Anda di halaman 1dari 7

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembelajaran matematika di kelas sebagian besar masih didominasi guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Proses yang terjadi adalah pembelajaran satu arah, yang hanya menekankan pada aspek kognitif siswa saja, sedangkan aspek afektif dan aspek psikomotor siswa kurang diperhatikan. Siswa hanya mengetahui dan tidak mengalami apa yang dipelajarinya. Paradigma pembelajaran lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah. Hal lain selain kebiasaan yang sudah melekat sehingga sulit merubah, dimungkinkan karena pengalaman guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Akibatnya gurulah yang lebih banyak berperan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang demikian kurang mengembangkan kemampuan bernalar siswa, kurang mengundang sikap kreatif dan kritis, membuat siswa kurang aktif, dan membosankan. Dampaknya sikap siswa terhadap pelajaran khususnya pelajaran matematika cenderung menjadi negatif, yang akhirnya dapat mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Sebenarnya tidaklah mudah untuk mengetahui secara pasti penyebab rendahnya hasil belajar siswa, sebab banyak faktor yang menentukan kualitas hasil belajar. Faktor penyebab rendahnya hasil belajar siswa tersebut antara lain disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal siswa. Khusus pada bidang studi matematika, faktor yang menentukan kualitas hasil belajar matematika salah satunya adalah sikap siswa terhadap matematika. Fakta ini didukung oleh Begle (Darhim, 2004: 4) yang menemukan bahwa rata-rata siswa cenderung bersikap netral terhadap matematika. Lebih lanjut Begle mengatakan bahwa apabila siswa ditanya tentang mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, maka bila diurutkan pelajaran matematika ada dipertengahan. Ini memberikan petunjuk bahwa pelajaran matematika tidak disukai para siswa. 1

Sikap siswa terhadap matematika tidak dapat dipisahkan dari kemampuan matematika siswa. Siswa yang memiliki kemampuan matematika yang lemah cenderung akan bersikap negatif terhadap matematika, sebaliknya siswa yang memiliki kemampuan matematika yang baik cenderung akan bersikap positif terhadap matematika. Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika cenderung memiliki kemampuan matematika yang baik. Ini dimungkinkan karena siswa mempelajari matematika bukan karena paksaan, tetapi memang karena kebutuhan. Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan matematika yang baik cenderung akan berhasil dalam kehidupannya. Sehingga dimungkinkan siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika cenderung akan berhasil dalam kehidupannya. Salah satu kemampuan matematika yang berperan penting dalam keberhasilan siswa adalah kemampuan penalaran. Hal ini dikarenakan matematika dan penalaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran berperan penting dalam keberhasilan siswa. Siswa yang memiliki kemampuan penalaran yang baik diharapkan mempunyai prestasi belajar matematika yang baik pula. Menurut Sukadijo (1991: 139) analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang berlainan itu dibandingkan satu dengan yang lain. Dalam mengadakan perbandingan, dicari persamaan dan perbedaan diantara hal-hal yang dibandingkan. Jika perbandingan itu hanya memperlihatkan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbulah analogi, yaitu persaman (keserupaan) diantara dua hal yang berbeda. Proses bernalar perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan proses penalaran merupakan aspek/ bagian yang esensial dari berpikir matematika. Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematikanya. Hal ini sesuai dengan temuan

Wahyudin (1999: 191-192) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika akibat siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Hasil penelitian Rifat (Suzana, 2003: 2) juga menunjukkan kelemahan kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar. Misalnya, kesalahan dalam penyelesaian soal matematika disebabkan karena kesalahan menggunakan logika deduktif. Matz (Priatna, 2003: 4) juga mengemukakan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal matematika dikarenakan kurangnya penalaran terhadap kaidah dasar matematika. Sementara Vinner et al. (Suzana, 2003: 2) mengemukakan bahwa kesalahan siswa dalam memahami konsep metematika disebabkan karena proses generalisasi yang tidak tepat. Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa khususnya kemampuan analogi matematis siswa masih rendah. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Priatna (2003: ii). Priatna menemukan bahwa kualitas kemampuan penalaran (analogi dan generalisasi) matematika siswa SMP masih rendah karena skornya hanya 49% dari skor ideal. Jika kita amati secara seksama, masih rendahnya kemampuan analogi matematis siswa serta tidak disenanginya pelajaran matematika oleh siswa, tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas. Dalam pembelajaran, siswa hendaknya diberikan kesempatan yang sangat luas untuk menggali dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan banyak terlibat didalam proses pembelajaran matematika yang berlangsung. Seorang guru haruslah memilih dan menggunakan strategi, pendekatan maupun metode yang menyenangkan bagi siswa, metode yang banyak melibatkan siswa secara aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial. Untuk itu diperlukan suatu strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa (student centered). Sebuah strategi belajar yang tidak

mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Dengan melibatkan siswa secara langsung atau aktif dalam pembelajaran, diharapkan akan lebih menyenangkan bagi siswa, lebih bermakna dan siswa lebih memahami konsep yang ia pelajari serta ingatnya akan konsep tersebut lebih bertahan lama. Selain itu, belajar akan lebih bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengkontruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Jadi perlu dilihat metode/ strategi pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dan menitikberatkan proses pembelajarannya kepada aktifitas siswa dalam belajar. Sebuah alternatif pembelajaran yang diharapkan mendorong siswa untuk lebih aktif dan lebih bisa berpikir kreatif dalam menyelesaikan permasalahan matematika adalah model REOG. REOG adalah model perancangan pembelajaran yang merupakan akronim dari Rasionalisasikan, Ekspresikan, Organisasikan, dan Gayakan. Model pembelajaran REOG menekankan kesadaran pembelajaran akan makna materi yang dipelajari. Adanya tahapan atau langkah-langkah sesuai rancangan dalam kata REOG tersebut, pengajar dapat dengan leluasa menumbuhkembangkan kreativitas pengelolaan kelas menyesuaikan materi, lingkungan belajar, karakteristik siswa, dan fasilitas belajar yang tersedia, serta memanfaatkan media interaktif misalnya CD interaktif. Pengelolaan kelas yang baik dengan alternatif penerapan model REOG diharapkan dapat meningkatkan konsep matematika dan hasil belajar siswa. Pembelajaran matematika model REOG memberi kesempatan yang leluasa kepada siswa untuk belajar melakukan aktivitas bekerja matematika, siswa diberi kesempatan mengembangkan strategi belajarnya secara sendiri maupun berinteraksi dan bernegosiasi dengan sesama siswa serta dengan guru. Melalui kegiatan seperti itu dimungkinkan siswa tidak merasa tertekan, tidak cemas, rasa percaya dirinya muncul dan termotivasi untuk belajar matematika. Hal ini dimungkinkan sikap positif siswa terhadap matematika

akan tumbuh. Ini penting, karena sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan hasil belajar matematika. Selain model penyajian materi, hasil belajar dan sikap siswa terhadap matematika diduga terkait dengan kemampuan awal siswa, yang dalam penelitian ini diklasifikasikan kedalam kelompok siswa pandai dan lemah di kelasnya. Dasar pengklasifikasian siswa adalah berdasarkan hasil belajar matematika sebelumnya (ulangan harian, ujian tengah dan akhir semester), serta pengklasifikasian yang dilakukan oleh guru kelas. Hal ini dapat dilakukan karena matematika merupakan ilmu yang terstruktur sehingga terdapat kaitan antara suatu topik matematika dengan topik matematika lainnya. Selain itu penguasaan siswa terhadap topik matematika tertentu akan menuntut penguasaan siswa terhadap topik-topik matematika sebelumnya. Oleh karena itu diduga hasil belajar matematika terdahulu akan terkait dengan hasil belajar berikutnya. Hal ini sejalan dengan temuan Begle (Darhim, 2004: 14) melalui penelitiannya bahwa salah satu prediktor terbaik untuk hasil belajar matematika adalah hasil belajar matematika sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa peran variabel kognitif lainnya ternyata tidak sebesar variabel hasil belajar sebelumnya. 1.2. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah 1. Pembelajaran matematika yang digunakan adalah model REOG 2. Materi matematika difokuskan pada materi Lingkaran 3. Kreativitas di sini menggambarkan peserta didik dalam menerima materi pelajaran dalam proses pembelajaran misalnya semangat untuk bertanya, cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan. 4. Penelitian ini hanya dilakukan pada Siswa kelas VIII semester II, SMP Negeri kategori menengah berdasarkan klasifikasi perolehan nilai UN tahun 2013/2014.

1.2.2. Rumusan Masalah 1. Apakah kemampuan analogi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika model REOG, secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dilihat dari (a) keseluruhan siswa, (b) kelompok siswa pandai dan (c) kelompok siswa lemah? 2. Apakah pada masing-masing kreativitas siswa yang memperoleh pembelajaran matematika model REOG, secara signifikan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dilihat dari (a) keseluruhan siswa, (b) kelompok siswa pandai dan (c) kelompok siswa lemah?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Khusus 1. Mengkaji perbedaan kemampuan analogi matematis antara

kelompok siswa yang menggunakan metode discovery dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional dilihat dari (a) keseluruhan siswa, (b) kelompok siswa pandai dan (c) kelompok siswa lemah. 2. Mengkaji perbedaan kemampuan generalisasi matematis antara kelompok siswa yang menggunakan metode discovery dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional dilihat dari (a) keseluruhan siswa, (b) kelompok siswa pandai dan (c) kelompok siswa lemah.Target Luaran 1.3.2. Target Luaran 1. Hasil penelitian diharapkan menjadi artikel ilmiah dan dimuat pada jurnal ber ISSN, seperti Jurnal Penelitian Pendidikan (JPP) STKIP PGRI Pacitan, dan jurnal terakreditasi lainnya. 2. Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan makalah untuk seminar dan dipublikasikan pada prosiding ber ISSN pada Seminar Nasional FMIPA UNS, atau ISBN seperti Seminar Nasional FMIPA UNY.

3. Hasil akhir penelitian ini diperuntukkan sebagai artikel ilmiah yang dimuat pada jurnal penelitian cetak atau online, yang telah terakreditasi atau belum terakreditasi. 1.3.3. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihakpihak tertentu yang berkecimpung dalam dunia pendidikan diantaranya adalah: 1. Memberikan gambaran bagaimana menyelenggarakan pembelajaran matematika melalui model ROEG dengan pendokumentasian kegiatan pembelajaran. 2. Melatih siswa dalam menemukan konsep matematika dengan cara menemukannya sendiri, sehingga bisa menjadi salah satu alternatif pembelajaran di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai