Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH FAHAM DAN GERAKAN JIHAD DI INDONESIA 1

Solahudin 2
Akhi (Saudaraku red), jadikan hidup antum (kamu red) penuh dengan pembunuhan terhadap orang-orang kafir. Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk membunuh mereka semuanya, sebagaimana mereka telah membunuh kita dan saudara kita semuanya. Bercita-citalah jadi penjagal orang kafir. Didiklah anak cucu antum menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang kafir. 3 ( Fatih)

Membaca nasehat diatas, pembaca biasa bakal miris. Bagi mereka mungkin inilah surat pertama yang mereka baca dimana seorang menasehati karibnya untuk jadi pembunuh dan penjagal. Entah orang seperti apa yang menasehati seorang teman untuk mendidik anak keturunannya jadi teroris. Di bagian lain surat yang sama ia mengatakan menjadi teroris adalah jalan untuk meraih jannah atau surga. Ingatlah akhi, janaah itu diraih lewat jalan pedang dan pertempuran. Jannah itu diraih dengan darah dan air mata. Janaah itu diraih dengan pembantaian dan kebinasaan. 4 Penulis surat ini bukan orang gila. Ia adalah Abdul Aziz alias Qudama alias Imam Samudera. Fatih nama lainnya. Surat itu ia tulis pada suatu waktu diantara jeruji besi penguasa kafir Indonesia. Kini ia sudah dihukum mati karena terlibat aksi Bom Bali pada Oktober 2002 menewaskan sekitar 200 jiwa dan melukai 300 orang. Bom Bali disebut-sebut sebagai serangan teroris terbesar di kawasan Asia Tenggara. Beberapa pelakuya, Abdul Aziz alias Imam Samudera dan Ali Ghufron alias Muchlas, tak menampik kalau perbuatannya disebut terorisme. Menurut mereka pemboman itu adalah teror atas nama jihad. 5 Pendapat ini bertentangan dengan faham jihad mayoritas umat Islam Indonesia yang menganggap bahwa jihad bermakna perang hanya berlangsung di front pertempuran serta mengharamkan pembunuhan terhadap wanita, anak-anak dan orang tua. Sebaliknya para pelaku teror justru menjadikan daerah aman, seperti Bali, sebagai jabhah atau front peperangan. Mereka juga membunuh anak-anak, wanita, orang tua bahkan juga orang Islam. Ajaran Islam seperti apa sebenarnya yang dipahami oleh Ali Ghufron dan para pelaku lainnya? Lelaki asal Lamongan ini mengaku penganut faham jamaah jihad as salafiyah atau yang lebih 6 akrab disebut salafy jihadi. Aliran ini lahir dari rahim ajaran-ajaran salafy atau neo wahabi. Secara prinsip salafy dan salafy jihadisme sama-sama mencoba mengembalikan pemahaman Islam menurut generasi salafus shalih yaitu Islam yang masih murni dan belum terdistorsi. Mereka punya pemahaman tauhid dan fiqh ibadah yang serupa. Dalam soal tauhid, keduanya sama-sama 7 menganut tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah serta tauhid asma wa sifat .Sementara tata cara
1

Untuk bahan diskusi Akar Terorisme: Sejarah, Ideologi dan Jaringan di Komunitas Salihara, Kamis 12 Mei 2011. Makalah ini hanya untuk bahan diskusi tidak untuk dimuat di mana pun. 2 Peneliti dan Wartawan 3 Fatih, Akhi Bersabarlah. (Surat Imam Samudera dari penjara kepada temannya ) tanpa tanggal. 4 Fatih, Akhi Bersabarlah. (Surat Imam Samudera dari penjara kepada temannya ) tanpa tanggal. 5 Ally Ghufron, Jihad Bom Bali, belum diterbitkan, 2003. Lihat juga Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, Al Jazeera, Solo, 2004. 6 Ally Ghufron, Wasiat dan Pesan Kepada Kaum Muslimin, belum diterbitkan dan tanpa tahun. 7 Syaikh Shalih Al-Fauzan, salahseorang tokoh salafy modern menjelaskan soal ketiga tauhid itu: Tauhid Rububiyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Taala dalam hal perbuatan-Nya. Seorang muslim harus menyakini bahwa hanya Allah lah yang punya kemampuan mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan lain-lain. Barang siapa yang

ibadah seperti shalat, puasa, zakat ataupun haji antara kedua kelompok ini juga sama. Keduanya juga sama-sama menjadikan fatwa-fatwa para ulama salaf seperti Ibn Taymiyyah, Ibn Qoyim serta Ibn Katsir sebagai rujukan utama. Namun, kaum Salafy jihadi punya doktrin jihad dan doktrin tauhid hakimiyah yang berbeda dengan ajaran kaum salafy. Ada empat doktrin utama kelompok salafy jihadisme. Pertama, qital fisabilillah artinya makna jihad secara syari adalah qital alias perang. Tak ada makna lain. Kedua, jihad fardhu ain. Hukum jihad hari ini adalah fardlu ain atau kewajiban bagi setiap muslim. Alasannya, hukum jihad yang awalnya fardlu kifayah kini berubah menjadi fardlu ain karena tanah-tanah kaum muslimin dikuasai orang-orang kafir, baik kafir ajnaby (kafir asing) maupun kafir mahaly (kafir tempatan) seperti para penguasa murtad yang memerintah negeri-negeri Islam. Setiap muslim wajib memerangi orang-orang kafir ini sampai mereka terusir dari wilayah kaum muslimin. Ketiga, Irhabiyah (terorisme). Melakukan terorisme dibenarkan menurut syariat jihad. Salahsatu bentuk teror yang diijinkan adalah membunuh kaum sipil yang selama ini dilarang untuk dibunuh seperti anak-anak, wanita, orang tua serta pendeta. Orang-orang yang haram darahnya ini berubah menjadi halal darahnya bila mereka ikut membantu orang-orang kafir memerangi orang-orang Islam. Membunuh kaum sipil tadi juga dibolehkan dalam rangka qishas atau balas dendam. Keempat, Tauhid hakimiyah. Konsep ini menganggap bahwa kedaulatan politik sepenuhnya milik Allah. Pandangan ini berseberangan dengan demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan politik tertinggi. Aktualisasi kedaulatan Allah ini mewujud dalam penerapan Syariat Islam dalam mengatur kehidupan sosial dan politik. Penolakan terhadap syariat Islam sama dengan penolakan terhadap kedaulatan Allah. Konsekuensinya si pelaku dihukumi kafir walaupun ia mengucapkan syahadat dan melaksanakan shalat. I. Afghanistan dan Salafy Jihadisme Doktrin-doktrin salafy jihadisme di dunia modern lahir pertamakali di Afghanistan pada 1980-an. Saat itu, berkecamuk perang antara pasukan Mujahidin melawan tentara Uni Sovyet. Syaikh Abdullah Azzam adalah tokoh paling berjasa dalam merumuskan ajaran-ajarannya. Ia berfatwa satu-satunya makna jihad fisabilillah (jihad di jalan Allah) adalah qital fisabilillah atau perang. Menurutnya itulah pengertian jihad yang benar menurut empat mazhab fiqh yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafii dan mazhab Hanbali. Ia menolak pendapat yang mengartikan jihad dengan hanya merujuk kepada makna lughowi (makna bahasa) saja. Jihad yang berasal dari kata jahada-yajhadu-jahdan memang dalam arti lughowinya berarti mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan atau dicintai. Sehingga jihad sering diartikan segala bentuk kerja keras dalam melakukan amal kebaikan, termasuk mencari ilmu atau mencari nafkah. Menurut Azzam karena jihad suatu ibadah maka yang harus diikuti adalah pengertian syari (pengertian menurut hukum Islam) bukan pengertian lughowi. Ia mencontohkan ibadah shalat. Shalat secara bahasa berarti doa. Sedangkan secara syari: gerakan-gerakan dan ucapan yang diawali dengan takbiratul ikhram 8 dan diakhiri dengan salam 9. Menurutnya tidak setiap orang yang berdoa disebut shalat. Benar secara pengertian bahasa dia shalat, namun menurut pengertian syari dia tidak shalat. Karena tidak memenuhi ketentuan syari untuk ibadah shalat. 10
menyakini bahwa ada kekuatan yang bisa melakukan hal serupa maka ia dikatakan telah melakukan sirik Rububiyah. Tauhid Uluhiyah sering disebut sebagai tauhid ibadah. Artinya hanya Allah lah satu-satunya yang harus diibadahi, disembah dan ditaati. Tauhid Asma Wa Sifat mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah disebutkan dalam Al Quran dan Hadits Nabi. Lihat Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan:II/17-18 8 Gerakan di awal shalat dengan cara mengangkat kedua tangan dan membaca Allahu Akbar. 9 Ucapan Assalamualaikum sebagai penutup semua rangkaian gerak dan ucapan ibadah shalat. 10 Syaikh Abdullah Azzam, Tarbiyah Jihadiyah jilid 12 (terjemahan Fie At Tarbiyah Al Jihadiyah wal Bina),

