Anda di halaman 1dari 6

Bentuk Esai

Membumikan Visi Keadilan Sosial Agama


Oleh Ahmad Fuad Fanani Banyak orang yang berpandangan bahwa agama itu tidak perlu didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk diamalkan. Tidak heran bahwa diskusi agama sering sepi dari peminat karena dianggap tidak menarik dan mengubah keadaan, dan belum tentu mendatangkan pahala. Jika kita kaji, kemunculan ekstrimisme keagamaan dan fanatisme yang mengarah kepada tindakan kekerasan, serta mengancam perdamaian dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari agama yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman keagamaan yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah kepada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang agama juga mengalami e olusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan !aman. Pada dasarnya semua agama mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. "amun, jurang antara agama, idealisme agama, dan pemeluknya yang gagal memahami pesan dasar agamanya memang terjadi di banyak agama. Tidak heran jika agama seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi. #i samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama, dalam kehidupan dan keberagamaan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti dari ajaran semua agama. $eadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab suci semua agama. "amun, dalam kehidupan nyata ajaran tentang keadilan sosial ini jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua agama pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para agamawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial sebagai wirid harian dan tema utama ceramahnya, masih banyak yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung tegaknya kesejahteraan rakyat kecil dan prinsip keadilan. %al lain yang menyebabkan agama dan kaum agamawan gagal menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban adalah kita tidak membaca dan belajar dari sejarah. &kibat dari tidak membaca sejarah maka, usaha dalam membina dan membangun bangsa ini bisa gagal. #alam soal lautan kemiskinan yang terbentang luas selama berabad-abad, hingga kini belum banyak para agamawan yang berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Pembangunan yang tidak mengacu pada prinsip keadilan sosialpun masih banyak dipertahankan dan menjadi proyek kesayangan para pejabat. #an di atas itu semua, masalah kepemimpinan bangsa ini masih memprihatinkan, yang diurus hanya kekuasaan, dan politik masih banyak dijadikan sebagai profesi dan mata pencaharian para politisi. 'ahim bangsa ini masih kikir melahirkan pemimpin yang kreatif. (eski keadaan begitu parah dan memprihatinkan, agama melarang kita berputus asa dan larut dalam kesedihan. (aka kita harus berbuat sebaik-baiknya, seserius-

seriusnya, dan semaksimalnya. Pada keadaan seperti itu, semestinya para agamawan berfungsi dan berdiri paling depan dalam menggelorakan semangat keadilan sosial dalam melindungi kaum miskin , membela rakyat kecil, dan memprotes pemerintah yang korup dan mengejar kepentingan politiknya sendiri. &gama harus mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi rakyat, misalnya mengapa masih banyak yang tidak bisa makan dan tidak bisa sekolah) (aka, jangan sampai para agamawan justru menjadi pelegitimasi re!im dan pemberi stempel terhadap kebijakan yang dikeluarkan orang kaya, negara, dan kelompok masyarakat yang merugikan rakyat kecil. Para agamawan harus siap dan rela jika menjadi tidak populer, tidak berlimpah materi, jauh dari kekuasaan, serta kuat menahan diri terhadap segala godaan yang kerap datang merayu dan menggoyahkan iman. Perselingkuhan antara politisi, pengusaha, dan agamawan akan membuat masyarakat awam skeptis dan sinis terhadap peran luhur agama. &gamawan justru harus berani mengingatkan penguasa dan pengusaha yang batil. *arish "oor dalam artikelnya menyatakan, kemenangan sebuah agama dan agamawan bukanlah terletak pada bagaimana menampilkan agama yang murni dan yang lainnya dianggap salah, namun justru pada komitmennya untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, prularisme, dan hak-hak kaum minoritas dan kesetaraan jender. +leh karenanya, persoalan agama dan keadilan sosial jangan hanya dijadikan wacana saja, tetapi harus dibumikan dalam kehidupan nyata. &gama dan kaum agamawan harus betul-betul mendukung suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial. $olusi penguasa-pengusaha yang merugikan kehidupan rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh pemuka agama. Jangan sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa paling peduli dan teguh menegakkan keadilan sosial serta menentang ke!aliman, padahal mereka sendiri berbuat !alim dengan tidak menghargai pemeluk agama lain dan gemar menghakimi keyakinan orang lain. &gama harus betul-betul peduli pada orang yang menderita dan tegas pemihakannya terhadap nasib orang-orang yang papa dan yang termarjinalkan.

