Anda di halaman 1dari 16

Pendekatan Sejarah Sosial

PENDEKATAN SEJARAH SOSIAL DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM Abd. Hadi Abstract What referred by Islamic law in fact is product idea of Islamic law, representing result of interaction between Moslem scholar as thinker with social environment. Though Al-Quran and Prophetic Tradition have the character of law, but its amount very a little, with amount of problem of life needing rule of law. To fill that blankness, hence all Moslem scholar have used its mind, and its result is product of idea law existing this time. Is product dynamics or colour idea of that law, we will let as it is this time, depended to bravery of scholar punish existing Islamic low. Kata kunci : Sosial, Hukum dan Sejarah A. Pendahuluan Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah basil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh karena itu produk pemikirannya itu sebenarnya bergantung kepada lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan merujuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnva tidak lebih dari basil interaksi tersebut. Pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal : pertama untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat yang seharusnya, dan kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada para pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan suatu produk pemikiran hokum, karena sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah itu dan sebagian dari bukti-bukti itu akan di sajikan dalam

Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya

67

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

makalah ini. B. Jenis-jenis Produk Pemikiran Hukum Islam Sebelum kita sampai kepada bukti-bukti sejarah tersebut, akan dikemukakan mengenai jenis-jenis produk pemikiran hukum Islam yang ada selama ini. Sebagaimana kita ketahui. sedikitnya ada empat jenis produk pemikiran hukum Islam yang kita kenal dalam perjalanan sejarah hukum Islam, yaitu: 1)kitab-kitab fikih, 2)keputusan-keputusan pengadilan agama, 3)peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan 4)fatwa-fatwa Ulama. Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khasnya sendiri yang karenanya memerlukan perhatian tersendiri pula. Kitab-kitab fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam yang pertama sifatnya menyeluruh dan meliput semua aspek hukum Islam sehingga di antara cirinya cenderung kebal pada perubahan karena revisi atas sebagiannya dianggap mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Apalagi sejarah membuktikan bahwa meskipun ketika ditulis kitab-kitab fikih itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, di dalam kenyataan beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang. Demikian pula kitab-kitab fikih itu ketika ditulis oleh pengarangnya tidak secara eksplisit disebut masa lakunya sehingga cenderung dianggap berlaku untuk sepanjang masa. Ciri produk pemikiran hukum Islam yang kedua , yaitu keputusan-keputusan pengadilan agama, cenderung dinamis karena merupakan respon terhadap perkara-perkara nyata yang dihadapi masyarakat. Keputusankeputusan pengadilan agama memang tidak meliput semua aspek pemikiran hukum Islam seperti halnya fikih, tetapi dari segi kekuatan hukumnya ia lebih mengikat terutama bagi pihakpihak yang bersangkutan. Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan hukum Islam tidak banyak diwarnai oleh produk pemikiran hukum jenis ini. Ciri produk pemikiran hukun Islam yang ketiga, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, seperti halnya keputusan pengadilan agama. ialah bersifat mengikat : bahwa daya pikatnya itu lebih luas dalam masyarakat. Orang yang terlibat dalam perumusannya juga tidak terbatas pada kalangan ulama atau Fukaha, tetapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya. Masa laku peraturan perundangan itu biasanya dibatasi, atau kalaupun tidak dinyatakan secara resmi, di dalam kenyataan masa laku itu akan menjadi ada ketika peraturan perundangan itu dicabut atau

68

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

diganti dengan peraturan perundangan yang baru. Adapun jenis produk pemikiran hukum yang keempat, fatwafatwa mufti atau Ulama, termasuk di dalamnya fatwa Majlis Ulama Indonesia. Diantara cirinya ialah bersifat kasuistik karena merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleb peminta fatwa. Berbeda dengan keputusan pengadilan agama, fatwa tidak mempunyai daya ikat. dalam arti bahwa si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang diberikan kepadanya. Demikian pula masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa itu, karena fatwa seseorangUlama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa Ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena merupakan respons terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat si peminta fatwa; isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi sifat responsifnya itu yang sekurang-kurangnya dapat dikatakan dinamis. Meskipun fatwa itu dikeluarkan satu persatu secara kasuistik, sejumlah fatwa dari herbagai Ulama besar juga akhirnya dibukukan, tetapi sistematikanya tetap berbeda dcngan sistematika kitab fikih. 1 Demikianlah empat jenis produk pemikiran hukum Islam dan cirinya masing-masing secara singkat. Sekarang marilah kita lihat satu persatu ilustrasi dalam sejarah dari masing-masing jenis itu. C. Faktor Sosial Budaya Dan Kitab-Kitab Fikih Persoalan bagaimana Para Ulama fikih dipengaruhi faktor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih mereka dapat kita bahas pada bukti-bukti berikut. Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang bagimana Imam Syafi'i mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Bagdad dan pondapat baru dikemukakan ketika beliau telah pindah ke Mesir. Puluhan bahkan mungkin juga ratusan pendapat lama Imam
1 Praktek mengumpulkan fatwa menjadi kitab baru muncul pada abad ke-12. Di kalangan mazhab Hanafi di antara buku-buku kumpulan fatwa yang pertama disusun ialah Dakhirat Al-Burhaniyah yang berisi kumpulan fatwa Burhanuddin b. Maza (w. 570 H/1174 M), kemudian buku Al-Khaniyah berisi kumpulan fatwa Qadli Khan (w. 592 H/1198 M). Kitab As-Sirajiyyah berisi fatwa-fatwa Sirajuddin AlSanjawi (w. abad ke-6 H), dan kitab Tatar Khaniyyah berisi fatwa-fatwa Ibnu Aliuddin (w. 800 H/1397 M). Di kalangan Mazhab Maliki di antara kitab kumpulan Fatwa pertama adalah kitab al-Miyar al-Maghrib yang berisi fatwa-fatwa alWansyarisi (w 1914 H/1508 M). Di kalangan mazhab Hambali kitab kumpulan fatwa yang terkenal adalah kitab Majmu al -Fatawa atau al-Fatawa al-Kubra yang berisi fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Pada abad ke-17 kitab kumpulan fatwa yang terkenal ialah ialah kitab Fatawa Alamgiriyah dari India.

