Anda di halaman 1dari 7

Beberapa lembaga atau instansi dan undang-undang memberikan definisi Usaha Kecil Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian

Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008. Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan. Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kunatitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa) Pada tanggal 4 Juli 2008 telah ditetapkan Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Definisi UKM yang disampaikan oleh Undang-undang ini juga berbeda dengan definisi di atas. Menurut UU No 20 Tahun 2008 ini, yang disebut dengan Usaha Kecil adalah entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut : (1) kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Sementara itu, yang disebut

dengan Usaha Menengah adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut : (1) kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

KRITERIA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Pasal 6 UU No. 20 Thn 2008 tentang UMKM

Kriteria Usaha Mikro : a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Kriteria Usaha Kecil : a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan rupiah) sampai dengan juta rupiah). Kriteria Usaha Menengah: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta tahunan paling lebih dari Rp300.000.000,00 Rp2.500.000.000,00 (dua (tiga milyar ratus juta

banyak

lima ratus

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Kriteria sebagaimana dimaksud diatas nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.

Ikhtisar Kriteria UMKM Kekayaan Bersih(tidak termasuk tanah & bangunan) Usaha Mikro Paling banyak Rp. 50 juta Usaha Kecil Lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling banyak Rp. 500 juta Usaha Menengah Lebih dari Rp. 500 juta sampai dengan paling banyak Rp. 10 Milyar Hasil Penjualan Paling banyak Rp.300 Lebih dari Rp.300 juta sampai dengan paling banyak Rp. 2,5 Milyar Lebih dari Rp. 2,5 Milyar sampai dengan paling banyak Rp. 50 Milyar

Tahunan(Omset/tahun) juta

Kriteria ini perlu dikeketahui oleh para pelaku UMKM agar dapat menyesuaikan usahanya dengan kriteria sesuai UU No 20 UMKM. Terutama dalam berhubungan pihak lain (lembaga keuangan bank/non bank dan rekan bisnis) termasuk pula untuk penyusuain dokumen legal (surat-surat ijin). Kriteria diatas sudah jauh berubah apabila dibandingkan dengan kriteria sebelumnya. Tentunya semua dilakukan untuk kemajuan usaha para pelaku usaha UMKM.
http://infoukm.wordpress.com/

http://usaha-umkm.blog.com/2008/10/20/kriteria-umkm/ http://peuyeumcipatat.blogspot.com/2012/12/definisi-umkm.html#.UkuxQ9Kl6_s http://bum-ukm.com/berita/17/Kriteria-Usaha-Mikro,-Kecil-dan-Menengah-(UMKM).html http://economy.okezone.com/read/2013/08/22/317/853633/menimbang-efektivitas-pajak-umkm

Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah pajak atas penghasilan tertentu di mana mekanisme pemajakannya telah dianggap selesai pada saat dilakukan pemotongan, pemungutan atau penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan khusus ini adalah demi kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan, serta pemerataan dalam pengenaan pajaknya agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

