Anda di halaman 1dari 5

Gambaran Endoskopi Gastrointestinal pada Anak di Medan

Supriatmo Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RS H. Adam Malik Medan

Seorang endoskopis anak harus mampu melakukan semua jenis tindakan yang bisa dilakukan endoskopis dewasa. Seorang endoskopis harus mengetahui segala manfaat dan risiko tindakan endoskopi dan mampu mengatasi kedaruratan yang timbul sehingga harus melalui fase latihan yang ketat dan sistematis sebelum diberikan 6-10 kompetensi melakukan endoskopi. Di seluruh dunia dicapai kesepakatan bahwa yang boleh melakukan endoskopi adalah seorang dokter anak yang telah
274 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 4 Desember 2007 Universitas Sumatera Utara

-5

Supriatmo

Gambaran Endoskopi Gastrointestinal

mengikut pendidikan tambahan di dalam bidang gastroenterologi anak dan selanjutnya mengikuti latihan endoskopi di bawah pengawasan endoskopis anak di sentra yang telah memenuhi syarat dan mempunyai fasilitas yang lengkap. Fasilitas yang harus dilengkapi meliputi alat sedasi lengkap dengan resusitasi, alat monitoring tekanan darah, denyut nadi dan saturasi oksigen. Banyak sentra yang melakukan endoskopi di ruang operasi yang dianggap telah mempunyai alat pendukung yang lengkap, terutama untuk mengatasi kedaruratan yang mungkin timbul 11-13 selama prosedur dilakukan. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian 1,3,6,8 atas: 1. Penyakit gangguan asam lambung. 2. Sangkaan inflamasi mukosa. 3. Nyeri epigastrium. 4. Hematemesis atau melena 5. Sakit menelan atau sulit menelan 6. Tertelan bahan kaustik atau benda asing 7. Muntah berulang 8. Terapi intervensi: kauterisasi, dilatasi striktur, ekstraksi benda asing. Indikasi kolonoskopi: 1. Perdarahan saluran cerna 2. Diare kronik 3. Sangkaan Inflammatory Bowel Disease (IBD) 4. Survey keganasan 5. Terapi intervensi: polipektomi, ekstraksi benda asing, dilatasi striktur, kauterisasi Kontraindikasi absolut 1. Sangkaan perforasi usus 2. Peritonitis akut Kontraindikasi relatif 1. Gangguan perdarahan dan/atau gangguan trobosit 2. Neutropenia 3. Pasien dengan risiko perforasi Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan endoskopi anak di Medan, serta melihat penyakit-penyakit gastrointestinal yang sering pada anak secara endoskopi dan histopatologi.
4,6,7,11 1,2,8,9 3,5,7,10

METODE Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihat catatan pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit H.Adam Malik, Rumah Sakit Dr.Pirngadi dan Rumah Sakit Sarimutiara Medan selama periode Juli 2005 Juni 2007 yang dilakukan pemeriksaan endoskopi baik untuk saluran cerna bagian atas maupun kolonoskopi dengan berbagai indikasi. Endoskopi dilakukan di Rumah Sakit Sarimutiara Medan, dengan sedasi dan pada anak-anak yang tidak koperatif dilakukan endoskopi di bawah anastesi umum. Selama melakukan endoskopi seorang perawat terlatih melakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital dan dilakukan pemantauan terhadap saturasi oksigen pasien. Pasien yang akan di endoskopi dipersiapkan oleh perawat endoskopi bekerja sama dengan perawat ruangan rawat inap maupun rawat jalan Departemen Ilmu Kesehatan Anak. HASIL
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Endoskopi saluran cerna atas (n=41) Jenis kelamin Laki-laki 23 Perempuan 18 Usia (tahun) 25 11 5 10 20 > 10 10 Status gizi Gizi kurang 9 Gizi baik 25 Gizi lebih 7 Kolonoskopi (20) 13 7 4 13 3 10 8 2

Selama periode penelitian dilakukan endoskopi pada 61 orang anak yang terdiri dari 41 anak dilakukan endoskopi saluran cerna bagian atas dan 21 anak dilakukan kolonoskopi. Dari Tabel 1 terlihat bahwa endoskopi lebih banyak dilakukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Sedangkan kelompok usia terbanyak adalah usia 5-10 tahun sebanyak 33 dari 61 anak yang dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Umumnya Status gizi pada anak yang dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas adalah gizi baik, namun sebaliknya pada anak yang dilakukan pemeriksaan kolonoskopi terdapat gizi kurang sebanyak 10 dari total 20 kasus yang diperiksa.
275 Universitas Sumatera Utara

