Anda di halaman 1dari 16

Kelompok : Andika Kurniawan ( ME 1C / 04 ) Teguh Prastya ( ME 1C / 19 )

PENDAHULUAN Pada era globalisasi ini yang penuh dengan pembangunan di sector industri serta bidang-bidang lainnya, tentunya pembangunan itu membutuhkan suatu bahan logam yang cukup baik , entah itu sifat fisik maupun mekanisnya. Namun sifat fisik maupun mekanik dari logam tidaklah dengan mudah ditemukan . Oleh karena itu, perlu diberikan terlebih dahulu suatu perlakuan khusus, sehingga dapat menghasilkan suatu logam yang sesuai dengan yang diinginkan . Perlakuan yang diberikan logam antara lain adalah perlakuan panas atau Heatreatment, yang merupakan suatu proses perlakuan terhadap logam yang diinginkan dengan cara memberikan pemanasan dan kemudian dilakukan pendinginan dengan media pendingin tertentu, sehingga sifat fisiknya dapat diubah sesuai dengan yang diinginkan.

Teori Dasar A. Pengertian Heat Treatment Heat Treatment ( perlakuan panas ) adalah salah satu proses untuk mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan specimen pada elektrik terance ( tungku ) pada temperature rekristalisasi selama periode waktu tertentu kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, faram, oli dan solar yang masing-masing mempunyai kerapatan pendinginan yang berbeda-beda. Sifat-sifat logam yang terutama sifat mekanik yang sangat dipengaruhi oleh struktur mikrologam disamping posisi kimianya, contohnya suatu logam atau paduan akan mempunyai sifat mekanis yang berbeda-beda struktur mikronya diubah. Dengan adanya pemanasan atau pendinginan dengan kecepatan tertentu maka bahan-bahan logam dan paduan memperlihatkan perubahan strukturnya. Perlakuan panas adalah proses kombinasi antara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat untuk mendaratkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperature sangat menetukan. B. Proses-proses Heat Treatment Ada beberapa proses-proses pada perlakuan pada Heat Treatment yaitu sebagai berikut: 1. Quenching ( pengerasan ) Proses quenching atau pengerasan adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan kehomogenan ini maka audtenit perlu waktu pemanasan yang cukup. Selanjutnya secara cepat baja tersebut dicelupkan ke dalam media pendingin, tergantung pada kecepatan pendingin yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan baja. Ini mencegah proses suhu rendah, seperti transformasi fase, dari terjadi hanya menyediakan jendela sempit waktu di mana reaksi ini menguntungkan kedua termodinamika dan kinetis diakses, dapat mengurangi kristalinitas dan dengan demikian meningkatkan ketangguhan dari kedua paduan dan plastik (dihasilkan melalui polimerisasi). Pada waktu pendinginan yang cepat pada fase austenit tidak sempat berubah menjadi ferit atau perlit karena tidak ada kesempatan bagi atom-atom karbon yang telah larut dalam austenit untuk mengadakan pergerakan difusi dan bentuk sementit oleh karena itu terjadi fase lalu yang mertensit, imi berupa fase yang sangat keras dan bergantung pada keadaan karbon. 2. Anneling Proses anneling atau melunakkan baja adalah prose pemanasan baja di atas temperature kritis ( 723 C )selanjutnya dibiarkan bebrapa lama sampai temperature merata disusul dengan pendinginan secara perlahan-lahan sambil dijaga agar temperature bagian luar dan dalam kira-kira sama hingga diperoleh struktur yang diinginkan dengan menggunakan media pendingin udara.

Tujuan proses anneling : 1. 2. 3. Melunakkan material logam Menghilangkan tegangan dalam Memperbaiki butir-butir logam.

3. Normalizing Normalizing adalah suatu proses pemanasan logam hingga mencapai fase austenit yang kemudian diinginkan secara perlahan-lahan dalam media pendingin udara. Hasil pendingin ini berupa perlit dan ferit namun hasilnya jauh lebih mulus dari anneling. Prinsip dari proses normalizing adalah untuk melunakkan logam. Namun pada baja karbon tinggi atau baja paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak. Mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon.

