Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRESENTASI JURNAL DAN CRITICAL APPRAISAL

Atropine for the Treatment of Childhood Myopia

Disusun oleh: Ninda Devita 08711236

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2012

1. Resume Jurnal Atropine for the Treatment of Childhood Myopia

Wei-HanChua, VivianBalakrishnan, Yiong-HuakChan, LouisTong, YvonneLing, Boon-LongQuah, DonaldTan

Ophthalmology, 2006, 113(12): 2285-2291

Latar belakang Miopia merupakan kelainan yang banyak di temukan, menyerang sekitar 80% populasi dewasa muda di negara Asia Tenggara seperti Singapura dan Taiwan. Insidensinya semakin meningkat tiap tahunnya di Asia Tenggara dan negara lain di dunia. Miopia dapat menimbulkan komplikasi yang tidak sedikit seperti penurunan fungsi optik, kebutaan, degenerasi makular, ablasi retina dan glaukoma. Hal tersebut menimbulkan gangguan fungsi sosial dan memakan biaya yang tidak sedikit. Penyebab pasti miopia belum diketahui pasti. Terapi efektif untuk memperlambat progresi miopia, terutama pada anak-anak, belum diketahui. Penelitian terbaru tentang pemakaina lensa kontak kaku ataupun kacamata belum memberikan hasil yang memuaskan. Saat ini, pemakaian atropin topikal, muscarinik antagonis non selektif, dianggap menjadi salah satu terapi yang dapat diberikan dalam mencegah progresi miopia. Namun penelitian yang ada masih mempunyai banyak kelemahan seperti populasi yang kecil, tidak blinded, follow up yang kurang lama, dan tidak terdapat penelitian tentang efek samping. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah pemberian atropin topikal dapat mengurangi progresifitas miopia pada anak selama 2 tahun pemberian dan untuk mengetahui efek samping dari terapi. Metode dan Pasien a. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode randomized double-masked dengan plasebo sebagai kontrol. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah atropin dana mencegah progresifitas miopia ringan dan sedang secara efektif dan aman pada anak umur 6-12 tahun. Prosedur penelitian telah sesuai dengan Deklarasi Helsinki dan disetujui oleh Singapore Eye

Research Institute Review Board. Rekruitmen subjek penelitian didapat dari tempat umum, sekolah, dan praktek spesialis mata dengan memberikan brosur yang berisi deskripsi dari penelitian ini. Subjek penelitian adalah anak usia 6-12 tahun dengan kelaianan refrasi sferis 1,00-6,00 D (lihat tabel 1). Semua anak diperiksa dan dilakukan inform concent tertulis kepada orang tua. Penelitian ini diawasi oleh komite independen.

b. Randomisasi Setelah subjek memenuhi kriteria inklusi, randomisasi menggunakan komputer sehingga didapatkan 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan topikal atropin dan kelompok kontrol yang mendapatkan plasebo. Hanya 1 mata dari setiap subjek yang digunakan dalam penelitian. Pemilihan mata juga dengan randomisasi. c. Intervensi Setiap mata yang diikutkan dalam penelitian diberikan tetes mata atropin sulfat 1% atau plasebo setiap malam selama 2 tahun. Keduanya berisi hydroxypropylmethylcellulose 0.5% dan benzalkoniumchloride 1:10,000 yang dibuat oleh Alcon Laboratories (Puurs, Belgium). Untuk memantau kepatuhan terapi, setiap anak diberi kalender yang harus ditandai jika telah menggunakan terapi. Berat dari setiap tetes mata ditimbang sebelum terapi dan setiap kontrol. Selain terapi, subjek juga diberikan lensa fotokromatik (SOLA Transitions Single Vision Lenses, Lonsdale, Australia) untuk mengoreksi kelainan refraksi. d. Pembutaan Untuk minimalisir bias, baik subjek maupun investigator tidak mengetahui intervensi yang diberikan. Tetes mata atropin dan plasebo disimpan dalam botol tanpa informasi. Label hanya berisi nomer urut subjek, mata mana yang harus ditetes, dan tanggal kadaluarsa. Orangtua pasien hanya bisa berkonsultasi tentang terapi anak mereka dan tidak mendiskusikan hal yang berkaitan dengan hasil penelitian. Untuk menghindari bias, sebelum

investigator memeriksa pasien kedua mata dilatasi maksimal dan diperiksa terlebih dahulu oleh investigator koordinator. e. Prosedur Penelitian Autorefraksi sikloplegik digunakan untuk menilai kelainan refraksi sebelum dilakukan pengacakan. Autorefraksi dilakukan oleh investigator bersertifikat. Alat yang digunakan adalah Canon RK5 autorefractor-autokeratometer (Canon Inc.Ltd., Tochigiken,Japan) dengan lima kali pengukuran sebelum dan setelah menggunakan sikloplegik. Kelima pengukuran tidak boleh berbeda labih dari 0.25D baik sferis ataupun silindris. Sikloplegik yang digunakan berisi 1 tetes proparacainehydrochloride (Alcaine, Alcon Couvreur, Puurs,

Belgium) diikuti 3 tetes 1% cyclopentolatehydrochloride (Cyclogyl, Alcon-Couvreur), dengan jarak 5 menit. Pengukuran autorekfaksi dilakukan setelah 30 menit. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan ocularbiometri (kedalaman camera oculi anterior, ketebalan lensa, kedalaman vitreus, dan panjang aksis) dengan A-scanultrasonography Nidek US-800 Echo Scan (Nidek Co.Ltd., Tokyo, Japan). Enam kali pengukuran pada setiap mata. Panjang aksis didapatkan dari rata-rata enam kali pengukuran dengan standar deviasi 0,12 mm. Pengukuran oleh investigator independen. f. Besar Sampel dan Kekuatan Pustulat yang dipegang adalah progresifitas pada kelompok pleseno 1,00D per tahun dan antisipasi perbedaan sebesar 20% (SD 0,5 D) antara atropin dan plasebo dengan attrition rate 15%, 400 anak sebagai subjek untuk mendapatkan kekuatan penelitian 90%. g. Pengukuran Hasil Efikasi. Hasil akhir utama adalah progresifitas miopia, yang didefinisikan sebagai perubahan dalam spherical equivalent refractive error(SER) relatif terhadap nilai dasar. Nilai dasar didapatkan dari pengukuran dari pengukuran 2 minggu setelah terapi dimulai, kunjungan preterapi. Atropin menyebabkan sikloplegik efek yang dapat mengurangi SER dan butuh waktu untuk menstabilkan efek ini sehingga membandingkan SER nilai dasar dengan kunjungan berikutnya dapat diterima. SER didapatkan dari pengukuran autorefraktif sikloplegik sebanyak 5 kali pengukuran tiap mata dan nilai rata-rata didapatkan dari penghitungan komputer. Progesifitas dari miopia didapatkan dari 3 komponen: M (sphericalequivalent), J0 (kekuatan dioptri dari Jackson krossilinder dengan aksis 0) dan J45(kekuatan dioptri dari Jackson krossilinder dengan aksis 45), yang dideterminasi dengan Fourier. Hasil sekunder adalah perubahan panjang aksis selama follow up relatit terhadap nilai dasar yang didapatkan dari pemeriksaan Ascanultrasonography.

Keamanan. Hasil akhir dari keamanan adalah timbulnya efek samping yang didefinisikan sebagai negatif, tidak mungkin, mungkin, dan pasti. Variable keamanan yang lain seperti ketajaman visual koreksi terbaik dengan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study chart Safety, TIO (dengan non contacttonometry), slit lamp, dan fundoskopi.

Multifocalelectroretinography juga dilakukan untuk menilai fungsi retina. h. Analisis Data Analisis data menggunakan software SPSS 11,5 dengan prinsip intention-to-treat. Karakteristik dasar pasien dianalisis dengan 2-sample t test atau Mann-Whitney U untuk variable kontinyu dan chi square atau Fisher exact test untuk variable katagorikal. Paired t test atau Wilcoxon test untuk menganalisis SER dan panjang aksis. Regresi multiple juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara perubahan SER dan panjang aksis dengan covariat yang relevan. Hasil Antara April 1999 dan September 2000, 400 anak mengikuti penelitian ini dan diacak menjadi 2 kelompok, atropin dan plasebo. Setiap kelompok terdiri dari 200 anak, 100 mata kanan dan 100 mata kiri dipilih untuk diberi terapi. Dari kunjungan preterapi, tidak ada perbedaan signifikan dari kedua kelompok tentang umur, gender, ras, dan karakteritik biometrik refraktif (lihat tabel 2).

Tiga ratus empat puluh enam (86,5%) anak menyelesaikan 2 tahun penelitian. Empat puluh empat tidak, terdiri dari 10 anak dari kelompok plasebo dan 34 anak dari kelompok atropin. Rata-rata karakteristik biometri refraktif anak yang drop out dimasukkan ke dalam kelompok awal mereka. Setelah satu tahun, progesifitas rata-rata miopia pada kelompok

plasebo adalah -0.76 0.44D. Sedangkan pada kelompok atropin terdapat pengurangan sebesar 0.03 0.50D(P<0.001; Fig1). Rata-rata pemanjangan aksis pada kelompok plasebo 0.20 0.30mm dan pada kelompok atropin terdapat pengurangan sebesar -14 0.28mm (P<0.001; Fig2). Pada tahun kedua, progresifitas miopia dan pemanjangan aksis pada kelompok plasebo 1.20 0.69D dan 0.38 0.38mm. Pada kelompok atropin, progresifitas -0.28 0.92D, dan pemenjangan aksis tidak berubah dibandingkan dengan nilai awal (-0.02 0.35 mm). Perbedaan progresifitas miopia dan pemanjangan aksis antara kedua kelompok -0.92D (95% CI, -1.1 sampai -0.77D; P<0.001) dan 0.40mm (95% CI, 0.350.45mm; P<0.001). Perubahan refraksi dan aksis pada mata tanpa terapi pada kedua kelompok sama dengan mata yang diterapi pada kelompok plasebo (Figs1, 2). Setelah 2 tahun terapi, 2/3 subjek (65.7%) pada kelompok atropin mengalami progresi kurang dari -0,5D dan 13.9% mengalami progresi lebih dari 1,00D. Sedangkan pada kelompok plasebo 16,1% atropin mengalami progresi kurang dari -0,5D dan 63,9%

mengalami progresi lebih dari 1,00D (Fig 3). Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan. Penyebab drop out seperti alergi atau hipersensitifitas (4,5%), penurunan penglihatan dekat (1%), silau (1,5%), kesulitan logistik (3,5%), atau penyebab lainnya (0,5%). Tidak ada pengaruh terhadap aktivitas visual koreksi terbaik. TIO berubah sekitar 5,5mmHg tetapi tidak melebihi 21 mmHg. Tidak ada perubahan lensa, makula, dan diskus optikus.

Diskusi Hasil dari penelitian ini adalah tetes mata atropin 1% pada malam hari sebanyak sekali mengurangi progresifitas miopia ringan dan sedang pada anak-anak dibanding plasebo secara klinis dan statistik. Selama 2 tahun terapi terlihat pengurangan sebesar 77% dibandingkan plasebo. Hal ini dikolaborasikan dengan pemeriksaan biometri yang digambarkan dengan perubahan aksis mata. Tidak terdapat perubahan pada kelompok atripon sedangkan pada kelompok plasebo terdapat perubahan sebesar 0,38mm. Efek samping atropin bisa ditoleransi dan tidak terdapat efek samping yang serius. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan multifocalelectroretinography di mana terdapat pengaruh yang kecil pada retina. Mekanisme aksi atropin untuk mencegah progresifitas lensa ataupun pemanjangan aksis belum sepenuhnya dimengerti. Dugaan awal berkaitan dengan akomodasi, di mana akomodasi berlebih menyebabkan miopia. Namun, dugaan ini tidak didukung oleh data yang ada bahwa miopia pada hewan masih bisa terjadi walau terdapat kerusakan nukleus EdingerWestpha atau pasca reseksi nervus optik. Kemungkinan yang lain adalah kerja atropin pada retina atau sklera. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Taiwan di mana tetes mata atropin (dosis 0.1%1%) pada anak menyebabkan progresi miopia yang lebih rendah daripada kelompok saline normal. Pada dosis atropin 1% didapatkan hasil -0.22D vs -0.91D. Pada penelitian yang lain dengan atropin 0,5% juga didapatkan hasil -0.28D pada kelompok atropin dan -0.93D pada kelompok kontrol. Namun, pada penelitian sebelumnya tidak diteliti masalah efek samping. Pada penelitian yang lain menyebutkan atropin dapat menyebabkan fotofobia dalam jumlah yang sedikit. Efek samping ini dapat dikurangi dengan pemakaian lensa ofpotochromatik. Kelebihan dari penelitian ini adalah pemakaian beberapa kontrol (mata dengan terapi plasebo, mata yang tidak diterapi pada kedua kelompok), pemakaian sikloplegik pada autorefraksi, hasil sekunder dengan biometri okular, dan sample yang besar. Sedangkan kelemahan pada penelitian ini adalah atropin menyebabkan midriasis atau sikloplegik dan terdapat keluhan kekaburan penglihatan pada mata yang diberi atropin sehingga membuat orangtua pasien mencatat anisokor. Hal ini menyebabkan pembutaan pada pasien kurang. Namun untuk investigator pembutaan masih terjaga dengan adanya sikloplegik sebelum pemeriksaan.

Pemakaian hasil penelitian ini dalam klinis menemui 2 masalah besar. Yang pertama pada penelitian ini terapi diberikan uniocular. Hal ini menyebabkan terjadi anisometria dan aniseikonia. Namun, pada klinis diberikan biocular maka akan menyebabkan kekaburan penglihatan dekat dengan gejala gangguan aktivitas yang harus menggunakan penglihatan dekat seperti membaca dan menulis. Untuk mengatasi hal tersebut pasien harus menggunakan lensa tambahan. Yang kedua, terapi dengan atropin 1% menyebabkan efek samping berupa fotofobia dan gangguan melihat dekat. Sehingga harus dicari dosis yang dapat memberikan efek samping minimal pada kedua mata. Selain itu pada pasien ini tidak diteliti tentang durasi pemberian atropin yang baik untuk mencegah progresifitas miopia pada anak. Durasi 2 tahun pada penelitian ini belum tentu cukup karena progresifitas post terapi tidak diikuti sehingga tidak diketahui apakah terdapat efek rebound. Dan pada ras Asia progersifitas miopia dan pemanjangan aksis bisa lebih dari 2 tahun. Kesimpulan Terapi Atropin pada miopia dapat mengurangi progresifitas miopia ringan dan sedang pada anak-anak.

2. Worksheet critical appraisal Jurnal Terapi Judul Jurnal : Atropine for the Treatment of Childhood Myopia

Wei-HanChua, VivianBalakrishnan, Yiong-HuakChan, LouisTong, YvonneLing, Boon-LongQuah, DonaldTan

Ophthalmology, 2006, 113(12): 2285-2291 Validitas: Apakah jurnal ini valid? 1a. Apakah alokasi pasien Ya terhadap terapi/ perlakuan ( ) dilakukan secara random? Tidak ( ) Assignments to treatment were allocated with concealment according to a computer-generated randomization list after eligibility criteria were veried. Terdapat dalam Randomization (halaman 2286) 1b. Apakah randomisasi Ya ( ) Tidak ( ) Assignments to treatment were allocated with concealment according to a computer-generated randomization list after eligibility criteria were veried. Alokasi pasien dilakukan secara tersembunyi dengan komputer. Alokasi pasien dilakukan secara random.

dilakukan tersembunyi?

Terdapat dalam Randomization (halaman 2286) 1c. Apakah antara subyek Ya penelitian blind perlakuan diberikan? dan terhadap yang peneliti ( ) terapi/ Tidak akan ( ) To minimize observational bias, neither the study participants nor the in vestigators responsible for measuring the study outcomes were aware of the Pada penelitian menggunakan metode double blind.

intervention given.

Terdapat dalam Masking (halaman 2286) 2a. apakah semua subjek Ya yang ikut serta dalam ( ) Follow up dilakukan secara lengkap, tidak hanya pada pasien yang mengikuti terapi secara lengkap tetapi juga pada pasien yang dropout. Subjek awal 400 orang dan di akhir penelitian subjek berjumlah 346 (86.5%) sehingga angka drop out 13,5%.

penelitian

diperhitungkan Tidak

dalam hasil/ kesimpulan? ( ) Apa follow-up pasien

dilakukan cukup lengkap? Terdapat dalam RESULTS (halaman 2287) 2b. yang Apakah pengamatan Ya cukup ( ) Tidak ( ) The eyes assigned for treatment were treated with either 1% atropine sulfate or vehicle eye drops once nightly for 2 years. Follow up dilakukan selama dua tahun terapi diberikan

dilakukan

panjang?

Terdapat dalam Intervention (halaman 2286) 2c. Apakah subjek dianalisis Ya pada subjek dikelompokkan randomisasi? kelompok dimana ( ) Subjek yang dropout dihitung ke dalam kelompok awal mereka. All statistical analyses were based on the intentionto-treat principle.

tersebut Tidak dalam ( )

Terdapat dalam Statistical Analyses (halaman 2287) 3a. Selain perlakuan yang Ya dieksperimenkan, apakah ( ) Tidak ( ) All children, regardless of treatment Semua subjek pada kedua kelompok diperlakukan sama. Dari pemeriksaan dan terapi tambahan.

subjek diperlakuakan sama?

allocation,were prescribed photochromatic lenses (SOLA Transitions Single Vision Lenses, Lonsdale, Australia) for the correction of their refractive

errors.

Terdapat dalam Intervention dan Study Procedure (halaman 2286) 3b. Apakah kelompok dalam Ya penelitian sama pada awal ( ) penelitian? Tidak ( ) At the initial pretreatment visit,there were no signicant differences between the groups in meanage, gender, and racial distribution (Table2). Likewise, there were no signicant differences between the groups interms of refractive and biometric characteristics. Pada tabel 2. Kelompok dalam penelitian sama pada awal penelitian.

Terdapat dalam RESULTS (halaman 2287) Importance: Apakah jurnal ini penting? 1. Berapa besar efek Ya terapi? ( ) Tidak ( ) Relative Absolute Number risk risk needed to reduction reduction treat (RRR) (ARR) (NNT) CER EER ARR/ CER1/ARR CER EER 63,9% 13,9% 50%/ 63,9%1/0,78= 63,9%= 13,9%= 12 pasien 0,78% 50% Dibutuhkan 12 pasien yang diterapi atropin untuk mencegah progresifitas miopia > -1,00D dalam 2 tahun pengobatan. Absolute risk reduction (ARI EER-CER 13,9%63,9%=50% Number needed to harm (NNH) 1/ARI 1 /50%= 2 pasien

CER 63,9%

EER 13,9%

Dibutuhkan 2 pasien yang diterapi dengan atropin untuk timbul progresifitas miopia > -1,00D dalam 2

2. Seberapa

tepat Ya ( ) Tidak ()

estimasi efek terapi?

tahun pengobatan. Ketepatan terapi dilihat dari 95% CI. Pada progresifitas miopia didapatkan 95% CI, -1.10 sampai -0.77D. Sedangkan pada pemanjangan aksis didapatkan 95%CI 0.350.45mm.

Applicable : Apakah hasi penelitian ini dapat diterapkan pada pasien kita? Bagian ini diisi sesuai dengan keadaan, pilihan, dan harapan pasien terhadap intervensi terapi yang kita berikan 1. Apakah pasien yang Ya kita miliki sangat ( ) dengan Tidak dalam ( ) Karakteristik pasien hampir sama dengan pasien miopia yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini dilakukan di Singapura di mana faktor ras mempengaruhi angka kejadian miopia.

berbeda pasien penelitian

Dijelaskan dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

Terdapat dalam PATIENTS AND METHODS (halaman 2286) 2. Apakah hasil yang Ya baik dari penelitian ( ) dapat diterapkan Tidak ) Atropin tetes mata terdapat di Indonesia.

dengan kondisi yang ( kita miliki? 3. Apakah semua Ya

Efek samping berat tidak terdapat pada pemakaian tetes mata atropin. Namun, efek samping berupa fotobia dan gangguan penglihatan dekat menjadi pertimbangan untuk menggunakan terapi ini

outcome klinis yang ( ) penting dipertimbangkan (efek samping yang mungkin timbul)? 4. Apakah memahami sudah Ya harapan ( ) Tidak ( )

Terdapat dalam DISCUSSIONS (halaman 2290)

dan pilihan pasien?

Tidak ( )

5. Apakah

intervensi Ya

yang akan diberikan ( akan harapan Pasien siap

memenuhi Tidak pasien? ( akan )

konsekuensinya?

Anda mungkin juga menyukai