69

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

Syafi'i di rubah dan diganti dengan pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan sosial budaya barunya itu. Kalau kita membaca kitab fikih Mahalli misalnya, kita akan berjumpa dengan sejumlah pernyataan tentang qaul qadim dan qaul jadid itu. Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri bagaimana Ulma ahlu rayi dan ahlul hadits berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama Ahlu rayi dengaan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan Bagdad yang metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah dengan kenyataan bahwa Bagdad terletak jauh dari pusat kota Hadits, yaitu Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab Fikih yang lebih mendasarkan kepada rayu (akal ) daripada Hadits yang tidak masyhur, dalam hal tidak ada nas Al-Qur'an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan ditambah kenyataan banyaknya Haditshadits yang beredar di kota itu, cenderung banyak menggunakan Hadits ketimbang rasio atau akal. Kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yang merupakan buku kumpulan Hadis pertama. juga sekaligus dapat disebut, sebagai kitab fikih dengan mendasarkan pada Hadis atau riwavat.2 Demikianlah faktor geografis dan tingkat urbanisme suatu masyarakat telah mempengarulu lahirnya berbagai mazhab fikih dalam Islam. Itu di zaman lahirnva imam-imam mazhab. Kalau kita bergerak ke depan, ke abad ke-12, kita akan melihat misalnya kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd yang terkenal itu. Ibnu Rusyd tinggal di kota Kordova. Spanyol. yang pada waktu itu telah menjadi kota metropolitan. Para ahli sejarah mencatat bahwa ketika itu Kordova tcrdiri atas 21 perkampungan dengan 13.000 buah rumah, memiliki 70 buah perpustakaan, sejumlah toko buku, masjid dan bangunan-hangunan istana. Kordova juga ketika itu telah mempunyai jaringan jalanan umum dengan menggunakan batubatu yang di sepanjang jalan dilengkapi dan dihiasi dengan lampulampu lentera. Sementara itu di London beberapa abad kemudian masih gelap gulita, belum mempunyai sistem penerangan jalan umum seperti itu. Bahkan di Paris beberapa abad setelah itu orang masih harus berjalan di atas jalan lumpur setinggi lutut. Ketika para guru besar dari Universitas Oxford masib memandang
2 Muhammad Khudhari Bek, Tarikh Tasyri al-Islami,(Mesir : Matbaah Saadah, 1954), 141-146; N.J. Coulson, History of Islamic Lawa (Edinburg : University Press, 1964), 36-52

