Anda di halaman 1dari 13

Memahami dan menjelaskan tentang systemic lupus erythematous (SLE)

Definisi
SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi yang berlebih
terhadap komponenkomponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas.
Penyakit ini multi sistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak
bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar
oleh matahari), genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan hormon testosteron dan LH
untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita).
Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami
apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi
imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan
respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya
autoantibody.
Etiologi
1. Genetik:
a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding kembar dizigotik
(3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC kelas II.
b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA DR4 dan HLA
DR5.
c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta aktivasi sel T.
d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang menetukan ciri
seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang menyebabkan peningkatan autoimunitas.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang
memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus.
Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita
penyakit ini.

2. Defisiensi komplemen
a. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.
b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.
c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.
d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan menyebabkan
predisposisi penyakit kompleks imun.
e. Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat, menaikkan jumlah
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu mengendap di jaringan yang
menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3. Hormon
a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan menekan fungsi sel
Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan produksi antibodi.
b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor).
c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem imun.
d. 3 jenis imunomodulator :
Imunorestorasi
Imunostimulasi
Imunosupresi

4. Autoantibodi





5. Lingkungan
a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.
b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian terjadi reaksi
epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel setelah itu terjadi
inflamasi.



Prevalensi
Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000
penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000
populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE
di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di
Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang
ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12
kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand,
prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6
kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama
dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah
osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita
SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal
dunia.

Gejala klinis
Macam-Macam Lupus Eritematosus Sistemik
a. Lupus eritematosus sistemik
- Merupakan tipe lupus yang paling serius
- Menyerang organ tubuh seperti otak, hati, paru dan ginjal
b. Lupus diskoid
- Hanya menyerang kulit yang menyebabkan rash pada muka, leher, kulit kepala dan
telinga
c. Lupus obat
- Disebabkan oleh reaksi dari beberapa jenis obat
- Ketika terjadi penghentian obat, maka gejalanya akan hilang
d. Lupus neonatal
- Lupus yang dipindahkan dari ibu ke bayi
Kulit
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7% Lupus
diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil
pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan
efusi pleura atau efusi parikardial.
Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan
diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi
WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1)
Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II,
mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-
15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, trombositopenia, dan
lekopenia.
Pneumonitis interstitialis
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat
diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
Susunan Saraf Pusat (SSP)
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang
sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini
membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan
metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila
diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan.
Arthritis
Dapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris, terjadi pada beberapa
sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan
kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri,
dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi.Anak dengan JRA
polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.
Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena
disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
Gejala yang lain:
1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %
2. Demam di atas 38oC 90 %
3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %
4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %
5. Ruam pada kulit 74 %
6. Anemia 71 %
7. Gangguan ginjal 50 %
8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %
9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %
10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %
11. Rambut rontok 27 %
12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %
13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynauds) 17 %
14. Stroke 15 %
15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %
16. Selera makan hilang > 60 %

Patogenesis
Faktor pemicu akan memicu sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi dan ekspansi sel
B. Lalu, akan muncul antibodi terhadap antigen nukleoplasma, meliputi DNA, nukleoprotein, dan
lain- lain yang akan membentuk kompleks imun.Kompleks imun dalam keadaan normal, dalam
sirkulasi diangkut oleh eritrosit ke hati dan limpa lalu dimusnahkan oleh fagosit. Tetapi dalam LES,
akan terdapat gangguan fungsi fagosit, yang akan menyebabkan kompleks imun sulit dimusnahkan
dan mengendap di jaringan. Lalu, kompleks imun tersebut akan mengalami reaksi hipersensitivita
tipe IV.

