diiringi dengan diagnosis banding. 7
Berdasarkan gejala-gejala yang timbul dapat diduga kalau pasien anak laki-laki tersebut menderita Dermatitis Atopik. Dermatitis Atopik merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita.
Etiologi 8 Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara DA dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respons 7
berlebihan terhadap metakolin, hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada DA akan mempermudah timbulnya asma bronkial.
Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai berikut: Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite), serbuk sari buah (polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species, dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton species. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel,balsam dan sebagainya.
Epidemiologi 8 Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, prevalensi D.A. pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia tengah, prevalensi D.A. jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A. daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi D.A., misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita D.A. Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan timbulnya D.A. pada kemudian hari. D.A. cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A. pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Risiko mewarisi D.A. lebi h ti nggi bila ibu yang menderit a D. A. dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
8
Patogenesis 1 Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat kompleks serta melibatkan banyak faktor, sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial. Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan patogenesis DA adalah teori imunologik. Konsep imunopatologi ini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75% penderita DA mempunyai riwayat penyakit atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada DA, seperti peningkatan kadar IgE dalam serum pada 60-80% kasus, adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah (14) serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal. Pada DA didapatkan pula abnormalitas imunitas seluler, dengan manifestasi klinisnya antara lain penderita lebih rentan terhadap infeksi virus seperti herpes simpleks virus, vaccinia, coxsackie A16 dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi kronis dermatofita serta menurunnya kepekaan pada alergen kontak yang spesifik. Peranan reaksi alergi pada etiologi DA masih kontroversi dan menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparan alergen. Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh sel penyaji antigen (antigen presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast (=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan Ini akan menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk (newly synthesiized mediators) seperti leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya. Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula di dalam patogenesis DA oleh karena mengekpresikan reseptor pada permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta menseksresi berbagai 9
sitokin. Apabila ada alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresi limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-4. IL-5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan membuat kerusakan jaringan. Terjadinya lesi DA pada keadaan ini didasari oleh mekanisme reaksi fase lambat atau late phase reaction (=LPR). Respon imun pada DA terjadi mirip respon tipe lambat atau reaksi tipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena diperantarai oleh IgE maka dikenal sebagai IgE-mediated delayed type hypersensitivity.
Gejala klinis 8 Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita D. A. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama D.A. ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. D.A. dapat dibagi menjadi tiga face, yaitu: D.A. infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A. anak (2 sampai 10 tahun) dan D.A. pada remaja dan dewasa. D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun) D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, clan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan clan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi clapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis clan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikas:, Pada sebagian besar penderita sembuh setelausia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi 10
bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya. Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada sitang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelaina secara dramatis membaik setelah makanat ersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan. D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih kering tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul , likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk dapat terjadi erosi, likenifikas mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan "siklus gatal-garuk". Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu kucing dan anjing juga bulu ayam, burung dan sejenisnya. D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan. D.A. pada remaja dan dewasa Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan sampai leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapa pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau scalp. Kadang erupsi meluas, dan paling parah dilipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen. 11
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. D.A. di tangan bi asa t i mbul pada wani t a muda set el ah rnelahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya. Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hiperlinearis palmaris, xerosis kutis, ictiosis, pomfoliks, pitidasis alba, keratosis pilada, fipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (lands Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk komea yang abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga.
Gambar 3. Dermatitis Atopik pada Anak. 6
Kriteria Diagnostik 8 Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris di koordinasi oleh William (1994). Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria Minor.
Kriteria Mayor: pruritus, dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak, dermatitis di fleksura pada dewasa, dermatitis kronis atau residif, riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.
12
Kriteria Minor: xerosis, infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks), dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki, iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris, pitiriasis alba, dermatitis di papila mame, White dermatografism dan delayed blanched response, keilitis, lipatan infra orbital Dennie Morgan, konjungtivitis berulang, keratokonus, katarak subkapsular anterior, orbita menjadi gelap, muka pucat dan eritema, gatal bila berkeringat, intolerans perifolikular, hipersensitif terhadap makanan, perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi, tes alergi kulit tipe dadakan positif, kadar IgE dalam serum meningkat, awitan pada usia dini. Diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria mayor dan kriteria minor. 1 Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu : Kriteria mayor berupa: riwayat atopi pada keluarga, dermatitis di muka atau ekstenso, pruritus.
Kriteria minor: xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris, aksentuasi perfolikular, fisura belakang telinga, skuama di skalp kronis.
Penatalaksanaan 8 Medica mentosa: terdiri dari dua pengobatan, yaitu topical dan sistemik. Pengobatan topical: Hidrasi kulit. Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian merakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja raksimum 6 jam. Kortikosterold topikal. Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topical adalah yang paling sering digunakan sebagai anti -inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1%-2.5%. pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada luka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai didaerah genitalia dan intertriginosa, jangan di gunakan yang berpotensi kuat, misalnya, wrinated 13
glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah. Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000. Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0.03% dan 0.1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A. yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, clan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid, dapat digunakan di muka dan kelopak mata. Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug , yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1 ( IFN- dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin. Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17-propionat 0.05% (steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit. 14
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal tar 1% sampai 5%. Antihistamin. Pengobatan D.A. dengan anti histamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. Pengobatan sistemik Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali. Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misainya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pads orang dewasa. Anti-infeksi. Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari. Interferon. IFN- diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN- rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi. Siklosporin. D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pe- ngobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang 15
terutama bekerja pads sel T akan terikat dengan cyclophilin ( suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi. Nonmedica mentosa Terapi sinar (phototherapy) Untuk D.A. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit. 4,5
Prognosis Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita D.A. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65% berkurang gejalanya. Lebih dari separuh D.A. remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik D.A. yaitu: DA luas pada anak, menderita rinitis alergik dan asma bronkial, riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung, awitan (onset) D.A. pada usia muda, anak tunggal, kadar IgE serum sangat tinggi. 8
Preventif Pencegahan untuk mengurangi risiko kekambuhan D.A. dapat dilakukan dengan: Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu 16
siklus 'gatal-garuk', misalnya sabun dan detergen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa detergen dapat bersifat iritan. Selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Hindari stress karena stres juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor, kebersihar kurang terutama di daerah popok, infeksi local, seperti iritasi kencing atau feses; bahkan juga -edicated baby oil. Pada bayi penting diperhatikan
kebersihan daerah bokong dan genitalia, popok segera diganti, bila basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol, atau srtetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab, hindari pembersih antibacterial karena berisiko menginduksi resistensi.
Kesimpulan Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada pasien, dan setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, pasien diduga menderita dermatitis atopik. Namun karena kurangnya hasil-hasil lain yang mendukung, diagnosis tidak dapat ditegakan secara jelas dan pasti. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik menurut Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 yang sampai sekarang masih digunakan. Dengan penanganan yang baik dan teratur, penyakit ini dapat segera diatasi.
Daftar Pustaka 1. Kariosentono H. Dermatitis Atopik (Eksema). Surakarta: UNS Press; 2006. 17
2. Behrman ME, Robert MK, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson. Ed 15 th . Jilid II. Jakarta: EGC; 2000.1382-95. 3. Corry SM. Diagnosa fisik pada anak. Edisi kedua. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003. 4. Siregar R.S. Saripati penyakit kulit. Edisi 2 nd . Jakarta: EGC; 2004.115-7. 5. Isselbacher, Braunwald, Wilson, dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC; 2004.h.316-9. 6. Wolff K,Johnson RA,Suurmond D. Fitzpatrick color atlas & synopsis of clinical dermatology. Ed 5 th . New York: McGrawhill; 2009. 7. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.h.33. 8. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6 th . Jakarta: FKUI; 2010.