4. Tempering Proses tempering adalah pemanasan baja sampai temperature sedikit di bawah temperature kritis, kemudian didiamkan dalam tungku dan suhunya dipertahankan sampai merata selama 15 menit. Selanjutnya didinginkan dalam media pendingin. Jika kekerasan turun, maka kekuatan tarik turun pula. Dalamhal ini keuletan dan ketangguhan baja akan meningkat. Meskipun proses ini akan menghasilkan baja yang lebih lemah. Proses ini berbeda dengan anneling karena dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon. Tempering dibagi dalam: a. Tempering pada suhu rendah (150-300C). Tujuannya hanya untuk mengurangi tegangan tegangan kerut dan kerapuhan dari baja. Proses ini digunakan untuk alat alat kerja yang tidak mengalami beban yang berat, seperti misalnya alat alat potong mata bor yang dipakai untuk kaca dan lain lain. b. Tempering pada suhu menengah (300-500C) Tujuannya menambah keuleatan dan kekerasannya menjadi sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat alat kerja yang mengalami beban berat seperti palu, pahat, pegas pegas(Mustofa Ahmad Ary,2006) c. Tempering pada suhu tinggi (500-650C) Tujuannya untuk memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasan menjadi agak rendah. Proses ini digunakan pada roda gigi, poros, batang penggerak dan lain lain

C. Jenis- jenis Pengerasan permukaan 1. Karburasi Cara ini sudah lama dikenaloleh orang sejak dulu. Dalam cara ini, besi dipanaskan di atas suhu dalam lingkungan yang mengandung karbon, baik dalan bentuk padat, cair ataupun gas. Beberapa bagian dari cara kaburasi yaitu kaburasi padat, kaburasi cair dan karburasi gas. 2. Karbonitiding Suatu proses pengerasan permukaan dimana baja dipanaskan di atas suhu kritis di dalam lingkungan gas dan terjadi penyerapan karbon dan nitrogen. Keuntungan karbonitiding adalah kemampuan pengerasan lapisan luar meningkat bila ditambahkan nitrogen sehingga dapat dimanfaatkan baja yang relative murah ketebalan lapisan yang tahan antara 0,80 sampai 0,75 mm. 3. Cyaniding Proses dimana terjadi absobsi karbon dan nitrogen untuk memperoleh specimen yang keras pada baja karbon rendah yang sulit dikeraskan. Proses ini tidak sembarang dilakukan dengan sembarang .Penggunaan closedpot dan hood ventilasi diperlukan untuk cyaniding karena uap sianida yang terbentuk sangat beracun. 4. Nitriding Adalah proses pengerasan permukaan yang dipanaskan sampai 510c dalam lingkungan gas ammonia selama beberapa waktu. Metode pengerasan kasus ini menguntungkan karena fakta bahwa kasus sulit diperoleh dari pada karburasi. Banyak bagian-bagian mesin seperti silinder barrel and gear dapat dikerjakan dengan cara ini. Proses ini melibatkan theexposing dari bagian untuk gas amonia atau bahan nitrogen lainnya selama 20 sampai 100 jam pada 950 F. The inwhich kontainer pekerjaan dan gas Amoniak dibawa dalam kontak harus kedap udara dan mampu mempertahankan suhu sirkulasi andeven.

D. Faktor- faktor yang mempengaruhi laju pendinginan media pendingin 1. Densitas

semakin tinggi densitas suatu media pendingin, maka semakin cepat proses pendinginan oleh media pendingin tersebut. 2. Viskositas

Semakin tinggi viskositas suatu media pendingin, maka laju pendinginan semakin lambat, Viskositas adalah sebuah ukuran penolakan sebuah fluid terhadap perubahan bentuk di bawah tekanan shear. Biasanya diterima sebagai "kekentalan", atau penolakan terhadap penuangan. Viskositas menggambarkan penolakan dalam fluid kepada aliran dan dapat dipikir sebagai sebuah cara untuk mengukur gesekan fluid. Air memiliki viskositas rendah, sedangkan minyak sayur memiliki viskositas tinggi. 3. Koefisien Perpindahan panas Semakin tinggi koefisien perpindahan panas yang terjadi, maka panas yang mengalir dari benda kerja akan semakin besar pula, sehingga kecepatan pendinginan lebih besar 4. Perubahan Suhu Semakin kecil suhu media pendingin (udara, air, oli, garam, dll) maka kecepatan pendinginan semakin cepat karena panas pada specimen akan lebih cepat mengalir ke suhu media pendingin yang lebih kecil.

H. Unsur Paduan 1. Karbon Larut dalam ferrite Pembentukan sementit (dan karbida lainnya), perlit, bainit. % C dan distribusinya mempengaruhi sifat baja. Kekuatan dan kekerasan meningkat dengan naiknya % C.

