Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia.

Berdasarkan laporan WHO tahun 2004 terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, diantaranya 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.1 Indonesia menempati posisi ketiga terbanyak untuk kasus TB di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun).1,2 Berdasarkan organ tubuh yang terkena TB diklasifikasikan menjadi TB paru dan TB ekstra paru. Di negara-negara berkembang TB ekstra paru terbanyak kedua setelah TB kelenjar getah bening yaitu TB urogenital. Ginjal adalah organ yang paling umum terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis melalui penyebaran hematogen sekitar 20-73% kasus TB ekstra paru.3,4 OAT pada pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup, dan dosis tetap sesuai dengan kategori pengobatan. Pada keadaan khusus seperti pada pasien dengan gagal ginjal pemberian obat harus diperhatikan karena beberapa obat diekskresi melalui ginjal. Untuk mengurangi keparahan dari penyakit ginjal, pemberian OAT disesuaikan dengan menurunkan frekuensi serta dosis.5,6

1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan TB paru, TB paru dengan gagal ginjal serta TB ginjal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.5 Gagal ginjal merupakan suatu keadaan kerusakan ginjal dan fungsinya yang bersifat irreversible dan progresif. Tuberkulosis ginjal adalah tuberkulosis ekstra paru yang mengenai ginjal melalui penyebaran hematogen.3,7

2.2 Patogenesis 2.2.1 Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersamasama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:8 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara : a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelectasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. 2.2.2 Tuberkulosis post-primer Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.8 Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:8 1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat 2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga

sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini : Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped). 2.2.3 Tuberkulosis ginjal Di dunia Barat antara 8 % sampai 10 % pasien dengan TB paru mengembangkan TB ginjal , dan negara-negara dengan prevalensi tinggi TB bisa mencapai 15 % sampai 20 %. Basil TB mencapai ginjal secara hematogen dan berkembang membentuk lesi kortikal kecil yang dapat sembuh spontan. Basil TB dapat turun ke tubulus ginjal dan akhirmya melibatkan kaliks. Basil biasanya ditemukan di daerah cortico - medula sebagai granuloma. Penyakit tersebut berkembang perlahan-lahan dan menghasilkan nekrosis luas pada papilla bahkan dapat membentuk rongga abses sehingga menyebabkan kerusakan parenkim ginjal. Biasanya presentasi lesi unilateral. Dampak dari lesi dan fibrosis dapat terjadi dengan luka, bekas luka atau atrofi sebagian dari parenkim ginjal, dan komplikasi utama hipertensi . Semua organ genitourinari lain juga akan terkena bahkan dapat menyebabkan stenosis dari persimpangan ureteropelvic.3,9

2.3 Diagnosis Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. 2.3.1 Gejala klinis Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori, gejala lokal sesuai organ yang terlibat. Gejala respiratori meliputi batuk 2 minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada. Gejala sangat bervariasi mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat, tergantung luas lesi.8 Gejala sistemik antara lain demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.8 2.3.2 Pemeriksaan fisik Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.8 2.3.3 Pemeriksaan Bakteriologi a. Sputum Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.5 Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1) Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2) Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.5

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. 1) Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. 2) Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.5 b. Darah Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun.5 c. Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya.5 2.3.4 Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.5

