Anda di halaman 1dari 47

STATUS PASIEN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PASAR REBO

IDENTITAS PASIEN Nama Pasien Umur Alamat Pekerjaan Jenis Kelamin Agama No.Rekam Medis Ruang Rawat Tanggal Masuk RS : Tn. Yusri Antoni : 32 tahun : Jl. Cijantung RT 3/3 : Wiraswasta : Laki-laki : Islam :385732 : Melati :05/12/2013

Tanggal pemeriksaan :11/12/2013 A. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Muntah darah sebanyak 3 kali 7 jam SMRS 2. Keluhan tambahan : BAB warna hitam 1 minggu SMRS, lemas,pusing,keringat dingin dan mual. 3. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Pasar rebo dengan keluhan muntah darah berwarna merah segar sejak siang sebanyak 3 kali. Awalnya pasien mengeluh hanya merasakan mual biasa tetapi selang berapa waktu kemudian pasien muntah darah sebanyak 1 kali, darah yang keluar berwarna merah segar dan sedikit berbau. Selang 2 jam pasien kontrol ke poli penyakit dalam untuk mengambil obat yang sudah habis, pasien mengeluhkan keadaannya tapi oleh dokter pasien dibolehkan untuk pulang. Sore harinya pasien kembali muntah darah sebanyak 2 kali, darah yang keluar 600 ml dan berwarna merah segar. Pasien lalu dibawa ke IGD RSUD Pasar Rebo,setelah sampai di IGD pasien kembali muntah lagi sebanyak 1 kali. 1 minggu setelah keluar dari RSUD Pasar Rebo sehabis di rawat, pasien mengaku mulai sering BAB berwarna merah kehitaman, kotoran yang keluar cair dan lebih banyak mengeluarkan darah
0

berwarna hitam. Setiap kali habis BAB pasien mengeluh badannya lemas, pusing dan keringat dingin. Pasien sering tidak menjaga pola makan yang benar, setelah dirumah pasien sering makan-makanan yang pedis dan suka meminum air yang dingin. Semenjak itu pasien mulai merasakan mual dan akhirnya muntah darah. Sejak SMP pasien sudah membiasakan diri dengan merokok, pasien bisa menghabiskan 2 bungkus rokok dalam sehari. Pasien juga memiliki hobi meminum minuman beralkohol sejak 10 tahun lalu, pasien mengaku dapat menghabiskan 5 botol alkohol dalam seminggu, sampai saat ini pun pasien masih sering minum tetapi hanya sekitar segelas atau 2 gelas saja. Walaupun pasien mempunyai kebiasaan merokok dan minum akohol pasien mengaku tidak pernah menggunakan narkoba ataupun sejenisnya. Menurut pengakuan pasien, sakit seperti ini pernah di alami oleh ayah dan kakek pasien, keduanya meninggal karena penyakit tersebut.

4. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat penyakit hipertensi disangkal. Riwayat dirawat karena hematemesis melena : tahun 2011 Riwayat penyakit ginjal disangkal. Riwayat penyakit asma disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat penyakit paru disangkal. 5. Riwayat penyakit keluarga Kakek dan ayah pasien pernah mengalami sakit yang sama dengan pasien Riwayat keluarga penyakit hipertensi disangkal. Riwayat keluarga penyakit diabetes mellitus disangkal. Riwayat keluarga penyakit asma disangkal. Riwayat keluarga penyakit jantung disangkal. Riwayat keluarga penyakit paru disangkal. Riwayat keluarga penyakit ginjal disangkal. Riwayat keluarga alergi obat disangkal. 6. Riwayat Psikososial Riwayat merokok 2 bungkus/hari sejak SMP. Riwayat konsumsi alcohol 10 tahun yang lalu hingga sekarang. Riwayat kebiasaan olahraga disangkal.

B. STATUS GENERALIS 1. Kesadaran 2. Keadaan Umum 3. Tekanan darah 4. Nadi 5. Suhu 6. Pernapasan C. ASPEK KEJIWAAN 1. Tingkah laku 2. Proses pikir 3. Kecerdasan

: Compos Mentis : Sakit Sedang : 120/90 mmHg : 80 x/menit : 36,5 C : 20 x/menit

: Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal : Dalam Batas Normal

D. PEMERIKSAAN FISIK KULIT 1. Warna 2. Jaringan parut 3. Pertumbuhan rambut 4. Suhu raba 5. Lapisan lemak 6. Eloresensi 7. Pigmentasi 8. Pelebaran PD 9. Keringat 10. Kelembapan 11. Turgor 12. Ikterus 13. Edema KEPALA 1. Bentuk 2. Posisi 3. Penonjolan MATA 1. Exophthalmus 2. Enoptashalmus 3. Edema kelopak 4. Konjunggtiva anemis 5. Sklera ikterik

: kecoklatan : Tidak ada : Normal : Normal, hangat : Cukup ::: Tidak ada : Umum : Biasa : Cukup : ada : Tidak ada

: Normocephal : Simetris : Tidak ada

: Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : +/+ : +/+


2

6. Refleks TELINGA 1. Pendengaran 2. Membran timpani 3. Darah 4. Cairan MULUT 1. Bau pernapasan 2. Trismus 3. Faring 4. Lidah 5. Uvula 6. Tonsil LEHER 1. Trakea 2. Kelenjar tiroid 3. Kelenjar limfe

: L (+/+) TL (+/+)

: Baik : Tidak dilakukan : Tidak ada : Tidak ada

: Tidak tercium bau pernapasan : Tidak ada : Dalam batas normal : Tidak deviasi : Tidak deviasi : T1-T1

: Tidak deviasi : Tidak membesar : Tidak membesar

PARU-PARU 1. Inspeksi : Bentuk dan ukuran normal, pergerakan nafas dalam keadaan statis dan dinamis simetris kanan dan kiri 2. Palpasi : Fremitus taktil dan vokal sama kuat kiri dan kanan 3. Perkusi : sonor di seluruh lapang paru 4. Auskultasi : Suara vesikuler (+/+); Rhonki (-/-); Wheezing (-/-) JANTUNG 1. Inspeksi 2. Palpasi 3. Perkusi

4. Auskultasi

: Iktus cordis tidak tampak : Iktus cordis teraba 2 jari : Batas kanan ICS 5 Linea sternalis dextra Batas kiri ICS 6 Linea axillaris anterior sinistra Batas pinggang ICS 3 Linea parasternalis sinistra : Bunyi jantung I-II Normal, reguler ; gallop (-); Murmur (-)

ABDOMEN
3

1. 2. 3. 4.

Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi

: datar : Bising usus (+) normal : Timpani di seluruh kuadran abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+) Hepar dan lien teraba Ginjal ballotement (-) Tes undulasi (-) Kanan Normal Normal Normal Normal 5 Kiri Normal Normal Normal Normal 5

EKSTREMITAS Lengan Tonus otot Massa otot Sendi Gerakan Kekuatan

Tungkai dan kaki Tonus otot Massa otot Sendi Gerakan Kekuatan Edema Luka Varises

Kanan Normal Normal Normal Normal 5 -

Kiri Normal Normal Normal Normal 5 -

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi Tanggal Pemeriksaan Darah Rutin 09-12-2013 LED Hb 20 5,2

Nilai Rujukan

<15 mm/jam 13.2-17.3 g/dl

Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit MCV MCH MCHC

15 1,9 3000 62.000 80 27 34

40-52 % 4.4-5.9 juta/uL 3800-10600 /uL 150000-440000 /uL 80-100 fl 26-34 pg 32-36 g/dl

Hitung jenis Basophil Eosinophil Batang Segmen Limfosit Monosit

09-12-2013 0 2 0 71 19 8

Nilai Rujukan 0-1 % 1-3 % 3-5 % 50-70 % 25-40 % 2-8 %

Hemostasis PT APTT

09-12-2013 13,9 28,5

Nilai Rujukan 11,9-14,4 26,4-37,6

Tanggal Pemeriksaan Kimia Darah 09-12-2013 Protein Total Albumin Globulin 4.4 2.7 1.7 6-8.5 g/dl 3.4-4.8 g/dl < 2 g/dl Nilai Rujukan

Bilirubin Total Bilirubin Direct Bilirubin Indirect Alkali Fosfatase

0.66 0.30 0.36 65

0.1-1.0 mg/dl 0-0.2 mg/dl < 1.1 mg/dl 30-120 U/L

Tanggal Pemeriksaan Fungsi Ginjal 09-12-2013 Ureum Kreatinin darah Asam urat 18.7 0.6 6.9 20-40 mg/dl 0.17-1.5 mg/dl 2-7 mg/dl Nilai Rujukan

Kimia darah SGPT / ALAT SGOT / ASAT

09-12-2013 34 34

Nilai Rujukan 0-50 U/L 0-50 U/L

Pemeriksaan USG abdomen (19/11/2013)

Interpretasi : Hepar : membesar, densitas heterogen dengan permukaan kasar. Sisitem billier dan vascular normal. Ascites (-) Kandung Empedu : dinding tidak menebal, tak tampak batu/sludge/pelebaran billier/SOL Kedua ginjal : besar dan bentuk normal, pelviocalices tak meleba. Tidak tampak batu/massa. Densitas cortex medulla tidak meningkat. Batas cortex medulla jelas. Lien : membesar, Narmodensitas. Pancreas, kel.paraaorta, buli, prostat baik. Tidak tampak massa intraabdominal. Dinding gaster, caecum, colon transversum & sigmoid sebagian menebal. Mc.Burney, tidak tampak tanda khas appendicitis acut/infiltrate. Kesan : - Hepatosplenomegali - Organ intraabdomen lainnya normal.

F. RESUME
7

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar rebo dengan keluhan muntah darah berwarna merah segar sejak siang sebanyak 3 kali. Awalnya pasien biasa tetapi selang berapa waktu kemudian pasien muntah darah sebanyak 1 kali, darah yang keluar berwarna merah segar. Sore harinya pasien kembali muntah darah sebanyak 2 kali, darah yang keluar 600 ml dan berwarna merah segar. Pasien lalu dibawa ke IGD RSUD Pasar Rebo,setelah sampai di IGD pasien kembali muntah lagi sebanyak 1 kali. 1 minggu setelah keluar dari RSUD Pasar Rebo sehabis di rawat, pasien mengaku mulai sering BAB berwarna merah kehitaman, kotoran yang keluar cair dan lebih banyak mengeluarkan darah berwarna hitam. Setiap kali habis BAB pasien mengeluh badannya lemas, pusing dan keringat dingin. Pasien sering tidak menjaga pola makan yang benar, setelah dirumah pasien sering makan-makanan yang pedis dan suka meminum air yang dingin. Sejak SMP pasien sudah membiasakan diri dengan merokok, pasien bisa menghabiskan 2 bungkus rokok dalam sehari. Pasien juga memiliki hobi meminum minuman beralkohol sejak 10 tahun lalu, pasien mengaku dapat menghabiskan 5 botol alkohol dalam seminggu, sampai saat ini pun pasien masih sering minum tetapi hanya sekitar segelas atau 2 gelas saja. pasien mengaku tidak pernah menggunakan narkoba ataupun sejenisnya. Menurut pengakuan pasien, sakit seperti ini pernah di alami oleh ayah dan kakek pasien. F. DIAGNOSIS KERJA Hematemesis melena ec pecah varises esofagus Sirosis hepatis ec hepatitis B Anemia

G. DIAGNOSIS BANDING Hemaptoe, Hematoskezia Hepatitis kronik aktif Hepatitis autoimun,hepatitis alkoholik,hepatitis non B

H. PENGKAJIAN MASALAH o Pecah varises esofagus - Pasien mengeluh muntah darah segar sebanyak 600 ml, mual, badan lemas, keringat dingin (anamnesis) - BAB darah warna hitam - Pasien mempunyai riwayat minum alcohol. - Riwayat sakit kuning/hepatitis o Hepatitis B - Pasien mengeluh mual,muntah,badan lemas
8

- Terdapat hepatomegaly - Pada pemeriksaan fisik ditemukan sclera ikterik pada kedua mata - Riwayat sakit kuning/hepatitis o Sirosis hepatis - Pemeriksaan fisik terdapat palmar eritema, splenomegaly, icterus. - Riwayat hematemesis melena - Pasien mempunyai riwayat minum alcohol. o Anemia - Pasien tampak pucat, pusing dan mengaku lemas. - Pemeriksaan fisik konjungtiva pucat. - Riwayat hematemesis melena. - Hasil pemeriksaan laboratorium Hb kurang dari nilai normal, trombositopenia. G. TATALAKSANA Penatalaksanaan di IGD - IVFD NaCl 0,9 % /8jam - Vit K 3x1 amp - Vit C 3x1 amp - Transamine 3x1 amp - Ceftriaxone 1 gr injeksi - Transfusi PRC 200cc - Tgl 6-12-2013 Hb post transfusi : 6.5 ( tambah transfusi PRC 500 cc) Penatalaksanaan di bangsal melati - Vit K 3x1 amp - Vit C 3x1 amp - Transamin 3x1 amp - Omeperazol 2x1 amp - Lasix 1x1 amp - Somatostatin 1 gr/12 jam - Musyin syrup 3x15 cc - Letonal 1x100 - Ciprofloxacin 2x500 - Ranitidine 3x1 amp - Ceftriaxone 2x1 amp

H. PROGNOSIS Ad vitam Ad functionam

: dubia ad bonam : dubia ad bonam


9

Ad sanationam

: dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

HEMATEMESIS MELENA Definisi Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz meliputi hematemesis dan atau melena. Yang termasuk organ organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz adalah esofagus, lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum. Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/gumpalan atau cairan berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi. Memuntahkan sedikit darah dengan warna yang telah berubah adalah gambaran nonspesifik dari muntah berulang dan tidak selalu menandakan perdarahan saluran pencernaan atas yang signifikan. Melena adalah keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal/ter, dengan bau busuk, dan perdarahannya sejumlah 50-100 ml atau lebih. Melena menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas. Tinja yang gelap dan padat dengan hasil tes perdarahan samar (occult blood) positif menunjukkan perdarahan pada usus halus dan bukan melena. Epidemiologi Di Indonesia sebagian besar ( 70 80 % ) perdarahan SCBA berasal dari pecahnya varises esophagus akibat penyakit sirosis hati. Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2% oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6% oleh karena sebab sebab yang lain. Di negara barat, tukak peptik menempati urutan pertama penyebab perdarahan SCBA dengan frekuensi sebesar 50%. Etiologi Perdarahan saluran cerna dapat yang bermanifestasi klinis mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis
10

adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) atau proksimal dari ligamentum Treitz. Melena (feses berwarna hitam) biasanya berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifes dalam bentuk melena. Adapun penyebab dari perdarahan SCBA, antara lain:

1. Pecahnya varises esophagus (tersering di Indonesia lebih kurang 70-75%). Dalam ilmu gastroenterologi, varises esofagus adalah dilatasi berlebihan pada vena vena di lapisan submukosa pada bagian bawah esofagus. Terjadinya varises esofagus dikarenakan sebagai konsekuensi dari hipertensi porta akibat sirosis hepatis sehingga pasien dengan varises esofagus sering sekali mengalami perdarahan. Penegakan diagnosis varises esofagus dilakukan dengan endoskopi. (Biecker, Schepke, & Sauerbruch, 2005)

Esophagus bagian bawah merupakan saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal. Vena esophagus daerah leher mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah diagfragma vena esophagus masuk kedalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta dan vena sistemik memungkinkan pintas dari hati pada kasus hipertensi porta. Aliran kolateral melalui vena esofagus menyebabkan terbentuk varises esophagus (vena varikosa esophagus). Vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan yang bersifat fatal.

Varises esofagus merupakan penyebab perdarahan yang paling sering dan paling berbahaya pada sirosis hepatis yang merupakan penyebab dari sepertiga angka kematian keseluruhan. Penyebab lain perdarahan pada saluran cerna atas yang sering ditemukan juga adalah adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini meningkat), erosi lambung akut, dan kecenderungan perdarahan (akibat masa protrombin yang memanjang dan trombositopenia).

11

Penderita datang dengan melena atau hematemesis. Tanda perdarahan kadang kadang adalah ensefalopati hepatik. Hipovolemia dan hipotensi dapat terjadi bergantung pada jumlah dan kecepatan kehilangan darah.

Berbagai tindakan telah digunakan untuk segera mengatasi perdarahan. Tamponade dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple-lumen) dan Minnesota (quadruple lumen) dapat menghentikan perdarahan untuk sementara waktu. Vena vena dapat dilihat dengan memakai peralatan serat optik dan disuntik dengan suatu larutan yang akan membentuk bekuan di dalam vena, sehingga akan menghentikan perdarahan. Sebagian besar klinisi beranggapan bahwa cara ini hanya berefek sementara dan tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang. Vasopresin (Pitressin) telah digunakan untuk mengatasi perdarahan. Obat ini menurunkan tekanan vena porta dengan mengurangi aliran darah splangnikus, walaupun efeknya hanya bersifat sementara. Kendati telah dilakukan tindakan darurat, sekitar 35% penderita akan meninggal akibat gagal fungsi hati dan komplikasi.

Gambar 5. Varises pada esofagus dan gaster.

12

Gambar 6. Hasil gambaran gastroscopy pada varises esofagus yang disertai dengan cherry-red spot

Bila penderita pulih dari perdarahan (baik secara spontan atau setelah pengobatan darurat), operasi pirau porta kaval harus dipertimbangkan. Pembedahan ini mengurangi tekanan porta (tekanan tinggi) dengan vena kava inferior (tekanan rendah). Pirau merupakan terapi drastis untuk komplikasi utama sirosis ini. Operasi ini memperkecil kemungkinan perdarahan esofagus selanjutnya, tetapi menambah resiko ensefalo hepatik. Harapan hidup penderita tidak bertambah karena masih ditentukan oleh perkembangan penyakit hati. Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu faktor penting yang mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik. Ensefalopati terjadi bila amonia dan zat zat toksik lain masuk dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein oleh bakteri pada saluran cerna. Ensefalopati hepatik akan terjadi bila darah tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung, pemberian pencahar dan enema, dan bila pemecahan protein darah oleh bakteri tidak dicegah dengan pemberian neomisin atau antibiotik sejenis. (Lindseth, 2002)

Patofisiologi Penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna adalah pecahnya varises esofagus. Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi dari sirosis hepatis. Sirosis ini menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta yang biasa disebut dengan hipertensi porta. Peningkatan
13

tekanan pada vena porta menyebabkan terjadinya aliran kolateral menuju vena gastrika sinistra yang pada akhirnya tekanan vena esofagus akan meningkat pula. Peningkatan tekanan pada vena esofagus ini menyebabkan pelebaran pada vena tersebut yang disebut varices esofagus. Varises esofagus ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan. Terjadinya perdarahan ini bergantung pada beratnya hipertensi porta dan besarnya varises. Darah dari pecahnya varises esofagus ini akan masuk ke lambung dan bercampur dengan asam klorida (HCL) yang terdapat pada lambung. Darah yang telah bercampur dengan asam clorida menyebabkan darah berwarna kehitaman. Jika darah ini dimuntahkan maka akan bermanifestasi sebagai hematemesis. Selain dimuntahkan, darah ini juga dapat bersama makanan masuk ke usus dan akhirnya keluar bersama feses yang menyebabkan feses berwarna kehitaman (melena). Hematemesis dan melena juga dapat ditemukan pada penyakit tukak peptik (ulcus pepticum). Mekanisme patogenik dari ulkus peptikum ialah destruksi sawar mukosa lambung yang dapat menyebabkan cedera atau perdarahan, dimana cedera tersebut nantinya akan menimbulkan ulkus pada lambung.

14

Asam dalam lumen + empedu, ASA, alkohol, lain-lain Penghancuran sawar epitel Asam kembali berdifusi kemukosa Penghancuran sel mukosa Pepsinogen Pepsin Asam Rangsang kolinergik Fungsi sawar Motilitas Pepsinogen Vasodilatasi Permeabilitas terhadap protein Plasma bocor ke lumen lambung Dan interstisium edema Histamin

Destruksi kapiler dan vena Perdarahan Ulkus

Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang merusak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar kapiler, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerusakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema, dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstisial dan perdarahan. Sama seperti varises esofagus, darah ini akan dapat bermanifestasi sebagai hematemasis dan atau melena.

15

Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas dapat berupa 1) anemia defisiensi besi dan 2) hematemesis dan atau melena. Jadi hematemesis dan atau melena adalah gejala klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas yang didasari oleh suatu penyakit primer, misalnya varises esophagus, ulkus peptikum, gastritis, dan lain-lain. Perdarahan pada varises esophagus tidak nyeri, onsetnya tiba-tiba, volumenya besar, disertai adanya bekuan darah, dan darah berwarna merah kehitaman. Perdarahan pada ulkus peptikum seringkali menimbulkan perdarahan dalam ukuran besar, tidak nyeri, kemungkinan perdarahan awal yang lebih kecil, disertai darah yang mengalami perubahan (coffee ground). Perdarahan pada gastritis biasanya merah terang dengan volume yang sedikit. Adanya penurunan berat badan mengarahkan dugaan ke keganasan. Diagnosis Anamnesis 1. Identitas pasien : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perkawinan, alamat, agama, suku. 2. Keluhan utama : Muntah darah (hematemesis) dan buang air besar berdarah (melena). 3. Riwayat penyakit sekarang : Pernahkah pasien muntah darah atau ada butiran kopi? Berapa banyak, berapa kali, dan sejak kapan pasien muntah? Apakah muntah pertama mengandung darah atau hanya yang berikutnya?

(Pertimbangkan kemungkinan perdarahan akibat robekan Mallory-Weiss karena robekan esofagus setelah muntah.) Berapa perkiraan jumlah darah yang keluar? Adakah gangguan pencernaan, nyeri dada, refluks asam, atau nyeri abdomen? Adakah lemah, nyeri kepala, berkeringat atau mual?

16

Adakah kehilangan darah per rektum atau melena (yang menunjukkan perdarahan gastrointestinal bagian atas)? Apakah darah tercampur atau terpisah dari tinja? Apakah tampak pada kertas toilet? Berapa perkiraan jumlah darah yang hilang? Adakah perubahan kebiasaan buang air besar? Adakah rasa nyeri saat defekasi? Adakah lendir? Adakah diare? Apakah ada demam? Demam biasanya tidak tinggi, tetapi suhu dapat mencapai 103o F (39,5o C).

Apakah pasien pingsan atau pusing, khususnya saat duduk/berdiri tegak? Rasa pusing yang dipengaruhi posisi tubuh. Penurunan kesadaran pada hematemesis atau melena menunjukkan perdarahan yang signifikan secara hemodinamik.

Adakah gejala yang menunjukkan anemia kronis (pucat, toleransi olahraga menurun, lelah, angina, sesak napas)?

Adakah nyeri abdomen (pertimbangkan ulkus)?

4. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat perdarahan sebelumnya, dispepsia, tukak/ulcer, cepat kenyang, anemia, penyakit hati kronis, misalnya hepatitis B atau C, sirosis (pertimbangkan varises). 5. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat keganasan usus, kolitis, sindrom Osler-Weber-Rendu (lesi di bibir), hemofilia atau telangiektasia hemoragik herediter. 6. Riwayat keracunan (intoksikasi) : Keracunan alkohol, obat bius 7. Kebiasaan : Riwayat konsumsi alkohol berlebihan (pertimbangkan gastritis, ulkus atau varises). 8. Riwayat konsumsi obat : Konsumsi aspirin dan OAINS (pertimbangkan ulkus peptikum), obat antikoagulan misalnya warfarin, atau Fe (menyebabkan tinja berwarna hitam). Pemeriksaan Fisik perdarahan

17

Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu, oliguria, penurunan kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein Pressure) meningkat. Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi portal (pecahnya varises esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti, venektasi dinding perut (caput medusa), asteriksis (flapping tremor).

Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia Tanda-tanda sindrom Peutz-Jegher : bintik-bintik coklat pada kulit muka dan mukosa pipi. Lesi-lesi telangiektasi yang berdenyut merupakan indikasi telangiektasi hemoragik herediter. Koagulopati : purpura, memar, epistaksis Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali, splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah. Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, distensi, atau massa. Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda ulkus peptikum, dan adanya hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan varises.

Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada feses.

Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah lengkap : Hb, Ht, golongan darah, jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, PT, APTT, morfologi darah tepi, fibrinogen, dan crossmatch jika diperlukan transfusi. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30 %. Pemeriksaan ureum dan kreatinin : Perbandingan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum dapat dipakai untuk memperkirakan asal perdarahan. Nilai puncak biasanya dicapai dalam 24-48 jam sejak terjadinya perdarahan. Normal perbandingannya adalah 20. Bila di atas 35, kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA). Di bawah 35, kemungkinan perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB). Azotemia sering terjadi pada perdarahan saluran cerna. Derajat azotemia tergantung pada jumlah darah yang hilang, lamanya perdarahan, dan derajat integritas fungsi ginjal. Azotemia terjadi tidak tergantung pada
18

penyebab perdarahan. BUN mempunyai kepentingan untuk menentukan prognosis. BUN sampai setinggi 30mg/100ml mempunyai prognosis yang baik. 50 70 mg/100 ml mempunyai mortalitas setinggi 33%. Nilai di atas 70 mg/100 ml mengakibatkan keadaan fatal. BUN = 2,14 x nilai ureum darah. Penentuan NH3 darah merupakan indikasi pada sirosis hepatis. Nilai yang meninggi dapat memberi petunjuk adanya koma hepatik. Pemeriksaan fungsi hati : AST (SGOT), ALT (SGPT), bilirubin, fosfatase alkali, gama GT, kolinesterase, protein total, albumin, globulin, HBSAg, AntiHBS. Tes guaiac positif : pemeriksaan darah samar dari feses masih dapat terdeteksi sampai seminggu atau lebih setelah terjadi perdarahan. Pemeriksaan elektrolit : kadar Na+, Cl-, K+. K+ bisa lebih tinggi dari normal akibat absorpsi dari darah di usus halus. Alkalosis hipokloremik pada waktu masuk rumah sakit menunjukan adanya episode perdarahan atau muntah-muntah yang hebat.

b. Endoskopi Endoskopi digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan sumber perdarahan, memungkinkan pengobatan endoskopik awal, informasi prognostik (seperti identifikasi stigmata perdarahan baru). Endoskopi dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah hematemesis berhenti.

c. Pemeriksaan radiologis Barium meal : dengan kontras ganda dilakukan pemeriksaan esofagus, lambung, dan doudenum untuk melihat ada tidaknya varises di daerah 1/3 distal esofagus, terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lambung, doudenum. Barium enema : untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian bawah. USG : untuk menunjang diagnosis hematemesis/melena bila diduga penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus karena secara tidak langsung memberi informasi tentang ada

19

tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi portal, keganasan hati, dengan cara yang non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah perdarahan akut berhenti. Arteriografi abdomen : untuk menentukan letak perdarahan, terutama pada penderita dengan perdarahan aktif. Juga berguna untuk mendeteksi lesi yang menyebabkan perdarahan. EKG, foto toraks : untuk identifikasi dini adanya penyakit jantung paru kronis, terutama pada pasien > 40 tahun.

Penatalaksanaan Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI PEGI PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik. 2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik. 3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang diperlukan. 4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah. 5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan. 6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya. (Adi, 2007)

A. PEMERIKSAAN AWAL

20

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi : 1) tekanan darah dan nadi 2) perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi 3) ada tidaknya akral dingin 4) kelayakan napas 5) tingkat kesadaran 6) produksi urin.

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda tanda sebagai berikut: 1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih dari 100x/menit. 2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih dari 20 mmHg. 3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit. 4. Akral dingin. 5. Kesadaran menurun. 6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: 1. Hematemesis. 2. Hematoskezia. 3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih. 4. Hipotensi persisten.
21

5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 1000 ml. (Adi, 2007)

B. STABILISASI HEMODINAMIK Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid dan pasang monitor CVP (central venous pressure). Tujuannya untuk memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.

Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Penderita dengan perdarahan 500 1000 cc perlu diberi infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pemberian transfusi darah dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: 1. Perdarahan pada kondisi hemodinamik tidak stabil (tanda tanda syok). 2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih. 3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30 %. 4. Terdapat tanda tanda oksigenasi jaringan yang menurun.