Ia menolak hadits yang amat populer di kalangan umat Islam yang menyebut perang sebagai jihad kecil:Kita kembali dari jihad yang kecil (peperangan) menuju jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa nafsu. Menurut Abdullah Azzam hadits ini maudu (lemah) sehingga tak bisa dijadikan rujukan syari. Ia megutip pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan: Hadits ini tidak mempunyai sumber yang shahih dan tidak seorang ahli hadits dan ulama yang diketahui pernah meriwayatkannya. Jihad melawan orang kafir adalah perbuatan paling mulya dan yang lebih penting lagi, jihad adalah perbuatan yang paling penting untuk kemanusiaan. 11 Azzam juga menyebut bahwa hukum jihad yang asalnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif) kini berubah menjadi fardhu ain (kewajiban individu) bagi setiap muslim ketika jengkal-jengkal tanah kaum muslimin diduduki orang kafir. Ia mengutip pendapat Ibn Taymiyyah.
Jika musuh telah memasuki satu tanah Islam, maka tidak ada keraguan lagi bahwa menjadi kewajiban bagi mereka yang paling dekat dengan negeri tersebut untuk bangkit mempertahankan diri melawan musuh, kemudian kewajiban ini beralku atas mereka yang berada di sekelilingnya, kemudian sekelilingnya mereka lagi...demikian seterusnya, karena seluruh tanah Islam itu hakikatnya adalah satu negeri. 12

Azzam sendiri mendefiniskan tanah kaum muslimin adalah tanah-tanah yang sekarang dikuasai orang Islam dan tanah-tanah yang pernah dikuasai pemerintahan Islam. Contohnya seperti Granada yang pernah dikuasai umat Islam sekarang wilayahnya jadi bagian negara Spanyol. Menurut Azzam kita juga jadi punya kewajiban untuk membebaskannya. Kewajiban jihad ini sudah membebani setiap muslim sejak jatuhnya Andalusia ke tangan orang-orang Nasrani. ...jihad telah menjadi fardu ain sejak tahun 1492 M tatkala Ghornathoh (Granada) jatuh ke tangan orang-orang kafir ke tangan orang-orang Nasranisampai hari ini. 13 Lantas kapan jihad fardhu ain akan berakhir? Menurutnya sampai umat Islam mengembalikan seluruh wilayah yang dulu merupakan wilayah Islam ke tangan kaum muslimin. 14 Lantas kalau gagal? Jihad jadi ibadah seumur hidup. Ibadah yang tak akan selesai kecuali dengan keluarnya nyawa dari badan. Sama persis dengan shalat. Sebagaimana shalat tidak akan gugur dari pundak setiap muslim kecuali setelah nyawanya keluar. 15 Tak hanya itu Azzam juga berpendapat bahwa irhabiyah atau terorisme dibenarkan dalam jihad. Salahsatu aksi teror yang dibenarkan adalah membunuh kaum sipil seperti wanita, anak-anak serta orang tua yang dianggap telah membantu musuh Islam.
Siapa saja yang berperang atau ikut membantu memerangi kita dengan cara apa saja, maka kita berhak membunuh atau memeranginya dan jika ia tidak melakukan hal itu, maka kita tidak lagi perlu memeranginya. Oleh sebab itu, kita tidak perlu memerangi kaum wanita, karena mereka adalah kaum lemah, kecuali bila mereka ikut berperang.Kita juga tidak perlu memerangi anak penerjemah Abdurrahman, Pustaka Al Alaq Solo, Juli 2002, hal 56. Syaikh Abdullah Azzam, Bergabung Bersama Kafilah (Terjemahan Ilhaq bil Qaafilah), tanpa nama penerjemah, penerbit Ahad Jakarta, 2001 hal 75. 12 Syaikh Abdullah Azzam, Bergabung Bersama Kafilah (Terjemahan Ilhaq bil Qaafilah), tanpa nama penerjemah, penerbit Ahad Jakarta, 2001 hal 61. 13 Syaikh Abdullah Azzam, An Nihayah Wal Khulashoh (Terjemahan An Nihayah Wal Khulashoh), penerjemah Abu Silah Al Harby, Pustaka Irhaby, tanpa tempat dan tanpa tahun. hal 4. 14 Syaikh Abdullah Azzam, An Nihayah Wal Khulashoh (Terjemahan An Nihayah Wal Khulashoh), penerjemah Abu Silah Al Harby, Pustaka Irhaby, tanpa tempat dan tanpa tahun. hal 4. 15 Syaikh Abdullah Azzam, An Nihayah Wal Khulashoh (Terjemahan An Nihayah Wal Khulashoh), penerjemah Abu Silah Al Harby, Pustaka Irhaby, tanpa tempat dan tanpa tahun. hal 77.
11

