Anda di halaman 1dari 10

KETERKAITAN ANTARA AKREDITASI, EXIT EXAM DAN KUOTA PENERIMAAN MAHASISWA BARU

(sekaligus dalam rangka notulensi Komisi 4 Muktamar AIPKI VIIManado, 26-28 September 2013) Muhammad Vardian Mahardika, Hernina Oktaviani, Afifan Ghalib Haryawan, et al

Ketika Republik Indonesia berdiri, negara ini memiliki janji kemerdekaan yakni akan melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan, dan menjadi bagian dari dunia. Salah satu komponen disini adalah Pendidikan yang merupakan ranah yang selalu dinamis dengan segala kompleksitasnya. Kekayaan bangsa Indonesia terletak pada sumber daya manusia, dan dalam hal ini adalah SDM yang berpendidikan. Sehingga pendidikan merupakan landasan fundamental dan ujung tombak akan permasalahan bangsa. Tak terkecuali Pendidikan Kedokteran. Jumlah fakultas kedokteran di Indonesia semakin lama semakin menjamur. Akan tetapi, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan kualitas penyelenggaraan fakultas kedokteran tersebut. Hanya 17 fakultas kedokteran memiliki akreditasi A dan 21 fakultas kedokteran memiliki akreditasi B. Sisanya, lebih dari setengah, memiliki akreditasi C ke bawah (Data 2013). Selain itu, regulasi pembentukan fakultas kedokteran masih tidak ketat. Sebaga buktinya, jumlah fakultas kedokteran berkembang pesat dari 52 fakultas kedokteran pada tahun 2008 menjadi 74 fakultas kedokteran pada tahun 2013. Sehingga tak ayal banyak permasalahan yang menyeruak akibat menjamurnya fakultas kedokteran di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan adalah kaitan antara Akreditasi, exit exam, dan Kuota penerimaan mahasiswa baru. UU Dikdok yang disahkan pada tahun ini (Kamis 11 Juli 2013) oleh Prof dr. Akmal Taher SpU(K) dengan segala percepatan yang ada, berkeinginan untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Cakupan dari UU tersebut sangatlah luas dengan target sasaran berbagai element penyelenggara pendidikan kedokteran, mulai dari pemerintah,

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

mahasiswa, dosen, rumah sakit pendidikan hingga ujian kompetensi. Dan dalam UU ini agaknya pemerintah mengambil porsi yang cukup besar/andil lebih dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Rasio dosen dan mahasiswa Dalam UU tersebut tercantum bahwa hanya universitas yang memiliki rasio dosen yang cukup, gedung, laboratorium dan rumah sakit pendidikan yang dapat memperoleh izin mendirikan fakultas kedokteran. Pembentukan Fakultas Kedokterandan/atau Fakultas Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat 3 UU Dikdok menyatakan paling sedikit harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut: a. memiliki Dosen dan Tenaga Kependidikan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan; b. memiliki gedung untuk penyelenggaraan pendidikan; c. memiliki laboratorium biomedis, laboratorium kedokteran klinis, laboratorium bioetika/humaniora kesehatan, serta laboratorium kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat; dan d. memiliki Rumah Sakit Pendidikan atau memiliki rumah sakit yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Sedangkan bila kita mengacu pada standar pendidikan dokter Indonesia 2012 yang telah ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, rasio seluruh mahasiswa dan dosen ekuivalen waktu mengajar penuh untuk tahap akademik maksimal 10:1 dan tahap profesi maksimal 5:1 sesuai dengan disiplin ilmu terkait. Namun pada kenyataannya hal tersebut masih belum terealisasikan secara optimal. Tak sedikit pula fakultas maupun program studi pendidikan kedokteran yang sangat kekurangan dosen, bahkan ada yang hanya memiliki 1 dokter spesialis. Salah satu pihak yang terugikan disini adalah mahasiswa. Akibatnya jadwal akademik baik preklinik maupun klinik tidak menentu dikarenakan dokter yang mengajar harus didatangkan Peraturan