C. PEMERIKSAAN LANJUTAN Berdasarkan : 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik 3. Pemeriksaan Penunjang : laboratorium, endoskopis, radiologis
22

D. MEMBEDAKAN PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS ATAU BAWAH Perdarahan SCBA Manifestasi klinik pada umumnya Aspirasi nasogastrik Ratio ( BUN/kreatinin ) Auskultasi usus Hematemesis dan atau melena Berdarah Meningkat > 35 Hiperaktif Perdarahan SCBB

Hematokesia

Jernih < 35 Normal

E. DIAGNOSIS ETIOLOGI Menegakkan diagnosis etiologi dari perdarahan saluran cerna bagian atas dilakukan dengan Endoskopi gastrointestinal Radiologis dengan barium Radionuklir Angiografi

F. TERAPI Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis

Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah
23

perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.

Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.

Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 1 mg/menit/iv selama 20 60 menit dan dapat diulang tiap 3 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.

Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70 80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 24 jam atau sampai perdarahan berhenti;
24

ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 24 jam atau sampai perdarahan berhenti.

Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat obatan seperti antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.

Gambar 19. Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) (sumber dari: http://img.tfd.com/dorland/thumbs/tube_Sengstaken-Blakemore.jpgA; http://img.tfd.com/dorland/tamponade_esophagogastric.jpgB)

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemonia aspirasi, laserasi sampai perforasi.
25

Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat. (Adi, 2007)

Gambar 20. Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube) (sumber dari: http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au/five/images/sbtube2.jpg)

Komplikasi Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan.

26

Prognosis Pada umumnya penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang buruk/terganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Hasil penelitian Hernomo menunjukan bahwa angka kematian penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas dipengaruhi oleh faktor kadar Hb waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang, keadaan hati, seperti ikterus, ensefalopati dan golongan menurut kriteria Child.

Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan saluran cerna bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah terjadinya sirosis hati.

27

TINJAUAN PUSTAKA HEPATITIS B Definisi Hepatitis B Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Infeksi virus Hepatitis B suatu infeksi sistemik yang menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati yang mengakibatkan terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan morfologik.

Etiologi Hepatitis B Hepatitis B adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB), suatu Virus DNA bercangkang ganda yang memiliki ukuran 42 nm, anggota famili Hepadnavirus dengan masa inkubasi 26-160 hari dengan rata-rata 70-80 hari. 6 Agen Penyebab Hepatitis B : 4 Virus DNA hepatotropik, Hepadnaviridae Terdiri atas 6 genotipe (A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respons terhadap terapi 42 nm partikel sferis dengan : Inti nukleokapsid, densitas elektron, diameter 27 nm Selubung luar lipoprotein dengan ketebalan 7 nm

Inti HBV mengandung, ds DNA partial (3,2 kb) dan: Protein polimerase DNA dengan aktivitas reverse transcriptase Antigen hepatitis B core (HbcAg), merupakan protein struktural Antigen Hepatitis B e (HbeAg), protein non struktural yang berkorelasi secara tidak sempurna dengan replikasi aktiv HBV
28

Selubung lipoprotein HBV mengandung: Antigen permukaan hepatitis B (HbsAg), dengan tiga selubung protein: utama, besar,dan menengah. Lipid minor dan komponen karbohidrat HbsAg dalam bentuk partikel non infeksius dengan bentuk sferis 22 nm atau tubular

Satu serotipe utama dengan banyak subtipe berdasarkan keanekaragaman protein HbsAg Virus HBV mutan merupakan konsekuensi kemampuan proof reading yang terbatas dari reverse transcriptase atau munculnya resistensi. Hal tersebut meliputi: HbeAg negative mutasi precore/core Mutasi yang diinduksi oleh vaksin HBV Mutasi YMMD oleh karena lamivudin

Hati merupakan tempat utama replikasi di samping tempat lainnya.

Epidemiologi dan Faktor Resiko Hepatitis B 4 Virus Hepatitis B (VHB) Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari) Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus, dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten Infeksi persisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati Distribusi diseluruh dunia: Prevalensi karier di USA <1% di Asia 5-15% HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh lain Cara transmisi Melalui darah: penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah Transmisi seksual Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur dan silet, tato, akupuntur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant Tidak ada bukti penyebaran fekal-oral
29

Infeksi HBV merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati di seluruh dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulauan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan lembah Amazon. Infeksi HBV Tidak terlalu endemis di daerah Amerika Serikat, dan infeksi terutama terjadi pada usia dewasa. CDC memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh HBV setiap tahunnya. Hanya sekitar 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit yang fulminan. Perkiraan jumlah karier di Amerika Serikat adalah sekitar 800.000 hingga 1 juta orang. Sekitar 25% dari karier ini berkembang menjadi hepatitis kronik aktif, yang seringkali berlanjut menjadi sirosis. Selain itu, risiko berkembangnya kanker primer di hati juga meningkat secara bermakna pada karier. Diperkirakan 24 hingga 40% penderita HBV akut sangat berisiko mengalami sirosis dan karsinoma hepatoselular.7 II.5.4 Patologi Hepatitis B Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi, pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat.1

Gejala Klinis Hepatitis B Hepatitis B Akut Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam empat (4) tahap yang timbul sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu: 1. Masa Inkubasi

30

Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat penularan infeksi dan saat timbulnya gejala/ikterus, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75 hari. Panjangnya masa inkubasi tergantung dari dosis inokolum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis virus yang ditularkan, makin pendek masa inkubasi. 2. Fase Prodormal Fase ini adalah waktu antara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala dan ikterus. Keluhan yang sering terjadi seperti: malaise, rasa lemas, lelah, anoreksia, mual, muntah, terjadi perubahan pada indera perasa dan penciuman, panas yang tidak tinggi, nyeri kepala, nyeri otot-otot, rasa tidak enak/nyeri di abdomen, dan perubahan warna urine menjadi coklat, dapat dilihat antara 1-5 hari sebelum timbul ikterus, fase prodormal ini berlangsung antara 3-14 hari. 3. Fase Ikterus Dengan timbulnya ikterus, keluhan-keluhan prodormal secara berangsur akan berkurang, kadang rasa malaise, anoreksia masih terus berlangsung, dan nyeri abdomen kanan atas bertambah. Untuk deteksi ikterus, sebaliknya dilihat pada sklera mata. Lama berlangsungnya ikterus dapat berkisar antara 1-6 minggu. 4. Fase Penyembuhan Fase penyembuhan diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan-keluhan, walaupun rasa malaise dan cepat lelah kadang masih terus dirasakan, hepatomegali dan rasa nyerinya juga berkurang. Fase penyembuhan lamanya berkisar antara 2-21 minggu.

