Anda di halaman 1dari 10

PRESENTASI KASUS: Selasa, 28 Juni 2011 Author : Ervin Ramadhani Selasa, 28 Juni 2011 14:53:34 Departemen Kardiologi dan

Kedokteran Vaskular FKUI I. PENDAHULUAN Kardiomiopati peripartum adalah bentuk dari dilated cardiomyopathy dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri, 1, 2 merupakan penyakit gagal jantung yang berhubungan dengan kehamilan atau keadaan setelah melahirkan.1 Kardiomiopati peripartum biasanya terjadi pada satu bulan sebelum melahirkan atau dalam jangka waktu lima bulan setelah melahirkan pada wanita yang sebelumnya sehat. 3-5 Penyebab dari kardiomiopati peripartum ini belum diketahui secara pasti dan mungkin melibatkan banyak faktor. kardiomiopati peripartum termasuk penyakit yang jarang dan seringkali dapat mengancam jiwa,1 tingginya kematian akibat kardiomiopati peripartum seringkali berhubungan dengan keterlambatan atau kesalahan diagnosis, yang menimbulkan konsekuensi yang fatal bagi penderita kardiomiopati peripartum.2 Meskipun kejadian kardiomiopati peripartum tidak terbatas pada usia, namun lebih sering terjadi pada wanita multipara dan hamil pada usia diatas 30 tahun.6 Insiden kardiomiopati peripartum di dunia masih sangat sedikit diketahui, banyak penelitian yang dilakukan di USA, dan Afrika Selatan, TUJUAN PRESENTASI Mendeskripsikan tentang patofisologi, diagnosis dan tatalaksana pada pasien kardiomiopati peripartum.

III. ILUSTRASI KASUS Kasus I Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke Pusat Jantung Nasional Harapan Kita bulan Juli 2008, dengan keluhan sesak nafas sejak satu bulan terakhir, yang terasa memberat dua hari SMRS. Sesak nafas bertambah dengan aktifitas ringan seperti mandi atau berjalan kurang lebih sejauh sepuluh meter, keluhan sedikit berkurang dengan istirahat, pasien juga merasakan tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, dan lebih nyaman bila tidur dengan dua bantal. Pasien baru melahirkan anak ketiga sekitar satu bulan yang lalu secara spontan pervaginam, keluhan seperti ini dirasakan pertama kali sejak pasien hamil sembilan bulan, namun tidak seberat sekarang disertai dengan sembab seluruh badan. Selama trimester pertama dan trimester kedua pasien tidak pernah merasakan sesak nafas. keluhan terasa sedikit berkurang setelah melahirkan namun kembali memberat dalam satu bulan ini. Pasien mengira ini adalah keadaan normal karena hamil, oleh sebab itu pasien tidak segera memeriksakan diri ke dokter. Pasien menyangkal pernah merasakan sakit seperti ini pada kehamilan sebelumnya. Pasien mengaku status kesehatan sebelumnya adalah baik, dan tidak pernah mengeluh cepat lelah pada aktifitas atau pun sesak nafas sampai satu bulan terakhir kehamilan. Keluhan disertai batuk-batuk berdahak sejak 2 minggu SMRS, dahak berwarna putih berbuih. Batuk lebih sering dirasakan pada malam hari saat akan tidur. Sebelum datang ke Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, pasien berobat ke klinik dan ditangani oleh dokter umum dan diberikan obat Ventolin dan Salbutamol tapi keluhan menetap. Keluhan tidak disertai nyeri dada, dada terasa berdebar-debar ataupun kaki bengkak.Selama hamil antenatal