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 4 Desember 2007

Karangan Asli

Tabel 2. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas pada subjek penelitian
Muntah Hematemesis Melena Sakit Perut Berulang Sakit menelan Regurgitasi Sakit ulu hati Refluks gastroesofagus Asites Tertelan benda asing N=41 4 5 4 11 3 2 5 3 2 2

Tabel 5. Diagnosis subjek penelitian berdasarkan hasil kolonoskopi


Proktitis Kolitis Hemoroid Polip N=20 8 5 4 3

Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas yang terbanyak adalah sakit perut berulang sebanyak 11 kasus, diikuti hematemesis dan sakit ulu hati masing-masing sebanyak 5 kasus. Pada kasus anak dengan asites dilakukan endoskopi saluran cerna bagian atas untuk melihat adanya varises esofagus yang berhubungan dengan kelainan di vena porta. Pada penelitian ini dilakukan endoskopi pada 2 kasus untuk melihat adanya benda asing yang tertelan dan sekaligus dilakukan ekstraksi benda asing. Benda asing yang tertelan adalah uang logam Rp 100 pada seorang anak usia 5 tahun dan bakteri jam digital ukuran sedang pada seorang anak usia 4 tahun.
Tabel 3. Indikasi Kolonoskopi pada subjek penelitian
BAB berdarah Diare kronis Hematokesia Polip Disentri berulang Sakit sewaktu BAB N=20 6 4 2 1 3 4

Dari Tabel 5 terlihat bahwa diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan kolonoskopi terbanyak dijumpai proktitis sebanyak 8 kasus diikuti kolitis 5 kasus, hemoroid 4 kasus dan dijumpai polip tunggal pada 3 kasus. Keluhan pada kasus dengan polip adalah BAB berdarah dan sakit sewaktu BAB. Pada kasus dengan polipektomi dianjurkan dilakukan polipektomi. Walaupun banyak laporan yang menyatakan bahwa polip dapat terputus sendiri (self amputated) tapi masalahnya kita tidak bisa memastikan kapan polip itu putus sendiri sementara keluhan pasien umumnya membuat orang tua dan anaknya cemas. DISKUSI Pada penelitian ini, hasil pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas yang terbanyak adalah esofagitis sebanyak 12 kasus, diikuti gastritis sebanyak 8 kasus, serta duodenitis dan infeksi H. pylori masingmasing 4 kasus. Diagnosis infeksi H. pylori berdasarkan hasil biopsi dan pemeriksaan histopatologi. Dugaan ini infeksi kuman ini berdasarkan hasil pemeriksaan Urea breath test positif. Keluhan penderita adalah sakit perut berulang dan tidak sembuh dengan pengobatan standar. Setelah dilakukan eradikasi H. pylori dengan triple drug yaitu kombinasi omeprazol, amoksillin dan klaritromisin selama dua minggu pasien menunjukkan perbaikan klinis yang sangat nyata. Sayangnya keluarga pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang ataupun urea breath test dengan alasan keluhan sudah hilang. Pada kasus dengan asites ditemukan varises esofagus derajat satu pada kedua kasus sehingga tidak dilakukan ligasi dan dianjurkan kontrol 3 bulan lagi untuk melihat keadaan varises esofagus. Pengalaman penulis selama melakukan kolonoskopi tidak menjumpai adanya IBD Bowel Disease) seperti (Inflammatory penyakit Chron maupun kolitis ulseratif.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa indikasi kolonoskopi yang terbanyak adalah BAB berdarah sebanyak 6 kasus, kemudian diikuti diare kronis dan sakit sewaktu BAB masingmasing sebanyak 4 kasus. Pada satu kasus dilakukan kolonoskopi atas indikasi keluarnya polip bertangkai dari lubang anus dan sering berdarah.
Table 4. Diagnosis subjek penelitian berdasarkan hasil endoskopi saluran cerna bagian atas
Esofagitis Gastritis Gastroesofagitis Bulbonitis Duodenitis Gastroduodenitis Infeksi H. pylori Ulkus peptikum Varises esofagus Benda asing N=41 12 8 3 1 4 2 4 3 2 2

276

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 4 Desember 2007 Universitas Sumatera Utara

