Anda di halaman 1dari 2

Pengusaha hanya bisa mem-PHK pekerja atau buruh bila sudah ada penetapan dari lembaga PPHI

SELAMA ini banyak pengusaha memutus hubungan kerja pekerja/buruh tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang benar, sebagaimana diatur undang-undang. Umumnya pengusaha secara sepihak melakukan pemutusan hubungan kerja !"#$. Selain tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan, tindakan pengusaha itu justru merugikan diri dan badan usaha yang dimiliki. Mendasarkan !asal %&' UU #etenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja harus memenuhi ketentuan !asal %(% Ayat ), !asal %*+, !asal %*' Ayat ), !asal %*,, dan !asal %*-. .ila ada tahapan tidak senapas dengan !asal %&' maka !"# itu batal demi hukum. #onsekuensinya, pengusaha tetap harus mempekerjakan pekerja/buruh, termasuk membayar seluruh upah dan hak. !engusaha hanya bisa mem-!"# pekerja/buruh bila sudah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial !!"/$, setelah melalui beberapa tahapan. !ertama, ada upaya penyelesaian secara bipartit musya0arah mu1akat antara pekerja dan pengusaha$. .ila tak mencapai kesepakatan, salah satu/dua belah pihak mencatatkan perselisihannya ke 2inas 3enaga #erja untuk diupayakan penyelesaian secara tripartit. !ada tahap ini, para pihak bisa memilih sendiri cara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Seandainya tetap belum mencapai kesepakatan, salah satu/dua belah pihak harus meneruskan ke pengadilan hubungan industrial sampai ke Mahkamah Agung. Selama ini, terkait proses !"#, pengusaha bersikap pasi1, termasuk enggan melayani permintaan pekerja untuk berunding secara bipartit. .ahkan pada tingkat tripartit, pengusaha kadang tetap tak mau hadir. Sikap itu sejatinya menunda penyelesaian karena tanpa kehadiran pengusaha pun proses itu tetap bisa berjalan sampai kasus itu punya kekuatan hukum tetap inkracht$. !asal %(( Ayat , UU #etenagakerjaan menyebutkan selama lembaga !""/ belum menetapkan putusan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan ke0ajiban masingmasing. /tu berarti pekerja tetap bekerja, dan secara otomatis memperoleh haknya. Seandainya tak bisa bekerja tapi itu bukan atas kemauannya maka pengusaha 0ajib memberikan hak-hak pekerja. Untuk memutus hubungan kerja, pengusaha harus lebih dulu merundingkan secara bipartit dengan pekerja/buruh, dan bila belum sepakat bisa dilanjutkan ke tingkat selanjutnya hingga ada putusan 1inal. Apabila kasus perselisihan !"# itu berkepanjangan, pengusaha tetap dibebani apa yang sering disebut 44upah proses44. Sebelum ada putusan M# 5omor )&/!UU-/6/,'%%, upah proses mengacu #epmenaker 5omor %(' 3ahun ,''', yakni maksimal * bulan

gaji. 2engan adanya putusan judicial re7ie0 itu upah proses dihitung sampai kasusnya berkekuatan hukum tetap. 2ikatakan punya kekuatan hukum tetap bila salah satu pihak pekerja atau pengusaha$ tidak mengajukan kasasi atas putusan pengadilan hubungan industrial, atau saat hakim kasasi pada Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi. Lebih !roakti1 2engan ketentuan yang baru itu, bisa jadi bila selama ini pekerja akti1 menempuh upaya hukum guna menyelesaikan kasusnya, kini memilih bersikap menunggu 0aktu penyelesaian kasusnya sampai saat akhir masa kedalu0arsa pengajuan tuntutan ke pengadilan hubungan industrial. Sikap mengulur-ulur 0aktu itu dapat kita terjemahkan sebagai cara untuk menambah 44upah proses44 yang bakal mereka peroleh. Setelah ada perubahan konstelasi, pelaku proses produksi, khususnya pengusaha, diharapkan lebih proakti1 mengupayakan penyelesaian perselisihan !"# dengan menaati regulasi. #etaatan terhadap peraturan perundang-undangan hakikatnya bukan untuk kepentingan pemerintah melainkan demi kepentingan pengusaha. Salah satu prasyarat tumbuh kembangnya perusahaan sehat adalah adanya hubungan industrial pengusaha dan pekerja$ yang harmonis, kondusi1, dinamis, dan berkeadilan. #arena itu, sekecil apa pun benih kon1lik yang muncul semestinya cepat diselesaikan, tak perlu menunggu mengecambah menjadi lebih kompleks. !asalnya tak jarang persoalan yang a0alnya kecil, bahkan sepele akhirnya berkembang lebih luas dan berlarut-larut, bahkan tidak jarang berujung pada pemogokan buruh/pekerja. /ntinya, jangan sampai karena masalah sepele, perusahaan sakit, dan tidak menutup kemungkinan menjadi lebih parah pada kemudian hari. Masih banyaknya pengusaha dan pekerja yang belum memahami peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan bukanlah semata-mata kesalahan mereka. Untuk itu, pemerintah melalui instansi yang bertanggung ja0ab pada bidang ketenagakerjaan, baik di pusat maupun daerah, harus selalu membuka pintu bagi semua elemen masyarakat. .alai !elayanan !enyelesaian !erselisihan 3enaga #erja .!)3#$ 2inakertransduk !ro7insi 8a0a 3engah di 8alan #i Mangunsarkoro ,% Semarang, selain harus melayani penyelesaian perselisihan tenaga kerja dalam/luar negeri juga 0ajib melayani penyelesaian perselisihan hubungan industrial/pemutusan hubungan kerja. .alai itu juga harus siap melayani konsultasi bagi masyarakat industri, baik pengusaha maupun pekerja/buruh, termasuk elemen masyarakat lain yang membutuhkan. %'$ 9 .udi !raba0aning 2yah S" M", #epala .alai !elayanan !enyelesaian !erselisihan 3enaga #erja .!)3#$ 2inakertransduk !ro7insi 8a0a 3engah

Anda mungkin juga menyukai