70

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

kebiasaan mandi dengan air sebagai kebudayaan penyembah berhala, para ilmuwan Kordova telah berabad-abad menikmati budaya mandi dengan air itu di rumah-rumah mewah mereka. Demikianlah jauhnya perbedaan kemajuan kota Islam Kordova dengan kota-kota di Eropa ketika itu, bahkan berabad-abad kemudian. Kompleksitas kehidupan masyarakat Kordova ini, ditambah dengan kenyataan bahwa Ibnu Rusyd sendiri adalah seorang filosof yang berpandangan luas, maka kitab Bidayatul Mujtahid (Permulaan bagi Mujtahid) yang ditulisnya itu tidak memihak kepada mazhab tertentu tetapi menyajikan beraneka pendapat secara sekaligus dengan alasan-alasannya. Kita mengetahui bahwa kecenderungan Fikih muqaranah atau Fikih Perbandingan semacam ini haru berkembang lebih pesat pada zaman modern sekarang ketika tingkat urbanisme masyarakat muslim di dunia telah semakin meningkat. 3 Tentu tidak semua negeri muslim mempunyai dinamika seperti Bagdad dan Kordova dalam melahirkan kitab-kitab Fikih. Kalau kita bergerer ke depan, kepada abad ke-19 dan abad ke20, kita akan melihat bahwa bagi negeri muslim seperti Asia Tenggara lebih suka mengambil Fikih yang sudah jadi ketimbang megembangkan kitab fikihnya, meskipun kitab-kitab fikih yang diambilnya itu adalah produk lampau yang sudah jauh dan di tempat yang jauh pula. Ada empat rumpun kitab fikih yang digunakan oleh pesantren-pesntren di Indonesia misalnya, yaitu kitab-kitab fikih yang bermuara kepada Kitab al-Muharra karya Imam Rafi'i (w. 1226 M), dan kitab Fiqih yang bermuar kepada Kitab Taqrib karya Abu Syuja (wafat 1215 M), yang bermuara kepada Kitab Qurratul 'Ain karya Al-Malibari (lahir 1597 M) dan yang bermuara kepada Kitab Muqaddimah Al-Khadramiyyah karya Ba Fadhal (hidup padaa abad ke-1 M), Kitab-kitab Fikih itu beserta komentar atau syarhnya yang ditulis beberapa abad yang lalu di luar Asia Tenggara masih digunakan hingga sekarang di Indonesia, bukan karena isinya memang sepenuhnya cocok dengan kondisi sosio-kultural Indonesia tetapi karena Indonesia belum mempunyai ulama atau fuqaha yang mampu mengembangkan fikihnya sendiri. 4 Demikianlah faktor geografis dan sosial telah berpengaruh
3 Tentang perbedaan perkotaan Eropa dan Spanyol ketika itu, lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs (The Macmillan Press, edisi ke-9, 1970), 526. 4 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of The Indonesia Ulama : Studi of Islamic Legal Thought in Indonesia, Ph.D. Disertation (USA : University of California Los Angeles, 1990 ), 108

71

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

terhadap perkembangan dan dinamika penulisan kitab fikih, dan sebaliknya keterbatasan sosio-kultural juga mempengaruhi jenis kitab fikih yang digunakan. D. Faktor Sosial Budaya Dan Aturan Perundangan Negeri Muslim Ada sejumlah negeri muslim yang dalam sejarahnya pernah memberlakukan peraturan yang dari segi pemikiran hukum Islam menarik perhatian. Yang pertama ialah Tunisia. Pada tahun 1950-an negeri ini memberlakukan suatu undangundang yang disebut The Tunisian Code of Personal Status yang mengatur mengenai perkawinan dan warisan. Pasal 18 dari UU itu menyatakan bahwa poligami atau beristeri lebih dari satu orang adalah dilarang dan bagi pelanggarnya dapat dikenakan hukuman penjara selama setahun dan atau denda sebesar 240.000 frank. Aturan ini banyak mengundang reaksi keras dari dunia Islam ketika itu, bahkan juga sampai sekarang. Tetapi Tunisia mempunyai alasannya sendiri. Dari segi hukum Islam alasan itu ialah karena syarat untuk berpoligami itu si suami harus berlaku adil, sedangkan keadilan yang sempurna tidak akan pernah terwujud. Karena itu bagi Tunisia jiwa Al-Quran sebenarnya melarang poligami. Memang ada sebuah Ha dits yang menyatakan bahwa keadilan di situ tidak termasuk dalam soal cinta, tetapi UU Tunisia itu tidak mengakui adanya Hadits tersebut. 5 Timbul persoalan sekarang, apakah berarti Tunisia telah keluar dalam hukum Islam padahal negeri itu menyatakan dirinya sebagai negara Islam? Masalahnya mungkin bukan menghakimi keluar atau tidak keluar dari hukum Islam, tetapi lebih baik memahami apa yng melatar belakangi lahirnya UU itu. Kita mengetahui bahwa antara tahun 1885, sampai tahun 1912 tidak kurang dari 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris. Sebaliknya orang-orang Perancis juga melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Pada pihak lain, orang Tunisia yang belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaruan pendidikan melalui Zaituna dan Sadiqi
5 Tahir Mahmood, Family LawReform in The Muslim World (New Delhi : The Indian Law Institute, 1972), 99-101; 108.