care teratur, dan selama persalinan tidak ada riwayat darah tinggi. Pasien datang dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah 157/127 mmHg, laju nadi 130x/menit, reguler, laju nafas 26x/menit dan saturasi oksigen 99%, suhu afebris.Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva tidak pucat, JVP tidak meningkat, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan getah bening colli, pada auskultasi paru terdapat ronki pada sepertiga lapangan paru kanan dan kiri, dan tidakterdapat wheezing. Pada auskultasi jantung; batas jantung kiri di ICS V, 4 jari lateral linea midklavikula sinistra dan batas jantung kanan 1 jari lateral linea parasternalis dekstra, bunyi jantung I dan II reguler, terdengar pansistolik murmur grade 3/6 di apeks dan menjalar ke aksila, terdengar gallop. Hepar dan lien tidak teraba, shifting dullness tidak ada, bising usus normal dan tidak terdapat edemapada ekstrimitas. Pada EKG ditemukan irama sinus takikardi, laju QRS 120x/menit, aksis QRS normal 90˚, durasi QRS 0.06 detik, interval PR 0,12 detik, gelombang T inverted di I aVL V5V6. Dari foto thoraks didapatkan pembesaran jantung dengan CTR 65%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung mendatar, apeks lateral downward, terdapat tanda-tanda kongesti dan kranialisasi. Pemeriksaan laboraturium saat masuk dalam didapatkan peningkatan NT pro BNP 2641 pg/dl. Hb: 11,1 g/dL Na :135 Ht: 36 % K: 4.8 Ur: 25 Cl: 99 BUN 11,6 Alb: 3.7 Cr: 1,0 NT pro BNP: 2641 Pemeriksaan ekokardiografi tanggal 1Agustus 2008 ditemukan; Dilatasi semua ruang jantung, LVH (-), IAS cembung ke RA, EDD 70 mm, ESD 65 mm. Kontraktilitas LV menurun, EF 18%, Kontraktilitas RV cukup, TAPSE 1.5 cm. Analisa segmental: global hipokinetik berat. Katup aorta: 3 kuspis, fungsi baik. Katup mitral: MR mild-moderate, tenting AML dan PML. Katup trikuspid: TR moderate, TVG 45 mmHg. Katup pulmonal: PR mild, mPAP 20 mmHg. Doppler: E/A >1, DT 134 msec. TDI E/A>1. AoVmax 1,3 m/s. Kesimpulan: Fungsi sistolik global LV menurun EF 18%, global hipokinetik, fungsi diastolic RV dalam batas normal, MR mild moderate (remodeling LV).TR moderate, PH moderate. Dari data-data diatas ditegakkan diagnosis CHF NYHA class III et causa susp. kardiomiopati peripartum. Pasien awalnya mendapat terapi Captopril 3x12,5 mg, Furosemide 2x20 mg iv, Spironolactone 1x12,5 mg, Laxadine 1xCI kemudian pasien di rawat inap di ruang perawatan biasa. Selama perawatan obat-obatan di uptitrasi sampai dengan dosis optimal. Pasien dipulangkan dengan obat Captopril 3x50 mg, Furosemide 1x20 mg, Spironolactone 1x12,5 mg, Carvedilol 2x6,25 mg, Enervon C 1x1 tab, Neurodex 1x1 tab, Ubiquinone 3x100 mg. pasien minum obat teratur dan pada follow up 4 bulan kemudian tidak didapatkan perubahan pada pemeriksaan ekokardiografi; Dilatasi semua ruang jantung, fungsi sistolik LV global menurun 19%, Global hipokinetik, fungsi diastolic dalam batas normal, MR mild (remodeling LV), TR moderate, PH moderate. EDD 69, ESD 63, TAPSE 2,3 cm.

Kasus 2 Seorang wanita umur 25 tahun datang ke poliklinik Pusat Jantung Harapan Kita dengan

riwayat sesak nafas sejak 3 bulan yang lalu, yang semakin memberat satu minggu SMRS. Pasien baru merlahirkan anak pertamanya sekitar 5 bulan yang lalu secara normal. Sesak nafas dirasakan pada aktifitas ringan seperti berjalan di dalam rumah, dan bahkan sesak kadang dirasakan pada saat istirahat seperti menonton televisi. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak, dan setelah itu sulit untuk kembali tidur. Pasien lebih merasa nyaman tidur dengan posisi bantal yang tinggi, keluhan batuk juga sering dirasakan pada malam hari. Kaki bengkak juga dirasakan bersamaan dengan timbulnya sesak nafas tiga bulan yang lalu. Dalam waktu 3 bulan pasien sudah 6 kali memeriksakan ke dokter dan dirawat inap, tapi pasien mengaku didiagnosis berbeda-beda oleh dokter, ada yang mengatakan asma, gastritis kronis dan menurut pasien keluhan sesak nafas tidak pernah hilang sama sekali, oleh dokter perusahaan tempat pasien bekerja disarankan untuk berobat ke RS Harapan Kita. Pasien mengaku status kesehatan sebelumnya adalah baik, tidak pernah mengeluh cepat lelah pada aktifitas atau pun sesak nafas sampai dua bulan setelah melahirkan. Riwayat asma sejak kecil diakui oleh pasien, namun tidak pernah lagi dirasakan semenjak SMA. Selama hamil antenatal care teratur, dan selama persalinan tidak ada riwayat darah tinggi. Pasien datang dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah 108/81 mmHg, laju nadi 102x/menit, reguler, laju nafas 22x/menit dan saturasi oksigen 98%. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva tidak pucat, JVP tidak meningkat, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan getah bening colli, pada auskultasi paru terdapat ronki minimal pada bagian basal lapangan paru kanan dan kiri, dan tidakterdapat wheezing. Pada auskultasi jantung; batas jantung kiri di ICS V, 3 jari lateral linea midklavikula sinistra dan batas jantung kanan 1 jari lateral linea parasternalis dekstra, bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdengar murmur, terdengar gallop. Hepar dan lien tidak teraba, shifting dullness tidak ada, bising usus normal dan tidak terdapat edemapada ekstrimitas. Pada EKG ditemukan irama sinus takikardi, laju QRS 105x/menit, Gelombang P mital, bifasik di V1, aksis QRS normal 90˚, durasi QRS 0.06 detik, interval PR 0,12 detik, Tidak ada perubahan segmen ST-T. Dari foto thoraks didapatkan pembesaran jantung dengan CTR 68%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung mendatar, apeks lateral downward, terdapat tanda-tanda kongesti dan kranialisasi. Pada pemeriksaan laboratorium saat masuk didapatkan peningkatan NT pro BNP 1170 pg/dl. Hb: 11.6 g/dL GDS 134 Ht: 36 % Na 137 Leuko 10000 K 3.4 Ur 24 Cl 98 Cr: 1.2 Mg 2.1 BUN 11 NT pro BNP 1170 Dari pemeriksaan ekokardiografi tanggal 5 Mei 2010 ditemukan:Dimensi ruang jantung dalam batas normal, LVH (-), EDD 56 mm, ESD 47 mm.Kontraktilitas LV menurun, EF 18%. Kontraktilitas RV normal, TAPSE 2.4 cm. Analisa segmental: global hipokinetik . Katup aorta: 3 kuspis, fungsi baik, kalsifikasi (-), AR (-). Katup mitral: MR trivial. Katup trikuspid: TR mild, TVG 29 mmHg. Katup pulmonal: dalam batas normal. Doppler: E/A >2, DT 157 msec. AoVmax 0.9 m/s. Kesimpulan: Fungsi sistolik global LV menurun EF 24%, global hipokinetik, MR mild