kecil atau pendeta, kecuali jika mereka bergabung dengan orang musryikin... 16

Doktrin-doktrin ini kemudian dilengkapi faham tauhid hakimiyah yang dibawa para tokoh jihad dari Mesir yang lari ke Afghanistan seperti Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz serta Syaikh Ayman Al Zawahiri. Ajaran ini dibawa ke Afganistan oleh para aktivis kelompok jihad Mesir yaitu Tanzim Jihad serta Jamaah Islamiyah. Di Mesir faham ini sudah hidup lama. Sayyid Qutb, lewat bukunya Maalim fi Thariq (Petunjuk Jalan) yang sangat lantang mendakwahkan tauhid hakimiyah dan jihad pada tahun 1960-an. 17 Namun bukan gagasan Sayyid Qutb yang dibawa kelompok jihad Mesir ke Afghanistan melainkan tauhid hakimiah versi salafy yang disusun oleh Muhammad Abdussalam Faraj (1952-1982), tokoh Tanzim Jihad. Gagasan itu dituangkan Faraj dalam bukunya yang berjudul Al Faridhah Al Ghaibah (Neglected Duty) pada 1980. Bukunya tipis, sekitar 50 halaman, namun isinya menyengat. Buku ini menginspirasi Khalid Islambouli menembak mati Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1980. Pokok bahasan buku ini adalah tauhid hakimiyah dan jihad. Menurut Faraj, penguasa yang menolak syariat Islam sama artinya menolak hakimiyah Allah. Pandangan ini merujuk pada fatwa Ibn Taymiyyah yang mengkafirkan penguasa Mongol saat itu. Abdussalam Faraj kemudian melakukan qiyas atau analogi historis yang membandingkan penjajahan Bangsa Mongol itu dengan realitas kontemporer. Perilaku penguasa Mongol itu dilihat Faraj sama dengan perilaku rezim Anwar Sadat saat itu. Penguasa Mongol dan penguasa Mesir sama-sama mengaku Muslim. Tapi keduanya sama-sama tidak menegakan syariat Islam. Karenanya status kedua penguasa itu sama yaitu sama-sama penguasa murtad (orang Islam yang kemudian menjadi kafir). Pentakfiran ini memberikan justifikasi kepada Faraj untuk memberontak kepada pemerintahan Anwar Sadat. 18 Kesimpulan ini cukup mengejutkan dan tak pernah terpikirkan oleh orang-orang sebelumnya. Hani As Sibai, aktivis jamaah jihad Mesir mengatakan: Fatwa Ibn Taymiyyah tentang Ilyasik adalah fatwa salaf yang cukup terkenal. Namun, tak seorangpun yang menerapkannya untuk menilai realitas masa kini, hingga Abdussalam Faraj melakukannya. 19 Bagi mereka, penguasa negerinegeri muslim yang tak menerapkan syariat Islam dihakimi murtad dan wajib diperangi. Bahkan memerangi penguasa seperti itu jauh lebih utama ketimbang memerangi kafir harby (kafir asli). Nah, ajaran tauhid hakimiyah versi Faraj inilah yang kemudian dibawa para aktivis jihad Mesir ke Afghanistan. Di Afghanistan lah kemudian faham-faham salafy jihadisme tumbuh dan berkembang.

16 17

Dr. Abdullah Azzam, Jihad Adab dan Hukumnya, Gema Insani Pers, Jakarta, 1991 hal 22-23. Salahsatu bukunya Maalim Fi Thariq (Petunjuk Jalan) secara khusus membahas al hakimiyah li Allah dan jihad. Buku ini membahas beberapa point utama. Pertama, kontradiksi antara Islam vs jahiliyah atau pemerintahan Allah melawan pemerintahan thogut atau pemerintahan yang tak menerapkan hukum Allah. Kedua, Masyarakat beriman harus berlindung dibawah payung pemerintahan Allah. Pemerintahan yang tidak merujuk pada pemerintahan Allah adalah ilegal, tidak syah, sesat serta kafir. Ketiga. Oleh karena itu harus ada perubahan sosial melalui jihad untuk melawan pemerintahan yang tidak menegakan hukum Allah. Keempat, perubahan ini dipimpin oleh sebuah kelompok yang memimpin masyarakat untuk melawan pemerintahan kafir. Gagasan ini bukan murni gagasan Qutb tapi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Abu Ala Maududi, tokoh Jamaat Al Islami, Pakistan terutama buku Al Mustalahat Al Arbaah (Empat Terminologi). Penjelasan soal pengaruh Maududi ini dijelaskan dalam buku karya Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam (Terjemahan Al Usuliyyah Al Islamiyah), Islamika, Yogyakarta, 2003. 18 Abussalan Faraj, Al Faridah Al Ghaibah (Translatian of Muhammad Abd Al Salam Faraj s Text Entitled Al Faridah Al Ghaibah), dalam buku Neglected Duty hal 169-171 19 Dr. Hani As Sibai, Balada Jamaah Jihad (Terjemahan Qishatu Jamaatil Jihad), Al Jazeera, Solo, 2005 hal 28.

II. Usamah Bin Laden Sementara itu pada awal 90-an muncul peristiwa Perang Teluk yang memicu kebencian sebagian umat Islam kepada Amerika. Saat itu Amerika menempatkan tentaranya di Jazirah Arab untuk melindungi negeri-negeri Islam disana dari serangan pasukan Irak pimpinan Presiden Sadam Husein. Penyerbuan tentara Irak ke Kuwait ini dilihat oleh Osamah sebagai kesempatan untuk kembali memobilasi para mujahidin. Ia mendatangi pejabat Saudi Arabia dan menawarkan proposal untuk mengusir tentara Irak dari Kuwait. Ia juga menasehati penguasa Saudi untuk tidak meminta tolong kepada Amerika. Solusinya, ia akan memimpin para veteran Afghanistan untuk berperang di Kuwait. Untuk mempersiapkan itu Osamah mengaku hanya perlu beberapa hari saja. I have more than 40,000 mujahedeen in the land of tw holy mosques (Saudi Arabia). These were trained in Afghanistan. Ia juga berjanji dalam waktu tiga bulan ia bisa mendatangkan sekitar 60,000 mujahidin dari luar Saudi untuk ikut mengusir pasukan Irak. 20 Namun tawaran ini ditolak. Penolakan ini amat mengecewakan Osamah bin Laden. Keputusan pemerintah untuk mendatangkan militer Amerika ini dianggap melanggar hadits Nabi yang mengatakan akhrijul musyrikina min jaziratil Arab yang artinya: Keluarkan orang musrik dari tanah Arab. Apalagi ia menganggap kedatangan tentara Amerika ini punya maksud terselubung untuk menguasai wilayah Jazirah Arab yang kaya minyak. Dalam penilaiannya untuk pertamakalinya, sejak diutusnya Nabi, orang-orang kafir menguasai Jazirah Arab dengan kekuatan militer mereka. Yang lebih mengguncang lagi, militer Amerika masuk bukan melalui pendudukan atau penolakan dari penguasa, akan tetapi justru masuk dengan permintaan penguasa Saudi dan restu para ulama. 21 Kehadiran pasukan Amerika ini makin mengobarkan kebencian Osamah terhadap Amerika. langkah awal Amerika Serikat buat menguasai negeri-negeri Islam yang kaya dengan minyak. Karenanya Usamah memandang wajib bagi setiap muslim dimanapun untuk berjihad mengusir Amerika. Pada Februari 1998, Bin Laden mendeklarasika World Islamic Front dan mengeluarkan fatwa jihad melawan tentara dan warga sipil Amerika dimana saja berada. Fatwa ini menghidupkan kembali doktrin irhabiyah atau terorisme yang disusun Abdullah Azzam di Afghanistan. Namun fatwa Bin Laden ini juga melahirkan perdebatan di kalangan jihadi soal musuh mana yang lebih prioritas diperangi: musuh yang dekat yaitu pemerintah murtad atau musuh yang jauh yaitu Amerika dan sekutunya. III. Darul Islam Indonesia punya sejarah pemberontakan kelompok Islam yang memperjuangkan berdirinya negara Islam serta menganggap perang melawan pemerintah Indonesia sebagai jihad. Itulah yang dilakukan Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII). DI adalah sebutan terhadap pemberontakan kelompok islamis pada tahun 1950-an yang basis perlawanannya utamanya ada di Jawa Barat, Gerakan ini kemudian menyebar ke beberapa daerah seperti Aceh dan Sulawesi Selatan. Tokoh utamanya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Sang pimpinan ini berhasil merumuskan doktrin-doktrin jihad yang mirip ajaran salafy jihadi. Misalnya dia menetapkan pemerintah Indonesia yang tidak menegakan syariat Islam sebagai pemerintah kafir yang harus di perangi. Ia juga menetapkan bahwa hukum jihad saat itu adalah fardlu ain, setiap umat Islam wajib ikut berjihad kecuali karena buta, sakit mata, lemah dan
20

Fawaz A. Gergej, The Far Enemy, Why Jihad Went Global, Cambridge University Press, New York, 2005 page 146 21 Dr. Muhammad Abbas, Bukan Tapi Perang Terhadap Islam, Wacana Ilmiah Pers, Solo, 2004, hal 277.

mempunyai penyakit menular. 22 Tak hanya itu Kartosuwirjo juga menetapkan siapa saja yang dianggap musuh yang boleh diperangi. Ada empat musuh yang ditetapkan: Pertama, orang bughot yaitu orang-orang yang tidak tunduk kepada hukum pemerintah NII. Ada dua jenis hukuman buat kaum bughot: hukuman buang dan hukuman mati. Kedua, orang munafiq, adalah orang-orang yang sudah diberi penjelasan soal NII namun ia punya dua sikap pro NII tapi juga pro RI. Kaum munafiq ini akan dihukum mati. Ketiga, orang-orang fasiq, orang yang sudah mengerti hukum Islam tapi tak menjalankannya. Mereka ini akan dihukum disuruh taubat tapi kalau menolak akan ditetapkan sebagai musuh Islam yang boleh diperangi. Terakhir, orang yang membantu musuh, maka hukuman yang ditetapkan ada dua: ditetapkan sebagai musuh negara dan dihukum mati. 23 DI sendiri tak segan melakukan berbagai aksi irhabiyah terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh. Misalnya pada 1948, Kartosuwirjo memerintahkan anak buahnya melakukan: penculikan dan pembunuhan terhadap semua pengkhianat agama, negara dan bangsa. Bulan Maret 1948 aksi ini dilakukan para pengikutnya yang tergabung dalam PADI (Pahlawan Darul Islam). Pelaksanaan aksi ini dijelaskan dalam sebuah laporan:
Sejak keluarnya perintah tersebut, maka tiap-tiap tempat di seluruh priangan, pula di seluruh Jawa seelah Barat mulailah PADI menjalankan aksinya terhadap penghianat-penghianat yang menjadi mangsanya. Hama penduduk, kena sasarannya tukang rebab (pasukan khusus PADI red), tidak sedikit bangkai konyol yang berkaparan di tengah jalan begitu pula yang dihanyutkan di kali-kali, seperti kali Citanduy, Cimanuk dan sungai-sungai lainnya selalu mengalirkan bangkaibangkai yang penuh berlumuran darah kena terkaman mangsanya. 24

Walaupun memiliki kemiripan ajaran, DI di era 1950-an samasekali bukan gerakana salafy. Kartosuwirjo dan para pengikutnya di Jawa Barat adalah penganut Islam tradisionalis. Ia juga seorang penganut ajaran mistik. Baik islam tradisionalis maupun mistik di mata ajaran salafy justru dianggap menyimpang. Gerakan ini berhasil ditaklukan oleh pemerintah Indonesia pada 1962. IV.Komando Jihad Pada 1962 DI/TII berhasil ditumpas TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kartosuwirjo pun dieksekusi mati, tapi gagasannya tetap hidup dan menginspirasi ribuan orang-orang eks DI/TII. Pada 1970-an orang-orang eks DI kembali mengkonsolidasi diri untuk menghidupkan Negara Islam Indonesia. Mereka membentuk struktur organisasi baru serta memilih Teungku Daud Beureueh sebagai Imam DI yang baru. Mereka menghidupkan kembali ajaran Kartosuwirjo jihad bi mana qital melawan pemerintah Indonesia. Menariknya hasrat menghidupkan kembali NII di sebagian besar kalangan orang-orang DI di Jawa Barat itu terinspirasi oleh pesan terakhir Kartosuwirjo ketika ia ditangkap. Tah ieu teh Hudaibiyah jang urang mah.(Inilah Hudaibiyah buat kita), demikian pesan yang disampaikan Sang Imam kepada ajudan dan anaknya. Hudaibiyah adalah nama perjanjian gencatan senjata antara Nabi Muhammad dengan orang-orang Kafir Quraisy. Menurut tarikh Nabi, Hudaibiyah menjadi satu periode penting yang harus dilalui Nabi sebelum pasukan Islam berhasil menaklukan kota Mekah. Orang DI sangat percaya bahwa sejarah berulang. Apa yang terjadi di zaman Nabi akan terulang kepada DI. Tak heran pesan terakhir Sang Imam ini melahirkan optimisme di kalangan orang-orang
22 23

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia Tuntunan No III. Pasal 2 ayat 1 dan 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia Tuntunan No II. pasal 2 ayat 1-4 dan pasal 3 ayat 1-4. 24 Lihat Holk Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo terjemahan Darul Islam: Kartosuwirjos Kamf um einen islamishen, penerjemah Tim Pustaka Sinar Harapan, Pustaka Sinar Harapan, 1986 hal 73.