72

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College yang kemudian menjadi pusat gerakan "The Young Tunisians" itu. 6 Ini semua memperlihatkan kepada kita bahwa sementara kontak sosial budaya sedang terjadi dengan ide-ide Perancis. Tunisia juga merasa tidak keluar dari Islam dengan larangan poligami itu. Bila kasus Tunisia ini kita lihat dengan kacamata Indonesia pada tahun 1950-an atau bahkan 1960-an,jelas larangan poligami itu dianggap bertentangan dengan Islam. Akan tetapi kalau hal itu kita lihat dengan kacamata Indonesia setelah pertengahan 1970-an, maka jelas UU Perkawinan No. 1/1974 juga sebenarnya ide dasarnya mempersulit terjadinya poligami. Apakah bagi anggota ABRI dan pegawai negeri sipil, poligami itu praktis telah dilarang karena tatacara dan persyaratan yang begitu ketat. Walau begitu kita tidak pernah merasa keluar dari hukum Islam sedikitpun. Jadi dalam hal ini sebenarnya sedikit demi sedikit Indonesia sedang mendekati Tunisia; hal mana tidak ada salahnya sama sekali. Demikianlah perbedaan waktu dan tempat telah menggeser posisi kita dalam memahami hukum Islam. Negeri kedua yang hendak kita lihat dari segi pengaruh faktor sosial budaya terhadap peraturan perundangannya ialah India. Pada tahun 1937 di India diberlakukan suatu UndangUndang yang lazim disebut dengan The Muslim Personal Law (Syari at) Application act yang isinya mengatur rinci soal-soal perkawinan, perceraian, warisan, dan wakaf bagi orang-orang Islam. Dalam UU itu dinyatakan bahwa perceraian bagi orang Islam diatur menurut mazhab Hanafi karena sebagian terbesar orang Islam di India bermazhab Hanafi, dan perceraian itu hanya sah kalau diputuskan oleh Pengadilan. Oleh karena aturan tentang hak minta cerai bagi wanita dalam mazhab Ha nati itu amat sulit atau hahkan tidak ada, maka UU tersebut dalam praktek telah melarang sama sekali terjadinya perceraian yang diprakarsai oleh pihak wanita. Lalu sebagai eksesnya apabila seorang wanita ingin dicerai oleh suaminya maka jalan pintasnya adalah dengan menyatakan diri keluar dari Islam sehingga dengan itu perkawinannya menjadi hubar dengan sendirinya karena fasakh. Jika perkawinan itu bubar maka praktis perceraianpun telah terjadi. Demikian telah dilakukan oleh banyak wanita muslim India. Melihat gejala yang kurang
6 William Ballantyne, Reassertion of the Shariah : The Jurisprudence of the Gulf State, dalam Nicholas Heer (ed) Islamic Law and Jurisprudence, (London : University of Washington Press, 1990), 151-152.

73

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

baik ini, yakni banyaknya wanita muslim menyatakan keluar dari Islam hanya karena ingin cerai dari suami, maka pada tahun 1939, dengan dipelopori oleh Asyraf Ali Tsanawi, diberlakukanlah UU yang disebut dengan The dissolution of Marriages Act yang antara lain mengatur bahwa untuk prosedur perceraian tidak lagi menggunakan mazhab Hanafi yang menyulitkan itu tetapi pindah kepada mazhab Maliki yang dapat memberi kesempatan. kepada wanita untuk meminta cera i kepa dapengadilan. 7 Demikianlah India telah mengubah produk pemikiran hukumnya dari menganut mazhab Hanaf kepada mazhab Maliki dalam soal hak permintaan cerai oleh karena ekses-ekses sosial yang dialaminya. Negeri ketiga yang hendak kita lihat di sini ialah Kuwait Pasal I Kuwait Civil Code tahun 1980 menyatakan bahwa susunan sumber hukum di negeri itu ialah: (1) bunyi undangundang yang berlaku mengenai berbagai masalah (2)adat(3) kitab fikih (UU.No 67 tahun 1980,dimuat dalam Kuwait al-yaum NO, 1335 tahun 1981 ). Meskipun persoalan kontrak tidak disebut sccara eksplisit dalam UU ini. dalam pasal 196 ada disebutkan secara samar bahwa kontrak pada dasarnya diatur oleh ketentuan yang ditetapkan atau disetejui bersama oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak. Menurut UU mi dalam persoalan pinjam meminjam tidak boleh dikenakan bunga. Tetapi dalam UU Perdagangan (The Kuwait Commercial Code) yang diberlakukan hampir bersamaan waktunya dengan UU tersebut di atas. yaitu UU No. 68 tahun 1980 dinyatakan bahwa khusus untuk pinjam meminjam yang dilakukan dalam rangka perdagangan maka boleh dikenakan bunga (UU No. 68 tahun 1980, dimuat dalam A1-Kuwait alyaum No. 1338 tahun 1981). Atas dasar itulah,maka kegiatan perdagangan di Kuwait dalam kenyataan sebenarnya tidak menjalankan syari'ah karena mengizinkan adanya bunga. 8 Negara lain adalah Bahrain. Sampai dengan diberlakukannya UU Perdagangan pada tahun 1987, sumbersumber hukum negeri ini diatur oleh Judicature Law tahun 1971 yang menyatakan bahwa susunan sumber hukum negeri itu ialah secara berurutan: (1) peraturan perundangan yang ada. (2) dasar-dasar hukum Islam, (3) adat, dan (4) dasar-dasar keadilan dan
7 8

Tahir Mahmood, Family, 99-101; 108. Ibid.