Hepatitis B Kronik Hepatitis B kronik didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga (3) fase penting yaitu: 1. Fase Imunotoleransi Pada anak-anak atau pada dewasa muda, sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Pada fase ini, VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi. 2. Fase Imunoaktif (Fase clearance)
31

Pada sekitar 30% individu dengan persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi Alanine Amino Transferase (ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. 3. Fase Residual Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HbsAg rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan anti Hbe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal. Penderita infeksi VHB kronis dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1. Pengidap HbsAg positif dengan HbeAg positif Pada penderita ini sering terjadi kenaikan ALT (eksaserbasi) dan kemudian penurunan ALT kembali (resolusi). Siklus ini terjadi berulang-ulang sampai terbentuknya anti Hbe. Sekitar 80% kasus pengidap ini berhasil serokonversi anti Hbe positif, 10% gagal serokonversi namun ALT dapat normal dalam 1-2 tahun, dan 10% tetap berlanjut menjadi hepatitis B kronik aktif. 2. Pengidap HbsAg positif dengan anti Hbe positif Prognosis pada pengidap ini umumnya baik bila dapat dicapai keadaan VHB DNA yang selalu normal. Pada penderita dengan VHB DNA yang dapat dideteksi diperlukan perhatian khusus oleh karena mereka berisiko menderita kanker hati. 3. Pengidap hepatitis B yang belum terdiagnosa dengan jelas Kemajuan pemeriksaan yang sangat sensitif dapat mendeteksi adanya HBV DNA pada penderita dengan HbsAg negatif, namun anti HBc positif.

Hepatitis B Carrier Hepatitis B carrier adalah individu dengan HbsAg positif yang tidak menunjukkan keluhan dan tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit hati dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil tes fungsi hati yang normal. Karena penyakit hati akibat infeksi VHB umumnya tidak banyak gejala dan tes fungsi hati sering tidak dapat menunjukkan penyakit hati,

32

maka penderita hepatitis B carrier adalah individu yang sebenarnya menderita VHB yang tidak terdeteksi secara fisik maupun laboratorik.

Pemeriksaan Hepatitis B Hepatitis Akut Level ALT dan AST yang meningkat (1000-2000 IU/ml). Nilai yang lebih tinggi ditemukan pada pasien hepatitis dengan ikterik. Biasanya ALT lebih tinggi daripada AST. Terdapat peningkatan level Alkaline Phosphatase, tetapi biasanya tidak lebih dari 3 kali batas atas normal. Level albumin dapat mengalami sedikit penurunan, dan level serum iron dapat mengalami peningkatan. Pada periode preicteric sering ditemukan leukopenia, limfositosis, dan peningkatan LED. Beberapa penanda serologi adalah didapatkannya HbsAg dan HbeAg pada permulaan yang diikuti dengan HBc Ab (IgM). Pada pasien yang membaik ditemukan serokonvensi HbsAb dan HbeAb serta IgG HbcAb. Pasien dengan HbsAg yang menetap lebih dari 6 bulan berkembang menjadi hepatitis kronik.

Hepatitis Kronik Inaktif Level AST dan ALT normal, dan penanda infectivitas (HbeAg dan HBV DNA) negatif. Pada serum dapat ditemukan HbsAG, IgG HbcAb, dan HbeAb.

Hepatitis Kronik Aktif Ditemukan peningkatan aminotransferase ( 5 kali batas atas normal). Level ALT > AST. Peningkatan yang tinggi level ALT didapatkan pada saat terjadi eksaserbasi atau reaktivitas penyakit yang biasanya disertai gangguan fungsi hati (penurunan level

33

albumin, peningkatan level bilirubin dan peningkatan PT). Ditemukan level HBV DNA yang tinggi. Pada serum ditemukan HbsAg dan HbcAb (IgM/IgG). AST > ALT.

Pemeriksaan HBV DNA (Rekomendasi PAPDI 2007) Pemeriksaan HBV DNA tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis awal Pemeriksaan HBV DNA sebagai tanda keberhasilan terapi menggunakan metode yang dapat mendeteksi kadar virus sampai dengan < 104 kopi/mL Biopsi hati tidak harus dilakukan untuk penilaian awal maupun hasil pengobatan antivirus pada hepatitis B kronik

Menurut WHO (1994) untuk mendeteksi virus hepatitis digolongkan dengan tiga (3) cara yaitu: Cara Radioimmunoassay (RIA), Enzim Linked Imunonusorbent Assay (ELISA), imunofluorensi mempunyai sensitifitas yang tinggi. Untuk meningkatkan spesifisitas digunakan antibodi monoklonal dan untuk mendeteksi DNA dalam serum digunakan probe DNA dengan tekhnik hibridasi. Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah metode Elisa. Metode Elisa digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan pada hati melalui pemeriksaan enzimatik. Enzim adalah protein dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel hidup umumnya terdapat dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim dengan penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan sel dan peninggian permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruangan ekstra sel, keadaan inilah yang membantu diagnosa dalam mengetahui kadar enzim tersebut dalam darah. Penderita hepatitis B juga mengalami peningkatan kadar bilirubin, kadar alkaline fosfat. Pemeriksaan enzim yangsering dilakukan untuk mengetahui kelainan hati adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT (Serum Glutamic Pirivuc Transaminase dan Serum Glutamic Oksalat Transaminase). Pemeriksaan SGPT lebih spesifik untuk mengetahui kelainan hati karena jumlah SGPT dalam hati lebih banyak daripada SGOT. Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT 10-20 kali dari normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L. Pada hepatitis kronis kadar SGPT meningkat 5-10 kali dari normal.

34

Berikut ini adalah berbagai macam pertanda serologik infeksi VHB yaitu: 1) HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen) Yaitu suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB. HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap infeksi VHB. 2) Anti-HBs Antibodi terhadap HBsAg. Antibodi ini baru muncul setelah HBsAg menghilang. Anti HBsAg yang positif menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal terhadap infeksi VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakukan imunisasi hepatitis B. 3) Anti HBc Antibodi terhadap protein core. Antibodi ini pertama kali muncul pada semua kasus dengan infeksi VHB pada saat ini (current infection) atau infeksi pada masa yang lalu (past infection). Anti HBc dapat muncul dalam bentuk IgM anti HBc yang sering muncul pada hepatitis B akut, karena itu positif IgM anti HBc pada kasus hepatitis akut dapat memperkuat diagnosis hepatitis B akut. Namun karena IgM anti HBc bisa kembali menjadi positif pada hepatitis kronik dengan reaktivasi, IgM anti HBc tidak dapat

dipakai untuk membedakan hepatitis akut dengan hepatitis kronik secara mutlak. 4) HBeAg Semua protein non-struktural dari VHB (bukan merupakan bagian dari VHB) yang disekresikan ke dalam darah dan merupakan produk gen precore dan gen core. Positifnya HBeAg merupakan petunjuk adanya aktivasi replikasi VHB yang tinggi dari seorang individu HBsAg positif. 5) Anti HBe Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi VHB. Positifnya anti Hbe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase non replikatif. 6) DNA VHB Positifnya DNA VHB dalam serum menunjukkan adanya partikel VHB yang utuh dalam tubuh penderita. DNA VHB adalah pertanda jumlah virus yang paling peka.

Apabila penderita sudah terbukti menderita VHB, maka setiap penderita sebaiknya melaporkan diri ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk dilakukan penanganan khusus,
35

karena mereka dapat menularkan penyakitnya. Diberi pengawasan terhadap penderita agar sembuh sempurna ketika di rawat di rumah sakit.

Diagnosis Banding Hepatitis B Hepatitis alkoholik, abses hepar amoeba, hepatitis autoimun, hepatitis non B.