eks DI. Ketika Kartosuwirjo mengatakan bahwa DI memasuki periode Hudaibiyah, sebenarnya sang Imam sedang mengatakan bahwa kemenangan NII sudah dekat. Pesan terakhir Imam DI itulah yang menginspirasi para tokoh DI mendirikan kembali Darul Islam. Mereka optimis kemenangan sudah dekat. Namun tak semua orang eks DI bergabung kembali dengan DI karena alasan Hudaibiyah. Di Aceh kasusnya berbeda. Tengku Daud Beureueh merasa kecewa dengan dekadensi moral yang terjadi di Aceh akibat proses industrialisasi. Mantan tokoh DI Aceh ini merasa kerusakan moral itu hanya bisa diperbaiki dengan cara menegakan syariat Islam. Namun di bawah sistem politik Orde Baru jalan untuk memperjuangkan syariat Islam melalui jalur politik formal tertutup. Tak ada pilihan lain bagi Daud Beureueh kecuali bergabung kembali dengan Darul Islam. Mereka kemudian membuat struktur organisasi yang merujuk kepada Maklumat No. 11 yang dulu dikeluarkan Kartosuwirjo. Struktur ini dibuat dalam rangka militerisasi total seluruh kekuatan DI untuk melakukan perang habis-habisan. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari merekrut kembali orang-orang eks DI hingga berusaha mencari bantuan dana dan senjata ke Libya. Namun usaha mereka ini tercium aparat keamanan. Pada awal 1977 terjadi penangkapan besar-besaran orang-orang DI/TII.Termasuk para pentolannya seperti Danu Muhammad Hasan, Dodo Mohammad Darda, Haji Ismail Pranoto, dan Gaos Taufik. Sekitar 700 orang ditangkap. Dalam situasi seperti ini orang-orang yang lolos dari kejaran aparat seperti Aceng Kurnia, Adah Djaelani kemudian menghidupkan ajaran Kartosuwirjo lainnya yaitu hijrah. Sebagaimana Nabi yang hijrah ke Madinah karena menghindari represi dari kaum Quraisy, orang-orang DI melakukan hal yang serupa mereka lari ke kejaran aparat. Ajaran hijrah Kartosuwirjo ini bisa menginspirasi para petinggi DI untuk tetap melanjutkan perjuangan tanpa putus asa. Karena dimata Imam DI ini hijrah justru sebagai pintu menuju kemenangan. Dalam pelarian mereka beberapa kali mereorganisasi diri sehingga menjadi organisasi yang menerapkan prinsip tanzim siri (organisasi rahasia). DI membentuk sistem sel dimana setiap sel diusahakan tidak saling mengenal dan terputus. Inilah organisasi Islam pertama di Indonesia yang bersifat rahasia yang belakangan strategi ini kelak diadopsi oleh berbagai gerakan Islam di Indonesia. Selain itu pada 1979, orangorang DI juga mengangkat Adah Djaelani sebagai imam baru DI karena saat itu Daud Beureueh, yang sempat diangkat jadi imam pengganti Kartosuwirjo juga dijadikan tahanan rumah di Jakarta oleh aparat keamanan. Meskipun sudah berusaha bergerak rahasia, namun aparat keamanan Orde Baru berhasil mengendus mereka. Gara-garanya beberapa aksi fai atau perampokan yang dilakukan orang-orang DI dalam rangka mencari dana ketahuan aparat keamanan. Beberapa pelaku perampokan ditembak mati, termasuk Warman alias Musa, aktor utama berbagai aksi perampokan. Buntutnya, pada 1981 aparat keamanan kembali berhasil menciduk para pentolan DI yang masih tersisa, termasuk Aceng Kurnia dan Adah Djaelani. V.Tauhid RMU dan Kaum Modernis Periode Komando Jihad tak hanya periode penggalangan kekuatan orang-orang DI, yang tak kalah penting di periode ini DI melakukan upaya memperkuat ideologi. Caranya dengan menyusun doktrin-doktrin ajaran versi DI. Aceng Kurnia adalah orang yang paling berjasa dalam menyusun ideologi baru DI. Ia menghabiskan waktu untuk menyusun sebuah doktrin tauhid versi DI. Bekas komandan ajudan Kartosuwirjo ini belajar dari tarikh perjuangan Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu sekitar 13 tahun untuk membina tauhid para pengikutnya. Rasulullah lebih dulu membersihkan tauhid para sahabat sebelum mengajarkan syariat. Tauhid yang kokoh inilah yang membuat para sahabat Nabi rela berhijrah dan berjihad. Untuk itu Aceng Kurnia memandang bahwa pembinaan tauhid juga menjadi kunci kemenangan Darul Islam. Untuk itu ia menyusun

tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) satu doktrin tauhid yang inti ajarannya adalah hakimiyah Allah, kekuasaan politik tertinggi ada di tangan Allah. Aktualisasi dari keyakinan ini adalah tegaknya syariat Islam. Gagasan ini sangat mirip dengan tauhid hakimiyah versi salafy jihadisme. Dalam menyusun doktrin ini, Aceng Kurnia sangat terpengaruh buku-buku karya Sayyid Qutb dan Abu Ala Maududi yang pada 1970-an banyak diterbitkan di Indonesia. Pengaruh keduanya sangat terlihat dalam ajaran tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Meskipun begitu, Aceng Kurnia menyusun tauhid mulkiyah yang sangat orisinil dan hasil pemikiran sendiri. Saat itu tak ada yang ada yang mengenal tauhid ini, tak ada satupun buku yang membahas soal tauhid mulkiyah. Ia juga memberikan baru terhadap Darul Islam yang ia pandang sebagai penjelmaan dari mulkiyah Allah (kerajaan Allah) di muka bumi. Alasannya, DI-lah satu-satunya kelompok Islam yang secara konsisten berusaha menegakan hukum-hukum Allah di Indonesia. Pandangan bahwa DI adalah penjelmaan dari mulkiyah Allah melahirkan sikap takfir di kalangan orang-orang DI. Ukuran keislaman seseorang dilihat apakah ia mau menerima mulkiyah Allah alias bergabung dengan DI atau tidak. Mereka yang menolak dihukumi kafir walaupun orang itu mengaku Muslim. Tauhid RMU ini kemudian dijadikan materi perekrutan anggota-anggota baru Darul Islam. Perekrutan ini dilakukan dalam rangka regenerasi Jamaah Darul Islam. Menariknya mereka berhasil merekrut orang-orang dari kalangan Islam modernis atau Islam berfaham salafy. Mayoritas anggota baru ini adalah para aktivis Muhammadiyah dan aktivis ormas Islam yang dekat dengan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Misalnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir yang berhasil direkrut masuk DI pada 1976. Selain itu banyak aktivis PII dan GPI yang juga berhasil direkrut. Keberhasilan perekrutan ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan politik Orde Baru yang meminggirkan para politisi Islam modernis dari arena politik. Hal ini membuat kaum modernis mencari wadah dan sarana baru untuk memperjuangkan gagasan-gagasan islamist mereka. Sebagian dari mereka akhirnya memilih keluar dari jalur politik formal dan bergabung dengan DI. Bergabungnya kaum modernis ke tubuh DI Juga menandai mulai masuknya pengaruh kaum modernis ke tubuh DI, salahsatu adalah sentimen anti-Kristen. Sentimen ini sesuatu yang baru bagi DI, di zaman Kartosuwirjo, orang-orang Kristen tak pernah benar-benar dijadikan musuh. Tapi pada era 1970-an kaum Nasrani juga dipandang sebagai salahsatu musuh yang harus diperangi. Berbagai aksi teror di Sumatera yang dilakukan oleh para kader baru DI yang sebagian datang dari kalangan aktivis PII seperti pemboman rumah sakit Kristen, gereja dan lembaga pendidikan Kristen menjadi bukti menguatnya rasa permusuhan orang-orang DI terhadap kaum Nasrani. Selain itu masuknya sebagian aktivis Islam modernis ke tubuh DI juga mempengaruhi faham keagamaan dalam tubuh DI. Paling nyata terlihat dalam kasus DI Solo dan Yogya. Pengaruh ajaran salafy ini dibawa oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Mereka menyerukan kepada para anggota DI untuk membersihkan ibadah mereka dari segala inovasi atau bidah serta memurnikan tauhid dari segala kemusyrikan. Karenanya dalam soal ibadah orang-orang DI sangat tertib dan menolak berbagai praktik peribadatan yang sering dilakukan oleh orang-orang Islam tradisionalis karena dianggap bidah. Misalnya tahlilan di malam Jumat, ziarah kubur, qunut saat shalat subuh, azan dua kali saat shalat Jumat dan lain-lain. Sementara itu di mata Sungkar pembersihan tauhid, tak hanya soal memerangi syirik dan khurafat saja tapi juga dalam soal politik. Menurut Sungkar menerima Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi dan sumber dari segala sumber hukum adalah kemusyrikan karena menjadikan Pancasila dan UUD 45 yang buatan manusia sebagai tandingan Al-Quran dan Hadits Nabi yang datang dari Allah dan Rasulnya. Sungkar juga melarang santrisantri di Ngruki ikut upacara bendera. Alasannya menghormat benda mati seperti bendera sama