74

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

kebaikan umum. Urutan ini menarik karena undang-undang sekuler buatan manusia didahulukan ketimbang dasar-dasar hukum syari'ah (UU ini diberlakukan sebagai UU no. 13 tahun 1971 dan dimuat dalam Official Gazette No. 929). Kemudian setelah diberlakukannya UU Perdagangan (the Commercial Code) tahun 1987, sikap membelakangkan hukum Syari'ah itu menjadi lebih jelas lagi. Pasal 22 UU itu menyatakan bahwa masalah-masalah perdagangan diatur menurut perjanjian yang disepakati bersama oleh pihakpihak yang bersangkutan sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Jika perjanjian tertulis semacam itu tidak ada, maka masalahnya dikembalikan kepada adat. Jika dalam adatpun masalah itu tidak dibicarakan, maka yang berlaku adalah hukum sipil. Dengan urutan pikir yang demikian itu maka Bahrain dengan UU Perdagangan tahun 1987 itu mengatur bahwa terhadap pinjaman-pinjaman yang bersifat komersial harus dikenakan bunga kecuali bila pihak-pihak yank bersangkutan secara eksplisit sepakat menyatakan sebaliknya. Pasal 76 UU itu kemudian menjelaskan apa yang disebut dengan pinjaman komersial dan menegaskan batas maksimal bunga yang dari waktu ke waktu akan ditetapkan oleh Bank Sentral. Sedangkan pasal 275 dari UU itu menyatakan diizinkannya pengenaan bunga atas segala macam deposit di Bank (UU No. 7 tahun 1987, dimuat dalam Supplement to Official Gazette No.1739). Negara lain ialah Qatar: di negeri ini gambarannya lebih menarik lagi. UU Sipil dan Perdagangan tahun 1971 menyatakan bahwa sumber-sumber hukum di negeri itu ialah: (1) perjanjian antara pihak-pihak yang bersangkutan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, (2) peraturan perundangan yang ada. (3 ) adat, dan (4) Syari'ah. Agak membingungkan memang apakah peletakkan Syari'ah pada urutan terakhir itu berarti bahwa semua aturan pada urutan sebelumnya berarti harus diawasi oleh Syari'ah ataukah bahwa Syari'ah memang, sesuai dengan urutan pencantuman itu, adalah rujukan terakhir dalam mengatur soal-soal perdagangan (UU Sipil dan Perdagangan Qatar tahun 1971 disebut sebagai UU No. 16 tahun 1971, dan dimuat dalam Official Gazette No. 7 tahun 1971). 9 Negara lain lagi ialah Mesir. Di negeri ini sejarah modernisasi hukum berawal sejak tahun 1874, ketika Mesir mendapat kebebasan
9

Ibid., 152-154.

75

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

dari segi jurisdiksi meskipun masih tetap merupakan bagian Kerajaan Turki Usmani. Periode 1875-1883 diisi dengan pembaharuan administrasi hukum dengan memperkenalkan pengadilan mukhtalat (campuran) dan pengadilan ahli (pribumi). Setelah Mesir berada di bawah pengaruh lnggeris pada penghujung abad itu, sejumlah undang-undang yang diberlakukun Langsung berkiblat ke Barat : hukum pidana, perdagangan, kelautan, dll. Hukum perorangan sampai tahun 1920 belum terjamah perubahan-perubahan itu, meskipun Qudri Pasha telah mencoba mengusahakannya dengan menoleh kepada mazhab Hanafi. Setelah suara lantang pembaharuan terdengar dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Al Maraghy, maka diundangkanlah UU tentang Status perorangan No. 25 tahun 1929 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 25 tahun 1929. Meskipin kedua UU ini sebenarnya hanya merupakan kumpulan pilihan dari pendapat-pendapat mazhab empat, hal itu sudah dapat dilihat sebagai kemajuan karena terjadi di kampung halaman mazhab Syafii. Pada tahun 1943 kemudian diberlakukan Qanun at-mirats dan tiga tahun kemudian Qanun al-washiyyah, dan kemudian tidak lama disusul dengan Qanun al-waqf. Pada tahun 1977 Mesir meberlakukan UUD baru menggantikan UUD lama tahun 1923. Dalam UUD baru itu dinyatakan bahwa Syari'ah Islam merupakan sumber utama perundangan di negeri itu, yang antara lain pada tahun 1979 menghasilkan Jihan Law yang melakukan perubahan besar terhadap UU tentang Status Perorangan sebelumnya. Meskipun Jihan Law ini pada tahun 1979 dicabut oleh Mahkamah Agung Mesir karena dinilai melampaui wewenang yang diberikan UUD, tetapi dengan UU Status Perorangan tahun 1985 sebagian besar isinya dimunculkan kembali. Beberapa point yang menarik yang jelas jelas tidak lagi mengacu kepada kitab-kitab fikih atau pendapat utama klasik diantaranya ialah bahwa pengucapan talak secara tidak sengaja atau senda gurau tidaklah syah, bahwa talak tiga itu dianggap tidak ada sama sekali, bahwa perceraian harus didaftarkan, bahwa wasiat wajib diberlakukan, bahwa isteri yang diceraikan dan anak-anaknya harus diberi rumah tempat tinggal, bahwa saudara seibu atau sebapa tidak boleh termahjub oleh kakek, bahwa sistim wakaf keluarga dihapuskan sama sekali, dll. 10 Pada tahun 1980 pasal 2 UUD Mesir direvisi sehingga memberi tempat bagi Syari'ah Islam bukan hanya sebagai sumber uta ma , tetapi lebih da ri itu a da lah sebagai satu-satunya sumber hukum di negeri itu. Tetapi yang
10 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York : Cambridge University Press, 1989), 698-699.