Diagnosis dan diagnosis banding
Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala yang sangat
bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak ada pengujian tunggal yang dapat
mendiagnosa lupus sistemik. Untuk membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik,
sebelas kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut berkaitan
dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien yang dicurigai menderita lupus
eritematosus sistemik mungkin tidak pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis
defenitif. Pasien yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa
bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih kriteria berikut,
diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus
eritematosus sistemik dapat ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit
kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang
kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian

No Kriteria Definisi
1 Bercak malar (butterfly Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung
rash) menyebar ke lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan
follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada
anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai
dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. Pleuritis : Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub
atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik Atau b. Perikarditis:
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau
terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika
pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan saraf Kejang : Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau
Psikosis: Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik
(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik dengan retikulositosis
Leukopenia < 4000/mm
3
pada > 1 pemeriksaan
Limfopenia < 1500/mm
3
pada > 2 pemeriksaan
Trombositopenia < 100.000/mm
3
tanpa adanya intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan
Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan ditemukannya Treponema palidum atauantibodi treponema
11 Antibodiantinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas
Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat membantu mengevaluasi
pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk menentukan keparahan organ-organ yang terlibat.
Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung
cairan tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat
membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik
Diagnosis banding
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding
banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang
dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan
purpura trombositopenik.


Komplikasi
Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat
deposit kompleks antibody-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang
menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III.
Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung).
Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernafasan.sering terjadi
bronkitis.
Dapat terjadi vaskulitis disemua pembulu serebrum dan perifer.
Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis
dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau
penyakitnya.
Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)
Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat
dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk pada
penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

Angka harapan hidup :
a. 5 tahun : 85-88%
b. 10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
a. Infeksi penyakit
b. Nefritis lupus
c. Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
d. Penyakit kardiovaskular
e. Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang
paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan
keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
Penatalaksanaan SLE
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang
kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang
dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan
mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang
remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita
selama hamil.

2. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau
support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus
SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan
edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan
bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu
dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya
dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang
tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi
dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas,
dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m
2
) lebih efektif dibanding hanya
kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi
ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat,
perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi
neutrofil > 1000/mm
3
dan leukosit > 3500/mm
3
. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi
intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m
2
setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun
hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga
diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes
zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.
Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang
penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul
adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan
nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea
dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison
yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali
sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi
imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus
nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang
refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-
12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm
3
dan metrofil > 1000. Jika
diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang
terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan
gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam,
ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah
obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus
diperiksa secara periodik.

Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang
hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan
rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya
diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari
kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama
untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase,
gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada
penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan
perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas
penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek
samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum.
Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter,
sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan
pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil
autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel,
selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang
melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa
penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis
dan gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien
nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.
Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat
pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang
mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia,
proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF
yang diberikan pada penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin.
Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat
antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif.
Hidroksiklotokuin (200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek
samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin
menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada
mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian
rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 12 bulan
kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu
direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai
masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti
bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan
aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk
mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy
(ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat
perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini
harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.


Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau
intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau
parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional,
kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau
imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya
keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya
memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada
keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari
berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid,
peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis
iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur,
iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid
harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien
dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu
(monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat
(alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama
kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa
kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah
dan ketuban pecah dini.

NSAID (Non Steroid Anti I nflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit
kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang
menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas
SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan
kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek
samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek
sampingnya pada gastrointestinal.

Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air
susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai
krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi
blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek
meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan
perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek
samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.
Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
Memahami dan menjelaskan tentang perspektif teologis, tentang kaitan antara kaidah dengan sabar,
ikhlas, ridha menghadapi musibah
1. SABAR
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman:
Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari.
(Al-Kahfi: 28)
Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:
1) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2) sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
3) sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.
2. IKHLAS
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa
mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat
dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas
adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang
beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).
3. RIDHO
Ridho (

) berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari
Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik
suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada
hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi
menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu
yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-
Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah
untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho
kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan,
sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar
karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib
bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta
adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha Allah, namun
perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi
terdahulu berjuang menghilangkan
kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.
Ayat al-quran tentnag ridho


Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali
Imran ayat 19)


Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wa sallam itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)
Daftar Pustaka
ads.machbudin.com
Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
eramuslim ( media islam rujukan )
Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol III Jakarta :
Departemen Penyakit Dalam FKUI.
Setioyohadi Bambamg. 2009 . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ad.5 jilid 3. Jakarta: Interlan Publising
Wilson Lorraine M, Prince A. 2006 Patofisiologi vol.2 ed.6. Jakarta : EGC
www.harunyahya.com.indo
www.medicastore.com

Anda mungkin juga menyukai