Supriatmo

Gambaran Endoskopi Gastrointestinal

Beberapa sentra lain di Indonesia melaporkan adanya kasus IBD pada anak-anak Indonesia. 8 Okello dkk , melakukan endoskopi pada 135 orang anak dengan indikasi nyeri epigastrium (67.4%), dispepsia (11.9%), sakit perut berulang (3%) dan muntah (3%). Mendapatkan hasil bahwa diagnosis terbanyak adalah ulkus duodenum (14.8%) dan gastritis 9 (12.6%). Miller dkk , melakukan penelitian pada penderita infeksi HIV dan menyatakan bahwa tidak ada parameter gastrointestinal, nutrisi ataupun imunologis yang dapat memprediksi hasil endoskopi secara signifikan. Tatalaksana medis secara nyata berubah pada 70% anak setelah didapatkan hasil pemeriksaan endoskopis. Penelitian ini mengambil suatu kesimpulan bahwa endoskopi merupakan alat yang berguna untuk menterapi langsung ulkus peptikum dan infeksi dari saluran cerna bagian atas dengan infeksi HIV. Gejala gastrointestinal spesifik tidak dapat dijadikan sebagai prediktor abnormalitas hasil pemeriksaan. Pemakaian antibiotik pada pasien yang dilakukan endoskopi masih banyak dipertanyakan. Kesepakatan yang dibuat menyatakan bahwa antibiotik diberikan pada kasus-kasus risiko tinggi menderita endokarditis. Sebagai contoh endoskopi pada penderita kelainan katup jantung. Antibiotik juga diberikan pada kasus-kasus yang berisiko mengalami bakteremia transien seperti pada kasus striktur esofagus, ligasi varises esophagus. Prosedur pemeriksaan endoskopi memberikan kecemasan bukan hanya kepada anak tetapi juga orang tua dan bahkan seluruh anggota keluarga. Perlu dicari metode yang efektif untuk mengurangi kecemasan ini. 10 Pornthawee dkk , melaporkan dari hasil penelitian mereka bahwa persiapan pasien dengan menjelaskan prosedur teknis pemeriksaan memakai ilustrasi visual dapat secara signifikan mengurangi kecemasan anak dan orang tua. Penjelasan dengan metode ini efektif pada anak usia di atas lima tahun. Penelitian lain memberikan penjelasan kepada pasien dan orang tua dengan menunjukkan gambar-gambar prosedur endoskopi, dan mendapatkan hasil bahwa anak dan orang tua menjadi lebih koperatif sewaktu dilakukan prosedur pemeriksaan. Pemantauan terhadap tanda vital terutama jantung dan paru mutlak

dilakukan selama pemeriksaan. Banyak laporan yang menyatakan bahwa frekuensi denyut jantung dan saturasi oksigen menurun selama pemeriksaan. Pemberian oksigen selama pemeriksaan berlangsung mutlak dilakukan untuk mengurangi risiko selama pemeriksaan berlangsung. Pemberian lidokain topikal masih kontroversi penggunaannya pada anak karena umumnya endoskopi dilakukan di bawah sedasi atau anastesi umum. Masalahnya beberapa negara hanya mengizinkan penggunaan sedasi seperti profopol oleh ahli anastesi. Kenyataannya memang lebih aman jika selama prosedur berlangsung juga diawasi oleh ahli anastesi, dan operator endoskopi bisa fokus melakukan pekerjaannya, tetapi tentunya akan menambah biaya yang pada akhirnya akan memberatkan pasien. Krauss 11 dkk , manajemen rasa sakit sakit dan kecemasan pada anak yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan diagnostik maupun terapetik di luar kamar operasi telah dikenal selama 15 tahun terakhir ini. Banyaknya alat monitor non-invasif, shortacting opioids, dan antagonist benzodiazepine memungkinkan klinisi untuk memberikan sedasi secara aman. Tujuan prosedur sedasi adalah untuk mengontrol rasa sakit, kecemasan dan gerakan 12 dengan aman dan efektif. Abu-Shahwan dkk , melakukan penelitian dengan menggunakan kombinasi propofol dan remifentanil sebagai sedasi pada anak yang akan dilakukan pemeriksaan endoskopi dan mengambil suatu kesimpulan bahwa kombinasi propofol dan remifentanil aman, efektif dan bisa diterima. 13 Gyepes dkk , mendapatkan kenyataan bahwa endoskopi fiberoptik merupakan alat bantu diagnosis yang lebih akurat untuk melihat lesi mukosa superfisial dibanding pemeriksaan barium konvensional. Pada pemeriksaan endoskopi, gambaran dan karakter mukosa bias dipelajari. Area hiperemis, merah dan mudah terjadi perdarahan merupakan tanda kuat adanya inflamasi, dan gambaran ini berhubungan erat dengan hasil pemeriksaan histopatologi. 14 Kavin dkk , melaporkan bahwa tidak semua lesi penyebab perdarahan bisa dilihat dengan endoskopi standar. Untungnya untuk mengatasi sekarang sudah ada wireless capsule endoscopy yang bisa dipergunakan untuk melihat lesi pada daerah yang tidak bisa dilihat
277 Universitas Sumatera Utara