(fungsional), PR mild, TR mild TVG 35 mmHg, estimasi RA pressure 10 mmHg. PH moderate. Dari data-data diatas ditegakkan diagnosis CHF NYHA class III et causa susp. kardiomiopati peripartum. Pasien awalnya mendapat terapi Captopril 3x12,5 mg, Furosemide 1x20 mg i.v, Spironolactone 1x12,5 mg, Laxadine 1xCI kemudian pasien di rawat inap di ruang perawatan biasa. Selama perawatan obat-obatan di uptitrasi sampai dengan dosis optimal. Pasien dipulangkan dengan obat Captopril 3x50 mg, Furosemide 1x40 mg, Spironolactone 1x25 mg, Carvedilol 3x6,25 mg, Curcuma 2x1 tab. Pada pemerikisaan ekokardiografi 5 bulan kemudian terdapat peningkatan fungsi pompa jantung. Fungsi sistolik LV normal, EF 57%, fungsi diastolic normal, LVEDP normal, PR mild, PH mild. Kontraktilitas RV normal.

IV. DISKUSI Pada tahun 2000 The National Heart Lung and Blood Institute and the Office of Rare Diseases menyatakan bahwa kardiomiopati peripartum adalah suatu gagal jantung yang terjadi selama 1 bulan terakhir pada kehamilan, atau dalam jangka waktu 5 bulan setelah melahirkan. Sedangkan pengertian baru menurut Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working Group on kardiomiopati peripartum 2010 menyatakan bahwa kardiomiopati peripartum adalah suatu kardiomiopati dilatasi yang menunjukan gejala gagal jantung yang secara sekunder disebabkan karena gangguan fungsi pompa sistolik menjelang akhir kehamilan atau beberapa bulan setelah melahirkan, yang merupakan diagnosis eksklusi dimana tidak ada penyebab lain yang menyertai gagal jantung, kardiomiopati peripartum dapat terjadi tanpa pembesaran jantung kiri tetapi fraksi ejeksi selalu menurun dibawah 45%.3 Karena dikatakan kardiomiopati peripartum adalah suatu diagnosis eksklusi maka diperlukan pemeriksaan untuk menyingkirkan penyabab kardiak maupun non kardiak.3 Patofisiologi kardiomiopati peripartum masih dalam perdebatan, beberapa faktor resiko kardiovaskular seperti diabetes, merokok, hipertensi dan faktor yang berkaitan dengan kehamilan seperti umur ibu saat hamil, jumlah kehamilan dan jumlah anak yang dilahirkan, obat-obatan yang digunakan pada persalinan, malnutrisi dan lain sebagainya saat ini sedang menjadi perhatian khusus para peneliti.3 Respon imun yang abnormal. Respon antigen antibodi telah banyak dibicarakan sebagai salah satu penyebab yang mungkin terjadi. Respon antibodi pada ibu terhadap antigen janin pada saat kehamilan dimana sel-sel janin menembus plasenta masuk kedalam sirkulasi darah ibu, sel-sel janin tersebut tidak dihancurkan oleh karena status imunologi ibu yang lemah selama kehamilan. Bila sel-sel tersebut sampai ke jaringan jantung dapat merangsang respon autoimun. Respon imun ini diperburuk oleh pajanan antigen pada kehamilan sebelumnya. Kardiomiopati peripartum berhubungan dengan meningkatnya titer autoantibodi seperti inflammatory cytokine yang meningkat secara signifikan pada pasien yang meninggal oleh karena kardiomiopati peripartum dibandingkan dengan pasien yang masih hidup. Saat ini tidak jelas apakah respon autoimun sebagai penyebab utama timbulnya kardiomiopati peripartum atau apakah ini hanya sebagai bagian atau konsekuensi dari penyakit itu sendiri.1 Inflamasi. Inflamasi sebagai keadaan yang menyertai stress oksidatif mungkin memainkan perananan dalam patofisiologi kardiomiopati peripartum. Hal ini dibuktikan oleh penanda inflamasi yang meningkat pada pasien kardiomiopati peripartum seperti soluble death receptor sFas/Apo-1, C-reactive protein, interferon gamma (IFN-g), and IL-6. Studi non

randomized trial memperlihatkan pemberian pentoxifylline sebagai anti inflamasi pada 58 pasien dengan kardiomiopati peripartum terlihat menjanjikan. Lebih jauh lagi kegagalan perbaikan klinis didasarkan pada meningkatnya kadar IFN-g yang menetap yang menunjukan status inflamasi sangat penting sebagai prognosis pada pasien kardiomiopati peripartum.2-4 Infeksi Virus. Infeksi virus kardiotropik yang menyebabkan respon imun tubuh berbalik menyerang jaringan jantung yang menyebabkan disfungsi ventrikel. Bultman et.al menyatakan bahwa Parvovirus B19, human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan cytomegalovirus DNA pada endomiokardial biopsi berhubungan dengan kardiomiopati peripartum karena respon inflamasi interstitial.3Miokarditis ditemukan pada biopsi endomiokardium ventrikel kanan pada pasien kardiomiopati peripartum, dengan ditemukannya infiltrasi limfosit yang banyak dan edema miosit, nekrosis maupun fibrosis. Prevalensi miokarditis pada pasien kardiomiopati peripartum ini sekitar 8,8% sampai 78% dalam penelitian yang berbeda.9,10 Infeksi virus mungkin menjadi salah satu penyebab kardiomiopati peripartum walaupun data klinis tidak mendukung tetapi ada beberapa laporan cardiotropic enteroviruses ditemukan pada pasien kardiomiopati peripartum, sementara itu pada penelitian lain tidak ditemukan frekuensi infeksi virus pada pasien kardiomiopati peripartum dibandingkan dengan pasien idiopatic cardiomiopathy (IDCM). Sebagai tambahan virus HIV sepertinya tidak terlibat dalam patofisiologi kardiomiopati peripartum.11 Prolactin, 16 kDA prolactin dan cathepsin D. Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang disertai meningkatnya stress oksidatif, selama kehamilan jantung membesar sebagai bagian dari adaptasi terhadap stress mekanik dan meningkatkan cardiac output.1 Fisiologi hipertrofi jantung pada kehamilan membutuhkan pertumbuhan yang proporsional dari pembuluh darah kapiler, untuk itu rasio kapiler dan kardiomiosit harus seimbang. Untuk melindungi jantung, aktivasi dari jalur metabolism STAT3 sangat penting, STAT3 merangsang angiogenesis dan dapat menyebabkan hipertrofi kardiomiosit. STAT3 menghambat ROS (reactive oxygen spesies) yang diupregulasi oleh mangenase superoxide dismutase (MnSOD). Jalur metabolism STAT3 diaktivasi oleh prolaktin, yang dieksresi oleh kelenjar pituitari. Prolaktin dieksresi dalam bentuknya yang utuh 23-kDA prolactin yang dapat dipecah oleh suatu protein cardiac cathepsin D menjadi 16-kDA prolactin yang sifatnya anti-angiogenik dan proapoptotik.1 Penemuan ini memberi kesan kuat bahwa pemcahan prolaktin menjadi patomekanisme yang spesifik terjadinya kardiomiopati peripartum.10 Prolaktin adalah hormon yang dominan pada awal kehamilan, dan di masa-masa setelah melahirkan. Penghambatan produksi prolaktin mungkin menjadi terapi spesifik sebagai prevensi maupun kuratif pada pasien kardiomiopati peripartum.10 Walaupun penggunaanya oleh klinis masih secara individual karena sampai saat ini masih diperlukan penelitian yang lebih besar untuk membuktikan efektifitas dan keamanannya.3 Gejala kardiomiopati peripartum sama dengan gejala gagal jantung pada umumnya, gejala dan tanda awal kardiomiopati peripartum mungkin mirip seperti yang ditemukan pada kehamilan normal, seperti kaki bengkak, sesak pada saat beraktifitas, tidur dengan bantal tinggi, sering terbangun malam karena sesak, dan batuk-batuk yang menetap. Rasa tidak nyaman di perut karena pembesaran hati, dan nyeri kepala sering ditemukan sebagai gejala sekunder dari kardiomiopati peripartum. Hal ini sering membuat penegakan diagnosis kardiomiopati peripartum sering kali terlambat karena tenaga kesehatan dapat menganggap hal ini gejala kehamilan biasa atau kelelahan karena melahirkan dan sering terbangun malam.3 Gejala yang ditimbulkan bervariasi, terbanyak adalah NYHA functional class III atau IV, pada beberapa pasien dapat juga ditemukan aritmia ventrikel sampai henti jantung. Kejadian tromboemboli perifer pada kardiomiopati peripartum juga pernah dilaporkan, batuk darah dan

nyeri dada pleuritik mungkin saja suatu gejala dari emboli paru. Pada kedua kasus diatas, sudah memenuhi kriteria diagnosis untuk kardiomiopati peripartum, pada kasus pertama pasien mengeluh sesak nafas bertambah dengan aktifitas ringan seperti mandi atau berjalan kurang lebih sejauh sepuluh meter, keluhan sedikit berkurang dengan istirahat, pasien juga merasakan tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, dan lebih nyaman bila tidur dengan dua bantaldisertai dengan sembab seluruh badan, pada auskultasi paru terdapat ronki pada setengah lapangan paru kanan dan kiri, terdapat pembesaran jantung pada pemeriksaan perkusi batas jantung kiri di ICS V, 4 jari lateral linea midklavikula sinistra dan batas jantung kanan 1 jari lateral linea parasternalis dekstra, bunyi jantung I dan II reguler dan terdengar gallop, hal ini menunjukan gejala gagal jantung, dan diikuti oleh keterangan pasien baru melahirkan anak ketiga sekitar satu bulan yang lalu. Sedangkan pada kasus kedua, pasien mengeluh sesak nafas dirasakan pada aktifitas ringan seperti berjalan di dalam rumah, dan bahkan sesak kadang dirasakan pada saat istirahat seperti menonton televisi. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesak, dan setelah itu sulit untuk kembali tidur. Pasien lebih merasa nyaman tidur dengan posisi bantal yang tinggi, keluhan batuk juga sering dirasakan pada malam hari. Kaki bengkak juga dirasakan bersamaan dengan timbulnya sesak nafas tiga bulan yang lalu, pada auskultasi paru terdapat ronki minimal pada bagian basal lapangan paru kanan dan kiri dan terdapat gallop, hal ini konsisten dengan gejala gagal jantung kongestif seperti yang telah disebutkan diatas. Pasien pada kasus kedua baru melahirkan anak pertamanya sekitar 5 bulan yang lalu. Pada kedua kasus keterangan pasien yang menyebutkan bahwa keadaan seperti ini baru timbul setelah pasien melahirkan membuat kecurigan kearah kardiomiopati peripartum semakin kuat. Secara epidemiologi gejala kardiomiopati peripartum seringkali muncul pada empat bulan setelah melahirkan (78%), dan hanya 9% yang timbul pada satu bulan terakhir kehamilan, sementara itu 13% pasien diketahui kardiomiopati peripartum sebelum satu bulan terakhir kehamilan atau lebih dari empat bulan setelah melahirkan.3 Untuk menyingkirkan penyebab lainnya maka harus dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti elektrokardiogram. Elektrokardiogram. Tidak ada gambaran spesifik yang bisa didapatkan dari pemeriksaan elektrokardiogram untuk mendiagnosis kardiomiopati peripartum.12 Dua penelitian mencoba melihat kelainan EKG pada pasien kardiomiopati peripartum pada 97 wanita afrika selatan, 66% diantaranya menunjukan voltage kriteria konsisten dengan LVH, dan 96% dengan perubahan segmen ST-T.3Pada pasien kardiomiopati peripartum yang mengalami gagal jantung jarang sekali terlihat normal, bagaimanapun penelitian dengan jumlah sampe besar masih diperlukan.Pasien kardiomiopati peripartum rentan terhadap aritmia seperti kardiomiopati lainnya, khususnya pada pasien dengan disfungsi LV yang kronik. NT pro BNP.Pada kedua kasus diatas terdapat peningkatan kadar NT pro BNP,NT pro BNP dikeluarkan oleh ventrikel sebagai respon pada peningkatan wall stretch dan volume overload dan telah dipergunakan secara luas untuk mengidentifkasi pasien dengan gagal jantung. Pada pasien kardiomiopati peripartum juga terlihat peningkatan NT pro BNP sebgai akibat dari peningkatan LVEDP. Sebanyak 38 pasien dengan kardiomiopati peripartum terdapat peningkatan NT pro BNP (mean 1727.2 fmol/ml) ketika dibandingkan dengan 21 wanita sehat sehabis melahirkan (mean 339.5 fmol/mL) P 0.0001. Pada kehamilan normal, nilai median BNP kurang dari 20 pg/ml dan stabil selama masa kehamilan, sebagai perbandingan kadan NT pro BNP meningkat pada preeklamsia. Hal tersebut mungkin menunjukan ventrikular stress dan atau disfungsi ventrikel yang disebebkan oleh keadaan preeklamsia. Nilai BNP 300 pg/ml dan nilai BNP 100 pg/ml telah menjadi nilai standar yang ditetapkan untuk mendiagnosis gagal jantung. Cardiac imaging. Pemeriksaan cardiac imaging penting pada pasien gagal jantung dengan