2.3.5 Diagnosis pada tuberkulosis ginjal Kombinasi gejala, analisis histologi, kultur dan teknik pencitraan berkontribusi pada diagnosis tuberkulosis ginjal, yang biasanya bermanifestasi sebagai beberapa gejala konstitusional, seperti demam, penurunan berat badan dan berkeringat. Gejala-gejala nonspesifik dan hasil yang rendah dari teknik kultur sering menunda diagnosis. Gejala pasien dengan TB ginjal dapat hadir dengan nyeri panggul atau suprapubik , nokturia atau hematuria. Jika pasien tidak merespon terhadap antibiotik standar maka timbulnya gejala iritasi saluran kemih seperti peningkatan frekuensi kencing dan kesulitan dalam berkemih harus segera dicurigai TB. Selain itu piuria steril (adanya sel darah putih dalam urin, tetapi kultur bakteri negatif), hematuria dan proteinuria harus dilakukan pemeriksaan untuk TB. Terutama infeksi bakteri sekunder dapat terjadi sampai 50 % kasus TB ginjal.4 Uji amplifikasi asam nukleat teknik molekuler cepat dapat mendeteksi DNA M. tuberculosis dalam waktu 48 jam setelah infeksi. Menggunakan PCR DNA M. tuberculosis dapat mendeteksi sampai 80,9 % sesuai dugaan kasus dengan sensitivitas 87100% dan spesifisitas 92,2-98 %. Selain itu, PCR dapat mendeteksi gen yang memberikan resistensi terhadap obat misalnya gen rpoB yang berarti resistensi terhadap rifampisin dan dapat mengetahui mutasi terkait dengan resistansi terhadap isoniazid, kuinolon dan aminoglikosida. Proses ini memungkinkan identifikasi awal MDR atau TB yang resisten terhadap obat secara luas.3 Tes Mantoux adalah tuberkulin paling umum digunakan (antigen TB). Sejumlah protein standar murni derivat tuberkulin disuntikkan intradermal ke permukaan bagian dalam lengan bawah dan reaksi diukur dalam milimeter dengan mengukur diameter transversal dari indurasi 48-72 jam setelah injeksi. Reaksi dianggap indikasi positif dari infeksi ketika diukur pada > 5 mm, > 10 mm atau > 15 mm, tergantung pada beberapa faktor seperti status imunologis pasien dan riwayat vaksinasi sebelumnya, semakin kuat reaksi yang terjadi lebih mungkin diagnosis TB ditegakkan. Hasil positif palsu dapat terjadi pada infeksi dengan mycobateria nontuberkulosis, vaksinasi BCG sebelumnya atau administrasi dan interpretasi tes salah. Negatif palsu dapat terjadi terutama pada pasien immunocompromized, orang tua, pasien dengan infeksi baru atau penyakit yang luar biasa atau dalam kasus-kasus administrasi atau interpretasi dari tes yang salah.3

Analisis histologis TB menunjukkan adanya nekrosis granuloma sel epiteloid. Nekrosis merupakan keadaan sekunder untuk pelepasan sitokin seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin 1. Selain granuloma, biopsi ginjal dapat menunjukkan tuberkulosis nefritis interstitial.3 Kelainan pada gambar radiografi dapat mendukung diagnosis genitourinary TB. Pencitraan radiografi, intravena urografi (IVU), ultrasonografi dan CT-Scan telah diusulkan untuk mendeteksi kelainan di lokasi penyakit hingga 95 % kasus.3 CT-Scan dan IVU serupa dalam kemampuan mereka untuk menunjukkan fokus bekas luka dan hidronefrosis dengan dilatasi pelviokalises, tapi USG kurang sensitif dibandingkan CT-Scan dan IVU. Selain itu, CT-Scan lebih sensitif dibandingkan USG dan IVU dalam mendeteksi kalsifikasi sepanjang saluran ginjal. Namun, IVU adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif untuk menunjukkan kelainan pada kandung kemih.3 Sebuah IVU dapat menunjukkan perubahan dalam tahap awal penyakit. Pada penyakit tahap akhir, distorsi dari kaliks, striktur ureter dan kandung kemih fibrosis dapat tampak. Beberapa striktur dan dilatasi sistem pengumpul (hidronefrosis atau hidroureter) pada IVU mengarah pada TB ginjal. Selain itu, penyimpangan dari caliceal atau kontur parenkim, kalsifikasi atau autonephrectomy juga dapat terlihat.3 CT-Scan dapat menunjukkan secara detail kelainan dan lesi baik di dalam maupun di luar saluran ginjal yang sugestif gastrourinary TB. Pengapuran didapat pada > 50 % kasus TB ginjal dan CT-Scan adalah teknik yang paling sensitif untuk mendeteksi kalsifikasi. Ureter distal adalah tempat yang paling umum dari striktur. CT-Scan menampilkan beberapa striktur dalam ureter dan di persimpangan pelviureteric diikuti oleh dilatasi sangat mengarah pada TB. CT-Scan juga dapat menunjukkan penebalan, fibrosis dan ulserasi sepanjang saluran ginjal, penebalan dan fibrosis dari dinding kandung kemih yang dapat menyebabkan cystitis.3