Keberatan Pelaku UKM Keberatan pelaku UKM akan pajak penghasilan 1 persen ini karena dianggap mengurangi volume usaha. Bahkan banyak pengamat ekonomi dan sosial yang beranggapan harusnya UKM dibantu bukan malah dikenai pajak. UU Pajak Penghasilan mengenai dua metode penghitungan omset, yaitu pencatatan dan pembukuan. Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur atas omset atau penghasilan bruto, biasanya perodik tiap bulan. Sedangkan pembukuan adalah proses pencatatan harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, dan diwujudkan dalam bentuk laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi. Masalahnya mayoritas pelaku UKM jarang mengadministrasikan penerimaan dan pengeluaran dengan bukti tertulis otentik, walaupun transaksi milyaran. Contoh UKM pedagang tekstil. Transaksi penjualan tekstil tanpa menggunakan faktur pajak, secara tunai saja. Hal yang sama juga berlaku untuk pembelian dagangan dari produsen yang umumnya juga UKM, semua secara tunai, hanya catatan sederhana saja. Jika diterapkan kaidah pembukuan (book keeping) kesulitan untuk menghitung omset dan laba bersih secara tepat. Aturan pajak penghasilan sebesar 1 persen omset untuk mendorong UKM agar mulai membuat pembukuan usaha secara tertib dengan membuat faktur penjualan dan bukti kuitansi pengeluaran, agar pajak yang dibayar sesuai laba usaha yang sebenarnya. Rata-rata pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang membayar harga sewa toko di Pasar Tanah Abang Rp.68 juta per meter atau Rp.272 juta untuk kios 4 meter persegi. Belum lagi biaya pembelian barang dagangan dan upah tenaga kerja. Agar pengeluaran ini tercatat di SPT (Surat Pemberitahuan) pajak, pelaku UKM harus melakukan pembukuan, sehingga pajak yang dibayar sesuai dengan laba bersih. Selain itu perlu menjadi perhatian di kementerian dan lembaga negara terkait pembinaan UKM, bahwa pajak UKM harus dikenakan agar pembiayaan UKM secara berkelanjutan bisa terwujud. Selain itu bantuan pemerintah harus diperlakukan sebagai investasi bagi UKM, bukan bantuan gratis yang tidak perlu dikembalikan. Tidak akan ada dana pembinaan UKM jika tidak ada pajak yang terkumpul. Kantor pajak memang tidak bisa memberikan fasilitas pembiayaan modal dan pemasaran namun tugas itu menjadi porsi kewenangan kementerian lain dan BUMN. Jadi tidak ada alasan pelaku UKM menolak membayar pajak jika telah mendapat bantuan dana usaha dari pemerintah.

Agar Pemerintah tidak dianggap abai kepada UKM dan UKM mau membayar pajak, perlu sinergi langkah penyempurnaan. Pertama, fasilitas program kredit hanya kepada UKM yang telah memiliki NPWP dan melaporkan serta telah membayar pajak. Dengan format gearing ratio, bagi UKM yang membayar pajak Rp.10 juta, bisa memperoleh kredit lima kali lipat atau Rp.50 juta. Kedua, perlu memperbanyak inkubator bisnis di level pendidikan tinggi untuk memperketat penyaluran dana bantuan UKM dan sekaligus menjaring pembayar pajak baru. Ketiga, program PKBL sudah dikelola secara integral oleh PT.PNM. Keterpaduan program diperlukan agar tidak ada tumpang tindih penerima PKBL dan diwajibkan ada NPWP bagi penerima PKBL. Data penyaluran PKBL oleh PT.PNM seyogyanya di-share ke kantor pajak untuk alat monitoring kepatuhan pembayaran pajak pelaku UKM yang menerima dana PKBL. Keempat, lembaga dan kementerian penyalur dana bantuan sosial dan hibah agar membagi data penerima bantuan tersebut ke kantor pajak. Data ini untuk alat himbauan agar pelaku UKM penerima bantuan sosial dan hibah mau membayar pajak sebagaimana bantuan yang mereka terima.

Intensifikasi adalah memaksimalkan apa yang sudah ada; dalam konteks tulisan ini, berarti usaha menambah penerimaan pajak tanpa menambah objek pajak. Ekstensifikasi adalah menambah objek pajak; dalam konteks tulisan di bawah ini, berarti usaha menambah penerimaan pajak dengan menambah objek pajak yang sebelumnya tidak ada. Perlu ditekankan bahwa, penambahan objek maksudnya bukanlah memajaki objek yang menurut aturan perpajakan adalah objek pajak, tapi karena satu atau lain hal (misalnya, lemahnya law enforcement atau voluntary compliance), objek tersebut belum dikenakan pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi ini tentu berkaitan dengan penerimaan pajak; yang keduanya, umumnya, sama-sama ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Untuk memenuhi target peningkatan penerimaan pajak, misalnya

