Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pemilu adalah instrumen pembentukan kehendak masyarakat yang didasarkan pada proses hukum. Pemilu akan merangkum pendapat dan menentukan kriteria pengambilan keputusan untuk semua keputusan politik bagi negara (Adrianus, 2006:185). Pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan. Kekuasaan negara yang lahir dengan Pemilu adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Friyanti, 2005: 1). Melalui pemilu, rakyat dapat melaksanakan pesta demokrasi dimana mereka berhak memilih calon pemimpin sesuai kehendak mereka. Pada masa Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak enam kali. Meskipun demikian, pada masa Orde Baru, masyarakat telah dapat menilai pemenang di pemilu sebelum dilaksanakan. Hal ini disebabkan pemilihan umum dapat direkayasa oleh birokrasi sebagai mesin politik pemerintah (Budiarjo, 2009: 483). Tumbangnya pemerintahan Orde Baru ditahun 1998 merupakan momentum yang penting bagi bangsa Indonesia dan bagi sejarah pemimpin di negeri ini. Sebab tahun ini merupakan tahun yang mengakhiri kekuasaan

Presiden Soeharto dan melahirkan pemimpin-pemimpin pemerintahan yang baru. Tepatnya 21 Mei 1998 saat Presiden Soeharto lengser keprabon sebagai akibat desakan arus reformasi yang kuat. Reformasi ini dilakukan melalui berbagai cara. Dari yang mengalir melalui diskusi terbatas, unjuk rasa, unjuk keprihatinan, maupun istighosah, ikut membawa babak baru dalam sejarah reformasi. Melalui babak baru ini pula, kekuasaan baru dan bentuk pemerintahan yang barupun mulai dijalankan. Pada saat itu bermunculan tokoh-tokoh politik dari banyak kalangan yang pada intinya mereka berusaha menegakkan suara rakyat dan kembali kepada arti demokrasi yang sebenarnya. Setelah Mei 1998, tahun 1998-1999 menjadi masa transisi dari peralihan kekuasaan. Masa yang lebih dikenal dengan reformasi ini telah membawa banyak perubahan fundamental. Salah satunya yaitu dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Hal tersebut tercermin dalam Pemilu 1999 yang diikuti oleh banyak partai. Pemilu 1999 dikategorikan sebagai pemilu yang demokratis seperti pemilu 1955. Hal ini disebabkan pada pemilu 1999, kursi parlemen (DPR dan DPRD) dapat dikuasai oleh parpol pendatang baru seperti PKB, PAN, PBB, dan banyak parpol kecil lainnya, tidak seperti pemilu pada masa Orba. Namun demikian, seperti layaknya pemilu 1955, pemilu 1999 menurut Khoirul Anwar (2006:56-57) yang membandingkan keduanya, pada dasarnya pemilu ini relatif tidak diwarnai kejutan berarti yang menempatkan partai

berkuasa pada masa sebelumnya seperti misalnya PPP, PDI-P (sebelumnya pada masa Orba hanya PDI) dan Golkar lebih memiliki peluang untuk mempertahankan kemenangan. Pemilu yang merupakan wadah untuk melangsungkan pesta rakyat adalah wahana dalam berpolitik. Meskipun pesta yang dimaksud di sini bukanlah pesta yang dapat dinikmati secara utuh oleh rakyat, sebab mereka tidak dapat memilih kandidatnya dengan bebas. McIver (dalam Adrianus, 2006:299) menyatakan bahwa dengan pemilu saja rakyat sudah dibatasi dalam pilihannya. Pada umumnya mereka memilih calon-calon yang tidak diajukan mereka sendiri. Organisasi partai menguasai bagian yang terbesar dari seleksinya. Partai hanya memberikan pada rakyat pemutusan caloncalonnya. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, politik merupakan perebutan kekuasaan dan keputusan, yaitu keputusan tentang siapa, memperoleh bagian apa, kapan, dan berapa besar. Melalui partai politik, usaha-usaha untuk mendapatkan kekuasaan tersebut dapat dicapai. Jadi partai politik menjadi semacam kendaraan untuk dapat mencapai sebuah tahta yang disebut dengan kekuasaan. Pemerintahan Orde Baru yang terlalu lama berkuasa di negeri ini telah dipatahkan melalui reformasi yang kemudian diikuti Pemilu 1999 untuk memilih calon pemimpin baru. Pemilu ini ditetapkan dalam UU No. 3/ 1999 tertanggal 1 Februari 1999, dan diselenggarakan pada 7 Juni 1999. Partai yang ikut berpartisipasi sebagaimana ditulis dalam artikel Pemilu 1999 dan Pelajaran untuk pemilu 2004 ada sebanyak 48 partai, di antaranya 45