dengan menghormat berhala. Menurut Sungkar perbuatan tersebut syirik karena sama persis dengan penghormatan terhadap berhala yang dilakukan orang-orang kafir di Mekah di zaman Nabi dulu. Sebagaimana berhala yang merupakan benda mati begitu juga bendera merah putih.Tak hanya soal hormat bendera saat upacara yang ia kritik. Ia juga mengecam nyanyian-nyanyian yang dianggapnya bisa menjurus kemusrikan, seperti lagu wajib Bagimu Negeri yang sering dinyanyikan dalam upacara bendera.
...tapi aneh, si muslim yang pada waktu shalat subuh setengah lima pagi masih inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbi al alamin (sesunggunya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku aku serahkan kepada Allah red.). Jam tujuh itu sudah berubah. Jam tujuh pagi. Padamu negeri kami berjanji, padamu negeri kami berbakti, padamu negeri kami mengabdi, bagiimu negeri jiwa raga kami. Coba bayangkan saudara-saudara sekalian. Itu sekolah Al Irsyad juga diajarkan, di Muhammadiyah diajarkan juga. Nada lagunya jelas lagu gerejani, wong itu yang ngarang komponis Kristen murni. Kemudian syairnya musyrik asli. Saudara-saudara sekalian, coba yang musrik yang bagaimana lagi kalau bukan begitu? Kalau muslim jelas, padaMu Allah kami berjanji, padaMu Allah kami berbakti, PadaMu Allah kami mengabdi, bagiMu Allah jiwa raga kami.

Namun faham salafy ini bukan satu-satunya faham yang mempengaruhi pemikiran orang-orang DI di Solo dan Yogyakarta. Mereka juga sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Qutb, Sayyid Hawwa serta Hasan Al Banna. Pengaruh IM ini masuk melalui dua cara. Pertama, melalui buku-buku karya ulama IM yang banyak diterjemahkan mulai tahun 1970-an. Kedua, melalui proses tukar pikiran antara para tokoh DI dengan para aktivis Ikhwanul Muslimin yang mengajar di LPBA (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab). Di Indonesia, LPBA banyak bekerjasama dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pimpinan Muhammad Natsir. Selain mengadakan pendidikan bahasa Arab, lembaga ini punya program kerjasama dengan pesantren-pesantren di Indonesia menyediakan dosen-dosen tamu. Atas rekomendasi DDII, LPBA juga bekerjasama dengan pesantren Al Mukmin, Ngruki. Lembaga pendidikan ini mengirim dosen-dosennya mengajar di Ngruki. Sebagian dosen-dosen yang mengajar di Ngruki adalah para aktivis Ikhwanul Muslimin (IM). Diantaranya Syaikh Khalim Khamada, anggota IM asal Iraq. Di Ngruki inilah terjadi interaksi antara para aktivis DI dengan Syaikh Khalim Khamada dan kawan-kawan. Terjadi diskusi diantara mereka, mulai diskusi soal pemikiran-pemikiran IM hingga sistem pembinaan IM yang disebut usroh. Tak hanya itu, para tokoh IM ini juga membawa buku-buku karya ulama-ulama IM yang saat itu belum diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Diantaranya buku-buku karya Syaikh Said Hawwa, tokoh IM asal Syria seperti Al Islam, buku-buku Sayyid Qutb seperti Fii Dzilalil Quran, dan buku Hasan Al Bana berjudul Usroh. Buku-buku itu kemudian dijadikan sebagai materi pembinaan, tak hanya itu sistem pembinaan ala IM kemudian diadopsi menjadi sistem pembinaan di kalangan DI Solo dan Yogya. Nah, para kader DI Solo dan Yogya inilah yang kemudian mengambil alih kepemimpinan Jamaah Darul Islam pasca-Adah Djaelani dan kawan-kawan diciduk aparat keamanan pada 1981. Untuk pertamakalinya pusat gerakan berpindah ke Jawa Tengah. Ditangan mereka DI seperti mengalami peremajaan. Pertamakalinya Jamaah Darul Islam ini dipimpin oleh generasi muda yang tak pernah punya pengalaman naik gunung bersama Kartosuwirjo. Mereka juga mengangkat Syahirul Alim, seorang dosen jurusan fisika UGM menjadi imam baru pengganti Adah Djaelani yang meringkuk di penjara. VI.Revolusi Iran Sementara itu pada 1979 terjadi Revolusi Iran yang kemudian memberikan pengaruh terhadap para aktivis Islam di Indonesia termasuk orang-orang DI pimpinan Syahirul Alim. Mereka terinspirasi