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

atau bahkan diterbangkan dari universitas lain. Ironinya banyak univeritas yang tetap melakukan penerimaan mahasiswa baru dengan angka yang menggembung. Sehingga rasio ini semakin jauh dari kata pantas dan layak. Penerimaan mahasiswa baru Sedangkan untuk penerimaan calon mahasiswa juga akan mengalami perubahan yang besar setelah UU Dikdok berlaku. Pada pasal 9 menyebutkan bahwa 1) Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional. 2) Ketentuan mengenai kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang Kesehatan. Bila kita mengacu pada Surat Edaran DIKTI No:576/E/HK/2013 terkait kuota penerimaan mahasiswa FK didasarkan pada 2 hal penting yakni akreditasi dan jumlah mahasiswa yang lulus Uji Kompetensi. HASIL UJI KOMPETENSI DOKTER INDONESIA AKREDITASI A B C <50% 150 100 50 50% < X < 60% 170 120 60 60% < X < 70% 190 140 70 70% < X < 80% 210 160 80 80% < X < 90% 230 180 90 90% < X < 100% 250 200 100

x adalah jumlah presentase mahasiswa yang lulus UKDI pada tahun tersebut. Dikti juga secara tegas memperingatkan bagi perguruan tinggi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut diatas maka akan mendapatkan sanksi dari Direktur Jenderal Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

Namun perlu diingat kembali bahwa hanya 17 fakultas kedokteran memiliki akreditasi A dan 21 fakultas kedokteran memiliki akreditasi B. Sisanya, lebih dari setengah, memiliki akreditasi C atau bahkan belum terakreditasi (Data 2013). Hal ini dapat bermakna positif jika terlaksana sesuai harapan. Tidak ada lagi fakultas yang menerima mahasiswa secara besarbesaran hanya untuk kepentingan beberapa kalangan. Tes seleksi masuk mahasiswa kedokteran juga akan mengalami perubahan besar. Tes seleksi tidak lagi hanya melihat kemampuan akademik calon mahasiswa. Melainkan juga melihat tes bakat dan tes kepribadian yang sudah tertuang pada pasal 27 UU Dikdok 2013 (1) Calon mahasiswa harus lulus seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Selain lulus seleksi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian. Namun model pelaksanaannya belum diatur dengan detailnya. Usul yang sekarang beredar adalah setelah lolos tes kemampuan akademik, calon mahasiswa akan di tes bakat dan kepribadian. Ketika semuanya lolos baru dia dapat dimenyandang predikat mahasiswa kedokteran. UKDI / Exit Exam Ketika kita kembali membahas kuota penerimaan mahasiswa maka salah satu tolak ukur yang akan digunakan adalah tingkat kelulusan UKDI. UKDI (uji Kompetensi Dokter Indonesia) ditujukan untuk 1) menjamin lulusan pendidikan tinggi kedokteran yang kompeten dan terstandar secara nasional, 2) menguji sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai dasar untuk praktik kedokteran dan dalam jangka panjang, 3) mendorong pembelajaran sepanjang hayat, dan 4) sebagai metode asesmen untuk memastikan pengelolaan pasien yang aman dan efektif di Indonesia. Proses ini harus ditempuh sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi dari KKI. Sudah sejak tahun 2007 UKDI dilaksanakan namun program ini masih memiliki banyak kekurangan. Data terakhir pada bulan mei 2013 menyebutkan bahwa masih terdapat

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

lebih dari 1700 retaker (dokter yang belum lulus UKDI). Hal banyaknya lulusan dokter

tersebut

mengakibatkan

yang menganggur karena belum bisa melakukan praktik

kedokteran. Dari sisi lain, nasib beberapa retaker tersebut kurang diperhatikan oleh institusi pendidikannya karena dianggap sudah lulus dari institusi pendidikannya. Maka dari itu pada UU Dikdok 2013 pasal 36 dipertegaslah permasalahan ini (1) Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi (2) Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi. (3) Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Hal ini selaras dengan kebijakan DITJEN DIKTI : UKDI sebagai Exit Exam 88/E/DT/2013, 1 Februari 2013) (1) Bidang Kedokteran memerlukan uji kompetensi dengan standar nasional sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu yang bertujuan pada penjaminan keselamatan pasien (2) Untuk itu, uji kompetensi memerlukan metode yang tepat dalam menguji knowledge, skills dan attitude, melalui CBT dan OSCE (3) Uji kompetensi dilaksanakan pada tahap akhir pendidikan profesi sebagai exit exam, dengan mempertimbangkan : Pentingnya academic professional environment Peran uji kompetensi sebagai feedback mutu proses pembelajaran Mendukung integrasi sistem pendidikan-pelayanan (SE No.