Bentuk kritik
Cerita Pendek, Keberjamakan, Reruntuhan Menara
Oleh! Satmoko Budi Santoso ,-'P-" .ndonesia telah meruntuhkan /sakralitasnya/, anjlok dari menara gading yang dibangunnya beberapa warsa silam0 cerpen hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berada di seputaran kerja kreatif kesusastraan itu sendiri. Tentu, asumsi ini sangat bisa dibuktikan karena dalam era kekinian, cerpen .ndonesia telah merasionalisasi dirinya sendiri, masuk ke segala segmen, semua kelas sosial. Beragam tema dengan keberjamakan eksplorasi teknik penceritaan dan pencapaian bahasa-bahasa yang metaforis telah diterima publik, tak hanya lingkungan kaum sastrais, namun juga pasar &B1 dan komunitas selebriti. $arena itu, yang perlu dicatat kemudian adalah bagaimana timbal-balik pluralitas publik yang menerima keberlimpahan eksperimentasi cerpen-cerpen .ndonesia) Penyair Binhad "urrohmat dalam eseinya yang bertajuk ,erita Pendek .ndonesia, 1ajah di Pelupuk (ata 2$ompas, 34546 dengan begitu santun telah mempertanyakan kerja kritikus sastra dalam meresepsi fluktuasi cerpen .ndonesia. #alam amatan Binhad "urrohmat, tak ada kritik sastra yang substansial, yang komprehensif menelaah cerpen .ndonesia agar tumbuh dalam keingar-bingaran yang sehat. $enyataannya memanglah begitu. $etika dengan segala kerendahan hati cerpen .ndonesia turun dari menara gadingnya, ternyata justru diimbangi dengan mampatnya kerja kritikus sastra. Tentu saja, tulisan ini hanya sekadar memberi catatan pendek sebagai tambahan pemetaan sosialisasi dan capaian estetik cerpen .ndonesia. 7ang di masa depan, jika kritik sastra benar-benar mandek, kemungkinan besar akan tumbuh secara mandiri, merayakan keberjamakan dalam telikung minimnya respons progresif di luar dirinya sekalipun tetap menolak /dipagut dan dipiting/ sebagai hasil kerja yang bersifat onanis. S-S8"118%"7&, dalam konteks pasar buku sastra, cerpen .ndonesia tak pernah menafikan peringatan 9ucien 1oldmann, pemikir strukturalisme kesusastraan, perihal hubungan simbiose mutualistik antara kesusastraan dan masyarakat. $esalingtergantungan antara kesusastraan dan masyarakat sungguh telah terjembatani, tinggal masyarakat sendiri yang selanjutnya memilih capaian estetik cerpen tertentu, sesuai dengan kebutuhan yang bersifat reflektif, sekadar bacaan kala senggang, atau memang mau dan sudi memahami serta melacak konsepsi estetikanya. #alam konteks masyarakat pembaca sastra 2awam6 yang mencari capaian reflektif, misalnya, sudah ada cerpen-cerpen realis, yang berhasil mengaduk-aduk kompleksitas psikologis tokoh-tokohnya sehingga rele an sebagai cermin hidup kekinian, dalam kerangka modern. ,erpen-cerpen Jujur Prananto dalam antologi Parmin, %arris -ffendi Thahar dalam Si Padang, %amsad 'angkuti dalam Sampah Bulan #esember, 1us tf Sakai dalam $emilau ,ahaya dan Perempuan Buta, $orrie 9ayun 'ampan dalam &cuh