oleh keberhasilan Khomeini menggulingkan rezim Syah Iran dan merasa bahwa kondisi sosial politik Indonesia saat itu sudah cukup matang untuk sebuah revolusi. Sejak akhir 1970 an gerakan oposisi menguat di Indonesia. Gerakan ini dimotori berbagai kalangan mulai dari para mahasiswa hingga para jenderal purnawirawan yang bergabung di Forum Komunikasi para Purnawirawan perwira tinggi TNI-AD (Fosko-AD) serta para tokoh nasional dan purnawirawan lainnya yang bergabung dalam Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan Petisi 50. Kelompok-kelompok oposisi ini memandang bahwa TNI sudah tidak netral dan Suharto sudah menyimpang. Perlawanan kelompok oposisi ini semakin kencang berbarengan dengan menguatnya rencana penerapan Pancasila sebagai azas tunggal pada awal 1980-an. Orang-orang DI Yogya dan Solo beserta kelompok Pesantren Kilat yang dipimpin oleh orang ex DI kemudian berkoalisi dengan beberapa tokoh oposisi diantaranya adalah Ir. HM. Sanusi, seorang aktivis Petisi 50. Mereka kemudian berkoalisi merencanakan sebuah revolusi di Indonesia mengcopi revolusi Iran. Strategi ini disebut Strategi Phase-Phase Revolusi yang mempunyai tujuh tahap revolusi ala Iran yaitu yaitu dimulai dari tahap membuat Presiden Indonesia berhalangan tetap atau lengser hingga tahap ketujuh yaitu pembentukan pemerintah Islam seperti di Iran. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mempersiapkan rencana phase pertama yang membuat Suharto berhalangan tetap. Rencananya mereka akan melakukan aksi pembunuhan terhadap Suharto. Diantaranya dengan cara meledakan bom saat Presiden Suharto meresmikan pemugaran Candi Borobudur pada awal 1983. Setelah itu aksi akan disambut di Jakarta dengan gerakan people power dimana mereka akan memobilisi umat Islam dari berbagai daerah termasuk para kader DI dari Solo dan Yogyakarta lewat sebuah acara Apel Akbar di Mesjid Istiqlal. Namun revolusi yang dicanangkan awal 1983 ini berakhir antiklimaks, bom yang dipersiapkan gagal diledakan sementara aksi people power juga dibatalkan. Selepas kegagalan ini, orang-orang DI meninggalkan aktivitas politik praktis dan kembali fokus melakukan pembinaan dan penyempuranaan ajaran. Mereka menggiatkan usroh, termasuk di Jakarta. Tak hanya itu, mereka juga mengadopsi tahapan perjuangan Ikhwanul Muslimin dalam membentuk negara Islam. Dimana islamisasi dimulai dari pribadi yang kemudian berlanjut ke keluarga dan masyarakat. Setelah terbangun masyarakat Islam barulah mereka mendirikan Negara Islam. Selain itu, warna salafy juga semakin kental karena pengaruh dari Abdullah Anshori alias Ibnu Thoyib, aktivis DI Solo yang sekolah di LPBA (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab), lembaga yang sengaja didirikan dengan tujuan menyebarkan gagasan salafisme. Materi aqidah versi salafy diajarkan bersama dengan tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah). Selain itu orang DI yang awalnya simpati terhadap Syiah berbalik menjadi sangat anti-Syiah. Kebencian ini dipicu kasus banyaknya anggota DI yang masuk Syiah. Selain itu juga tak lepas pengaruh dari kampanye anti-Syiah yang dilakukan oleh kedutaan besar Saudi Arabia. Tak heran wajah DI saat itu jadi benar-benar mirip gerakan campuran salafy dan Ikhwanul Muslimin. Sementara itu kekacauan politik terjadi pada paruh akhir 1984. Terjadi insiden Tanjung Priok dimana umat Islam yang anti-azas tunggal ditembaki tentara. Aksi ini memancing kemarahan yang luas. Diantaranya dari kalangan Syiah di Malang yang dipimpin oleh Husain Al Habsyi dan Ibrahim Jawad. Kelompok ini bekerjasama dengan sebagian aktivis kelompok Pesantren Kilat merencanakan aksi teror sebagai aksi balas dendam. Mereka membom beberapa gereja dan Candi Borobudur. Sasaran terhadap gereja ini merupakan ekspresi kemarahan mereka terhadap orang Kristen yang dianggap bersekutu dengan Soeharto menindas umat Islam. Tak hanya itu mereka juga berencana akan melakukan pemboman di Bali dengan target turis-turis asing. Namun rencana terakhir ini gagal karena bom yang mereka bawa ke Balik meledak di bis. Meskipun begitu ada

yang menarik, revolusi Iran tak hanya menginspirasi para aktivis Islam untuk melawan pemerintah Indonesia yang dianggap tidak beriman, tapi juga menyebarkan perasaan anti-Barat. VII.Hijrah dan Jihad Pasca kasus bom Borobudur, pemerintah makin represif terhadap para aktivis Islam. Tujuannya selain menumpas kelompok-kelompok yang melakukan aksi kekerasan juga untuk mengamankan pengesahana Pancasila sebagai azas tunggal oleh DPR pada awal 1985. Aksi represif ini seolah ingin menunjukan resiko apa yang akan ditanggung oleh kelompok-kelompok Islam apabila mereka menolak UU tersebut. Salah satu kelompok yang jadi sasaran aksi represif ini adalah kelompok Darul Islam. Para tokohnya mulai diburu. Dalam rangka menghindari penangkapan, para tokoh Darul Islam yang tersisa seperti Abdullah Sungkar dan kawan-kawan hijrah ke Malaysia. Di Negeri Jiran inilah mereka melanjutkan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Selain itu Abdullah Sungkar dan kawan-kawan juga merencanakan melakukan jihad bersenjata di Indonesia. Tapi ini rencana jangka panjang. Soalnya DI sendiri tak punya senjata, dana serta tak punya kader askary (kader yang menguasai ilmu militer). Untuk mempersiapkan itu, Abdullah Sungkar mengirimkan para kadernya ke Afghanistan. Hal ini dimungkinkan karena saat itu pemerintah Amerika, Saudi Arabia dan Pakistan membuka pintu lebar-lebar bagi kedatangan para mujahidin asing. Tak hanya itu bantuan keuangan pun tersedia bagi para sukarelawan jihad yang datang ke Afghanistan. Bantuan ini disalurkan oleh sebuah lembaga swasta bernama Maktab Al Khidmat yang dipimpin oleh Abdullah Azzam, tokoh jihad Afghanistan asal Palestina serta Usamah Bin Laden, putra konglomerat asal Saudi yang mendedikasikan hidupnya saat itu untuk membantu perang Afghanistan. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh Sungkar. Sepanjang tahun 1985 hingga 1991, lebih dari 200 orang kader DI berangkat ke sana. Tujuannya bukan berperang melawan tentara komunis Sovyet tapi melaksanakan tadrib askary (latihan militer). Tujuannya setelah para kader DI ini mahir ilmu militer, mereka akan dikirim kembali ke Indonesia untuk mengobarkan jihad bersenjata melawan pemerintah Orde Baru. Para siswa Indonesia belajar sekitar tiga tahun di sebuah akademi militer milik kelompok Ittihad Al Islami pimpinan Syaikh Rasul Sayyaf, pimpinan Mujahidin Afghanistn yang juga seorang penganut faham salafy. Namun para kader DI tak hanya belajar ilmu askary saja. Lebih jauh mereka juga belajar faham keagamaan baru yang kelak dikenal dengan sebutan faham salafy jihadi. Dari ajaran ini mereka memahami makna satu-satunya dari ibadah jihad adalah qital fisabilillah (berperang di jalan Allah). Sementara itu, hukum jihad hari ini adalah fardlu ain (wajib bagi seluruh kaum muslimin) hingga seluruh orang kafir meninggalkan negeri-negeri Muslim. Mereka juga mengerti bahwa saat berjihad dibenarkan melakukan irhabiyah atau aksi terorisme. Selain itu para kader DI menjadi sadar bahwa jihad melawan pemerintah murtad seperti pemerintah Indonesia lebih utama daripada berjihad melawan Israel yang menduduki negeri Palestina. Doktrin-doktrin ini kemudian diadopsi oleh Abdullah Sungkar dan kawan-kawan. Semua ajaran DI mereka tinggalkan, termasuk doktrin tauhid RMU (Rububiyah-Mulkiyah dan Uluhiyah). Adopsi terhadap faham baru ini belakangan memicu konflik di tubuh DI. Salahsatu penyebabnya Abdullah Sungkar dan kawan-kawan yang sudah menganut faham baru mengkritik faham keagamaan Ajengan Masduki, imam DI yang baru yang diangkat pada 1987. Ajengan Masduki ini dikenal sebagai penganut faham tarikat. Nah, dalam pandangan ajaran salafy tarikat atau tasawuf dianggap sesat. Sungkar meminta Masduki meninggalkan faham sufi itu. Namun Masduki