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

(4) Oleh karena itu, pembiayaan uji kompetensi masuk dalam pembiayaan pendidikan Sehingga dapat disimpulkan bahwa UKDI tetap diselenggarakan oleh lembaga nasional dibawah Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi (LPUK), dan ujian ini dianggap sebagai exit exam dari masing-masing institusi pendidikan dokter dalam artian dilaksanakan setelah periode pendidikan klinik (profesi) dan sebelum disumpah dokter dengan tujuan untuk tetap terstandar secara nasional dengan tetap dalam payung tanggung jawab masing-masing fakultas kedokteran/institusi. ISMKI lewat Muktamar VII AIPKI juga mengajukan beberapa usulan terkait UKDI yaitu untuk diadakannya bimbingan UKDI baik CBT maupun OSCE secara Nasional oleh setiap institusi, dan juga meminta institusi untuk mengadakan Try Out UKDI secara berkala dan berjenjang (selain Try Out Nasional oleh pemerintah). Dan hal tersebut sudah dimasukkan dalam rekomendasi Muktamar VII AIPKI. Satu hal yang menarik disini adalah keterkaitan mahasiswa asing yang menempuh pendidikan kedokteran di Indonesia, apakah mereka juga harus mengikuti exit exam?. Beberapa dekan yang di universitasnya menerima mahasiswa asing menyatakan bahwa mahasiswa asing tetap mengikuti exit exam, sehingga mereka akan mendapatkan sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh institusi, namun terkait dengan STR bagi mahasiswa asing yang berencana untuk bekerja di Indonesia, mereka diharuskan untuk mengikuti persyaratan layaknya dokter asing yang akan bekerja di Indonesia. ini merupakan salah satu filter bagi tenaga asing terutama dokter untuk bekerja di Indonesia, mengingat AFTA 2015 sudah semakin dekat, dengan konsekuensi banjir tenaga asing yang masuk ke Indonesia. Data tenaga kerja asing di Indonesia (5 negara tertinggi 1 januari-31 Agustus 2013, data kementrian tenaga kerja dan transmigrasi) : Negara RRC Jepang Korea Selatan Jumlah 10.291 9.788 6.013

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

India Malaysia

3.888 3.425

Maka dari itu tugas kita bersama sebagai calon dokter Indonesia untuk dapat meningkatkan daya jual dan daya saing (kompetensi) agar tidak kalah dengan para dokter lulusan luar negeri. Akreditasi FK di Indonesia Berdasarkan peraturan perundang-undangan, akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan, sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akreditasi dilakukan oleh Pemerintah atau lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan. Untuk program dan/satuan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, ditetapkan bahwa akreditasi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) (UU No.20/2003 Pasal 60 dan PP No.19/2005 Pasal 86,87 dan 88) Seperti sudah dipaparkan sebelumnya,terkait jumlah fakultas kedokteran atau program studi kedokteran yang sudah berstatus terakreditasi, dan juga akreditasi kedepan memiliki porsi yang penting dalam penentuan banyak hal. Seperti halnya keterkaitan antara akreditasi dan juga tantangan dokter Primer kedepan pada era SJSN. Pada UU Dikdok pasal 1 ayat 9 menyebutkan : (9) Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah. Ditambahkan pada Pasal 8 (1) Program dokter layanan primer, dokter spesialis- subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

studi kedokteran gigi. (2) Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas Kedokteran dengan akreditas kategori tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih rendah dalam menjalankan program dokter layanan primer. (3) Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis. Sehingga ketika kita lulus menjadi dokter dengan lama studi kurang lebih 5 tahun dan berkeinginan bekerjasama dengan pemerintah untuk era SJSN maka kita dituntut untuk menambah lagi 2 tahun dalam rangka menempuh pendidikan formal menjadi dokter layanan primer yang dianggap setara dengan dokter spesialis. Dokter layanan primer memiliki kompetensi lebih daripada dokter umum dalam hal manajemen komunitas dan kemampuan menangani penyakit pada layanan primer. Peningkatan kompetensi dan penyetaraan jenjang dengan dokter spesialis diharapkan mampu menarik dokter umum dikarenakan akan mendapatkan penghargaan finansial dan akademik yang lebih tinggi. Namun ketika kita menilik kembali ayat 1, dikatakan bahwa yang dapat menyelenggarakan program dokter layanan primer adalah FK dengan akreditasi A ( tertinggi ) ditambahkan pada ayat 2 dapat dibantu oleh FK yang akreditasinya setingkat lebih rendah atau dalam artian FK dengan akreditasi B. Kembali mengingatkan FK dengan akreditasi A hanya 17 dan B hanya 21 institusi. Katakanlah semua FK tersebut menampung jumlah maksimal sesuai dengan ketentuan penerimaan mahasiswa baru ((Ax250)+(Bx150)=(17x250)+(21x150)=7.400 mahasiswa) hanya 7.400 dokter yang bisa menempuh pendidikan dokter layanan primer, lalu bagaimana dengan beribu lulusan dokter lainnya? sedangkan pada era SJSN tuntutan untuk menjadi dokter layanan primer sangatlah dibutuhkan, dikarenakan masyarakat akan lebih memilih berobat gratis dengan JKN dibandingkan harus membayar ke praktik dokter umum ataupun ke RS swasta yang tidak bekerjasama dengan JKN.( Terkait dengan pembahasan dokter layanan primer akan dibahas dikajian yang terpisah).

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

Pada forum Muktamar AIPKI VII 2013 juga disampaikan bahwa ada tuntutan untuk FK yang belum diakreditasi agar menyelesaikan proses akreditasinya maksimal pada tahun ajaran 2014 mendatang. Ditambahkan bahwa 5 tahun kedepan bagi yang masih berstatus program studi pendidikan dokter di dorong untuk lebih cepat menjadi bentuk Fakultas Kedokteran. Permasalahan yang timbul adalah ketidakjelasan dan sering berubahnya instrument akreditasi dari BAN-PT untuk program studi kedokteran. Bahkan di web BAN-PT, pemberitahuan tanggal 10 September 2013 yang menyatakan bahwa Untuk sementara Instrumen Akreditasi program studi : (i) Kedokteran Gigi, (ii) Kedokteran, (iii) Kedokteran Hewan, dan (iv) Magister PTJJ kami off-kan dulu dari web BAN-PT untuk dilakukan penyempurnaan. Segera setelah dilakukan penyempurnaan, Instrumen Akreditasi tersebut akan kami upload kembali di web BAN-PT . Disampaikan oleh WD3 FK UMI bahwa beberapa kali sudah FK UMI mengajukan Borang akreditasi namun beberapa kali pula dikembalikan karena perubahan instrument yang terkesan dadakan. Instrument akreditasi yang telah disempurnakan juga belum jelas kapan akan dipublish. Padahal tuntutan akreditasi semakin mendesak. Dalam tantangan ini mahasiswa juga memiliki peran yang penting.(Terkait dengan peran mahasiswa dalam proses akreditasi akan dibahas dalam kajian terpisah) Akreditasi mendatang bukan hanya dilaksanakan oleh BAN-PT, namun dari sisi external juga akan dibantu dengan LAMPT-KES (Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan). Namun sampai saat ini terkait LAMPT-KES belum juga disosialisasikan, hal ini juga didasarkan pada kenyataan akan status badan hukum LAMPT-KES sendiri. Namun diharapkan pada tahun 2014 lembaga ini sudah mulai beroperasi. (info terkait dapat dibuka di http://lamptkes.org) Kedepan akreditasi juga hanya dilaksanakan 1 kali untuk 2 jenjang yakni preklinik/akademik dan juga klinik/profesi. Tidak menutup kemungkinan bahwa akreditasi preklinik/akademik A namun akreditasi klinik/profesi B. Dalam forum tersebut para dekanat juga menyatakan bahwa mereka mengharapkan adanya peningkatan mutu dan kualitas (akreditasi) FK yang sudah berdiri, bukan menyelesaikan

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

masalah kuota mahasiswa calon dokter dengan membuka FK yang baru lagi. Hal ini rasanya sindiran akan Surat Edaran DIKTI No:576/E/HK/2013 poin 7 yang menyatakan Sebagai konsekuensi dari ketentuan kuota penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada angka 4 maka jumlah mahasiswa yang diterima masuk ke Program studi Kedokteran akan menurun, sehingga dapat dibuka beberapa program studi baru di beberapa perguruan tinggi yang telah mengusulkan dan memenuhi syarat

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

Anda mungkin juga menyukai