diseleksi oleh Panitia Sebelas dari 141 partai yang terdaftar, karena mereka berhasil memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan oleh UU itu. Sedangkan tiga partai yang lain adalah partai lama yaitu PDI, Golkar, dan PPP (Budiarjo, 1999). Pada masa itu ada sejumlah partai baru yang totalnya 48 partai, namun hanya 21 partai yang berhasil masuk dalam DPR. Sekitar 20 partai diyakini sebagai bentukan dari keluarga dan kroni Soeharto, yang dimaksudkan untuk mengacaukan suara pemilu. Contohnya adalah dalam PNI, waktu itu ada tiga, salah satunya dipimpin saudara Soeharto yaitu Probosutedjo (hanya meraih sedikit suara sehingga tidak mendapatkan kursi di parlemen). PDI pada masa itu ada dua, yang satu adalah PDI Soerdjadi dan yang satu adalah PDI-P dengan pimpinan Megawati (Ricklefs, 2008:668). Pemilu 7 Juni 1999 menghasilkan lima partai yang dapat digolongkan sebagai partai besar (PDI-P, Golkar, PKB, PPP, PAN), sedangkan 27 partai tidak memperoleh kursi sama sekali pada 1 September 1999. Partai-partai kecil inilah yang banyak membuat ulah di KPU. Sekalipun 93 % dari masyarakat telah menunjuk dukungan pada beberapa partai besar, ada 27 partai yang tidak bersedia menandatangani Berita Acara dengan alasan pemilu belum jurdil (jujur dan adil), padahal mereka hanya memperoleh 6,3 % suara (diantaranya 10 partai hanya memperoleh jumlah suara di bawah 90.000). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. ke-27 tersebut adalah sebagai berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Partai Keadilan Partai Nahdlatul Ummat (PNU) PBI PDI Masyumi PNI Supeni Krisna Partai KAMI PKD PAY Partai MKGR PIB Partai SUNI PNBI PUDI PBN PKM PND PADI PRD PPI PID Murba SPSI PUMI PSP PARI

Menanggapi banyaknya penolakan hasil pemilu, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada Presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatankeberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah.

Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999 (http://www.kpu.go.id). Pada tanggal 31 Juli 1999 Panwaslu menolak keberatan dari I2 partai yang telah menyampaikan laporan penyimpangan secara tertulis karena dianggap kebanyakan kasus tidak dikemukakan secara spesifik, tidak terbukti secara empiris, dan tidak secara langsung berpengaruh terhadap penghitungan suara. Oleh karena itu laporan-laporan tersebut dianggap tidak cukup signifikan membatalkan hasil pemilu. Presiden kemudian terpaksa

mensahkannya melalui suatu Keputusan Presiden tanggal 3 Agustus 1999. Baru kira-kira dua bulan sesudah pemilu dilaksanakan, KPU secara resmi mensahkan pemilu (Budiarjo, 2009: 484). Sistem pemilu yang digunakan tahun 1999-pun tidak terlalu berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya. Menurut Zuhro (2009:3), pasca Orba terjadi penataan format sistem politik Indonesia baru dengan berbagai mekanisme politik yang mengikutinya. Seluruh lembaga dan proses politik di era reformasi berusaha diformulasikan kembali sesuai dengan pilar-pilar demokrasi universal. Setelah Orba, sistem pemilu ditahun 1999 yaitu untuk pemilihan anggota DPR Daerah, pemilihannya adalah wilayah provinsi; sedangkan untuk DPRD I, daerah l pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan, dan untuk DPRD II adalah daerah wilayah Dati II yang bersangkutan. Namun, ada 1 warna distrik di dalamnya, karena setiap kabupaten diberi jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut.

Pada pemilu tahun-tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk (Budiarjo, 2009: 487). Pada saat menjelang pemilu 1999 dapat dipastikan bahwa setiap partai pasti akan melakukan ajang promosi untuk mensosialisasikan partainya agar diketahui oleh khalayak. Hal ini dilakukan melalui kampanye sebagai bagian dari strategi untuk menjaring massa. Strategi untuk mengenalkan partai yang maju dalam pemilu sekaligus mengenalkan calonnya, dapat dilakukan melalui kampanye politik. Kampanye politik adalah suatu usaha terkelola, terorganisir, untuk mengikhtiarkan orang yang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Perkembangan kampanye politik saat ini makin lama menjadi semacam ajang untuk memamerkan gambar masing-masing calonnya. Hampir setiap calon berlomba untuk membuat potret diri yang bagus, baik itu potret berupa gambar yang sesungguhnya maupun maupun potret semacam pencitraan di hadapan khalayak umum yang pada nantinya menjadi penentu apakah akan memilih mereka atau tidak. Kampanye merupakan salah satu strategi yang dipandang efektif untuk mengenalkan seorang kandidat kepada rakyat. Di dalam kampanye yang dilakukan oleh sebuah partai terdapat serangkaian kegiatan. Kegiatan kampanye pemilu tersebut pada intinya merupakan proses mempersuasi khalayak untuk bersedia menerima, mendukung, dan akumulasinya adalah memilih partai/ kandidat yang dikampanyekan. Dengan demikian, pemilu

sebetulnya merupakan salah satu dari aplikasi komunikasi pemasaran dalam kegiatan politik (John Burnett dan Sandra Moriarty dalam Susilo, 2006:43). Kampanye secara resmi dimulai pada tanggal 19 Mei 1999. Kegiatan pemilu didukung oleh bantuan luar negeri. Iklan-iklan dan debat-debat televisi berskala profesional banyak ditampilkan dan ada pawai-pawai liar, namun meriah. Dalam kondisi yang meriah ini, tidak jarang bentrokan terjadi. Di Tegal, dalam satu hari terdapat 10 partai yang melakukan kampanye, sehingga menimbulkan gesekan kepentingan walaupun dapat diluruskan. Melalui kegiatan kampanye politik, semenarik apapun dilakukan, tidak selalu membuat orang untuk berpaling memilih partai ataupun kandidat yang dikampanyekan. Hal ini disebabkan tidak jarang setiap calon ataupun partai politik memiliki pengikut fanatiknya masing-masing. Seperti PDI-P yang pada tahun 1999 mengusung Megawati sebagai calon, pengikut fanatiknya sebagian besar merupakan orang-orang yang menyukai

kepemimpinan Soekarno. Gus Dur, dari partai PKB dimana di dalam kepartaian ini merupakan afiliasi yaitu tergabung dalam suatu kelompok atau kumpulan dari NU, pengikut fanatiknya tentu saja dari kalangan masyarakat NU yang dikenal dengan istilah Nahdliyin (Kaelola, 2009:10). Contoh lain yaitu Amien Rais melalui PAN yang digawangi oleh Muhamadiyah, tentu saja pengikutnya kebanyakan merupakan orang-orang Muhamadiyah. Oleh karena itu, untuk membatasi kajian, penelitian ini akan memfokuskan pada strategi yang dilancarkan agar menang dalam Pemilu yang dilakukan oleh PDI-P Tegal di tahun 1999.

Calon-calon tersebut dalam memperebutkan dukungan dan hati rakyat, memiliki strategi yang nantinya menjadi ciri khas mereka dalam berpolitik. Ciri khas yang berbeda-beda inilah yang menjadikan perlunya pemahaman seperti apa perilaku politik seseorang. Perilaku politik seseorang merupakan dasar-dasar yang akan menunjukkan bagaimana seseorang dalam

mewujudkan keinginannya mengambil strategi untuk menjadi penguasa. Perilaku politik sangat dipengaruhi oleh budaya politik seseorang tersebut. Istilah budaya politik (political culture) adalah terminologi untuk menjelaskan bagaimana seseorang memiliki orientasi, sikap, dan nilai-nilai politik yang tercermin dalam sikap dan perilaku politiknya. Sementara itu, sikap dan perilaku politik seseorang akan selalu berubah-ubah berdasarkan perubahan orientasi terhadap sistem politiknya. Sedangkan perubahan sistem politik itu sendiri dipengaruhi oleh stabilitas politik dan kapabilitas rezim politik. Apabila ditelaah, terdapat keterkaitan antara kekuasaan, partai politik sebagai kendaraan menuju kesitu, kampanye politik sebagai media promosi, pemilu sebagai wadah untuk menuju pada kekuasaan, yang kesemuanya merupakan strategi dari sebuah partai untuk mengembangkan organisasi politiknya. Sebenarnya dengan memahami kebudayaan politik, paling tidak dapat diperoleh dua manfaat. Pertama, sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan, respon, dukungan, dan orientasinya terhadap sistem politik itu. Kedua, dengan memahami hubungan antara kebudayaan politik dan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan

kegiatannya dalam sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti (Sudijono, 1995:37). Melalui pemahaman tersebut maka strategi dalam berpolitikpun menjadi mantap. Oleh sebab itu, penulis membatasi kajian penelitian ini dengan mengambil topik strategi PDI-P Tegal dalam memenangkan Pemilu 1999 di Kota Tegal. Secara spasial, penelitian ini mengambil ruang di Kota Tegal. Kota ini memiliki letak geografis yang strategis , berada di persimpangan jalan yang menghubungkan Jakarta, Semarang, dan Purwokerto. Berdasarkan asal-usul sejarahnya, Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500-an (Suputro, 1955). Daerah yang dapat dibilang menuju pada ciri-ciri kota metropolis ini memiliki masyarakat yang aktif dalam partisipasi politik. Kegiatan perekonomian Kota Tegal berada di sektor perdagangan, sehingga ikut menyerap tenaga kerja yang besar. Kurang lebih sekitar 34,4 persen penduduk Kota Tegal yang bekerja di bidang perniagaan dan 32,2 persen bekerja di sektor jasa. Di kota yang indeks pembangunan manusianya mencapai 65,3 ini (rata-rata IPM Jawa Tengah 64,6) juga banyak tumbuh perusahaan besar seperti perusahaan teh. Dalam mengolah teh ini, kabupaten sebagai lokasi pengolahan dan penyedia tenaga kerja, sementara kota sebagai pemasaran dan tempat pengolahan akhir (Litbang Kompas, 2004: 353).

10

Keterkaitan di atas sangat berbeda apabila dipandang dari sudut kehidupan politik. Pada hasil Pemilu 1999, misalnya, PDI Perjuangan menang 44,4 persen, PKB di urutan kedua (17,1 persen), dan ketiga ditempati Golkar. PAN diurutan empat mengalahkan PPP, sementara di Kabupaten Tegal, PPP mendapat tempat diurutan ketiga dibanding PAN yang belum berhasil menarik simpati penduduk di Kabupaten. Di Kota Tegal yang terdiri dari empat kecamatan yaitu Tegal Selatan, Timur, Barat, dan Margadana dengan total jumlah penduduk 242.265 jiwa dan jumlah pemilih 168.817 jiwa hampir sebagian besar milik PDI-P (Litbang Kompas, 2004: 353). Tampaknya partai sekuler lebih diminati daripada partai yang bernafaskan agama. Kejadian tersebut secara historis dapat ditarik pada pengalaman pemilu ditahun 1955. Dimana secara nasional PNI menduduki peringkat pertama hasil Pemilu dengan jumlah suara 8.434.653 Selain itu, PNI juga memperoleh suara terbanyak di Jawa Tengah, yakni 3.019.568 untuk pemilihan anggota parlemen (Ricklefs, 2004: 304). Melalui figure Soekarno sebagai presiden tampaknya menyimpan penggemar tersendiri dihati masyarakat Jawa Tengah, khususnya Kota Tegal. PDI-P yang merupakan lanjutan dari PDI yang lahir pada 10 Januari 1973, dengan Megawati Soekarno Putri yang merupakan Ketua Umumnya, seolah-olah menggambarkan pada masyarakat kalau PDI-P adalah babak baru dari PNI, sehingga apabila ditarik kesimpulan bahwa PDI-P Tegal berhasil memiliki Kota Tegal sebagai pendukungnya.

11

Dari latar belakang pemikiran di atas, sangat menarik untuk melakukan sebuah kajian tentang bagaimana strategi yang dilakukan oleh PDI-P sebagai partai pemenang pemilu dalam menjaring suara pada pemilihan kepala daerah, anggota parlemen maupun konstituante khususnya di Kota Tegal pada tahun 1999. Penelitian ini bermaksud melakukan sebuah kajian dalam perspektif historis tentang bagaimana strategi yang diterapkan PDI-P Tegal untuk memenangkan Pemilu 1999 di Kota Tegal. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk mendeskripsikan berbagai bentuk promosi atau marketing politik baik untuk menjaring pendukung maupun untuk memiliki pencitraan yang lebih bagus dari partai pesaingnya. Oleh karena itu, penelitian ini mengangkat judul Strategi PDI-P Tegal dalam Memenangkan Pemilu 1999 di Kota Tegal.

B. Rumusan Masalah Permasalahan pokok yang dibahas dalam proposal ini adalah mengenai strategi yang diambil PDI-P Tegal untuk memenangkan Pemilu 1999 di Kota Tegal. Pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta penjabaran permasalahan tersebut, akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama sebagai berikut. 1. 2. Bagaimana perkembangan PDI-P Tegal sebelum tahun 1999? Bagaimana konsolidasi PDI-P Tegal untuk memenangkan Pemilu 1999 di Tegal?

12

3.

Bagaimana

strategi

yang

ditempuh

oleh

PDI-P

Tegal

untuk

memenangkan Pemilu 1999?

C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini merupakan tindak lanjut terhadap masalah yang diidentifikasi. Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian mengenai strategi PDI-P Tegal untuk memenangkan Pemilu 1999 di Kota Tegal, yaitu: 1. 2. Untuk menjelaskan kondisi PDI-P Tegal sebelum tahun 1999? Untuk mengetahui konsolidasi PDI-P Tegal dalam memenangkan Pemilu 1999 di Tegal? 3. Untuk mengetahui strategi yang ditempuh oleh PDI-P Tegal dalam memenangkan Pemilu 1999?

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait dalam hal ini dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis, adapun manfaatnya sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dapat memberikan sebuah kajian ilmiah mengenai strategi PDI-P Tegal untuk menang dalam Pemilu 1999 di Kota Tegal. Manfaat lain yaitu agar kita dapat menjadikan sebagai sumber informasi dan referensi terhadap

13

penelitian lebih lanjut untuk perkembangan ilmu sosial dan ilmu sejarah politik pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara praktis, tentang strategi yang dilakukan untuk melakukan promosi dalam konteks politik sebagai upaya menjaring suara rakyat, sekaligus mengetahui karakteristik pemilih di Jawa Tengah dalam perspektif sejarah melalui metode marketing politik di Kota Tegal.

E. Ruang Lingkup Penelitian Agar tidak terjadi kekaburan dalam melakukan suatu interpretasi terhadap masalah, maka perlu ditentukan ruang lingkup penelitian, yaitu ruang lingkup wilayah (spasial). Ruang lingkup wilayah (spasial) merupakan batasan tempat terjadinya peristiwa, dimana dalam hal ini yang menjadi objek penelitian yaitu PDI Perjuangan yang ada di Kota Tegal. Tegal diambil penulis sebagai objek kajian, karena hasil Pemilu 1999 di kota ini di menangkan oleh PDI-P sebesar 44,4 persen. Atas dasar hal inilah, penulis ingin mengetahui bagaimana strategi yang digunakan PDI-P Tegal untuk memenangkan pemilu 1999 di Kota Tegal.

F. Kajian Pustaka Landasan yang dijadikan teori dari penelitian ini, didapat dari melihat kata kunci pada topik penelitian dan mencari beberapa teori yang memiliki

14

keterkaitan konsep dengan judul penelitian. Dilihat dari aspek pendekatan yang diambil yaitu menggunakan ilmu bantu politik, maka yang menjadi landasan teori utama berasal dari arsip ataupun dokumen di lapangan. Selain sumber tersebut, sumber sekunder lain yang bisa menjadi landasan penulis yaitu buku referensi. Buku-buku yang dijadikan landasan teori bagi penulis tentu saja buku mengenai politik. Baik itu membahas mengenai partai politik, penguasa, marketing politik, maupun pola masyarakat dalam memilih pada suatu pemilu. Teori-teori yang didapat dari hasil pemahaman membaca arsip, dokumen, maupun buku-buku ini, diharapkan bisa relevan bagi penelitian yang dilakukan penulis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan literatur-literatur yang membantu proses rekonstruksi. Sumber yang dipakai sebagai acuan analisa juga terkait dengan tujuan penelitian tersebut agar dapat diterima dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam topik Strategi PDI-P dalam Memenangkan Pemilu 1999 di Kota Tegal, penulis berusaha mencari pemecahan masalah atas topik tersebut dengan menggunakan pendekatan politik. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses penulisan, yang dibicarakan tidak terlalu melebar ataupun terlalu sempit. Pendekatan politik yang digunakan dalam topik ini sangat membantu penulis. Sebab teori-teori yang ada dalam sumber yang penulis pakai dapat membantu proses analisa terhadap topik yang diperbincangkan. Adapun sumber ataupun literatur yang digunakan penulis antara lain buku yang ditulis oleh Ishak Rafick. Buku berjudul Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia

15

(Jakarta: 2008), merupakan buku yang memberikan gambaran pada penulis mengenai presiden-presiden yang pernah berkuasa di Indonesia dari Soeharto sampai SBY. Buku tersebut merupakan hasil penelusuran jurnalistik sepanjang satu dekade yang merupakan hasil analisis kritis serta komprehensif, menyangkut aneka peristiwa ekonomi politik pada kurun waktu tersebut. Buku ini makin membuat penulis tertarik untuk melakukan pengembangan mengenai pemilu 1999 dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kurun waktu tersebut. Buku lain yang tak kalah pentingnya adalah buku terbitan Miriam Budiarjo berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: 2009) dan hampir serupa yaitu karangan Toni Adrianus Pito, Efriza, Fasyah dan Kemal yang terbit tahun 2006 dengan judul Mengenal teori-teori politik. Buku ini menjadi referensi bagi penulis dalam menganalisis teori-teori yang berkaitan dengan perpolitikan. Melalui buku ini, penulis bisa mendapatkan teori-teori dasar mengenai ilmu politik. Teori ini dapat diterapkan pada permasalahan yang hendak penulis kaji. Di samping itu, buku ini juga sangat membantu dalam proses analisa, sebab teori dasar tersebut menjadi semacam bibit untuk dapat dikembangkan lagi oleh penulis sesuai dengan peristiwa yang terjadi di lapangan. Adapula buku lain, meskipun penelitian dari Tim Peneliti FISIP UMM yang terbit tahun 2006 dengan judul Perilaku Partai Politik: Studi Perilaku Partai Politik dalam Kampanye dan Kecenderungan Pemilih pada Pemilu 2004, yang menjadi gambaran bagi penulis mengenai kondisi pemilu tahun

16

2004. Buku ini berisi mengenai tulisan-tulisan yang dihasilkan dari riset di lapangan oleh para tim peneliti UMM. Meskipun tahun penelitiannya untuk pemilu 2004, namun teori yang terdapat di dalamnya dapat menjadi masukan mengenai kondisi perpolitikan yang ada pada masa itu. Masukan tersebut bisa memberikan gambaran kondisi perilaku pemilih maupun parpol dan gambaran kampanye yang ada pada saat pemilu. Buku lain yang sangat penting adalah karya Firmanzah Ph.D. dengan judul Marketing Politik yang terbit tahun 2008. Marketing politik yang secara perlahan tapi pasti telah merasuk dalam kehidupan politik di Indonesia, dalam buku ini ditelusuri tidak hanya dari segi marketing dan politiknya saja, tetapi juga kondisi sosiologi dan psikologi massa serta psikologinya. Marketing politik yang digambarkan dalam buku ini dilihat sebagai metode yang dapat digunakan oleh partai politik untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai masyarakat, sekaligus berguna dalam membuat produk politik yang akan ditawarkan kepada masyarakat.

G. Metode Penelitian Sejarah merupakan multidimensional approach dimana dalam penelitian maupun penulisannya membutuhkan bantuan dari ilmu sosial lain. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan ilmu bantu politik untuk melihat sudut pandang penelitian yang hendak penulis kaji. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah (historical method). Metode sejarah merupakan suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis dan

17

teliti mengenai rekaman dari peninggalan masa lampau, kemudian dilakukan suatu rekonstruksi dari data yang diperoleh, sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah dan historiografi sejarah (Gottschalk, 1969:32). Menurut Louis Gottschalk ada empat langkah kegiatan dalam prosedur penelitian sejarah yang nantinya dapat diterapkan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Heuristik (Mencari Sumber) Pada tahap ini penulis melakukan beberapa kegiatan berupa usaha mencari, mengumpulkan, menghimpun sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis kaji. Hal tersebut perlu dilakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: a. Dokumen Menurut Gottschalk, sumber primer adalah kesaksian dari seseorang dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera lain atau alat mekanik, sedangkan J.W. Best, mendefinisikan sumber primer sebagai sumber cerita atau catatan saksi, ataupun pengamat, yang berisi catatan saksi di mana para saksi tersebut menyaksikan peristiwa itu, atau menjadi pelaku utama dari peristiwa. Salah satu jenis dari sumber primer adalah dokumen. Menurut Louis Gottschalk (1969:59) dokumen-dokumen dapat dibagi atas kategori- kategori pokok seperti otobiografi, surat, laporan surat kabar, notulensi rapat serta arsip-arsip lain, dalam penelitian ini arsip yang didapatkan berasal dari narasumber maupun pelaku sejarah,

18

Kantor Dewan Pengurus Cabang PDI-P Kota Tegal, serta media massa yang meliput berita seputar Pemilu 1999 di Tegal maupun mengenai PDI-P. Dalam tahap ini peneliti juga melakukan usaha pengumpulan sumber yang relevan dengan objek studi penelitian, dan yang memiliki korelasi dengannya, diantaranya ialah tabel dan data statistik yang menggambarkan kondisi Kota Tegal tahun 1999. b. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara mencari dan membaca buku literatur (yang sering disebut dengan sumber sekunder). Sumber sekunder, menurut Helius Sjamsudin (2009) adalah apa yang ditulis oleh sejarawan sekarang atau sebelumnya berdasarkan pada sumber-sumber pertama atau primer. Louis Gottschalk berpendapat bahwa sumber sekunder adalah sumber yang diperoleh bukan dari kesaksian atau pelaku langsung dari peristiwa. Adapun sumber sekunder yang digunakan, yaitu buku dan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain buku tulisan oleh Ishak Rafick berjudul Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia (Jakarta: 2008); Miriam Budiarjo berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: 2009) dan hampir serupa yaitu karangan Toni Adrianus Pito, Efriza, Fasyah dan Kemal yang terbit tahun 2006 dengan judul Mengenal teori-teori politik; dan banyak buku-buku lain yang tidak bisa penulis ceritakan semua. Buku-buku tersebut diperoleh di beberapa tempat, seperti perpustakaan Universitas

