Anda di halaman 1dari 20

OPTIMALISASI PERAN PUSKESMAS UNTUK PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR TBC

Oleh : FINA VIOLITA CHRISTI 101211131195 IKMA 2012

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepda Tuhan Yang Maha Esa yg telah memberikan rahmat & karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Administrasi Puskemas yang berjudul Optimalisasi Peran Puskesmas Sebagai Penanggulangan Dan Pemberantasan Penyakit Menular Tbc ini. Makalah ini adalah salah satu tugas wajib dari mata kuliah Administrasi Puskesmas, dimana penulis mengangkat tema tentang penanggulangan TBC. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu Kegiatan-kegiatan yang dilakukan puskesmas dalam menanggulangi TBC. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Airlangga. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk mengatasi hal tersebut ,diatas diharapkan

memberikan saran dan kritik yang membangun agar makalah dapat menjadi lebih di masa akan datang.

Surabaya, 10 November 2013 Penyusun

ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... i Kata Pengantar ...................................................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

BAB 2 ISI 2.1 Ruang Lingkup Puskesmas .......................................................... 3 2.2 Tuberkulosis ................................................................................. 4 2.3 Program Penanggulangan dan Pemberantasan TB (P2TB).......... 6 2.4 Pengawas Menelan Obat .............................................................. 9 2.5 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB ........................................ 11 2.6 Pemantauan dan Evaluasi Program .............................................. 14 2.7 Pencatatan dan Pelaporan ............................................................. 14

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan................................................................................... 16 3.2 Saran ............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002. Sebagian besar kasus TB (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negaranegara berkembang. Diantara mereka, 75% berada pada usia produktif (20-49 tahun). Pemberantasan tuberculosis sebelumnya kurang memuaskan. Oleh karena itu, sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Laporan TB dunia oleh WHO tahun 2009, masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor 5 di dunia setelah Nigeria dengan jumlah kasus baru sekitar 429.000. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis, Pada tahun 2005 diperkirakan ada 9 juta pasien TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada Negara-negara berkembang. Demikian juga kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, hal 2, Depkes,Jakarta2006). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,

akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 2030%. Jika ia meninggal. Akibat TB, maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Keberhasilan program penanggulangan TBC, yang merupakan salah satu target sasaran Mellenium Development Goals (MDGS) ditentukan oleh berbagai upaya dan strategi yang ditetapkan dalam pelaksanaan program P2TB, dengan mengoptimalkan sumber daya (man, money, material, machine dan methode) yang tersedia.

Seperti yang tertera pada tabel target penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB yang termuat dalam Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia tahun 2010-2014 diharapkan pada tahun 2014 Indonesia dapa menurunkan jumlah kasus TB dan meningkatkan penemuan serta penyembuhan kasus baru TB Paru di Indonesia ini. Untuk membuat hal tersebut tercapai, maka dibutuhkan peran aktif dari pemerintah semua pelayanan kesehatan, terutama Puskesmas. Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar dimana salah satu programnya adalah P2TB (Pencegahan dan penanggulangan TB) tentunya harus memaksimalkan perannya sehingga didapat hasil yang diharapkan.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 RUANG LINGKUP PUSKESMAS

1. Pengertian Puskesmas Puskesmas merupakan sarana pelayanan yang terdekat dengan masyarakat dan mempunyai kedudukan yang unik, karena berperan selain menjalankan tugas yang telah didesentralisasikan dan juga tugas-tugas pusat. Puskesmas mempunyai tugas memberikan pelayanan, pembinaan, dan pengembangan upaya kesehatan secara paripurna yang meliputi peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) di wilayah kerjanya.

2. Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas Puskesmas merupakan pusat pembangunan Kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya yang berfungsi pertama, mendorong masyarakat melaksanakan kegiatan yang menunjang kesehatan dengan cara menggali dan menggunakan serana yang ada secara tepat. Kedua, berfungsi untuk membina peran serta masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat. Ketiga, Puskesmas berfungsi untuk memberikan pelayanan Kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat. Adapun tugas pokok Puskesmas adalah melakasanakan kegiatankegiatan pokok meliputi: Kesehatan Ibu dan Anak, KB, Peningkatan Gizi, Kesehatan Lingkungan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit,

Imunisasi, Pengamatan penyakit Penyuluhan Kesehatan, Pengobatan, Perawatan, Kesehatan Kerja, Kesehatan Sekolah dan Olah Raga, Kesehatan Gigi, Mata dan Jiwa, Laboratorium Sederhana, Kesehatan Usia Lanjut, Pencatatan dan Pelaporan dalam rangka informasi Kesehatan.

2.2 TUBERKULOSIS

1. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2. Kuman Tuberkulosis Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant (tidur lama) beberapa tahun.

3. Penyebaran Kuman Tuberkulosis Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat menularkan kepada orang berada disekelilingnya, terutama kontak erat. Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita, penyebaran kuman dalam udara yang dikeluarkan bersama dahak berupa droplet di udara sekitar penderita TB. Penderita TB yang mengandung banyak sekali kuman dapat dilihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat menular. Penderita yang kumannya tidak ditemukan dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA negative) sangat tidak menular).1 Penderita TB BTA positif menularkan kuman ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi debu yang mengandung kuman tuberculosis dan dapat bertahan di udara beberapa jam. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain.