76

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

menarik ialah bahwa pada tanggal 4 Mei 1985 Mahkamah Agung Mesir memutuskan bahwa ketentuan pasal 2 UUD itu tidak berarti menghapuskan pasal 226 dari Civil Code tahun 1948 yang menyatakan bahwa dalam hal pembayaran yang tertunda maka dapat dikenakan bunga. Ternyata keputusan itu diambil atas desakan tidak kurang dari seorang Syeikh AI-Azhar kepada Presiden, Perdana Menteri, dan Komisi Perundang-undangan Parlemen Mesir.11 Dari uraian di atas terlihat bahwa Mesir dari waktu ke waktu telah melompat dari satu posisi ke posisi lain dalam persoalan hukum tanpa merasa berkurang kelslamannya, meskipun posisi yang diambilnya itu terkadang nampak berlawanan dengan pernyataan eksplisit nash seperti, mengenai soal bunga. Memang Majlis A'la Li al-syuun al-Islamiyyah Mesir pernah mengeluarkan buku berjudul Al Syari'ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-madani al Masri yang mencoba menerangkan bagaimana sejumlah produk hukum di negeri itu sebenarnya bersumber kepada Syari'ah Islam, tetapi contoh-contoh yang dikemukakan tidak meliput semua persoalan. Produk-produk hukum lainnya tetap merupakan basil interaksi antara para pemikir hukurn dengan lingkungan sosio-kultural dan politik Mesir. Dan dengan posisi yang demikian itu kita tidak perlu dan tidak pernah mengurangi rasa hormat kita terhadap Mesir sebagai negeri sumber intelektual bagi dunia Islam atau bahkan sebagai salah satu negeri Islam di dunia tempat berpaling. E. Faktor Sosial Budaya dan Keputusan Pengadilan. Untuk mclihat bagaimana pengaruh faktor sosial budaya terhadap ketentuan pengadilan, heberapa fakta sejarah dari India dan Afrika juga dapat dikemukakan di sini. Pertama, misalnya adalah kasus perkara Aga Mahmud melawan Kulsum Bebe di India pada tahun 1897. Kalsum selaku janda yang ditinggalkan mati oleh suaminya menuntut kepada pengadilan agar ia diberi bagian harta dari peninggalan suaminya untuk hidup selama setahun disamping hak warisannya sebagai isteri. Pada pengadilan tingkat pertama tuntutan itu dikabulkan oleh pengadilan berdasarkan Al Quran surat Al-Baqarah ayat 240 Artinya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah ..." (Al11 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries : History of text and Comparative Analysis (New Delhi : Academy of Lawa and Religion, 1987), 27-33.

77

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

Bagarah: 240). Sementara itu di dalam kitab-kitab fikih dikatakan bahwa hak untuk mendapatkan jaminan biaya hidup selama setahun bagi sang janda itu tidak ada lagi, karena sekarang isteri telah mendapatkan bagian yang tetap dalam warisan yaitu seperdelapan jika ada anak atau seperempat jika tidak ada anak. Dengan demikian dipahami bahwa surat A1-Bagarah ayat 240 tersebut telah dinasakh oleh ayat warisan (An-Nina: 12). Atas dasar itu maka dalam pcngadilan tingkat banding akhirnya diputuskan bahwa Kulsum tidak berhak memperoleh bagian harta lain selain bagian warisannya. Demikianlah keputusan pengadilan itu bisa berpindah-pindah dari satu ketetapan kepada ketetapan lainnya tanpa harus dikatakan keluar dari hukum Islam. 12 Untuk melihat lebih lanjut pengaruh faktor sosial budaya terhadap keputusan pengadilan mengenai perkara yang berkaitan dengan pertanian, ada kasus yang dapat kita ambil dari Afrika Barat atau yang biasa disebut dengan Jaziratul Maghrib. Di negeri ini salah satu bentuk penggarapan tanah pertanian. yang telah berabadabad diterima masyarakat ialah akad dimana si pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada seorang petani penggarap yang akan membayar sawanya itu dengan sejumlah bagian tertentu dari basil garapan tanah tersebut. Bagian tertentu itu biasanya seperlima, sehingga akad seperti itu di negeri itu biasanya disebut Khamasa atau Khumus. Kita mengetahui bahwa kebanyakan Imam Mazhab yaitu sebagian Hanafi, Syafii, dan apalagi Maliki yang berlaku di Afrika, berpendapat akad demikian itu tidak sah karena beberapa alasan. Pertama, bahwa sewanya itu diambilkan dari basil benda yang disewakan itu sendiri, ini dianggap tidak fair. Kedua, bahwa nilai sewanya sebenarnya tidak tentu karena sewa itu berupa makanan atau basil tanaman. Harga basil tanaman itu tentu saja bisa berfluktuasi sesuai dengan perkembangan harga pada waktu tertentu. Juga sewa itu tidak tentu karena yang disebut seperlima dari basil tanaman itu tidak tetap dari waktu ke waktu, dari satu panen ke panen lainnya. Pada suatu panen yang disebut seperlima itu bisa berarti satu ton gandum sedangkan pada panen berikutnya yang disebut seperlima itu bisa saja hanya setengah ton gandum umpamanya. Jadi sebenarnya nilai sewa itu sendiri tidak diketahui pasti ketika akad dilakukan, ada unsur spekulasi, sehingga dari segi hukum akad demikian itu dapat
12 Al-Majlis al-Ala li al-Syuun al-Islami Lajnah al-Khubara, al-Syariah alIslamiyyah wa al-Qanun al-Misri (Cairo : Dirasah Muqaranah, 1969)