kecurigaan kardiomiopati peripartum, sebagai penegakan diagnosis kardiomiopati peripartum dan untuk menentukan prognosis. Pada pemeriksaan thorax foto ditemukan gambaran kardiomegali dan tanda kongesti. Pemeriksaan ekokardiografi merupakan hal yang sangat penting untuk menilai dilatasi ventrikel (tanpa hipertrofi) dan penurunan fungsi pompa jantung. Ekokardiografi dapat membedakan berbagai kelainan striktural jantung atrial myxoma, penyakit jantung katup, atau kardiomiopati hipertrofi (HOCM). Tidak kalah pentingnya ekokardiografi berguna untuk melihat ada atau tidaknya thrombus pada ventrikel kiri yang berhubungan dengan prognosis yang buruk.13 Pada kardiomiopati peripartum biasanya didapatkan end-diastolic and end-systolic dimensions yang meningkat, dan fungsi sistolik yang menurun. Ventrikel kiri menjadi berbentuk bola dengan sphericity index (longaxis dimension/short-axis dimension) mendekati 1 (nilai normalnya ≥1.5). Massa LV meningkat sedangkan ketebalan dinding biasanya dalam batas normal. Kontraktilitas menunjukan penurunuan secara global, ataupun regional. 12 Kedua kasus diatas memperlihatkan adanya dilatasi jantung dengan penurunan fungsi sistolik, sesuai dengan kriteria kardiomiopati peripartum. Pada kasus pertama diatas menunjukan bahwa EDD 70 mm, ESD 65 mm, fungsi sistolik global LV menurun EF 18%, global hipokinetik, sedangkan pada kasus kedua EDD 56 mm, ESD 47 mm, Fungsi sistolik global LV menurun EF 24%, global hipokinetik. Tidak semua pasien kardiomiopati peripartum ditemukan pembesaran LV, tetapi bila EDD 60 mm, sudah dapat diprediksi poor recovery dari fungsi LV. Hal ini juga penting untuk melihat adanya thrombus terutama ketika LVEF sangat rendah. Ekokardiografi sebaiknya diulang sebelum pasien pulang, dan pada 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun setelah perawatan untuk mengevaluasi pengobatan yang telah diberikan. Kateterisasi jantung jarang diperlukan kecuali pada pasien dengan kecurigaan miokard infark untuk menyingkirkan hal tersebut, dan data-data yang tidak bisa didapatkan pada pemeriksaan ekokardiografi. Peranan biopsi miokard untuk menegakan diagnosis miokarditis pada pasien-pasien kardiomiopati peripartum belum jelas, mungkin berguna pada pasien yang tidak respon terhadap pengobatan standar. Beberapa laporan menyatakan bahwa pasien kardiomiopati peripartum yang disebabkan oleh miokarditis mungkin mendapatkan keuntungan dengan pengobatan imunosupresif, tetapi pada biopsi miokard, sampel yang diambil mungkin saja bukan pada lesi utamanya sehingga tidak didapatkan data yang valid.14 Tidak ada perbedaan prinsip pada pengobatan gagal jantung akut yang disebabkan oleh kardiomiopati peripartum dengan gagal jantung yang disebabkan oleh sebab lain.3 Pada dasarnya pengobatan ditujukan untuk memperbaiki simptom dan meningkatkan fungsi pompa jantung.15 Pada kedua pasien diberikan terapi yang relatif hampir sama, ACEi, diuretic, dan beta bloker. Bila diperlukan O2 diberikan untuk mendapatkan saturasi oksigen ≥95% sangat penting untuk memaksimalkan perfusi oksigen ke jaringan dan menghambat disfungsi organ. Pemberian diuretik dapat dipertimbangkan jika terbukti adanya tanda-tanda kongesti, dan pada pasien-pasien simptomatik ketika penumpukan cairan bermanifestasi menimbulkan edema perifer ataupun kongesti paru. Diuretik sebaiknya diberikan secara kombinasi dengan ACEi dan beta bloker . Dapat juga diberikan nitrat intravena pada pasien dengan tekanan darah sistolik 110 mmHg dan digunakan dengan hati-hati pada tekanan darah sistolik antara 90-110 mmHg. Inotropik dapat dipertimbangkan pada pasien dengan low output state, dan terlihat tanda-tanda hipoperfusion (akral dingin, asidosis, gangguan ginjal, gangguan hati, dsb), dan dengan kongesti yang menetap pada pemberian vasodilator dan/atau diuretik. Jika diperlukan, inotropik (dobutamine dan levosimendan) harus segera dibarikan dan dihentikan bila perfusi organ sudah tercapai atau kongesti berkurang. Pemberian ACE inhibitor dan ARB sebagai first line therapy pada pasien dengan disfungsi sistolik dan LVEF kurang dari 40-45% dengan atau tanpa gejala gagal jantung, tapi merupakan kontraindikasi pada pasien kardiomiopati peripartum yang belum melahirkan