Pada baja karbon biasanya kekuatan dan kekerasannya meningkat sebanding dengan kekuatan karbonnya, tetapi kekuatannya menurun dengan naiknya kadar karbon. Persentase kandungan karbon akan memberikan sifat lain pada baja karbon di antaranya: Kemampuan untuk dibentuk Diperkeras Diolah mesin

Kemampuan untuk di las

2.

Mangan (Mn)

Bahan oksidiser (mengurangi O dalam baja), menurunkan kerentanan hot shortness pada aplikasi pengerjaan panas Larut, membentuk solid solution strength dan hardness Dengan S membentuk Mangan Sulfida, meningkatkan sifat pemesinan (machineability). Meningkatkan kekuatan dan kekerasan meski tidak sebaik C. Menurunkan sifat mampu las (weldability) dankeuletannya. Meningkatkan hardenability baja.

Mengan berfungsi untuk memperbaiki kekuatan tariknya dan ketahanan ausnya. Unsure ini memberikan pengerjaan yang lebih mengkilap/bersih dan menambah kekuatan panas baja karbon.

3.

Silikon (Si) Bahan deoksidiser. Meningkatkan kekuatan ferit.

Dalam jumlah besar, meningkatkan ketahanan baja terhadap efek scaling, tetapi mengalami kesulitan dalam pemrosesannya (High-Silicon Steel). Silicon di tambahkan untuk memperbaiki homogenitas pada baja. Selain itu dapat menaikkan tegangan tarik dan menurunkan kecepatan pendinginan kritis, sehingga baja karbon lebih elstis dan cocok dijadikan sebagai bahan pembuatan getas.

4.

Posfor (P)

Posfor dalam baja dibutuhkan dalam persentase kecil, yaitu maksimum 0.04%, yang berfungsi mempertinggi kualitas dan daya tahan material terhadap korosi. Material yang mengandung posfor diatas 0,04% akan mempunyai kecenderungan untuk menjadi getas dan mudah retak. Penambahan posfro dimaksudkan pula untuk memperoleh serpihan kecil-kecil pada saat proses permesinan.

5.

Belerang (s)

Belerang dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat mampu mesin, keuntungan sulfur pada temperature biasa, dapat memberikan ketahanan aus pada gesekan tinggi.

6.

Khrom (Cr) Meningkatkan ketahanan korosi dan oksidasi. Meningkatkan kemampukerasan. Meningkatkan kekuatan pada temperature tinggi. Peningkatan ketahanan terhadap pengaruh abrasi. Unsur pembentuk karbida (elemen pengeras).

Khrom dengan karbon membentuk karbida dapat menambah dan menaikkan daya tahan korosi dan daya tahan terhadap yang tinngi keuletannya berkurang.

7.

Nikel (Ni) Tidak membentuk karbida Berada dalam ferit, sebagai penguat (efek ketangguhan ferit).

Dengan Cr menghasilkan baja paduan dengan kemampuan kekerasan tinggi, ketahanan impak dan fatik yang tinggi. Sebagai unsure paduan dalam baja kontruksi dan baja mesin. Nikel memperbaiki antara lain kekuatan tarik, sifat tahan korosi, sifat tahan panas dan sifat magnitnya.

8.

Molibdum Mo) Meningkatkan kemampukerasan baja. Menurunkan kerentanan terhadap temper embrittlement (400-550oC) Meningkatkan kekuatan tarik pada temperature tinggi dan kekuatan creep.

Molibdum mengurangi kerapuhan pada baja karbon tinggi, menstabilkan karbida serta memperbaiki kekuatan baja

9.

Titanuim (Ti) Sebagai deoksidiser. Pengontrolan dalam pertumbuhan butir. TITANIUM Sebagai deoksidiser.

Mengontrol pertumbuhan butir.

Titanium adalah logam yang lunak, tapi bila dipadukan dengan nikel dan karbon akan lebih kuat, tahan aus, tahan temperature, dan tahan korosi. 10. Wolfram/tungsten Memberikan peningkatan kekerasan. Menghasilkan struktur yang halus. Pada temperatur tinggi, tungsten membentuk WC (keras dan stabil). Menjaga pengaruh peunakan selama proses penemperan.

Paduan ini dapat membentuk karbida yang stabil dan yang keras, menahan suhu pelumasan dan mengembalikan perubahan bentuk/struktue secara perlahan-lahan.

I. Sistem Kristalografi 1. Sistem Isometrik Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = = 90. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( , dan ) tegak lurus satu sama lain (90).

Gambar 1 Sistem Isometrik Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30 terhadap sumbu b.

Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas : Tetaoidal Gyroida Diploida Hextetrahedral Hexoctahedral

2. Sistem Tetragonal Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang. Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = = 90. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( , dan ) tegak lurus satu sama lain (90).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30 terhadap sumbu b. Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas: Piramid Bipiramid Bisfenoid Trapezohedral

Ditetragonal Piramid Skalenohedral Ditetragonal Bipiramid

3. Sistem Hexagonal Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120 terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang). Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = 90 ; = 120. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut dan saling tegak lurus dan membentuk sudut 120 terhadap sumbu .

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 20 ; d^b+= 40. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20 terhadap sumbu b dan sumbu d membentuk sudut 40 terhadap sumbu b+. Sistem ini dibagi menjadi 7: Hexagonal Piramid Hexagonal Bipramid Dihexagonal Piramid Dihexagonal Bipiramid Trigonal Bipiramid Ditrigonal Bipiramid Hexagonal Trapezohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. 4. Sistem Trigonal Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya. Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = 90 ; = 120. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut dan saling tegak lurus dan membentuk sudut 120 terhadap sumbu .

Gambar 4 Sistem Trigonal Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 20 ; d^b+= 40. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20 terhadap sumbu b dan sumbu d membentuk sudut 40 terhadap sumbu b+. Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas: Trigonal piramid Trigonal Trapezohedral Ditrigonal Piramid Ditrigonal Skalenohedral Rombohedral Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah tourmalinedan cinabar.

5. Sistem Orthorhombik Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a b c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = = 90. Hal ini berarti, pada sistem ini, keti ga sudutnya saling tegak lurus (90).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30 terhadap sumbu b. Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas: Bisfenoid Piramid Bipiramid Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite dan witherite 6. Sistem Monoklin Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek. Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a b c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = 90 . Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut dan saling tegak lurus (90), sedangkan tidak tegak lurus (miring).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45 terhadap sumbu b. Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas: Sfenoid Doma Prisma Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, malachite, colemanite, gypsum, dan epidot. 7. Sistem Triklin Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a b c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi = 90. Hal ini berarti, pada system ini, sudut , dan tidak saling tegak lurus satu dengan y ang lainnya.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^b = 45 ; b^c+= 80. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45 terhadap sumbu b dan b membentuk sudut 80 terhadap c+.

Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas: Pedial Pinakoidal Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase

J. Aplikasi Heat Treatment pada Pembuatan kaca anti Peluru Kaca antipeluru merupakan kemampuan kaca untuk menahan peluru yang menembus bidang ini. Dengan komponen yang terdapat dalam kaca antipeluru, proyektil yang ditembakkan ke arah kaca dapat tertahan sehingga tidak mengenai sasaran tembak yang berada di balik kaca. Bahanbahan penangkal antipeluru dapat dikomposisikan ke dalam kaca dan tidak mengurangi karakteristik fisik kaca pada umumnya, yaitu bening dan transparan. Kaca antipeluru diciptakan agar kaca standar dapat memiliki ketahanan yang lebih kuat pada benda-benda tumpul. Jenis kaca yang digunakan biasanya memiliki ketebalan 70 sampai 75 milimeter. Sebelum menjadi pelengkap mobil pribadi, kaca antipeluru telah digunakan pada kendaraan tempur sejak Perang Dunia II. Saat itu, kaca yang digunakan memiliki ketebalan 100 sampai 120 milimeter. Pada dasarnya, kaca antipeluru tidak berbeda dengan kaca pada umumnya. Intinya, kaca antipeluru merupakan kaca biasa yang dilapisi dengan dengan polycarbonate. Kaca dan polycarbonate merupakan komponen pokok dalam susunan kaca antipeluru. Kaca sendiri merupakan lapisan tembus pandang sedangkan polycarbonate sebagai lapisan yang melindungi serpihan kaca. Sehingga, kaca yang retak terkena tembakan, ledakan, atau pukulan keras tidak hancur lebur mengenai orang. Tapi retakan tersebut tertahan di dalam kaca karena ada polycarbonate yang menahannya. Selain dua komponen tersebut, kaca antipeluru sendiri tersusun dari berbagai lapisan. Sebab kaca ini merupakan sistem kaca yang berlapis-lapis. Proses pembuatannya sendiri menggunakan cara pemanasan dan pendingan supaya kaca menjadi lebih kuat. Polikarbonat adalah kelompok tertentu polimer termoplastik. Mereka dapat dengan mudah bekerja, dibentuk, dan thermoformed; karena itu, plastik ini sangat banyak digunakan dalam industri kimia modern. Fitur menarik mereka (suhu perlawanan, dampak perlawanan dan optiknya) posisi mereka di antara plastik dan rekayasa komoditas plastic Kaca yang telah dilapisi protective interlayer atau polyvinyl butyral (PVB) dapat tahan terhadap tegangan tinggi, karena material ini dilapisi dengan banyak lapisan. Sebagai contoh, tiga lapisan kaca, dua lapisan PVB, empat lapisan kaca, tiga lapisan PVB dan seterusnya. Material ini

dapat tahan terhadap peluru atau bom. Ini dikarenakan material tersebut memiliki lapisan PVB yang tahan terhadap tegangan. Saat kaca terkena peluru, material ini dapat pecah namun peluru tidak dapat tembus. Sebab kaca telah mengalami tempered glass yaitu kaca yang telah mengalami heat treatment supaya lebih keras dan pecahan kacanya lebih halus dan tidak melukai penumpang. Selain itu, PVB dapat menjadi dekorasi, karena PVB memiliki berbagai warna dan motif. Banyaknya lapisan yang digunakan dalam pembuatan kaca antipeluru membuat lapisan kaca ini menjadi tebal. Ketebalan kaca dapat mencapai empat sentimeter. Bahkan, pada mobil limusin Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama, ketebalan kaca mobilnya lebih dari 12 sentimeter. Sementara kekuatan kaca antipeluru ditentukan melalui suatu standar. Dengan demikian, kekuatan kaca dapat diukur. Ada beberapa level untuk menentukan kekuatan kaca. Berdasarkan standar ukuran dari National Institute of Justice yang berasal dari Amerika Serikat, terdapat ukuran kekuatan kaca mulai dari level satu sampai dengan level delapan. Kekuatan tersebut akan diukur dengan peluru yang mengenai kaca. Jenis peluru, kecepatan, dan jumlah peluru yang ditembakkan menjadi acuan ketahanan suatu kaca. Jarak, Berat, dan Kecepatan , Sebagai contoh, pada level II A kaca akan dapat mengkis peluru berkaliber 9 milimeter yang memiliki berat 8 gram dengan kecepatan luncur dari senapan 341 meter per detik dari proyektil atau senapan. Dalam satu percobaan, peluru ini ditembakkan dalam jarak lima meter. Hasil yang diperoleh peluru tidak menembus pada kaca. Kekuatan kaca ini akan jadi berbeda jika ditembakkan dengan peluru pada kekuatan level III A. Kaca dengan kekuatan IIA ditembak dengan peluru IIIA yang berjenis 9 milimeter dengan berat 8,2 gram pada kecepatan tembak 436 meter per detik. Maka, peluru tersebut akan dapat menembus kaca dan serpihannya dapat mengenai penumpang di dalam mobil. Untuk menguji kaca antipeluru, penembakan dilakukan pada jarak lima meter dan dilakukan pada enam kali tembakan pada level I sampai III A. Dalam percobaan, tembakan tidak diarahkan pada titik yang sama melainkan diarahkan pada titik lain. Sementara, jarak antara satu titik tembakan dengan titik yang lain sejauh dua inci atau 5,1 milimeter. Sebab kalau tembakan diarahkan pada satu titik pada kaca yang ditembak sebanyak enam kali, tentu saja peluru akan menembus kaca. Pada Level di atas III A atau III dan IV, jarak uji tembakan 15 meter karena pada tahap ini kecepatan peluru umumnya lebih besar sekitar 850 meter per detik. Di samping itu, berat peluru lebih tinggi sekitar sembilan sampai dengan 10 gram. Namun, berbeda dengan level di bawahnya, uji tembak pada peluru level empat hanya dilakukan sekali. Selain daripada itu, teknik uji kaca antipeluru lainnya adalah dengan mengarahkan tembakan secara lurus pada kaca. Arah tembakan semacam ini memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan jika tembakan diarahkan secara miring. Jika dengan cara uji seperti ini peluru tidak tembus pada kaca, maka tembakan yang dilakukan dalam posisi miring tidak akan menembus kaca. Sebab umumnya tembakan yang dilakukan oleh pelaku kriminal dilakukan dengan arah yang tidak lurus.

Anda mungkin juga menyukai