Sejarah mencatat, mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya
bangsa Indonesia. Pergerakan bangsa Indonesia dimulai dari pergerakan mahasiswa. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, mahasiswa dan pemuda telah memiliki idealisme kebangsaan yang sangat kental dengan tekad mempersatukan wilayah nusantara sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa melalui konsep Sumpah Pemuda. Gerakan-gerakan perlawanan terhadap tindak penjajahan oleh Belanda dan Jepang telah diilhami oleh konsep Sumpah Pemuda yang merupakan salah satu karya terbaik anak bangsa. Akhirnya, upaya mahasiswa termanifestasikan dalam pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru tidak terlepas dari peran mahasiswa, termasuk mahasiswa dari Jawa Barat. Setelah itu, pergerakan-pergerakan mahasiswa tetap menghiasi cakrawala kehidupan berbangsa dan bernegara selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sikap represif para penguasa Orde Baru menyebabkan banyak mahasiswa yang ditangkap, tindakan seperti ini seakan mengaborsi lahirnya pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa ketika itu. Titik kulminasi pergerakan mahasiswa pada saat Orde Baru terjadi pada pada 1998. Idealisme mahasiswa yang terkubur selama 32 tahun telah mengalami kebangkitan pada tahun tersebut, ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru. Peristiwa serupa bukan tidak mungkin terjadi pula di berbagai negara di dunia ini, baik di Timur maupun di Barat. Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat. Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri. Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu : 1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control) 2. sebagai agen perubahan (agent of change) 3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock) Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan : - Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan. - Semangat mengawal dan mengawasi jalannya agenda-agenda kebangsaan, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa dengan melalui tindakan kongkrit. - Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan. yang telah mereka perjuangkan. Ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik. 1. sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat. 2. sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. 3. kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari. 4. mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda. Pada saat generasi yang memmipin bangsa ini sudah mulai berguguran pada saat itulah kita yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Namun apabila hari ini ternyata kita tidak berusaha mambangun diri kita sendiri apakah mungkin kita kan membangun bangsa ini suatu saat nanti. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Kemampuan yang harus dimiliki seorang mahasiswa 1. Soft skill (Kemampuan Kepribadian) - Soft Skill atau kemampuan kepribadian adalah salah satu faktor untuk sukses pada pendidikan yang ditempuh dan juga penentu untuk masa depan seseorang dalam menjalani hidupnya. - Karena soft skill hampir 80 % menentukan keberhasilan seseorang.
Kemampuan soft skill yang perlu dimiliki seorang mahasiswa - Manajemen waktu - Kepemimpinan (leadership) - Tingkat kepercayaan yang tinggi (self confidence) - Selera humor yang tinggi (sense of humor) - Memiliki keyakinan dalam agama (spiritual capital) 2. Hard Skill (Kemampuan Intelektual) Kemampuan intelektual hanya mendukung 20 % dari pencapaian prestasi dan keberhasilan seseorang, jika kemampuan soft skill ini kita punyai, maka kita akan menjadi orang yang baik di masa depan. Namun kondisi Mahasiswa sekarang begitu sangat memprihatinkan, seakan posisi mahasiswa kehilangan jati diri sebagaimana mestinya esensi kita dalam kehidupan social masyarakat dan sekarang mahasiswa harus memiliki paradigma baru dalam melakukan suatu gerakan. Jika mahasiswa terus menajamkan konflik di antara mereka, maka hal ini akan mengganggu kemurnian penyampaian aspirasi pada penguasa. Untuk mendapatkan keseragaman visi dibutuhkan suatu basis massa yang solid, dan hal inilah yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Bagi mahasiswa