ading

tak &cuh maupun Seno 1umira &jidarma dalam #unia Sukab, telah mengegaliterkan cerita sehingga dekat dan bernilai the inner of soul interaksi kehidupan sehari-hari. Bermacam ironi maupun sarkasme hidup terejawantahkan dalam substansi cerita yang jika betul-betul diresepsi merupakan wilayah konflik /kita-kita juga/. Belum lagi jika pembaca sastra mulai berpikir capaian estetik. (encari capaian dalam perhitungan strategi literer teknik penceritaan, maka jangan kaget jika menemui cerpencerpen the mind game Puthut -& dalam #ua Tangisan pada Satu (alam, yang begitu impresif, begitu /dingin/ cara bertuturnya, menjadikannya sanggup mengemas pandangan-pandangan filsafati untuk merangsek masuk dunia populis. .ndra Tranggono dalam .blis "gambek dan .man Budhi Santosa dalam $alimantang yang memperkaya problem kelas dalam subkultur warna lokal Jawa, Bre 'edana dalam Sarabande yang mempersepsikan sublimitas warna lokal Bali dalam angle tokoh-tokoh yang kosmopolit, 7anusa "ugroho dalam Segulung ,erita Tua yang memperkaya kha!anah perspektif mistik, %udan %idayat dalam +rang Sakit yang mengedepankan literasi kontemplatif, atau #jenar (aesa &yu yang merambah dekonstruksi wilayah tabu seksual sebagai propaganda perlawanan budaya patriarki lewat (ereka (emanggil Saya Seekor (onyet. Sementara, cerpen-cerpen yang mungkin dibuat sebagai bacaan kala senggang, tak berambisi mendesakkan capaian reflektif, estetik apalagi ideologis, kecuali justru bernilai potretan sekilas peristiwa, yang sangat personal dan temporal, berkehendak hanya bercerita, tak ada desakan pemahaman antropologis dan lebih pada tawaran nilai abstraksi dunia populis sehingga terendus dalam lipatan saku celana pangsa &B1 dan kaum selebritis, dapat dibaca Selingkuh itu .ndah karya &gus "oor, Sebuah Pertanyaan untuk ,inta dan Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno 1umira &jidarma dan Sepuluh $isah ,inta yang (encurigakan yang merupakan antologi komunal karya cerpeniscerpenis muda terbitan &kademi $ebudayaan 7ogyakarta. Tentu saja, pemetaan estetika semacam ini menjadi arian cukup penting karena tak bisa ditolak sebagai risiko posmodernisme yang menyumpah-serapahi keserba-tunggalan dan memangku keberjamakan. ,erpen .ndonesia telah sanggup merayakan eksistensinya, menembus lini tanpa batas, tak perlu juru bicara, dan telah melakukan bargaining terhadap publiknya sendiri. $arenanya, yang perlu diingat, tak ada anasir the in isible hand dalam kemeriahan pasar buku sastra karena sekalipun tak ada kritikus yang menjembatani karya sastra, cerpen .ndonesia sudah berjalan sendiri, /mencuci otak/ pembacanya. Pastilah, hal semacam ini jauh lebih berharga dibandingkan dengan kemeriahan sosialisasi cerpen .ndonesia beberapa warsa silam yang penuh konsep, jargon, dan juru bicara. $ini, berbagai konsep, jargon, dan petuah juru bicara telah hablur dalam cerita, pembaca-pembaca anonim yang bukan ber arian the in isible hand justru membutuhkan dan menikmatinya, sedikit-banyak tentulah merasakan jaminan atas ruang kenyamanan katarsis secara apa pun. Bisa jadi, dalam banyak hal ada kedirian pembaca yang merasuk dalam cerita sehingga substansi cerita menjadi ditunggu-tunggu. B+9-% jadi saya telah menggeneralisasi secara serampangan terhadap capaian estetik cerpen .ndonesia sehingga kalau Binhad "urrohmat masih menanti dengan setia datangnya /ratu adil/ kritikus cerpen .ndonesia dan berharap dari lembaga-lembaga sastra