78

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

digolongkan ke dalam kategori riba yang karenanya tentu saja dilarang. Demikian pendapat Imam Imam Mazhab yang dapat kita lihat misalnya dalam Kitabul Fiqh Ala Mazahibil Arba'a. 13 Meskipun demikian, oleh karena praktek Khamasa itu sudah begitu meluas dalam masyarakat di Afrika Barat, maka akhirnya para hakim pengadilan, termasuk para hakim bermazhab Maliki sendiri mengakui keabsahan lembaga Khamasa ini dari segi hukum agama sehingga keputusan-keputusan pengadilan mengenai perkara inipun mengikutinya. Demikianlah ilustrasi bagaimana kultur ekonomi suatu masyarakat telah mempengaruhi produk hukum pengadilan di Afrika Barat. 14 Di Indonesia lembaga ekonomi semacam Khamasa itu sebenarnya juga ada, bahkan nilai sewanya biasanya lebih besar, sampai separuh dari basil tanaman sehingga akad demikian biasanya disebut paroan sawah atau ladang. Dengan mempraktekkan paroan sawah atau ladang ini ( Muzaraaah atau massaaqah), muslim Indonesia tidak pernah merasa keluar dari hukum Islam karena memang mereka tidak keluar dari hukum Islam. Yang ada ialah bahwa produk pemikiran hukum Islam muslim Indonesia mengenai Muzaraah, seperti halnya masyarakat Islam di Jazirat Al Maghrib, kebetulan berbeda dengan produk pemikiran hukum para imam mazhab dahulu mengenai hal yang sama. VI. Faktor sosial budaya dan fatwa Ulama Untuk melihat pengaruh faktor sosial budaya terhadap fatwa Ulama, baiklah kita lihat kasus Indonesia modern, dalam hal ini fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 1988, MUI telah mengeluarkan lebih dari 38 buah fatwa yang isinya mencakup banyak bidang kehidupan: ibadat, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, soal-soal kedokteran, keluarga berencana, soal gerakan sempalam, dll. Beberapa diantara fatwa itu akan kita sebut di bawah ini. Fatwa MUI tentang pembudidayaan kodok misalnya, jelas sekali menunjukkan keinginan MUI untuk menunjang kebijakan pemerintah dalam usaha mcmperbanyak komoditi ekspor. Fatwa MUI mengenai hal ini mengatakan bahwa membudidayakan kodok
13 Noel J. Coulson, Conflicts and Tentions in Islamic Lawa (Chicago : The University of Chicago Press, 1969), 50. 14 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, juz III (Beirut : Darul Fikri, tt.), 2-4.

79

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

itu boleh hukumnya, tetapi memakan kodok, haram hukumnya. Untuk fatwanya itu MUI bersedia melakukan talfiq dengan mengambil pendapat Imam Syafi'i dan Imam Malik sekaligus. Untuk pembudidayaan kodok MUI mengambil pcndapat Imam Malik yang mernbolehkannya, sedangkan untuk memakannya MUI mengambil pendapat Imam Syafi'i yang mengharamkannya. Sementara fatwa ini dikritik banyak pihak sebagai tidak mempunyai integritas karena seolah-olah biar saja orang lain yang memakan kodok itu asalkan kita sendiri tidak memakannva. fatwa ini memperlihatkan bagaimana faktor sosial budaya telah mempengarulu produk pemikiran hukum Islam. Fatwa MUI tentang keluarga berencana khususnya tentang kebolehan menggunakan IUD dalam ber-KB, juga memperlihatkan bagaimana faktor sosial budaya telah berpengaruh terhadap produk pemikiran hukum Islam. Bahkan untuk ini MUI berani membatalkan fatwa Ulama sebelurmnya yang mengharamkan penggunaan IUD (spiral). Sebagaimana diketahui pada tahun 1971 sejumlah Ulama terkemuka Indonesia mengeluarkan fatwa tentang haramnya penggunaan IUD dalam KB karena pemasangannya menyangkut penglihatan aurat wanita. Kemudian pada tahun 1983 MUI membatalkan fatwa Ulama tahun 1971 itu dan menyatakan bahwa IUD boleh dipakai dalam KB asalkan pemasangannya dilakukan oleh doktcr wanita atau dokter laki-laki dan disaksikan olelt si suami.Meskipun untuk fatwanya, itu MUI mempunyai alasan-alasan metodogis tersendiri misalnya dengan mengatakan bahwa pengharaman melihat aurat wanita itu bukan karena zatnya tetapi karena lisaddiz zaraI, tetapi yang jelas mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa itu ialah kenyataan mengenai semakin pentingnya usaha-usaha pengendalian kependudukan di Indonesia dan IUD dalam hal ini pada tahun 1970-an dan awal 1480-an merupakarn alat kontrasepsi yang paling murah dan karenanya paling banyak digunakan oleh para akseptor KB. selain tingkat kesuksesannva yang tinggi. Karena itu pemakaian IUD perlu dihalalkan guna meniadakan hambatan keagamaan. Demikianlah faktor-faktor sosial ekonomi telah mempengaruhi warna suatu produk pemikiran hukum Islam yang kalau perlu membatalkan produk pemikiran hukum sebelumnya. Dengan cara itu sama sekali MUI tidak merasa keluar dari hukum Islam. dan memang MUI tidak keluar dari hukum Islam. Yang terjadi ialah bahwa MUI telah pindah dari produk pemikiran hukum yang satu kepada yang lain. setelah melewati masa tertentu atau setelah ada perkembangan tertentu.

80

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

Demikian pula fatwa-fatwa MUI yang lain mengenai halalnya donor mata. tentang transplantasi katup jantung, tentang halalnya daging, hewan yang disembelih secara missal dan mekanis, tentang sahnya Bandara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah sebagai tempat miqat bagi jamaah haji Indonesia, semuanya merupakan usaha MUI Untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat yang diakibatkan oleh kemajuan di bidang kedokteran, ekonomi, dan transportasi. Meskipun fatwa-fatwa MUI dalam hal ini nampak lebih independent dari segi argumennya, warna produk pemikiran hokum yang dihasilkan tetap saja yaitu bersifat mengakui pengaruh factor social budaya yang mengitarinya. 15 VII. Kesimpulan Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa dari kenyataan sejarah perjalanan hukum Islam ternyata bahwa faktor sosial budaya telah mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran hukurn Islam. Baik yang berbentuk kitab fikih, peraturan perundangan di negeri muslim. keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatwa Ulama. Oleh karena itu maka apa yang disebut hukum Islam itu didalam kenyataan sebenarnya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara Ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun Al-Quran dan Al-Hadits mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibanding, dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu maka para Ulama telah menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apakah warna atau dinamika produk pemikiran hukum itu akan kita biarkan seperti apa adanya sekarang ini, tergantung kepada keberanian para permikir hukum Islam yang ada sekarang.

15

Ibid.

81

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Pendekatan Sejarah Sosial

DAFTAR PUSTAKA Al-Majlis al-Ala li al-Syuun al-Islami Lajnah al-Khubara, al-Syariah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Misri, Cairo : Dirasah Muqaranah, 1969. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, juz III, Beirut : Darul Fikri, tt. Ballantyne, William, Reassertion of the Shariah : The Jurisprudence of the Gulf State, dalam Nicholas Heer (ed) Islamic Law and Jurisprudence, London : University of Washington Press, 1990. Bek, Muhammad Khudhari, Tarikh Tasyri al-Islami,Mesir : Matbaah Saadah, 1954. Coulson, N.J., History of Islamic Lawa, Edinburg : University Press, 1964. _______, Conflicts and Tentions in Islamic Lawa , Chicago : The University of Chicago Press, 1969. Hitti, Philip K., History of The Arabs, The Macmillan Press, edisi ke-9, 1970. Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies , New York : Cambridge University Press, 1989. Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwas of The Council of The Indonesia Ulama : Studi of Islamic Legal Thought in Indonesia , Ph.D. Disertation, USA : University of California Los Angeles, 1990. Mahmood, Tahir, Family LawReform in The Muslim World , New Delhi : The Indian Law Institute, 1972. __________, Personal Law in Islamic Countries : History of text and Comparative Analysis, New Delhi : Academy of Lawa and Religion, 1987.

82

EL- TAJDID vol. 1 no.2

Anda mungkin juga menyukai