karena dapat menyebabkan gangguan kongenital pada janin. Pemberian hydralazin dan long acting nitrate untuk menurunkan afterload dan memperbaiki isi sekuncup menghasilkan penurunan LVEDP dan menurunkan resistensi pembuluh darah paru dan sistemik, dipercaya kombinasi yang lebih baik dan lebih aman dibandingkan ACEi atau ARB pada pasien kardiomiopati peripartum yang belum melahirkan. Beta bloker dapat dipertimbangkan pada pasien gagal jantung yang stabil, kecuali terdapat kontraindikasi. Beta bloker terbukti mengurangi re-hospitalization dan mencegah perburukan gagal jantung. Diberikan dosis yang rendah pada awal pemberiannya dan ditingkatkan perlahan sampai tercapai dosis optimalnya.15 Peningkatan dosis beta bloker sangat tergantung pada respon individu pasien,15 beta bloker tidak terbukti menyebabkan gangguan pada janin.3 Furosemid dan HCT adalah obat yang paling sering digunakan, Aldosterone antagonists direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada ACEi, beta bloker dan diuretik.3 Pada RALES studi (Randomized Aldactone Evaluation Study), dosis kecil spironolactone dapat diberikan pada terapi standar untuk gagal jantung yang dapat meningkatkan survival sebesar 30% dan mengurangi re-hospitalization sebesar 35%.15 Aldosterone antagonist mungkin mempunyai efek anti-androgenic pada trimester pertama. Pemberian digoxin sebaikanya dihindari selama kehamilan.15 Fenomena tromboemboli telah dilaporkan pada pasien kardiomiopati peripartum. Resiko kejadian tromboemboli pada wanita hamil meningkat sejalan dengan satus hiperkoagulabilitas pada akhir kehamilan dan berthan selama enam minggu setelah melahirkan. Stasis yang disebabkan oleh LV disfungsi dapat meningkatkan resiko tromboemboli otak, dan emboli paru. Penentuan apakah seseorang harus diberikan antikoagulan atau tidak memerlukan kecermatan dan harus mempertimbangkan dimensi LV dan ejeksi fraksi yang rendah. Ini penting untuk menekankan tidak semua pasien kardiomiopati peripartum harus mendapat terapi antikoagulan. Pemberian LMWH dapat digunakan secara aman pada trimester ketiga kehamilan dan warfarin yang mempunyai efek fetotoksik dapat diberikan setelah melahirkan. Bromocriptine dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk gagal jantung pada tatalakasana terkini dari kardiomiopati peripartum dan mempunyai efek yang baik pada PCCM akut.3, 16 Bromocriptine dapat diberikan 2x2,5 mg selama 2 minggu dilanjutkan 1x2,5 mg selama 4 minggu, menunjukan perbaikan yang signifikan pada LVEF (27% pada baseline sampai 58% pada 6 bulan, P 0.012) dibandingkan dengan pasien dengan pengobatan standar (27% pada baseline sampai 36% dalam 6 bulan, NS). Satu pasien yang mendapat pengobatan Bromocriptine dilaporkan meninggal dibandingkan dengan 4 pasien pada kelompok kontrol. Bromocriptine telah digunakan lebih dari 20 tahun pada wanita paska melahirkan untuk menghentikan laktasi, pada pengguna dilaporkan telah banyak kejadian MCI, oleh karena itu pemberian antikoagulan bersamaan dengab bromocriptine sangat dianjurkan terlebih lagi pasien dengan LVEF yang rendah. Belum ada penelitian dengan penggunaan antikoagulan yang adekwat pada pasien kardiomiopati peripartum dengan kejadian tromboemboli. Keamanan bromocriptine juga telah di uji pada 1400 wanita yang meminum obat pada minggu-minggu pertama kehamilan, tidak ditemukan peningkatan kejadian aborsi atau cacat bawaan. Sebelum pengobatan ini lebih jaun direkomendasikan, perlu RCT yanglebih besar untuk membuktikan keuntungannya, walaupun pada beberapa klinisi sudah menambahkan bromocriptine pada terapi gagal jantung dengan kardiomiopati peripartum dan menggunakannya secara individual.3 Demakis et.al membagi sebuah grup dari 27 pasien menjadi dua grup pada 6 bulan berdasarkan normal atau besarnya ukuran jantung. sebesar 52%, mengalami perbaikan ukuran jantung dan tidak ada yang meninggal akibat gagal jantung tetapi pada pasien yang tidak terdapat perbaikan ukuran jantung, sebesar 85% meninggal karena gagal jantung. Maka dari itu, bila kardiomiomiopati menetap selama 6 bulan, hal tresebut sepertinya menjadi

irreversible, ini berhubungan erat dengan survival rate yang rendah. Oconnel et.al juga memastikan bahwa 50% dari pasien memiliki perbaikan dari gejala, dan sebanyak 50% sisanya terdapat kardiomiopati yang persisten dan meningkatkan resiko kematian. Data dari penelitian Midei et.al, menunjukan bahwa kardiomiopati dapat berulang pada kehamilan berikutnya. Dari sebuah kelompok 14 orang yang menderita kardiomiopati peripartum yang sembuh dalam enam bulan, sebanyak 8 pasien kembali hamil. Berdasarkan hal tersebut, 2 diantaranya mengalami kardiomiopati peripartum berulang dan gejala kongesti, walaupun hanya sementara dan kembali seperti semula. Tetapi dari kelompok pasien dengan persisten kardiomiopati, 6 diantaranya kembali hamil, tiga orang jatuh kepada gagal jantung yang berat dan akhirnya menimbulkan kematian. Semantara itu laporan dari empat pasien dengan kardiomiopati peripartum yang sembuh dari disfungsi LV menunjukan bahwa resiko timbulnya kardiomiopati peripartum pada kehamilan berikutnya rendah. Maka dari itu wanita-wanita dengan kardiomiopati peripartum membutuhkan konseling tambahan tentang kehamilan di masa mendatang dan resiko dari munculnya kembali kardiomiopati peripartum dan kematian.17 Prognosis pada wanita dengan LVEF yang normal yang diperiksa dengan echocardiography dobutamine stress test, resiko untuk menjadi kadiomiopati berat cukup rendah pada kehamilan berikutnya.6