dengan segudang idealismenya, mencapai sebuah kemajuan tidak mengenal kata akhir. Untuk itu, sikap kritis dan ketidakpuasan terhadap sistem yang ada harus selalu melekat pada diri mahasiswa. Dengan sikap tersebut sama artinya mahasiswa telah menempatkan diri sebagai oposisi nonstruktural yang bisa mendatangkan manfaat bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan jika sikap oposisi ini dilakukan secara bersama-sama, pasti bisa mendatangkan kekuatan berlipat ganda untuk mempercepat perbaikan bangsa. Begitu idealnya. Sayangnya, dari sekian juta mahasiswa di Indonesia, tidak ada yang bisa bergerak ideal. Jika ada, hanya sedikit. Kesan mahasiswa sebagai kekuatan solid dan inklusif, lambat laun memudar dan terancam berubah elitis dan kurang mengakar pada masyarakatnya (baca: mahasiswa). Setiap penetrasi wacana dilakukan, selalu mental oleh sikap dingin akar rumput. Ada dua kemungkinan penyebab kesulitan para mahasiswa me-landing-kan setiap wacana kebangsaan (terutama politik) terhadap mahasiswa lain yang notabene masyarakatnya sendiri. Pertama, terletak pada kemampuan internal para mahasiswa dalam melakukan kristalisasi kekuatannya. Keadaan itu diperburuk oleh sikap negatif sebagian mahasiswa yang memperlemah posisi mereka sendiri. Dengan status sebagai professional rebels againt all authority, mahasiswa menjadi elemen bangsa yang relatif bersih dari konflik kepentingan. Harusnya, mereka memiliki kemampuan mendobrak jiwa kolektivitas dan sikap paternalistik yang menjadi ciri dari golongan "Pak Turut dan Fanatik". Mahasiswa sebisa mungkin mencegah terjadinya hal sebaliknya, karena itu berisiko pada lemahnya kredibilitas yang bisa menyulut sikap apatis dan skeptis masyarakatnya dan juga masyarakat di luar kampus. Harus mampu memandang sesuatu secara luas dengan melihat interelasi berbagai persoalan dalam merumuskan konsep dan aksi penyelesaian. Kemampuan seperti ini oleh sebagian pengamat yang notabene mantan aktifis, dinilai semakin berkurang. Mahasiswa cenderung terjebak berpikir pragmatis parsial dan tidak komprehensif. Sikap ini melahirkan sikap-sikap turunan seperti, merasa benar sendiri, kebiasaan mengeneralisasi sesuatu dengan mudah, bahkan ada yang secara naif mempresepsikan aktivis hanya dengan mengetahui cara demonstrasi, berintrik, berkolaborasi, dan berkonspirasi. Sikap-sikap seperti ini sudah barang tentu tidak akan menghadirkan nilai positif bagi pergerakan mahasiswa ke depan, bahkan bisa merendahkan level kultur politik yang dimilikinya. Kedua, adalah realitas objektif lingkungan yang ada saat ini yang sadar atau tidak, situasinya telah mengarahkan mahasiswa pada kondisi skeptisisme. Kerasnya hantaman budaya pop di tengah ketatnya jadwal perkuliahan, bahkan pada kondisi tertentu perkuliahan pun dengan sengaja dibengkalaikan demi menikmati aliran budaya pop yang ingar-bingar, semakin membuat pergerakan mahasiswa kering meranggas. Sudah bukan berita baru, kebiasaan sebagian mahasiswa sehabis belajar klasikal melanjutkan kegiatannya di mall, nongkong di pinggir jalan depan kampus, dll. Padahal, seandainya waktu itu mereka sisihkan untuk belajar dan berorganisasi, mungkin masih jauh lebih dari cukup. Gelar intelektual sejati sudah di ujung tanduk, kecuali mahasiswa melakukan perubahan. Para aktivis yang memiliki level kultur politik lebih tinggi, mau tidak mau harus menjelmakan diri menjadi golongan creative minority (karena jumlahnya memang tidak banyak) dan melakukan pencerahan terus-menerus. Mereka harus mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya agar terbimbing dan tidak jatuh ke dalam kebutaan politik yang lebih parah. Mereka harus bicara dan hadir di setiap kesempatan untuk memperbaiki situasi. Jika hal ini terjadi, pergerakan mahasiswa akan kembali bersemi.*** Lembaga kemahasiswaan adalah cermin aktualisasi fungsi mahasiswa sebagai intelektual dan agent of change yang menjunjung tinggi kesucian idealisme dan moral. Lembaga-lembaga kemahasiswaan ini secara keseluruhan menciptakan apa yang disebut dengan Students Governance atau pemerintahan mahasiswa. Mari berjuang dan melawan ketidakadilan. Tunduk tertindas atau bangkit melawan karena diam adalah sebuah bentuk penghianatan.