2.4 Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.8

Obat anti tuberculosis (OAT) yang dipakai:8 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol 2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg 3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kanamisin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3x/ minggu atau BB > 60 kg : 600 mg BB 40-60 kg : 450 mg BB < 40 kg : 300 mg Dosis intermiten 600 mg / kali INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 x seminggu, 15 mg/kg BB 2 x semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 x semingggu, 50 mg /kg BB 2 x semingggu atau : BB > 60 kg : 1500 mg BB 40-60 kg : 1 000 mg BB < 40 kg : 750 mg Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30mg/kg BB 3 x seminggu, 45 mg/kg BB 2 x seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg BB 40 -60 kg : 1000 mg 10

BB < 40 kg : 750 mg Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg BB 40 - 60 kg : 750 mg BB < 40 kg : sesuai BB Kombinasi dosis tetap Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.

Pengobatan TB pada gagal ginjal: Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.5

11

Tabel 2.1 Obat TB pada gagal ginjal6


Obat Rekomendasi Dosis atau perubahan frekuensi jika GFR<30ml/menit Tidak ada perubahan: 10mg/kg sampai 600 mg untuk BB>50kg, 450 mg BB<50kg Tidak ada perubahan: 5 mg/kg sampai 300 mg Penjelasan

Rifampisin

Dapat digunakan

Isoniazid

Dapat digunakan

Pirazinamid

Dapat digunakan

Etambutol

Dosis dan frekuensi dikurangi: 25-35 mg/kg 3x seminggu, hingga 2 g untuk BB>50kg, 1,5 g untuk BB<50kg Hindari Dosis dan frekuensi penggunaan dikurangi: kecuali benar- 15-25 mg 3x seminggu, benar setelah dialisis diperlukan

Streptomisin

Gunakan 12-15 mg/kg 3x hanya jika seminggu setelah dialisis tingkat obat dapat dipantau

Ekskresi sebagian besar pada hepatobilier. Terjadi peningkatan waktu paruh, namun kensentrasi obat jarang mencapai tingkat beracun Ekskresi sebagian besar pada hepatobilier. Beberapa peningkatan waktu paruh namun konsentrasi obat jarang mencapai tingkat beracun. Beberapa penelitian telah menunjukkan tingkat tinggi neurutoksisitas terutama pada pasien dialysis. Suplemen piridoksin 25 mg sangat penting ketika isoniazid digunakan pada gagal ginjal. Ekskresi terutama pada hati tetapi sebagian metabolit diekskresikan melalu ginjal; uricemia menjadi masalah. Kurangi dosis secara proporsional pada gagal ginjal dan monitor parameter hati Terutama diekskresikan melalui ginjal; dapat menyebabkan toksisitas mata, seharusnya hanya digunakan dalam keadaan luar biasa sepert MDR TB. Hindari penggunaan sama sekali jika GFR <10 ml/menit. Pantau toksisitas terutama pada mata

Pengobatan TB ginjal:

Terapi obat Isoniazid dan pirazinamid dikembangkan untuk pengobatan TB pada tahun 1952 dan penemuan etambutol dan rifampisin diikuti pada tahun 1960. Aturan pengobatan dini menganjurkan 18-24 bulan terapi obat. Namun tidak ada penelitian terkontrol yang menemukan durasi optimal pengobatan untuk gastrourinary TB, sehingga aturan standar belum teridentifikasi. Rekomendasi dari American Thoracic Society, British Thoracic Society dan Asosiasi Urologi Eropa telah menyatakan bahwa 6 bulan 12

pengobatan harus efektif. Pengobatan awal TB ginjal menggunakan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dengan atau tanpa etambutol (atau streptomisin) selama 2 bulan pengobatan intensif. Pengobatan kemudian berlanjut dengan rifampisin dan isoniazid dua kali seminggu selama 4 bulan sebagai terapi pemeliharaan. Penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal. Tingkat kekambuhan < 1 % telah dilaporkan setelah sampai 5 bulan pengobatan pada pasien yang memiliki nephrectomy ginjal. Laporan lain mengatakan tingkat kekambuhan terjadi hingga 22 % setelah 6 bulan pengobatan.3,4 Kuinolon dapat digunakan sebagai alternatif untuk dua obat terakhir. Dalam kasus multidrug resisten (ketahanan terhadap rifampisin dan isoniazid) setidaknya dua obat yang efektif lainnya diperlukan. Hal ini diperlukan untuk memantau efek samping obat karena beberapa dieliminasi seluruhnya oleh ginjal terutama jika pasien mengalami penurunan fungsi ginjal dan mungkin telah meningkatkan frekuensi efek samping dari paparan obat.4 Pembedahan diindikasikan untuk kasus TB yang rumit. Nephrectomy total dapat dilakukan jika kehilangan fungsi ginjal terdeteksi dengan laju filtrasi glomerulus < 15 ml/menit dengan atau tanpa kalsifikasi, penyakit yang luas yang melibatkan seluruh ginjal disertai hipertensi, obstruksi ureteropelvic dan karsinoma ginjal yang bersamaan. Nephrectomy parsial diindikasikan jika lesi terletak di kutub ginjal dan tidak merespon sampai 6 minggu pengobatan medis intensif atau jika ada pengapuran lambat dan progresif yang berpotensi mempengaruhi seluruh ginjal. Bedah drainase abses tidak dianjurkan.4 Alternatif prosedur untuk memperbaiki penyempitan saluran kemih dapat digunakan double-J stent atau tabung nefrostomi. Untuk meminimalkan kerusakan akibat obstruksi dapat dilakukan ketika mungkin ada fungsi ginjal kompromi. Jenis prosedur yang sangat berguna pada pasien dengan hubungan corticomedullary memadai dengan keterlibatan ginjal terbatas dan laju filtrasi glomerulus > 15 ml / menit dalam rangka mempertahankan fungsi ginjal.4

13

BAB III KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) yang dapat menyerang paru maupun ekstra paru seperti ginjal. 2. Patogenesis TB paru bermula saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-masing individu. TB ginjal dapat terjadi melalui penyebaran hematogen. 3. Diagnosis TB paru maupun TB ginjal ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 4. Pengobatan TB diberikan dalam dua fase yaitu fase intensif 3-4 tablet selama 2 bulan dan fase lanjutan 2 tablet selama 4 bulan. Pengobatan TB pada gagal ginjal maupun pada TB ginjal perlu penyesuaian dosis dan frekuensi pemberian karena beberapa obat diekskresi oleh ginjal sehingga tidak memperparah penyakit ginjal.

14

DAFTAR PUSTAKA

1.

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis

Indonesia (PPTI). 2010. Jurnal

Tuberkulosis Indonesia. Vol 7. ISSN 1829 - 5118 2. World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses pada 30 Oktober 2013 pukul 14:39 WIB http:/tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologitb-di-indonesia/article/55/000100150017/2 3. Raul RC, Castaneda LM, Cruz AEH, Zapata DAA. Renal Tuberculosis. Cir cir 2010.78:441-445 4. Abbara A and Davidson RN. Reviews: Etiology and management of genitourinary tuberculosis. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta. 6. Queensland Tuberculosis Control Centre. 2007. Queensland Tuberculosis Control Centre Guidelines for Treatment of Tuberculosis in patients with Renal disease. Nrurol 2011;8:678-688 7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). National Chronic Kidney Disease Fact Sheet: General Information and National Estimates on Chronic Kidney Disease in the United States, 2013. Atlanta, GA: US Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention; 2013. 8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 9. Carlos DJC, Alejandroe LA, Jorge VC, Marco VC. Tuberculosis genitourinaria. Rev Mex Urol 2011;71(1):18-21

15

Anda mungkin juga menyukai