Penatalaksanaan Hepatitis B Hepatitis Virus Akut Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang paling dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.7

Hepatitis B Kronik Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu:4 Kelompok imunomodulasi 1. Interferon 2. PEG interferon Kelompok terapi antivirus 1. Lamivudin 2. Adenovir dipivoksil 3. Entecavir Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah terjadinya liver injury dengan cara menekan replikasi virus tersebut. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya pertanda replikasi virus yang aktif dan menetap (HbeAg dan HBV DNA)

Terapi imunomodulator 1. Interferon (IFN) alfa


36

IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik denngan HBeAg positif, dengan aktifitas penyakit ringan sampai sedang yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN adalah menurunkan replikasi virus. Efek antivirus kemungkinan sekali akibat interferon mengikat pada reseptor khusus di permukaan sel yang kemudian reaksinya menghambat atau mengganggu proses uncoatin, RNA transcription, protein synthesis dan assembly virus.8 Efek samping IFN: - Gejala seperti flu - Tanda-tanda supresi sumsum tulang - Depresi - Rambut rontok - Berat badan turun - Gangguan fungsi tiroid Dosis IFN untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg negatif sebaiknya diberikan selama 12 bulan. Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat. 2. PEG Interferon Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa IFN dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN biasa. Dari hasil penelitian Lau et al dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil kombinasi (serokonversi HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA dan supresi HBsAg), penginterferon memberikan hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.

Terapi antivirus 1. Lamivudin Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transcriptase yang berfungsi dalam transkrip balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi.
37

Karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan covalent closed circulation (cccDNA). Karena itu setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali seperti semula karena sel-sel yang terinfeksi akan memproduksi virus baru lagi. Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat, jika diberikan dalam dosis 100mg/hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengobatan lamivudin selama 1 tahun telah terjadi perbaikan derajat nekroinflamasi serta penurunan progresi fibrosis yang bermakna. Suatu penelitian yang dilakukan pada 154 orang pasien sirosis yang mendapat lamivudin menunjukkan bahwa pasien dengan sirosis yang relative lebih ringan mendapat manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien sirosis berat. Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang. Karena itu strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka panjang. Sayangnya, strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin, yang biasa disebut YMMD. Mutant tersebut akan meningkat 20% tiap tahunnya bila terapi lamivudin diteruskan.

Efek samping lamivudin: - >10% Central nervous system: Headache (21-35%), fatigue (24-27%), insomnia (11%) - Gatrointestinal: Nausea (15-33%), diarrhea (14-18%), pancreatitis (range: 0.3-18%; higher percentage in pediatric patients), abdominal pain (9-16%), vomiting (13-15%) - Hematologi: Neutropenia (7-15%) - Hepatic: Transaminases increased (2-11%) - Neuromuscular & skeletal: Myalgia (8-14%), neuropathy (12%),

musculoskeletal pain (12%) - Respiratory: Nasal signs and symptoms (20%), cough (18%), sore throat (13%) - Miscellaneous Infection (25%; includes ear, nose, and throat)
38

1-10%: - Central nervous system: Dizziness (10%), depression (9%), fever (7-10%), chills (7-10%) - Dermatologic: Rash (5-9%) - Gastrointestinal: Anorexia (10%), lipase increased (10%), abdominal cramps (6%), dyspepsia (5%), amylase increased (<1-4%), heartburn - Hematologic: Thrombocytopenia (1-4%), hemoglobinemia (2-3%) - Neuromuscular & skeletal: Creatine phosphokinase increased (9%), arthralgia (5-7%) - <1% (Linited to important or life-threatening): Alopecia anaphylaxis, anemia, body fat redistribution, hepatitis B exacerbation, hepatomegaly, hyperbilirubinemia, hyperglycemia, immune reconstitution syndrome, latic acidosis, lymphadenopathy, muscle weakness, parasthesia, peripheral neuropathy, pruritus, red cell aplasia, rhabdomyolysis, splenomegaly, steatosis, stomatitis, urticaria, weakness, wheezing. Keuntungan dan kerugian lamivudin: - Keuntungan: Keamanan, toleransi pasien serta harga yang relatif murah. - Kerugian: Sering timbul kekebalan. 2. Adefovir Dipivoksil Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP). Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/ hari oral paling tidak selama satu tahun.9 Keuntungan dan kerugian adefovir: - Keuntungan: Jarang terjadi kekebalan. - Kerugian: Toksisitas terhadap ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30mg atau lebih, harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai keamanan dan khasiat dalam jangka yang sangat panjang.

3. Entecavir

39

Entecavir

adalah

Antiretroviral

Agent,

Reverse

Trnscriptase

Inhibitor

(Nucleoside), mekanisme khasiat entecavir hampir sama dengan lamivudin dan adefovir dipivoksil. Mekanisme aksi entecavir merupakan analog inhibitor guanosin yang berkompetisi dengan substrat natural deoxyguanosine triphosphate yang secara efektif menghambat aktivitas polimerase virus hepatitis sehingga mengurangi sintesis DNA virus. Dosis untuk terapi hepatitis B kronik adalah 0,5 mg per hari, sedangkan pada penderita yang resisten terhadap lamivudin menggunakan dosis 1 mg per hari diberikan pada perut kosong (2 jam sebelum atau setelah makan). Efek samping entecavir: - >10% peningkatan alanin aminotransferase (ALT/SGPT) - CNS: Pusing (2-4%), fatigue (1-3%) - Endokrin dan metabolik: Hiperglikemia (2%) - Gastrointestinal: Peningkatan lipase (7-8%), diarrhea (1%), dispepsia (1%) - Hepatik: Peningkatan AST (5%), peningkatan bilirubin (1-2%) - Renal: Hematuria (9%), glycosuria (4%), peningkatan creatinine (1-2%) - <1% : Dizziness, hypoalbuminemia, insomnia, nausea, somnolence, thrombocytopenia, vomiting

Keuntungan dan kerugian entacavir: - Keuntungan: Jarang terjadi kekebalan, dapat digunakan pada pasien yang kebal pada lamivudin. - Kerugian: Harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai keamanan dan khasiat dalam jangka yang sangat panjang. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa entecavir lebih efektif dari pada lamivudin, entecavir dapat digunakan pada pasien yang resisten lamivudin, dan keuntungan lainnya adalah efek samping pada entecavir lebih sedikit dibandingkan lamivudin.

Komplikasi Hepatitis B

40

Nekrosis hati akut/subakut, hepatitis kronik, sirosis, gagal hati, dan karsinoma hepatoseluler.10 Sejumlah kecil pasien (kurang dari 1%) memperlihatkan kemunduran klinis yang cepat setelah awitan ikterus akibat hepatitis fulminan dan nekrosis hati masif. Hepatitis fulminan ditandai dengan gejala dan tanda gagal hati akut yaitu penciutan hati, kadar bilirubin serum meningkat cepat, pemanjangan waktu protrombin yang sangat nyata, dan koma hepatikum. Prognosis adalah kematian pada 60 hingga 80% pasien ini. Kematian dapat terjadi dalam beberapa hari pada sebagian kasus dan yang lain dapat bertahan selama beberapa minggu bila kerusakan tidak begitu parah. HBV merupakan penyebab 50% kasus hepatitis fulminan, dan sering disertai HDV.7 Komplikasi hepatitis virus yang paling sering dijumpai adalah perjalanan penyakit yang panjang hingga 2 sampai 8 bulan, keadaan ini dikenal sebagai hepatitis kronik persisten, dan terjadi pada 5% hingga 10% pasien. Akan tetapi meskipun terlambat, pasien-pasien hepatitis kronik persisten akan sembuh kembali.7 Pasien Hepatitis virus sekitar 5% akan mengalami kekambuhan setelah serangan awal. Kekambuhan biasanya dihubungkan dengan individu berada dalam resiko tinggi misalnya penyalahgunaan zat, dan penderita karrier (kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik) yang berlebihan. Ikterus biasanya tidak terlalu nyata dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan kelainan dalma derajat yang sama. Tirah baring biasanya akan segera di ikuti penyembuhan. 7 Setelah hepatitis virus akut, sejumlah kecil pasien akan mengalami hepatitis agresif atau kronis aktif bila terjadi kerusakan hati seperti digerogoti (piece meal) dan terjadi sirosis. Kondisi ini dibedakan dari hepatitis kronis persisten melalui pemeriksaan biopsi hati. Terapi kortikostreroid dapat memperlambat perluasan cedera hati, namun prognosisnya tetap buruk. Kematian biasanya terjadi dalam 5 tahun pada lebih dari separuh pasien-pasien ini akibat gagal hati atau komplikasi sirosis. Proporsi pada penderita HBV sekitar 1 sampai 3% yang mengalami komplikasi ini setelah pengobatan berhasil.7 Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari hepatitis yang cukup bermakna adalah perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun tidak sering ditemukan, selain itu juga adanya kanker hati yang primer. Dua faktor penyebab utama yang berkaitan dengan patogenesisnya adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan sirosis terkait dengan virus hepatitis C dan infeksi kronik yang telah dikaitkan pula dengan kanker hati primer. 7
41

Prognosis Hepatitis B Sangat bervariasi; pada sebagian kasus, penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimia terjadi secara spontan dalam 1-3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronik aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimia, pasien tetap asimptomatik dan jarang terjadi kegagalan hati.11 Menurut WHO (2005) infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok, ternyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis karena transfusi (B dan C) meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan hepatitis A meninggal dunia. Diseluruh dunia ada satu diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia.

Pencegahan Hepatitis B Pencegahan pada Hepatitis B Virus (HBV) adalah sebagai berikut:4 1. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan a) Vaksin rekombinan ragi - Mengandung HBsAg sebagai imunogen. - Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HBsAg pada >95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis. - Efektifitas sebesar 85-95% dalam mencegah infeksi HBV. - Efek samping utama: 1. Nyeri sementara pada tempat suntika (10-25%), 2. demam ringan dan singkat pada <3%. - Booster tidak direkomendasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi awal. - Booster hanya untuk individu dengan imunokompromais jika titer di bawah 10 mU/mL. - Peran imunoterapi untuk pasien hepatitis B kronik sedang dalam penelitian. b) Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak (1/2 dosis dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian.
42

c) Indikasi - Imunisasi universal untuk bayi baru lahir. - Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun (bila belum di vaksinasi). - Grup risiko tinggi: 1. Pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepatitis B, 2. Pekerja kesehatan dan pekerja yang terpapar darah, 3. IVDU, 4. Homoseksual dan biseksual pria, 5. Individu dengan banyak pasangan seksual, 6. Resipien transfusi darah, 7. Pasien hemodialisis, 8. Sesama narapidana, dan 9. Individu dengan penyakit hati yang sudah ada (misal hepatitis C kronik).

2. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIG) Indikasi: Kontak seksual dengan individu yang terinfeksi hepatitis akut: 1) Dosis 0,04-0,07 mL/kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan, 2) Vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada deltoid sisi lain, 3) Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HBsAg positif: 1) Setengah mili liter HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di bagian anterolateran otot paha atas, 2) Vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam pada sisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan, 3) Efektifitas perlindungan melampaui 95%. Rekomendasi Umum4 Pasien dapat dirawat jalan selama terjamin hidrasi dan intake kalori yang cukup.
43

Tirah baring tidak lagi disarankan kecuali bila pasien mengalami kelelahan yang berat. Tidak ada diet yang spesifik atau suplemen yang memberikan hasil efektif. Protein dibatasi hanya pada pasien yang mengalami ensefalopati hepatik. Selama fase rekonvalesen diet tinggi protein dibutuhkan untuk proses penyembuhan. Alkohol harus dihindari dan pemakaian obat-obatan dibatasi. Obat-obat yang dimetabolisme di hati harus dihindari akan tetapi bila sangat diperlukan dapat diberikan dengan penyesuain dosis. Pasien diperiksa tiap minggu selama fase awal penyakit dan terus evaluasi sampai sembuh. Harus terus dimonitor terhadap kejadian ensefalopati seperti kesadaran somnolen, mengantuk, dan asteriks. Masa protrombin serum merupakan petanda yang baik untuk menilai dekompensasi hati dan menentukan saat yang tepat untuk dikirim ke pusat transplantasi.

Memonitor konsentrasi transaminase serum tidak membantu dalam hal menilai fungsi hati pada keadaan hepatitis fulminan karena konsentrasinya akan turun setelah terjadi kerusakan sel hati masif.

Anti mual muntah dapat membantu menghilangkan keluhan mual. Pasien yang menunjukkan gejala hepatitis fulminan harus segera dikirim ke pusat transplantasi. Trnsplantasi hati bisa merupakan prosedur penyelamatan hidup untuk pasien yang mengalami dekompensasi setelah serangan akut hepatitis. Pasien dengan hepatitis akut tidak memerlukan perawatan isolasi. Orang yang merawat pasien hepatitis akut A dan E harus selalu mencuci tangannya dengan sabun dan air. Orang yang kontak erat dengan pasien hepatitis B akut seharusnya menerima vaksin hepatitis B.

44

Daftar Pustaka

1. Siregar, FA., 2003., Hepatitis B ditinjau dari kesehatan masyarakat dan upaya pencegahan. Fakultas Kesehatan masyarakat. Universitas Sumatera Utara. 2. Suprayitno, A., Putra, SE., Microsphere Drug Delivery untuk hepatitis B (diakses pada 1, Januari 2009) www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=97 3. Hadi, S., 2002., Gastroenterologi. Edisi 7., Penerbit alumni., bandung. 4. Sudoyo Aru W, dkk., 2009., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I., Interna Publishing., Jakarta. 5. Guyton, dan Hall., 2007., Hati Sebagai Organ. Dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC., Jakarta. 6. Harnawatiaj., Hepatitis (diakses pada 1, Januari 2009) http://harnawatiaj.wordpress.com/author/harnawatiaj/ 7. Price, Sylvia A., Lorraine M Wilson., 2006., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6., EGC., Jakarta. 8. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W., 1999., Hepatitis kronik (Hepatologi) dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilis 1. 515-516., Penerbit Media Aesculapius., Jakarta.
45

9. Fung YM., Lai CL. Current and future antiviral agents for chronic hepatitis B. J. Antimicrob Chemotherapy 2003 : 51 : 481-85. 10. Buggs, A. M.: Hepatitis dalam http://www.emedicine.com/emerg/topic244.htm. Last updated: June 16, 2004. 11. Abdurachman, S. A., 1996., Hepatitis Virus Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid 1. 269-70., Balai Penerbit FKUI., Jakarta.

46

Anda mungkin juga menyukai