menolak, ia tetap kukuh dengan keyakinannnya. Buntut dari perselisihan ini Sungkar dan kawankawan memutuskan untuk keluar dari Darul Islam pada 1992. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa infishol (perpecahan) dimana Abdullah Sungkar dan para pengikutnya kemudian keluar dari DI . VIII. Jamaah Islamiyah Pasca infishol (perpecahan) dengan DI (Darul Islam), Abdullah Sungkar membuat jamaah baru pada 1993. Jamaah baru ini meniru sebuah jamaah jihad di Mesir. Sungkar memilih nama yang sama: Jamaah Islamiyah. Tak hanya itu, sembilan prinsip perjuangan gerakan jihad Mesir ini juga diadopsi oleh jamaah baru Sungkar. Orientasi jihadnya pun sama: berjihad melawan pemerintah murtad. JI melihat rezim Orde Baru sebagai musuh utama yang harus diperangi. Alasannya memerangi kafir mahaly (kafir tempatan) yaitu pemerintah murtad lebih utama dari jihad melawan kafir ajnabi (kafir asing) yang kini menduduki negeri-negeri Islam seperti Palestina, Mindanao, Kashmir dan lain-lain. Kenapa? Karena musuh yang dekat lebih berbahaya dari musuh yang jauh.Selain itu menurut syariat Islam hukuman bagi orang murtad lebih berat dari kafir harby (kafir asli) Memerangi musuh yang jauh seperti Amerika dan sekutunya tak terpikirkan saat itu. Gagasan memerangi Amerika baru mengemuka pada paruh akhir 1990-an karena terpengaruh fatwa Usamah bin Laden. Pada Februari 1998 Usamah bin Laden mengeluarkan fatwa yang intinya menyatakan: membunuh warga Amerika baik sipil maupun militer dimanapun mereka adalah sebuah kewajiban agama bagi setiap muslim.
To kill the American and their allies civilians and militaryis an individual duty incumbent upon every Muslim in all countries, in order to liberate the Al Aqsa Mosque and the Holy Mosque from their grip, so that their armies leave all the teritory of Islam, defeated, broken, and unable to threaten any Muslim. 25

Fatwa ini menjadi penting karena Osamah dan kawan-kawan berhasil mereformulasi doktrin jihad kaum salafy jihadi. Mereka menempatkan musuh yang jauh yaitu Amerika sebagai musuh utama yang harus diperangi. Selama ini di kalangan kaum salafy jihadi memahami bahwa berperang melawan musuh yang dekat lebih utama daripada musuh yang jauh. Menurut Abu Musab As Suri, pilihan Bin Laden melawan musuh yang jauh ini didasari sebuah pertimbangan strategi perang. 26 Sebenarnya dalam benak Bin Laden ada dua musuh utama. Pertama, Kerajaan Saudi yang ia anggap sebagai rezim murtad. Kedua, Amerika yang pasukannya dianggap menduduki Jazirah Arab. Awalnya ia akan memutuskan untuk berperang melawan rezim Arab Saudi. Ia berpendapat jalan jihad melawan rezim murtad sudah pasti akan mempertemukannya dengan Amerika. Namun ia kemudian berfikir bila langsung menghadapi pemerintah, ia harus berhadapan juga dengan para ulama seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan lembaga-lembaga agama seperti Haiah Kibarul Ulama (Majelis Ulama Saudi) yang masih sangat didukung dan dihormati masyarakat Saudi. Artinya bila ia melawan pemerintah Saudi maka ia juga harus melawan para ulama yang artinya juga ia akan kehilangan dukungan rakyat Saudi. 27 Akhirnya Osamah bin Laden memilih piihan kedua, berperang melawan Amerika. Ia berpikir bila ia menyerang Amerika, maka kerajaan
25

The World Islamic Front, February 23, 1998, dimuat dalam Osama Bin Laden, Messages to The World, edited and introduced by Bruce Lawrence, Verso, New York, 2005 page 61. 26 Abu Mushab As Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002) Sejarah, Eksperimen dan Evaluasi, Al Jazeera, Solo, 2009 hal 85. 27 Abu Mushab As Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002) Sejarah, Eksperimen dan Evaluasi, Al Jazeera, Solo, 2009 hal 85.

Saudi terpaksa membelanya. Dengan demikian legitimasi pihak kerajaan akan jatuh di mata umat Islam di Saudi. Berikutnya ulama dan lembaga-lembaga agama juga pasti akan membela pihak kerajaan Saudi yang berakibat legitimasi mereka juga akan jatuh. Harapannya rakyat akan mendukung Osamah Bin Laden. Osamah bin Laden makin yakin pilihannya berperang melawan Amerika sebagai pilihan yang benar setelah ia mempelajari keruntuhan blok komunis. 28
Syaikh Usamah melihat semua pemerintahan diktator di negara-negara pakta Warsawa tumbang dengan tumbangnya fakta ini. Hal ini seperti yang terjadi dengan Jerman Timur, Rumania, Polandia dan beberapa negara lain. Syaikh Usamah juga berkeyakinan dengan runtuhnya Amerika, semua elemen rezim Arab yang berkuasa dan negara-negara muslim lainnya akan ikut runtuh.Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Syaikh Usamah memfokuskan usahanya untuk jihad melawan Amerika. Kepada orang-orang yang menemuinya, Syaikh Usamah mulai menyerukan ide perang melawan sebagaimana ia sebutkepala ular, dan bukan melawan ekornya yang banyak. 29

Seruan ini menimbulkan pro-kontra di tubuh JI. Muncul kubu yang pro Bin Laden yang dipimpin oleh Hambali dan Ali Ghufron alias Muchlas. Sebaliknya ada juga kubu yang dipimpin Thoriqudin dan Ahmad Roihan yang tetap bersikukuh bahwa prioritas utama JI adalah jihad melawan musuh yang dekat yaitu pemerintah murtad bukan musuh yang jauh seperti Amerika. Pro kontra ini sempat mereda setelah muncul konflik komunal antara umatIslam versus umat Kristen di Maluku dan Poso pada 1999/2000. Di wilayah konflik kedua kubu sepakat bahwa musuh utama mereka adalah: Kaum Kristen fanatik yang menyerang umat Islam. Pertanyaan mana yang lebih utama diperangi apakah musuh yang jauh seperti kafir harby atau musuh yang dekat seperti kaum murtad menjadi tak relevan. Soalnya di wilayah konflik musuh yang dekat justru orangorang kafir harby yaitu umat Nasrani. Konflik komunal reda pada pertengahan 2001, tanpa disangka terjadi aksi penyerangan WTC 9 September 2001. Aksi penyerangan ini kembali mendorong semangat kelompok Hambali untuk melaksanakan hajat mereka berperang melawan musuh-musuh Islam yaitu Amerika dan sekutunya. Setahun kemudian hajat itu terlaksana. 12 Oktober 2002 bom mobil seberat satu ton meledakan dua pusat hiburan di Bali. Hasilnya mengerikan 200 orang kehilangan nyawa, 600 an orang terluka. Aksi ini sempat disebut-sebut sebagai salahsatu aksi terorisme terbesar pasca 9/11. Makalah ini adalah ringkasan dari buku penulis dengan judul NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu, Mei 2011

28

Abu Mushab As Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002) Sejarah, Eksperimen dan Evaluasi, Al Jazeera, Solo, 2009 hal 85-86 29 Abu Mushab As Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002) Sejarah, Eksperimen dan Evaluasi, Al Jazeera, Solo, 2009 hal 86.

Anda mungkin juga menyukai