19

Negeri Semarang, perpustakaan wilayah propinsi Jawa Tengah, maupun Perpustakaan UGM. Studi pustaka dilakukan untuk melengkapi teori-teori yang berhubungan dengan penelitian. c. Studi lapangan atau observasi Observasi adalah suatu kegiatan untuk mengamati secara langsung pada obyek penelitian guna mendapatkan gambaran yang jelas mengenai obyek yang akan diteliti. Pada tahap observasi penulis melakukan penelitian untuk mencari data-data maupun informasi baik itu di kediaman pelaku sejarah, sekretariat DPC PDI-P, dan tempat lain di Tegal yang bisa dijadikan rujukan untuk sumber penulisan. d. Wawancara Wawancara adalah sederet pertanyaan yang harus dijawab oleh informan. Maksud mengadakan wawancara antara lain:

merekonstruksi mengenai tokoh suatu peristiwa, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntunan, kepedulian dan lain-lain, merekonstruksi kebulatan-kebulatan seperti yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang, memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Pada tahapan teknik wawancara, penulis melakukan beberapa tahapan antara lain:

20

1) Membaca metode wawancara Proses membaca buku metode wawancara sangat penting, yaitu untuk mengetahui tata cara wawancara dan untuk mengetahui teknik apakah yang cocok dilakukan dalam penelitian. Buku-buku metode wawancara mampu memberikan gambaran proses wawancara dilapangan. 2) Menentukan teknik wawancara Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik terbuka. Wawancara terbuka adalah teknik wawancara dimana para subyeknya mengetahui bahwa mereka sedang diwawancara dan mengetahui apa maksud wawancara. Dalam hal ini, pelaku sejarah tahu betul bahwa mereka di wawancara penulis untuk kepenulisan skripsi. 3) Mendatangi informan Untuk melakukan teknik wawancara, penulis mencari tokoh-tokoh yang berperan penting dalam PDI-P Tegal yang mengetahui bagaimana kondisi PDI-P di Tegal pada tahun 1999. Selain itu, penulis juga mendatangi KPU dan Kantor DPC PDI-P Kota Tegal, untuk mendapatkan data mengenai kursi yang di dapatkan PDI-P dari Pemilu 1999. 4) Membuat instrumen/outline Menyusun guide interview sebagai pedoman penulis dalam melakukan wawancara dengan responden instrumen

21

pernyataan ini disesuaikan dengan tingkat pendidikan responden. Contoh apabila responden yang dijumpai oleh penulis memiliki tingkat relative rendah, pertanyaan yang diajukan menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat pertanyaan yang mudah ditangkap dan dipahami oleh responden. 5) Pelaksanaan wawancara Pelaksanaan wawancara dengan mendatangi kantor DPC PDI-P Kota Tegal maupun rumah para pelaku sejarah untuk menanyakan informan yang tepat mengenai PDI-P dalam pergulatannya pada Pemilu 1999 di Kota Tegal. Pelaksanaan wawancara ini akan lebih luwes apabila dilakukan di rumah pelaku sejarah, antara sipelaku dengan penulis, karena

narasumber bisa dengan bebas mengeluarkan pemikirannya pada saat itu. 2. Kritik sumber Tahap ini merupakan suatu kegiatan untuk mendapatkan data yang tingkat kebenaranya atau kredibilitasnya paling tinggi dengan melalui seleksi data yang telah terkumpul. Pada tahap ini, penulis berusaha untuk menyeleksi dan menganalisis sumber mana yang autentik untuk mendapatkan suatu kebenaran. Kritik sumber ditempuh dengan melakukan kritik ekstern dan interen.

22

a.

Kritik Ekstern Kritik ekstern dilakukan terhadap data dengan menganalis kebenaran sumber atau hubungan dengan persoalan apakah sumber itu asli atau palsu, masih lengkap atau tidak. Pada kritik ekstern penulis melakukan pengecekan terhadap data-data yang telah diperoleh berupa sumber-sumber tertulis seperti upaya menguji otentisitas sumber ditinjau dari segi fisik, misalnya jenis bahan baku (kertas dan tinta), tahun pembuatan, ataupun usia sumber. Salah satunya di awali dari datang ke Kantor DPC, penulis mendapatkan rekapan keanggotaan dari masih PDI hingga menjadi PDI-P, data pengurus DPC dari masih PDI hingga PDI-P, data perubahan pengurus,dll. Untuk menguji kebenaran dari semua itu, penulis melakukan pengecekan seperti tanggal yang dicantumkan, logo yang ada (secara tidak langsung menunjukkan kronologi rekonstruksi kejadian, dari masih PDI hingga PDI-P), serta melihat dari warna kertas yang biasanya sudah agak menguning. Demikian juga artikel yang mengupas mengenai PDI-P, Pemilu 1999, yang didapatkan dari koran-koran maupun berita sejaman terkait Pemilu 1999 maupun perkembangan PDI-P serta strategi yang diterapkan partai. Kritik ekstern yang dilakukan berupa mengecek edisi terbitan berita, maupun warna koran yang sudah lusuh. Pada sumber yang berupa foto-pun mengecek kondisi tokoh-

23

tokoh yang dilihat sekarang dibantingkan dengan waktu tahun 1999, tentunya pada masa itu mereka terlihat lebih muda. b. Kritik Intern Kritik intern bertujuan untuk mengungkapkan keterpercayaan isi sumber yang dipergunakan, misalnya dengan membandingkan sumber lain. Kritik interen dilakukan terhadap informasi atau sumber dengan menganalisa kebenarannya untuk memperoleh jawaban apakah relevan dengan penelitian yang dimaksud. Cara melakukan kritik intern dalam penelitian adalah dengan membandingkan isi atau informasi sumber satu dengan sumber sekunder lainya. Misalnya dengan membandingkan pernyataan antara satu buku dengan buku yang lain, apakah saling menguatkan ataupun saling berlawanan. Buku-buku referensi-pun harus dipilah, tidak hanya dari satu sumber yang dipakai. Namun, apabila ada kesamaan topik kajian, maka akan penulis perbandingkan apakah terdapat perbedaan pada teori yang diungkapkan dari buku tersebut. Apabila ada, penulis akan mencantumkan dua-duanya. Selain itu, melalui kritik intern penulis berusaha menyelidiki keakuratan sumber dari segi isi atau muatan sumber dilihat dari sifat sesuai tidaknya informasi yang dimiliki sumber dengan persoalan yang akan dibahas, baik itu menyangkut kebenaran isi, gaya bahasa, ataupun ide yang dikandung sumber. Misalnya yaitu dalam penggantian beberapa pengurus karena pindah ke kubu lain, karena

24

waktu itu animo untuk perubahan pemerintahan dengan mengusung Mega, maka bahasa yang digunakan terhadap orang yang pindah kubu terkesan sangat vulgar, yang tidak segan-segan mengatakan mereka sebagai penghianat agar segera diganti. 3. Interpretasi Interpretasi adalah proses menyusun, merangkai antara satu fakta sejarah dengan fakta sejarah lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang dapat dimengerti dan bermakna. Interpretasi merupakan usaha

interpretasi atau menafsir sumber. Dalam tahap ini peneliti melakukan analisa dan pengembangan teori berdasarkan tabel dan data statistik. Hasil kesimpulan dari pembacaan tabel dan penghitungan data statistik itu digunakan untuk mendukung analisis dan hipotesa penelitian. Dalam menganalisis data-data hasil temuan, peneliti menggunakan pendekatan dari teori marketing politik. Hal ini karena peneliti mencoba untuk mencari bagaimana bentuk-bentuk marketing politik yang dilakukan oleh partai-partai politik menjelang Pemilu. Tujuannya agar data yang ada mampu mengungkapkan permasalan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Dalam proses interpretasi tidak semua fakta dapat dimasukkan, tetapi harus dipilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang hendak disusun . Dalam menginterpretasikan penelitian berbentuk karangan sejarah ilmiah, sejarah kritis, perlu diperhatikan susunan karangan yang logis menurut urutan yang

25

kronologis dan tema yang jelas dan mudah dimengerti (Gottschalk,1975 :131). 4. Historiografi Historiografi merupakan bagian terakhir dari metode sejarah. Apabila sejarawan sudah membangun ide-ide tentang hubungan satu fakta dengan fakta lain melalui kegiatan interpretasi maka langkah akhir dari penelitian adalah penulisan atau penyusunan cerita sejarah yang memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standar mutu cerita sejarah yaitu dengan prinsip realisasi (cara membuat urutan peristiwa), prinsip kronologi (urutan-urutan waktu), prinsip kausasi (hubungan sebab-akibat) dan keterampilan imajinasi (kemampuan untuk menghubung-hubungkan peristiwa dari yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pengalaman.

26

Anda mungkin juga menyukai