Jika kuman tersebut telah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, kemudian membelah diri (berkembang biak), maka dapat terjadi infeksi. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

4. Risiko penularan Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

5. Risiko menjadi sakit TB Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang

bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

6. Gejala-gejala Tuberkulosis : Batuk berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih Dahak bercampur darah Sesak nafas dan rasa nyeri di dada Badan terasa lemah, kehilangan napsu makan dan berat badan menurun, berkeringat malam, disertai meriang lebih dari sebulan.

7. Sifat Kuman Tuberkulosis : Mati bila terkena sinar matahari Mati bila terkena panas api atau air mendidih Mati bila terkena sabun, lisol atau karbol

2.3 PROGRAM PENANGGULANGAN TB (P2TB)

Program penanggulangan TB pada perinsipnya bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dengan memutuskan mata rantai penularan. Kegiatan program antara lain : penemuan penderita, pengobatan penderita, pencatatan dan pelaporan.

1. Penemuan Penderita Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif dan aktif. Secara aktif artinya petugas kesehatan secara langsung mencari penderita, sedangkan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilakukan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan

cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa disebut passive promotive case finding. Selain itu, semua kontak penderita TB dan BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberculosis adalah penyakit menular yang dapat

mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 (tiga) specimen dahak dalam waktu 2 hari berturut turut, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS).

Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPA (sewaktu) BTA positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgent mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif dan kalau hasil roentgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spectrum luas selama 1 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif dan kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan roentgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil roentgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgent positif. Bila hasil rontgent tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

2. Pengobatan Penderita Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip pengobatan adalah OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO), untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat. Adapun Jenis, Sifat dan Dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT

Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, tahap intensi dan lanjutan. a. Tahap intensif Pada tahap awal (intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila saat tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.

a. Tahap lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah, defaulter (lalai)/DO, dan gagal. 1) Sembuh adalah penderita BTA positif yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak pada dua kali yang berurutan hasilnya BTA negatif satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. 2) Pengobatan lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan dahak ulang. 3) Meninggal adalah penderita yang dalam masa pengobatannya diketahui meninggal karena sebab apapun. 4) Pindah adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten atau kota lain. 5) Defaulted atau Droup Out adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai. 6) Gagal adalah penderita BTA (+) yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau akhir pengobatan.

2.4 PENGAWAS MENELAN OBAT

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Dalam hal ini puskesmas harus

mengetahui siapa PMO pasien TB, sehingga petugas kesehatan di puskesmas dapat mengontrol apakah obat telah habis diminum oleh penderita atau belum.

a. Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b. Siapa yang bisa menjadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Dekat c. Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada

10

pasien dan keluarganya: TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur TB bukan penyakit keturunan atau kutukan Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK

2.5 PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

11

Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

12

b. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari antara 1-2 bulan:

Keterangan : *Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak.

13

2.6 PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM

Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarakwaktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar.

2.7 PENCATATAN DAN PELAPORAN

Salah satu komponen penting dari surveilans yaitu pencatatan dan pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan surveilans harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang baku.

14

Pencatatan di Unit Pelayanan Kesehatan, salah satunya adalah Puskesmas pencatatan menggunakan formulir sebagi berikut. Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak, bagian atas. Kartu pengobatan TB Kartu identitas pasien Register TB UPK Formulir rujukan/ pindah pasien Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan

15

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Tbc merupakan hal serius yang harus diperhatikan penanggulangan dan pemberantasannya. Untuk Hal ini diperlukan upaya puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat dasar. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Penemuan penderita b. Pengobatan penderita c. Pencatatan dan pelaporan Untuk dapat memastikan berjalannya pengobatan pada pasien TB di perlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) yang biasanya adalah orang terdekat pasien. Setelah dilakukan pengobatan, maka harus dilakukan pemantauan dan kemajuan hasil pengobatan dengan cara pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Jika ada pengobatan yang tidak teratur maka dilakukan tindakan-tindakan khusus. Untuk mengetahui keberhasilan program yang diterapkan di perlukan pemantauan dan evaluasi program. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi diperlukan pencatatan dan pelaporan yang baik pula.

3.2 SARAN Diperlukan pelatihan sumber daya manusia yang berkualitas agar program penanggulangan dan pemberantasan TBC dapat berjalan dengan lancar. Dibutuhkan peran pemerintah khususnya dinas kesehatan untuk

mencukupi kebituhan OAT agar dapat memenuhi kebutuhan semua penderita TBC Diperlukan Evaluasi untuk memperbaiki program-program yang sudah terlaksana.

16

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, Edisi 2, Jakarta.

Kementrian Kesehatan, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 20102014, Jakarta 2011 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 Tahun 2009 Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Sarjan. 2008. Pengembangan Sistem Informasi Program Tuberkulosis (Tb) Untuk Mendukung Evaluasi Program Penanggulangan Penyakit Tb Di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

17

Anda mungkin juga menyukai