Anda di halaman 1dari 7

Nama : Devi siti hamzah Marpaung Klas : Sore B NPM : 1241173300157 Tugas Materi HUBUNGAN ILMU HUKUM DENGAN

PENEGAK HUKUM DI INDONESIA berupa naskah yang sudah saya rangkum .

I.

PENDAHULUAN

Sebelumnya saya ucapkan terimksih kepada Dosen mata kuliah PENGANTAR ILMU HUKUM di Universitas singaperbangsa , atas kesempatanya memberikan saya tugas artikel dengan materi HUBUNGAN IMU HUKUM DENGAN PENEGAK HUKUM DI INDONESIA. Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil. Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif. Bagiamana mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan perundangundangan bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan tidak saja hanya pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Seringkali terlihat bahwa Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundangundangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidaktidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma

legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.

II.

PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM DAN NEGARA HUKUM


Penerapan dan Penegakan hukum merupakan dua istilah yang sesungguhnya tidaklah sama. Pengertian

penerapan hukum adalah suatu peraturan atau perundang-undangan yang telah disahkan selanjutnya diundangkan dilembaran negara, posisi ini undang-undang atau peraturan tersebut telah diterapkan. Sedangkan pengertian penegakan hukum baru dimulai pada saat hukum yang diterpkan tersebut dilanggar, maka hukum tersebut ditegakkan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan Law enforcement ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan Penegakan Hukum dalam arti luas dapat pula digunakan istilah Penegakan Peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law atau dalam istilah the rule of law and not of a man versus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law Dalam istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man, dima ksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Indonesia adalah negera hukum. Dalam undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tidak ditambah lagi dengan embel-embel tidak berdasarkan kekuasaan belaka, jadi hanya disebutkan Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Bagir Manan sendi utama negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat yang satu dengan yang lain Dalam suatu negara hukum, apabila hukum tersingkirkan, maka negara tersebut tidak lagi dikatakan sebagai negara hukum, ia bisa berubah menjadi negara otoriter. Dalam konsep negara hukum kekuasaan negara dibatasi oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan sehingga menghindari terjadinya tindakan kesewenang-wenangan. Frederich Julius Stahl ahli hukum dari Eropa kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum (rechsstaat) sebagai berikut :1)Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia;2)Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan;3)Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur) dan 4) Adanya peradilan Administrasi dalam perselisihan Sementara itu A.V.Dicey, seorang ahli hukum dari kalangan Anglo Saxon memberikan ciri Rule of Law tersebut sebagai berikut :1) Supremasi Hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum bila benar-benar melanggar hukum;2) Kedudukan yang sama di depan hkum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan 3) terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.

III.

PERAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM


Theo Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum mengungkapkan bahwa hukum itu sangat erat dengan

keadilan. Sehingga sebagian besar orang berkata bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum Bahwa hukum memang merupakan suatu bagian dari upaya manusia dalam kerangka mewujudkan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Sehingga melalui penyusunan hukum yang adil maka orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan. Persoalan yang timbul adalah apakah keadilan itu sendiri merupakan istilah hukum atau tidak? Sulit untuk menjawabnya. Apa lagi bila dikaitkan dengan pandangan positivisme hukum, sebab dalam positivisme hukum keadilan adalah dalam konteks bila hukum yang dikeluarkan oleh penguasa atau otoritas yang berdaulat ditaati, tidak dipersoalan disini entah aturan itu adil atau tidak adil. Sehingga hukum merupakan kewajiban dan kewajiban pada hukum hanya bersifat ekstern. Dalam konteks hukum merupakan kewajiban apabila hukum yang dibuat (aturan-aturan yang diproduk) benar-benar memiliki nilai keadilan dan sesuai dengan suasana bathin. Namun hukum tidak lagi bersifat kewajiban dalam hal nilai-nilai hukum yang diproduk tidak mencerminkan rasa keadilan. Dalam konteks ini hukum telah beralih fungsi menjadi memaksa. Sebab itu orang-orang senantiasa tidak puas dengan norma-norma yang telah ada, orang senantiasa menantikan norma-norma yang adil. Dalam konteks ini penganut positivisme hukum sendiri menuntut supaya hukum yang dibentuk bersifat adil. Karena itu dalam istilah hukum ada dua perbedaan yang merupakan pemisahan untuk menandakan istilah hukum yaitu :

1.

Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius/recht. Disini diitilahkan hukum menandakan

peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. 2. hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipadang sebagai Perbedaan kedua istilah hukum ini memang sangat nyata. Bahwa istilah hukum mengandung suatu tuntan keadilan sedangkan istilah undang-undang merupakan norma-norma yang secara nyata digunakan untuk memenuhi tuntutan keadilan tersebut, baik tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu dalam positivisme hukum untuk menjadikan hukum itu berkeadilan, maka hendaklah norma-norma hukum (kaedah-kaedah hukum) yang dikeluarkan benar-benar bersumber dari kaedah moral, agama, maupun kebiasaan. Sehingga bagi masyarakat yang mentaatinya akan merasakan suasana bathin yang tentram dan dengan demikian hukum tersebut menjadi hukum yang berkeadilan. Harus dihindari suatu produk norma hukum yang dibuat oleh otoritas penguasa didasari pada kepentingan pemegang otoritas kekuasaan. Apalagi hukum dijadikan alat untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam konteks perspektif positivisme hukum sulit untuk diperoleh keadilan yang sesungguhnya, karena dalam paham positivisme hukum ini yang diutamakan adalah kepastian hukum bukan keadilan hukum. Dalam positivisme hukum sarat dengan ide pendokumenan dan pemformulan hukum alam wujudnya sebagai the statutoriness of law atau istilah lainnya birokasi hukum. Dalam ilmu yang legalistik positivistik, hukum merupakan pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Sehingga dalam positivisme hukum dilakukan penyerdehanaan aturan sehingga dalam pandangan positivisme hukum itu menyebut istilah bahwa hukum adalah suatu keteraturan. Sebagaimana yang dipahami kelahiran positivisme hukum berbarengan dengan kelahiran negara modern, sehingga dalam negara modern produk hukum dalam konteks positivisme hukum dibentuk atau dibuat oleh badan legislatif. Dalam hal ini nuansa politik sulit dihindari. Oleh karena itu acapkan kali terlihat produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh legislatif dalam konteks negara modern cendrung dipengaruhi oleh faktor-faktor politik. Sehingga hukum dapat digunakan oleh penguasa untuk melakukan rekayasa sebagaimana yang dikehendaki oleh Penguasa. Tidak menutup kemungkinan penguasa akan menggunakan hukum untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena positivieme hukum yang lahir dalam atmosfir liberalisme dimana dalam konteks liberalisme pendewaan kepada individualisme sangat mencolok. Dan oleh karena itu positiviseme hukum dirancang tidak untuk memberikan keadilan bagi masyarakat atau orang banyak, melainkan untuk memberikan perlindungan kepada individu. Sehingga dalam positivisme hukum demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Bahwa hukum dalam bentuk perundang-undangan tidak saja diciptakan untuk memenuhi asas legalitas, tapi lebih jauh dari itu perundang-undangan yang diciptakan tersebut juga berfungsi sebagai sarana untuk membentuk masyarakat kearah yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Artinya hukum menjadi faktor kearah perubahan masyarakat, istilah inilah yang dikenal dengan Law is a tool of social engeeniring. Konsep ini mula-mula diperkenalkan oleh Roscoe Pound dalam tulisannya berjudul Scope and Purposes of

sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut.

Sociological Jurisprudence, Ia mengatakan bahwa hukum adalah alat rekayasa social. Jadi hukum dapat digunakan secara sadar untuk mengadakan perubahan masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, a tool of social engineering atau social engineering by law adalah sebagai berikut : Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh Agent of change. Dan agent of Change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan mimimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan didalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada dibawah pengendalian dan pengawasan pelopor perubahan tersebut. Melalui metode law is a tool of social engeeniring apa yang menjadi tujuan dari perubahan yang dipelopori oleh agent of change dapat tercapai. Namun demikian tidak semua perundang-undangan yang dibuat dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh undangundang itu sendiri. Untuk itu agar metode law as a tool of social engineering dapat digunakan secara efektif, perlu diperhatikan 4 asas utama. Adam Podgorecki menggambarkan keempat asas utama itu sebagai berikut a. b. Menguasai dengan baik situasi yang dihadapi. Membuat suatu analisis tentang penilian-penilaian yang ada serta menempatkan dalam suatu aurutan

hirarkhie. Analisis dalam hal ini mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidakaakan lebih menimbulkan suatu efek yang memerburuk keadaan. c. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu metode yang dipkirkan untuk digunakan

pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki. d. Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada. Konsep Law as tool of social engenering apabila penguasa tidak mengutamakan moralitas dalam penciptaan hukum, maka tidak menutup kemungkinan hukum akan dijadikan alat untuk kejahatan (law as tool of crime). Roni Rahman Nitibaskara, pernah mengungkapkan ini dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dalam perkembangan praktik hukum ternyata acapkali hukum telah disalahgunakan yaitu untuk melakukan kejahatan. Judicial crime terjadi karena terdapat peluang untuk mempertukarkan kekuasan dengan materi melalui celah-celah kelemahan hukum. Kehebatan mereka dalam menggunakan hukum itulah, menghasilkan penyimpangan yang tampak sah secara hukum. Karena penyimpangan tersebut bergerak dalam bingkai hukum, maka kelihatan semuanya berjalan dan sesuai dengan hukum kendatipun ada pelanggaran hukum. Sering sekali secara tersembunyi dalam putusan hakim sesungguhnya terjadi judicial crime atau discretionary justice para penegak hukum. Hal inilah yang disebut dengan istilah kejahatan yang sempurna adalah kejahatan yang dibungkus dengan hukum (Perfect crime).

Aliran positivisme hukum yang menjadi standar ukuran untuk segala sesuatu adalah hukum yang tertulis diluar hukum yang tidak tertulis, maka itu bukan hukum. Dalam pandangan positivisme hukum tidak ada kaedah kebiasaan, kaedah moral, kaedah agama maupun kaedah kesopanan. Menurut Julis Moor yang memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan John Austin mengemukakan bahwa positivisme hukum dalam model analitik atau normatif merupakan hal yang sematamata diproduksi oleh suatu otoritas publik penguasa dimasyarakat, dan oleh karenanya menuntut dua hal yaitu : a. Hukum semata-mata merupakan kaidah-kaidah atau kategori-kategori imperatif (keharusankeharusan berprilaku) yang dibawah otoritas bulik diterbitkan) dan apapun yang telah diteribtkan sebagai hukum. b. Dalam aliran positivisme hukum dituntut adanya suatu pemisahaan yang tajam antara hukum positif dengan kaedah-kaidah moral dan kebijakan kemasyarakatan, sehingga dalam pandangan positivisme hukum keadilan identik dengan kepatuhan terhadap aturan-aturan. Oleh karena itu penyimpangan hukum dapat terjadi dikarenakan semua hukum dan produkproduknya dibuat oleh para ahli hukum dengan tidak banyak mempertimbangkan aspek moral, dan keberlakuannya sangat ditentukan oleh yang berkuasa. Hubungan antara hukum positif dengan moral ada 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi yaitu : Pertama, hukum dan moral harus berkaitan artinya apa yang ditetapkan oleh hukum positif dalam aturannya harus merupakan perwujudan moralitas atas asas-asas moral. Dengan demikian hukum positif yang tidak mengandung aspek moralitas, maka hukum positif tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat. Jadi ketaatan orang terhadap hukum identik dengan perbuatan moral. Kedua, hubungan hukum moral dengan hukum positif tidak berhubungan, dimana hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, menyelenggarakan kedamaian dan keteranganan hidup manusia di masyarakat, sedangkan hukum moral mengatur perbuatan batin, dan menyempurnakan kehidupan manusia. Ketiga, hukum positif dan moralitas memiliki otonomi dan ruang lingkup yang ekslusif. Dalam hukum positif kekuatan hukumnya terletak pada pengundangnya yang formal. Sedangkan hukum moral hanyalah sekedar asas-asas seperti asas manfaat, tradisi dan kebiasaan masyarakat.

IV.

PENUTUP
Dalam negera hukum fungsi hukum sesungguhnya sangat signifikan, justru bila terjadi pelanggaran

hukum dan penegakan hukum tidak dilaksankaan, maka kondisi suatu negara akan menjadi goyah dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kekacauan (chaos). Oleh karena itu hukum harus dijadikan panglima (supreme of law). Akan tetapi dalam konteks hukum modern, kadang kala hukum juga dijadikan sarana untuk melakukan kebijakan-kebijakan publik (publik policy) yang justru kadang kala menyengsarakan masyarakat. Hukum

yang demikian akan menjadikan hukum jauh dari cita-cita hukum yang sesungguhnya yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sebab itu dalam hukum modern yang merupakan buah dari aliran positivisme hukum memandang hukum sebagai perintah penguasa, sehingga dalam konteks ini hubungan hukum positif dan moral dapat terlihat dari pespektif penguasa atau otoritas pemegang kekuasaan yang melahirkan undang-undang. Sehingga otoritas penguasa yang bijaksana tentu akan melahirkan produk hukum yang berlandaskan asas-asas moralitas pula.

Anda mungkin juga menyukai