yang berkompeten, kiranya, untuk saya, sekalian saja dipastikan bahwa tak ada kritikus cerpen yang akan lahir lagi. $ritikus dengan tuntutan kriteria kesanggupan mengoperasikan berbagai teori sastra untuk mendudukkan sebuah cerpen menjadi mafhum dikaji dari berbagai perspektif tak usah ditunggu. $arena, kita tahu, tak ada acuan kritik cerpen yang ideal dalam kha!anah kesusastraan .ndonesia selain kritik impresif dan bernilai permukaan, lebih banyak mengupas sinopsis dan sekadar konflik psikologisnya, seperti yang terjumpai dalam banyak kritik kata pengantar, kata penutup, maupun yang berkembang sebagai esai sastra di koran-koran. 'upa-rupanya, faktor keterbatasan ruang selalu menjadi alasan utama, justru untuk memberhentikan kerja kritik yang siapa pun menyadarinya akan sangat fungsional bagi pengembangan kerja estetik para cerpenis di kemudian hari. Setidaknya, tumbuh sentakan ingatan yang bisa dibangun atas kerja kritikus yang membuat cerpenis tertantang mencari ino asi baru, yang lebih membuka peluang pencapaian otentisitas. Begitulah. $ini, disadari atau tidak, para pembaca sastra berada dalam ambang batas kesemrawutan cerpen yang langsung berbicara dengan pembacanya, tak perlu diantarantar. #alam banyak hal, situasi semacam ini bukankah malah menguntungkan karena terhindar dari muatan klaim jika memang masih ada kritikus) Bukankah kerap kita baca, kritik cerpen malah bernilai ambisi legitimatif sehingga menambah keruh politisasi sastra yang di .ndonesia pun sudah semakin julik permainannya) Sampai di sini, saya teringat pada tulisan 'ichard +h dalam majalah (ata Baca -disi (ei 3::; dengan judul yang pro okatif /(elawan $utukan ;.::: -ksemplar Buku/, namun substansi yang dibicarakan sangatlah rasional. #alam era terkini, demikian 'ichard +h berasumsi, situasi sosiologis tempat hidup masyarakat sangat merindukan keberagaman cerita sebagai risiko menetralisir kesumpekan. $onsekuensinya, penerbit buku harus pandai-pandai membidik pasar agar buku-buku sastra yang diterbitkan sesuai dengan situasi psikologis publik yang membutuhkannya. Secara sederhana dapatlah dipahami0 pembaca buku .ndonesia membutuhkan alternatif bacaan yang segar, namun juga mencerdaskan. #alam konteks inilah peluang sosialisasi sastra menjadi besar untuk meruntuhkan hegemoni menara gading /sakralitasnya/ tersebut. Tak bisa dimungkiri, pembaca buku .ndonesia yang suntuk dan sumpek dengan buku-buku politik karena tak pernah sinkron antara teori dan kenyataan, dengan contoh anarkisme politik di .ndonesia, misalnya, pasti akan lari ke buku lain yang lebih bersifat /membebaskan/, /mencerahkan/, tidak membikin beban berupa kerutan kening. Begitu pula dengan para pembaca buku-buku ilmu sosial. $arenanya, di sinilah letak sinergi paling logis antara para cerpenis dan penerbit buku, lewat tangan redaktur sastra media massa, yang /seeksperimentatif/ apa pun dalam mengakomodir cerpen, tetaplah mempunyai standar estetika. Bolehlah disepakati sebagai salah satu penentu masa depan /peradaban estetik/ cerpen .ndonesia, tangan redakturlah yang kini mengemban tanggung jawab cukup besar karena kritikus telah mati. #engan sendirinya karena pengarang akan selalu hidup dan konteks !aman yang kini menerimanya bisa dikatakan sudah lama mengharap, maka perlu diperbanyak ceritacerita yang memperhitungkan segala aspek, terutama yang bermuatan historisisme karena

kalangan masyarakat pun membutuhkannya sebagai alternatif /kebenaran/ yang sulit dijumpai dalam teks-teks lain di luar karya sastra. Perlu diingat kembali, dalam konteks ini, antologi cerpen Saksi (ata karya Seno 1umira &jidarma sangatlah menyumbang, di samping buku lain seperti Sandiwara %ang Tuah karya Taufik .kram Jamil. #alam kaitan semua, hal itu pula, risiko keberjamakan yang sepantasnya dirayakan tak perlu melahirkan hero baru. Sebagaimana analogi dalam dunia industri. Siapa pun sah menulis cerpen karena yang baru tren dan laku adalah fiksi, adalah cerpen. Sebagaimana dalam lingkungan petani, maka menjadi lumrah jika siapa pun yang sanggup menanam dan memelihara lombok, ya, tanamlah dan peliharalah lombok tersebut. -ghm, kini, momentum cerpen .ndonesia untuk unjuk gigi, mengarna alkan dirinya sudah tiba karena tuntutan situasi. Bolehlah dalam forum ilmiah seperti pada $ongres ,erpen .ndonesia ... di 9ampung pada awal Juli mendatang lahir banyak kritikus, asal dengan catatan0 bukan yang kagetan. "amun, bukankah keterlanjuran kesoliteran lebih bernilai abadi karena teramat jujur, teramat mulia) #i luar tetek-bengek persoalan itu, sebagai konsekuensi seleksi alam kita tinggal menunggu waktu, apakah cerpen-cerpen .ndonesia akan menjadi pualam, melabu, ataukah malah bertalu, meraih !aman keemasannya. %iduplah para cerpenis dalam keberjamakan eksperimentasi karna al estetika<

Anda mungkin juga menyukai