V. RESUME Dua wanita muda dengan diagnosis kardiomiopati peripartum, yang didapat dari anamnesis pasien mengeluh sesak nafas dan terdapat tanda-tanda kongesti beberapa bulan setelah melahirkan gejala, kedua pasien mengeku sebelumnya dalam keadaan sehat, terdapat kerdiomegali dan tanda kongesti pada foto thorax dan ekg dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan dilatasi ruang jantung dan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri. Kedua pasien mendapat terapi standar gagal jantung. Pada kasus pertama kardiomiopati peripartum tidak kembali pada follow up empat bulan kemudian, sedangakan pada kasus kedua didapatkan perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri dan gejala gagal jantung. Sesuai dengan natural history dari kardiomiopati peripartum beberapa kasus dapat kembali normal dan sisanya sebagai kardiomiopati peripartum dengan gejala gagal jantung yang menetap.

VI. REFERENSI 1. Lok SI, Kirkels JH, Klopping C, Doevendans PA, de Jonge N. Peripartum cardiomyopathy: the need for a national database. Neth Heart J. 2011 Mar;19(3):126-33. 2. Wang M. Peripartum cardiomyopathy: case reports. Perm J. 2009 Fall;13(4):42-5. 3. Sliwa K, Hilfiker-Kleiner D, Petrie MC, Mebazaa A, Pieske B, Buchmann E, et al. Current state of knowledge on aetiology, diagnosis, management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a position statement from the Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working Group on peripartum cardiomyopathy. Eur J Heart Fail. [Research Support, Non-U.S. Gov'tReview]. 2010 Aug;12(8):767-78. 4. Pandit V, Shetty S, Kumar A, Sagir A. Incidence and outcome of peripartum cardiomyopathy from a tertiary hospital in South India. Trop Doct. 2009 Jul;39(3):168-9. 5. Bretler DM, Jorgensen CH, Olesen JB, Gislason GH, Hansen PR. [Peripartum cardiomyopathy]. Ugeskr Laeger. 2009 Jan 5;171(1-2):53-5. 6. Pyatt JR, Dubey G. Peripartum cardiomyopathy: current understanding, comprehensive management review and new developments. Postgrad Med J. [Review]. 2011

Jan;87(1023):34-9. 7. Chee KH, Azman W. Prevalence and outcome of peripartum cardiomyopathy in Malaysia. Int J Clin Pract. 2009 May;63(5):722-5. 8. de Jong JS, Rietveld K, van Lochem LT, Bouma BJ. Rapid left ventricular recovery after cabergoline treatment in a patient with peripartum cardiomyopathy. Eur J Heart Fail. [Case Reports]. 2009 Feb;11(2):220-2. 9. Ramaraj R, Sorrell VL. Peripartum cardiomyopathy: Causes, diagnosis, and treatment. Cleve Clin J Med. [Review]. 2009 May;76(5):289-96. 10. Hilfiker-Kleiner D, Sliwa K, Drexler H. Peripartum cardiomyopathy: recent insights in its pathophysiology. Trends Cardiovasc Med. [Research Support, Non-U.S. Gov't Review]. 2008 Jul;18(5):173-9. 11. Phillips SD, Warnes CA. Peripartum Cardiomyopathy: Current Therapeutic Perspectives. Curr Treat Options Cardiovasc Med. 2004 Dec;6(6):481-8. 12. Braunwald. The Dilated, Restrictive, and Infiltrative Cardiomyopathies. In: Hare JM, editor. Braunwald Heart DIsease A Textbook of Cardiovascular Medicine. Eight Edition ed. Philadelphia: Saunders Elseviers; 2008. 13. Bosch MG, Santema JG, van der Voort PH, Bams JL. A serious complication in the puerperium: peripartum cardiomyopathy. Neth Heart J. 2008 Dec;16(12):415-8. 14. Baughman KL. Management of a case of peripartum cardiomyopathy. Nat Clin Pract Cardiovasc Med. [Case Reports]. 2006 Sep;3(9):514-8; quiz 8. 15. Forster O, Ansari AA, Sliwa K. Current issues in the diagnosis and management of peripartum cardiomyopathy. Womens Health (Lond Engl). 2006 Jul;2(4):587-96. 16. Elkayam U, Goland S. Bromocriptine for the Treatment of Peripartum Cardiomyopathy. Circulation. 2010 April 6, 2010;121(13):1463-4. 17. Fett JD, Ansari AA. Inflammatory markers and cytokines in peripartum cardiomyopathy: a delicate balance. Expert Opin Ther Targets. 2010 Sep;14(9):895-8.

Anda mungkin juga menyukai