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghapuskan sanksi administrasi atas pajak usaha kecil dan menengah (UKM). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kismantoro Petrus menjelaskan, DJP telah menghapus sanksi administrasi atas keterlambatan penyetoran pajak

untuk periode Juli-Desember 2013 atas pajak penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar per tahun. "Tujuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 adalah untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan dan memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam menghimpun dana penyelenggaraan negara," kata Kismantoro dalam keterangan resminya, Rabu (11/9/2013). Namun demikian, mengingat ketentuan tersebut diberlakukan dalam waktu yang singkat, maka terdapat kecenderungan masyarakat terlambat dalam melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, DJP juga akan memberikan keringanan bagi WP yang tidak memperoleh validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara dalam Surat Setoran Pajak dari bank persepi atau kantor pos. Kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) mulai diterapkan pada masa pajak Januari 2014. Sementara itu, secara normatif, SPT masa semestinya dilaporkan paling lambat 20 hari dari masa pajak berakhir. Dengan adanya kebijakan ini, pihaknya berharap WP memiliki cukup waktu untuk memahami PP Nomor 46 Tahun 2013 dan aturan pelaksanaannya, sehingga pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat dilakukan sesuai aturan yang ada.

Pemotongan dari omzet diusulkan karena UKM selama ini tidak memiliki pembukuan yang rinci soal belanja, penjualan, maupun pendapatan bersihnya Oleh karena itu, untuk mempermudah, diusulkan pemotongan dari omzet. Fuad menerangkan bahwa DJP berupaya agar Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi payung hukum bagi kebijakan pajak tersebut tidak menyatakan pengenaan pajak untuk UKM, melainkan pajak yang dikenakan berdasarkan hasil usaha di atas Rp 300 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar. Artinya, pengusaha mikro seperti penjual bakso, pedagang sayur dan pedagang asongan atau penjual keliling lainnya tetap bebas pajak, sedangkan mereka yang beromzet lebih dari Rp 4,8 miliar dikenai pajak seperti pengusaha besar. "Untuk usaha yang beromzet diatas Rp 300 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar akan dikenai PPN 1 % dan PPh 1%," urai Fuad.

Fuad mengungkapkan bahwa proses penyetoran pajak bagi UKM juga akan dipermudah. Salah satunya dengan menggunakan mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Saat ini, Kementerian

Keuangan sedang berkoordinasi dengan sejumlah bank yang selama ini bekerja sama dengan UKM, seperti BRI, Bank Mandiri, ataupun BTN untuk mempermulus rencana tersebut. Penyederhanaan pajak yang diberikan kepada pengusaha kecil masih berupa cara pembayaran, belum pada penyederhanaan besaran pajak kumulatif. "Meski begitu, pengusaha tetap harus menyetor SPT (Surat Pemberitahuan) Pajak saban tahun," imbuh Fuad

Sasaran dari Peraturan Pemerintah ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) dan menerima penghasilan dari usaha, (tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas) dengan peredaran bruto tidak melebihi 4,8 Miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

http://ekbis.sindonews.com/read/2013/09/11/33/781777/sederhanakan-aturan-djp-hapussanksi-pajak-ukm http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/06/0800138/Sanksi.Pajak.UKM.Dihapus http://www.pajak.go.id/content/tidak-semua-pelaku-ukm-dikenai-ppn http://www.pajak.go.id/content/article/pembinaan-ukm-dan-investasi-untuk-pajak http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/28/0726280/Pajak.UKM.Nasib.55.Juta.Usa ha http://www.pajak.go.id/content/article/solusi-untuk-pajak-ukm

Hal tersebut terlihat dari rasio kepatuhan Wajib Pajak, yaitu perbandingan jumlah wajib pajak terdaftar dan wajib pajak potensial. Hingga tahun 2012 jumlah Wajib Pajak potensial di Indonesia sebesar 67 juta jiwa, sementara yang sudah terdaftar hanya berjumlah 20 juta jiwa, sehingga rasio tingkat kepatuhan dalam memiliki NPWP di Indonesia hanya berkisar 30% dari jumlah Wajib Pajak potensial.

Anda mungkin juga menyukai