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 4 Desember 2007

Karangan Asli

dengan endoskopi standar. Wireless capsule endoscopy sudah banyak dipergunakan pada pasien dewasa sedangkan pada pasien anak masih jarang dipakai. Usia termuda yang pernah dilakukan pemeriksaan dengan wireless capsule endoscopy adalah seorang anak perempuan usia 2.5 tahun dengan melena berat yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan endoskopi standar, barium dan angiografi mesenterium. Endoskopi masih merupakan pilihan untuk mendiagnosis adanya infeksi H.pylori namun harus didukung oleh ahli patologi yang mampu mengenali adanya H.pylory. Pada beberapa kasus dengan urea breath test positif tidak ditemukan kuman H.pylori dari hasil biopsi. Sehingga beberapa penulis memilih melakukan pemeriksaan urea breath test dari pada harus dilakukan endoskopi yang merupakan pemeriksaan invasive dan terbatas pada rumah sakit tertentu saja. Penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa endoskopi merupakan suatu alat bantu diagnostik dan terapetik yang aman bila dilakukan oleh ahli yang kompeten. Selama melakukan endoskopi tidak dijumpai komplikasi baik selama tindakan maupun setelah tindakan. Kelemahannya adalah tidak semua rumah sakit memiliki alat endoskopi yang cocok buat anak sehingga harga menjadi mahal karena hanya tersedia di sentra tertentu.

5. Kato S, Nakagawa H, Harada Y, Saito Y, Watanabe N, Abe J, et al. A clinical study of upper gastrointestinal endoscopy in Japanese children. Pediatr Int 33(1):3642. 6. Charlton JE. Paediatric endoscopy should be carried out under general anaesthesia. BMJ 1995; 311: 452-3. 7. Hirota WK, Petersen K, Baron TH, Goldstein JL, Jacobson BC, Leighton JA, et al. Guidelines for antibiotic prophylaxis for GI endoscopy. Gastrointest Endosc 2003; 58(4):475-82. 8. Okello TR. Upper gastrointestinal endoscopic findings in adolescents at Lacor Hospital, Uganda. Afr Health Sci 2006;6(1):39-42. 9. Miller TL, McQuinn LB, Orav EJ. Endoscopy of the upper gastrointestinal tract as a diagnostic tool for children with human immunodeficiency virus infection. J Pediatr 1997; 130(5):766-73. 10. Pornthawee R, Nuthapong U. Effect of Systematic Psychological Preparation Using Visual Illustration Prior to Gastrointestinal Endoscopy on the Anxiety of Both Pediatric Patients and Parents. J Med Assoc Thai 2006; 89 (2):231-5. 11. Krauss B, Green SM. Sedation and analgesia for procedures in children. NEMJ; 342(13):938-45. 12. Abu-Shahwan I, Mack D. Profopol and remifentanil for deep sedation in children undergoing gastrointestinal endoscopy. Paediatr Anaesth 2007; 17(5):460-3. 13. Gyepes MT, Smith LE, Ament ME. Fiberoptic Endoscopy and Upper Gastrointestinal Series: Comparative Analysis in Infants and Children. Am J Roentgenol 128:53-56, January 1977. 14. Kavin H, Berman J, Martin TL, Feldman A, Forsey-Koukol K. Successful Wireless Capsule Endoscopy for a 2.5-Year-Old Child: Gastrointestinal Bleeding From Mixed, Juvenile, Capillary HemangiomaAngiomatosis of the Jejunum. Pediatr 2006; 117; 539-543.

DAFTAR PUSTAKA 1. Baillie J. Gastrointestinal endoscopy. Basic principles and practice. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1992. 2. Hadi S, Thahir G, Daldijono, Rani A, Akbar N. Endoskopi dalam bidang gastroenterohepatologi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1987. 3. Wyllie R, Kay MH. Gastrointestinal endoscopy in infant and children. Pediatr in rev 1993;14:9 4. Ukarapol N, Lertprasertsuk N, Fuchs GJ, Wongsawasdi L, Sirisanthana V. Impact of gastrointestinal endoscopy on HIVinfected children. Digestive endoscopy 16(1):26-29.

278

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 4 Desember 2007 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai