Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria
yang menapak usia lanjut. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang
sebenarnya terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
1,2
BPH (Benign prostate hyperplasia)
merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bukan merupakan keganasan dan dapat
menghambat aliran urin dari kandung kemih. kumulasi sel dan pembesaran kelenjar bisa
terjadi karena adanya proliferasi dari sel epitel dan stroma, gangguan dari proses
apoptosis atau keduanya.
!,",#
Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar
$%& pria diatas usia '% tahun. ngka ini akan meningkat diatas (%& pada pria berusia
diatas )% tahun. *eskipun jarang mengan+am ji,a, BPH memberikan keluhan yang
menjengkelkan dan mengganggu aktifitas sehari-hari. .eadaan ini akibat dari pembesaran
kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra.
/bstruksi ini lama-kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun
ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun ba,ah.
.eluhan yang disampaikan pasien BPH seringkali berupa 0123 (lower urinary
tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi
(storage symptoms) yang meliputi 4 frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,
pan+aran miksi lemah, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin.
1,",$
Hubungan antara
BPH dengan 0123 sangat kompleks. 2idak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan
miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali
faktor yang diduga berperan pada proliferasi5pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi
pada dasarnya BPH terjadi pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai
testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. 6isamping itu pengaruh
hormone lain (estrogen, prolaktin), mikrotrauma dan faktor-faktor lingkungan diduga
berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat se+ara tidak langsung. 7aktor-faktor
tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor,
yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam mema+u proliferasi sel-sel kelenjar
prostat.
1
2erapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. 6i berbagai daerah di
Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama
karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. 8alaupun
demikian dokter di daerah terpen+il pun diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan
sebaik-baiknya.
1.2. Rumusan Masalah
dapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut 4
a. Bagaimanakah karakteristik pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dengan
pemeriksaan 1ltrasonografi (139) di 6i:isi ;adiodiagnostik (sentral)
Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar periode pril
sampai 3eptember tahun 2%%) berdasarkan kategori umur, diagnosis klinis dan
kesan hasil pemeriksaan 139=
b. Bagaimanakah pola diagnosis BPH antara pendekatan pemeriksaan klinis
dibandingkan kesan hasil pemeriksaan 139 di 6i:isi ;adiodiagnostik (sentral)
Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar periode pril
sampai 3eptember tahun 2%%)=
1.3 Tujuan Peneltan
a. 1ntuk mengetahui karakteristik pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
dengan pemeriksaan 1ltrasonografi (139) di 6i:isi ;adiodiagnostik (sentral)
Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar periode pril
sampai 3eptember tahun 2%%) berdasarkan kategori umur, diagnosis klinis dan
kesan hasil pemeriksaan 139.
b. 1ntuk mengetahui pola diagnosis BPH antara pendekatan pemeriksaan klinis
dibandingkan kesan hasil pemeriksaan 139 di 6i:isi ;adiodiagnostik (sentral)
Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar periode pril
sampai 3eptember tahun 2%%).
2
1.! Man"aat Peneltan
a. *engetahui karakteristik pasien BPH dengan pemeriksaan 139 di 6i:isi
;adiodiagnostik (sentral) Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah
6enpasar periode pril sampai 3eptember tahun 2%%) berdasarkan kategori
umur, diagnosis klinis dan kesan hasil pemeriksaan 139.
b. *engetahui pola diagnosis BPH antara pendekatan pemeriksaan klinis
dibandingkan kesan hasil pemeriksaan 139 di 6i:isi ;adiodiagnostik (sentral)
Bagian53*7 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar periode pril sampai
3eptember tahun 2%%).
+. *enambah ,a,asan keilmuan terutama mengenai aspek pemeriksaan 139 pada
pasien BPH dan penulisan karya tulis ilmiah.
d. 3ebagai a+uan sumber data dasar untuk melakukan e:aluasi kinerja pelayanan di
Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar dan pedoman bagi
penelitian-penelitian lain yang terkait selanjutnya.
!
BAB II
TIN#AUAN PU$TA%A
2.1 Batasan
Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah
hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah.
1,2
BPH (benign prostate hyperplasia) merupakan pembesaran
kelenjar prostat yang bukan merupakan keganasan dan dapat menghambat aliran urin dari
kandung kemih. kumulasi sel dan pembesaran kelenjar bisa terjadi karena adanya
proliferasi sel epitel dan stroma, gangguan pada proses apoptosis atau keduanya.
!,",#
2.2 Anat&m
Prostat adalah kelenjar seukuran buah kenari yang merupakan bagian dari sistem
reproduksi pria. .elenjar ini terdiri dari dua lobus yang dilapisi oleh lapisan luar. Prostat
terletak di depan rektum, tepat di ba,ah kandung kemih dimana urin disimpan. Prostat
juga mengelilingi uretra, saluran tempat keluarnya urin. >olume rata-rata prostat pada
orang de,asa adalah 2% gram.
",',$

'am(ar 2.1. Anat&m )r&stat n&rmal
2.3 E)*em&l&g
Bila menggunakan kriteria :olume prostat ? !% ml dan skor
American Urological Association Symptom (tabel 2), pre:alensi BPH pada pria berumur
## sampai $" tahun tanpa kanker prostat adalah 1(&. 2etapi jika kriteria ke+epatan
pan+aran maksimum @ 1% ml5detik dan :olume urin residu ? #% ml diikutkan, maka
pre:alensinya hanya "&. Berdasarkan studi otopsi, pre:alensi BPH meningkat dari )&
pada pria berumur !1 sampai "% tahun, menjadi "%-#%& pada pria berumur #1 sampai '%
tahun, dan ? )%& pada pria berumur diatas )% tahun.
!
"
2.! Et&l&g
6engan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron-estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi kon:ersi perubahan testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka otopsi perubahan
mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia !%-"% tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada
lelaki usia #% tahun, angka kejadiannya sekitar #%&, dan pada usia )% tahun sekitar )%&.
3ekitar #%& dari angka tersebut akan menyebabkan gejala dan tanda klinis. .arena
proses pembesaran prostat terjadi se+ara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi
perlahan-lahan.
Pada tahap a,al setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher :esika
dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor
ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trabekulasi (buli-buli balok). *ukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor.
2onjolan mukosa yang ke+il disebut sakula, sedangkan yang besar disebut di:ertikulum.
7ase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. pabila keadaan
berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
1
2eori lain menyebutkan keterlibatan dihydrotesterone (6H2), suatu substansi
yang berasal dari testoteron di prostat, yang membantu mengontrol pertumbuhan prostat.
Hal ini bisa terjadi karena adanya enAim #B-redu+tase tipe 2. CnAim ini terdapat di sel
stroma, sehingga sel ini menjadi tempat utama sDntesis 6H2. 6H2 dapat bekerja se+ara
auto+rine pada sel stroma sendiri atau se+ara para+rine yaitu di sel epitel. Pada kedua sel
ini, 6H2 berikatan dengan reseptor androgen nukleus sehingga terjadi transkripsi growth
factor yang bersifat mitogenik pada sel epitel dan sel stroma. 6H2 1% kali lebih potensial
dibandingkan testosteron karena lebih lambat terdisosiasi dari reseptor androgen. Peranan
6H2 pada terjadinya hiperplasia noduler didukung oleh bukti bah,a pada pria yang
diberi #B-redu+tase inhibitor, kadar 6H2 pada prostatnya berkurang kemudian
mengakibatkan penurunan :olume prostatnya, sehingga akhirnya gejala BPH juga
berkurang. Produksi 6H2 berkurang seiring bertambahnya usia. <amun beberapa
penelitian menunjukkan bah,a ,alaupun testosteron yang ada hanya sedikit, pria yang
sudah berumur akan tetap mempunyai akumulasi 6H2 di prostatnya. Penelitian juga
menunjukkan bah,a pria yang tidak mempunyai 6H2, tidak mengalami BPH.
2,'
#
2.+ Pat&"s&l&g
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. 9ejala dan tanda obstruksi
saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pan+aran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis
miksi. 9ejala iritasi disebabkan hipersensitifitas otot detrusor berarti bertambahnya
frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. 9ejala obstruksi terjadi karena
detrusor gagal berkontraksi dengan +ukup kuat atau gagal berkontraksi +ukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus. 9ejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih sehingga :esika sering berkontraksi meskipun belum penuh. 9ejala dan
tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
pabila :esika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak
tuntas pada akhir miksi. Eika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kema+etan
total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. .arena produksi urin terus terjadi, pada
suatu saat :esika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra:esika terus
meningkat. pabila tekanan :esika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. ;etensi kronik menyebabkan refluks
:esiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
diper+epat bila terjadi infeksi. Pada ,aktu miksi, penderita harus selalu mengedan
sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
.arena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi
pielonefritis.
1,",$

2., Tan*a *an 'ejala
Pemeriksaan +olok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui
+olok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak
konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas
dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang
'
konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan bagian yang
lebih keras. 6engan +olok dubur dapat pula diketahui batu prostat bila teraba krepitasi.
6erajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah
miksi spontan. 3isa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar
dengan keteterisasi. 3isa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi
kandung kemih setelah miksi. 3isa urin lebih dari 1%% ++ biasanya dianggap sebagai batas
untuk indikasi melakukan inter:ensi pada pembesaran prostat.
6erajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pan+aran urin pada
,aktu miksi, yang disebut uroflo,metri.
ngka normal pan+aran kemih rata-rata 1%-12 ml5detik dan pan+aran maksimal
sampai sekitar 2% ml5detik. Pada obstruksi ringan, pan+aran menurun antara '-) ml5detik,
sedangkan maksimal pan+aran menjadi 1# ml5detik atau kurang. .elemahan detrusor dan
obstruksi infra:esikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pan+aran kemih.
/bstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu
faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. 2indakan untuk
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit
harus dilakukan se+ara teratur.
1
1kuran prostat tidak selalu menentukan tingkat keparahan obstruksi atau gejala.
Beberapa pria dengan kelenjar prostat yang membesar mengalami obstruksi yang lebih
ringan dibandingkan pria lainnya yang kelenjarnya tidak terlalu membesar. Beberapa pria
kadang tidak mengetahui bah,a dirinya mengalami obstruksi sampai mun+ul gejala tidak
bisa ken+ing sama sekali. .eadaan ini disebut retensi urin akut, yang bisa disebabkan
oleh konsumsi obat flu atau alergi. /bat-obat tersebut mengandung dekongestan yang
bersifat simpatomimetik, dan mempunyai efek samping men+egah kandung kemih
berkontraksi untuk mengosongkan urin. Eika terjadi obstruksi parsial, retensi urin juga
bisa disebabkan oleh alkohol, +ua+a yang dingin, atau kondisi imobilitas yang lama.
',$
2.- Dagn&ss
6iagnosis BPH bisa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan imaging.
2.-.1 Anamness
Pemeriksaan a,al terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau ,a,an+ara
yang +ermat guna mendapatkan data tentang ri,ayat penyakit yang dideritanya. 3alah
$
satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi
akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IP33). 8H/
dan 1 telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom s+ore yang telah
distandarisasi. 3kor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
nalisis gejala ini terdiri atas $ pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai % hingga #
dengan total maksimum !#. .uesioner IP33 dibagikan kepada pasien BPH dan
diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. .eadaan paisen BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh.
(
Ta(el 2.1. .H/ IP$$
1
Pertanyaan Jawaban dan skor
%eluhan )a*a (ulan terakhr 2idakada
sama sekali
@2%& @#%& #%& ?#%& Hampir
selalu
a. A*akah an*a merasa (ul0(ul t*ak k&s&ng setelah (.a..k1 % 1 2 ! " #
(. Bera)a kal an*a hen*ak (.a.k lag * *alam 2aktu 2 jam
setelah (.a.k1
% 1 2 ! " #
3. Bera)a kal terja* (ah2a arus kemh (erhent se2aktu (.a.k1 % 1 2 ! " #
*. Bera)a kal terja* an*a t*ak *a)at menahan kemh1 % 1 2 ! " #
e. Bera)a kal terja* arus lemah sekal se2aktu (.a.k1 % 1 2 ! " #
". Bera)a kal an*a mengalam kesultan memula (.a.k1 % 1 2 ! " #
Bangun t*ur untuk (.a.k 2idak
pernah
1 F 2 F ! F " F # F
g. Bera)a kal an*a (angun untuk (.a.k * 2aktu malam1 % 1 2 ! " #
h. An*akata 3ara (.a.k se)ert an*a alam sekarang n akan
seumur h*u) teta) se)ert n4 (agamanakah )erasaan
an*a1
#umlah sk&r 5
6 7 (a k sekal
1 7 (ak
2 7 kurang (ak
3 7 kurang
! 7 (uruk
+ 7 (uruk sekal
3kor %-$4 bergejala ringan
3kor )-1(4 bergejala sedang
3kor 2%-!#4 bergejala berat.
Ta(el 2.2
!
American Urological Association Symptom Score for Benign
Prostatic Hyperplasia
Over About the Past
Month
Never < 1 in 5
Times
< 50% of
the Time
About 50%
of the Time
> 50% of
the Time
Almost Always
)
How often have you
had a sensation of not
emptying your bladder
completely after you
finish urinating?
0 1 2 3 4 5
How often have you
had to urinate again <
2 h after you finished
urinating?
0 1 2 3 4 5
How often have you
stopped and started
again several times
when urinating?
0 1 2 3 4 5
How often have you
found it difficult to
postpone urination?
0 1 2 3 4 5
How often has your
urinary stream been
wea?
0 1 2 3 4 5
How often have you
had to push or strain
to begin urination?
0 1 2 3 4 5
How many times did
you most typically get
up to urinate between
going to bed at night
and waing in the
morning?
none
!0"
once
!1"
twice
!2"
3 times
!3"
4 times
!4"
# 5 times
!5"
$merican %rological $ssociation &ymptom &core ' total ((((((
Adapted from Barry MJ, Fowler FJ, O'Leary MP, et al: The American Urological Aociation
ymptom inde! for "enign protatic hyperplaia# Journal of Urology $%&:$'%(, $(()#
2.-.2 Pemerksaan 8sk
Golok dubur atau digital rectal examination (6;C) merupakan pemeriksaan yang penting
pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk men+ari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. 6ari pemeriksaan +olok dubur ini dapat
diperkirakan adanya pembesaran prostat biasanya pada lobus tengah, konsistensi prostat,
(
dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. *engukur
:olume prostat dengan 6;C +enderung underestimate daripada pengukuran dengan
metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bah,a ukuran sebenarnya
memang besar. .e+urigaan suatu keganasan pada pemeriksaan +olok dubur, ternyata
hanya 2'-!"& yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. 3ensitifitas
pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar !!&.
",$,(
Ta(el 2.3. Derajat (erat h)ertr&" )r&stat (er*asarkan gam(aran klns
1
Derajat 9&l&k *u(ur $sa :&lume urn
I Pen&nj&lan )r&stat4 (atas atas mu*ah *ra(a ; +6 ml
II Pen&nj&lan )r&stat jelas4 (atas atas *a)at
*3a)a
+60166 ml
III Batas atas )r&stat t*ak *a)at *ra(a < 166 ml
I= Retens urn t&tal
2.-.3 Pemerksaan La(&rat&rum
1rinalisis dilakukan untuk memeriksa urin menggunakan metode dipsti+k untuk menilai
ada tidaknya darah, leukosit, bakteri, protein atau glukosa.
2es darah dilakukan untuk menyingkirkan adanya keganasan pada prostat yaitu
dengan mengukur peningkatan P3 (prostate-specific antigen). P3 merupakan protein
yang diproduksi oleh kelenjar prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. P3 meningkat sedang pada !%-#%& pasien dengan BPH, tergantung ukuran
prosta dan derajat obstruksi. Eika kadar P3 ? " ng5ml atau jika pemeriksaan +olok dubur
mengindikasikan abnormalitas, sehingga kemudian dapat dilakukan biopsi transrektal.
Pada pria atau populasi yang beresiko tinggi menderita kanker prostat, P3 ? 2,# dapat
dikatakan abnormal. P3 merupakan indikator prognosis ke+epatan pertumbuhan prostat,
kemungkinan retensi urin, dan perlu tidaknya tindakan bedah.
0aju pertumbuhan :olume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar P3 %,2-1,!
ng5dl laju adalah %,$ m05tahun, sedangkan pada kadar P3 1,"-!,2 ng5dl sebesar 2,1
m05tahun, dan kadar P3 !,!-(,( ng5dl adalah !,! m05tahun. .adar P3 di dalam serum
dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi
prostat atau 21;P), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang
makin tua. 3erum P3 meningkat pada saat terjadi retensi urin akut dan kadarnya
1%
perlahan lahan menurun terutama setelah $2 jam dilakukan kateterisasi. ;entang kadar
P3 yang dianggap normal berdasarkan usia adalahH "%-"( tahun4 %-2,# ng5ml, #%-#(
tahun4%-!,# ng5ml, '%-'( tahun4%-",# ng5ml, $%-$( tahun4 %-',# ng5ml. .esimpulannya
bah,a berbagai faktor (kanker, BPH,infeksi, trauma, umur, ras) dapat mempengaruhi
kadar P3 di serum. 3emakin tinggi kadar P3, semakin besar kemungkinan menderita
kanker prostat, dan kadar P3 sendiri dapat menentukan perjalanan alamiah pada BPH.
*eskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. 1sia sebaiknya tidak
melebihi $%-$# tahun atau usia harapan hidup lebih dari 1% tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.
2,!,",$,),(
2.-.! Pemerksaan Imagng
6engan pemeriksaan radiologik seperti foto polos abdomen dan pielografi intra:ena,
dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis atau di:ertikulum kandung kemih. .alau dibuat foto setelah miksi, dapat
dilihat sisa urin. 3e+ara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila
dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter
membelok ke atasberbentuk seperti mata kail. pabila fungsi ginjal buruk sehingga
ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat
dilakukan sistogram retrograde.
1ltrasonografi dapat dilakukan se+ara transabdominal atau transrektal (transrectal
ultrasonography I 2;13). 3elain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan
ultrasonografi dapat pula menentukan :olume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan
patologi lain seperti di:ertikulum, tumor dan batu. 6engan ultrasonografi transrektal,
dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Pada prosedur ini,
pasien diminta untuk berbaring dalam posisi lateral dekubitus kiri dengan lutut terfleksi
dan diletakkan dekat dada. 2ransrektal ultrasonografi (2;13) dilakukan dengan
menggunakan probe mikrokon:eks transrektal ',# *HA yang diberi selubung. 1ntuk
memastikan terjadinya kontak akustik, maka selubung itu dilapisi gel ultrasound,
kemudian dimasukkan ke dalam rektum. 3etelah mengamati pada garis tengah, probe itu
kemudian diputar searah jarum jam dan berla,anan arah jarum jam untuk melihat seluruh
bagian kelenjar. Jang diamati adalah ada tidaknya lesi fokal dan pola echonya, integritas
kapsul dan penyebaran proses penyakit di luar batas kelenjar. Pembesaran kelenjar prostat
11
dengan atau tanpa pembesaran lobus medial dengan e+hogenisitas simetris dan
e+hotekstur Aone glandular dalam yang heterogen, menandakan terjadinya BPH. .elenjar
yang normal atau membesar dengan lesi fokal pada Aone perifer dengan atau tanpa
kerusakan kapsul menandakan terjadinya karsinoma prostat. Pada BPH sebagian besar
pola e+honya adalah hypoe+hoi+. .arakter Aona yang terlibat pada kelenjar, pola e+ho,
keadaan kapsul dan in:asi organ sekitar lebih jelas hasilnya jika diamati melalui 2;13
jika dibandingkan dengan transabdominal sonografi.
Pengukuran :olume prostat merupakan bagian yang penting dari prosedur 2;13.
;umus yang paling sering digunakan adalah rumus elipsoid yang memerlukan
pengukuran tiga dimensi prostat. 6imensi pertama-tama ditentukan melalui bidang aksial
dengan mengukur dimensi trans:ersal dan anteroposterior. 6imensi longitudinal diukur
melalui bidang sagital, kemudian diukur dengan rumusan 4
>olume I panjang F lebar F tinggi F %,#2
Pada prostat normal terdapat tiga pola e+ho yang tampak pada pemeriksaan 139,
yaitu isoe+hoi+, hypoehoi+ dan hypere+hoi+. Pada laki-laki normal yang masih muda,
lapisan dalam prostat akan menunjukkan e+hogenisitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan bagian luarnya. Eika Aone transisi membesar, maka perbedaan pada kedua daerah
tersebut akan menjadi jelas. Kone transisi menghasilkan gambaran yang hypoe+hoi+
dibandingkan dengan Aone perifernya yang umumnya isoe+hoi+. 3truktur yang
menunjukkan gambaran hypere+hoi+ sebenarnya adalah lemak, +orpora amyla+ea atau
kalkuli.
9ambaran BPH pada pemeriksaan 139 rutin adalah pembesaran bagian dalam
kelenjar yang relatif hypoe+hoi+ dibandingkan Aone perifernya. Pola e+ho itu tergantung
pada elemen kelenjar dan stroma, karena suatu nodul dapat berupa jaringan fibroelastik,
fibromus+ular, hiperadenoma atau fibroadenoma. 6engan makin besarnya kelenjar, Aone
transisi yang hypoe+hoi+ akan menekan Aone sentral dan perifer. Batas yang memisahkan
jaringan yang hiperplasia tersebut dari Aone perifer merupakan sebuah kapsul. 139 dapat
pula menganalisa efek hyperplasia pada uretra anterior dan menilai pembesaran lobus
medial. 9ambaran lainnya yang dapat terlihat pada BPH dapat berupa kalsifikasi dan
nodul hypoe+hoi+ yang membulat.
'am(ar 2.2 'am(aran )r&stat n&rmal )a*a TRU$
12
12
'am(ar 2.3 BPH *engan n&*ul (ulat h>)&e3h&3 ?)anah@
12
3ebuah studi menunjukkan bah,a terdapat korelasi yang +ukup signifikan antara
ke+epatan aliran urin (pea flow rate) dan :olume prostat yang ditentukan berdasarkan
2;13. 6engan menggunakan cut off value ke+epatan urin maksimum 1# ml5detik atau
kurang untuk memperkirakan obstruksi kandung kemih, maka didapatkan sensitifitas dan
spesifisitas masing-masing $!& dan '%&. 3edangkan sensitifitas dan spesifisitas untuk
1!
memperkirakan obstruksi dengan menggunakan :olume prostat "% gram atau lebih adalah
''& dan '"&.
Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.
G2 s+an atau *;I jarang dilakukan. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, ke+uali hendak menjalani terapi4 (a)
inhibitor #-B reduktase, (b) termoterapi, (+) pemasangan stent, (d) 21IP atau (e)
prostatektomi terbuka.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria
atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat
memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan
dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam :esika. 3elain
itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur
panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
1,2,!,",$,(,1%,11,12

2.A Penatalaksanaan
2erapi non bedah dianjurkan bila 8H/ IP33 tetap di ba,ah 1#. 1ntuk itu dilakukan
kontrol dengan menentukan 8H/ IP33. 2erapi bedah dianjurkan bila 8H/ IP33 2# ke
atas atau bila timbul obstruksi.
6i dalam praktek pembagian besar prostat derajat I-I> digunakan untuk
menentukan +ara penanganan. Penderita derajat satu biasanya belum memerlukan tindak
bedah, diberikan pengobatan konser:atif, misalnya dengan penghambat adrenoreseptor
alfa, seperti alfaAosin, praAosin, dan teraAosin. .euntungan obat penghambat
adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasia prostat sedikit pun. .ekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan
untuk pemakaian lama. lfa blo+ker (B1-adrenergi+ re+eptor antagonist) menyebabkan
terjadinya relaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih, dan mengurangi
hambatan aliran urin. lfa blo+ker dapat menyebabkan ejakulasi ke arah kandung kemih
(ejakulasi retrograde). #B-redu+tase inhibitor menghambat #B-redu+tase, yang kemudian
akan menghambat produksi 6H2, hormon yang bertanggung ja,ab terhadap pembesaran
prostat. Eika digunakan bersama dengan alfa blo+ker, akan men+egah perkembangan BPH
sampai menjadi retensi urin akut.
1"
6erajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (2rans 1retral ;ese+tion I 21;).
*ortalitas 21; sekitar1& dan morbiditas sekitar )&. .adang derajat dua dapat di+oba
dengan pengobatan konser:atif. Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan
oleh pembedah yang +ukup berpengalaman. pabila diperkirakan prostat sudah +ukup
besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans:esikal,
retropubik atau perineal.
Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera dikerjakan
ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistostomi. 3etelah itu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitif dengan 21; atau pembedahan terbuka. Prosedur ini dilakukan
khususnya jika prostat berukuran lebih dari $# gram, pasien dengan batu kandung kemih
atau di:ertikulum pada kandung kemih, dan pasien yang tidak mungkin dilakukan
pembedahan transuretral.
Penderita yang kondisi umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konser:atif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Cfek samping obat ini adalah gejala hipotensi, seperti
pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemah.
Pengobatan konser:atif ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang menekan
produksi 0H. .esulitan pengobatan konser:atif ini adalah menentukan berapa lama obat
harus diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang in:asif minimal ialah pemnanasan prostat dengan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada
ujung kateter. 6engan +ara yang disebut transurethral microwave thermotherapy
(21*2) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira $#& untuk gejala objektif.
Pada penanggulangan in:asif minimal lain, yang disebut transurethral ultrasound
guided laser induced prostatectomy (210IP) digunakan +ahaya laser. 6engan +ara ini,
diperoleh juga hasil yang +ukup memuaskan.
1retra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang dikembangkan
didalamnya (transurethral balloon dilatation I 21B6). 21B6 ini biasanya memberi
perbaikan yang sifatnya sementara.
1#
21< (transurethral needle ablation) menggunakan gelombang radio frekuensi
tinggi untuk menghasilkan panas, yang selanjutnya prosesnya sama seperti terapi termal.
3edangkan 8I2 (water-induced thermotherapy) adalah prosedur yang relatif baru dimana
air yang sudah dipanaskan akan bersirkulasi melalui balon pada uretra pars prostatika
yang kemudian akan memulai proses destruksi se+ara termal.
1,2,!,",$,),(
BAB III
%ERAN'%A %/N$EP
1'
/leh karena terbatasnya data sekunder yang digunakan, maka dalam penelitian ini hanya
di+ari karakteristik pasien BPH dengan pemeriksaan ultrasonografi (139) di ;umah
3akit 1mum Pusat (;31P) 3anglah, 6enpasar selama periode tahun 2%%$ berdasarkan
kategori umur, diagnosis klinis dan kesan hasil pemeriksaan 139.
BAB I=
1. 8akt&r )ers&nal 5
1murL
Eenis kelamin
;as
9enetik
Penyakit autoimun
2. 8akt&r agent
3. 8akt&r lngkungan
BPH
1$
MET/DE PENELITIAN
!.1. Tem)at Dan .aktu Peneltan
a. Penelitian ini dilaksanakan bertempat di 6i:isi ;adiodiagnostik (3entral)
Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar.
b. 8aktu pelaksanaannya selama 12 hari dari tanggal 22 /ktober - 2 <o:ember
2%%).
!.2. Ran3angan Peneltan
6esain penelitian ini adalah berupa suatu studi deskriptif retrospektif dengan analisa
kuantitatif menggunakan data sekunder untuk memperoleh gambaran karakteristik dan
pola dari pasien Benign prostate hypertrophy (BPH) dengan pemeriksaan 1ltrasonografi
(139) di 6i:isi ;adiodiagnostik (3entral) Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P
3anglah 6enpasar periode pril sampai 3eptember tahun 2%%).
!.3. P&)ulas Peneltan
a. Populasi target penelitian ini adalah seluruh masyarakat dengan ke+urigaan
mengalami BPH dan memeriksakan diri ke ;31P 3anglah selama periode pril
sampai 3eptember tahun 2%%).
b. Populasi terjangkau penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang datang
melakukan pemeriksaan 139 di 6i:isi ;adiodiagnostik (3entral) Bagian53*7
;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar dan telah terdiagnosis
mengalami BPH selama periode pril sampai 3eptember tahun 2%%).
!.!. $am)el Peneltan
Besar sampel penelitian kali ini adalah sebesar 1!' orang (pasien) masyarakat yang
datang melakukan pemeriksaan 139 di 6i:isi ;adiodiagnostik (3entral) Bagian53*7
;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah 6enpasar dan telah terdiagnosis mengalami BPH
selama periode pril sampai 3eptember tahun 2%%).
Gara pemilihan sampel yang digunakan dalam studi ini adalah !onvenient Sampling
yang merupakan metode terpraktis untuk menarik sampel.
1)
!.+. De"ns =ara(el Peneltan
a. Benign Prostate Hypertrophy ?BPH@ 5 merupakan pembesaran kelenjar prostat
yang bukan merupakan keganasan dan dapat menghambat aliran urin dari
kandung kemih.
b. Ultras&n&gra" ?U$'@ 5 merupakan suatu metode radiodiagnostik non-in:asif
menggunakan gelombang suara ultrasonik dengan biaya terjangkau dan
memiliki ketepatan diagnosis BPH yang tinggi.
+. Umur 5 adalah lama ,aktu hidup (sejak dilahirkan) atau usia.
d. Dagn&ss klns 5 diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang ditunjukkan oleh
pasien saat datang ke ;31P 3anglah tanpa pemeriksaan dengan pen+itraan.
e. Parenkm 5 sel spesifik pada suatu kelenjar atau organ yang disokong oleh
jaringan ikat atau stroma.
f. %als"kas 5 proses pada jaringan atau bahan nonseluler dalam tubuh sehingga
mengeras sebagai akibat presipitasi timbunan kalsium.
g. N&*ul 5 pembengkakan yang menonjol.
!.,. 9ara Dan Alat Pengum)ulan Data
a. Gara pengumpulan data sekunder yang diterapkan adalah pen+atatan lembar
rekam medik kunjungan pasien yang melakukan pemeriksaan 139 di 6i:isi
;adiodiagnostik (3entral) Bagian53*7 ;adiologi 7. 1<165;31P 3anglah
6enpasar dan telah terdiagnosis mengalami BPH selama periode pril sampai
3eptember tahun 2%%).
b. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa pedoman chec-
list (tabel rekapitulasi) dan alat-alat kesekretariatan lainnya.
!.-. Analsa Data
a. 6ata penelitian yang berhasil diperoleh, selanjutnya diolah dengan bantuan
komputer memakai program *i+rosoft /ffi+e 8indo,s MP 2%%!.
b. 3etelah data rekapitulasi pasien berhasil terkumpul, kemudian data dianalisa
se+ara kuantitatif menurut :ariabel umur, diagnosa klinis dan kesimpulan kesan
pemeriksaan 139 terhadap diagnosis BPH. 3elanjutnya se+ara deskriptif
dijabarkan dalam bentuk tabel beserta naratifnya.
1(
BAB =
HA$IL PENELITIAN
2%
Penelitian yang bertempat di 6i:isi ;adiodiagnostik (sentral) Bagian53*7 ;adiologi 7.
1<165;31P 3anglah ini telah berhasil mengumpulkan data sekunder sebanyak 1!'
sampel dari rekam medis pasien BPH yang melakukan pemeriksaan 139 selama periode
pril sampai 3eptember tahun 2%%) dan dianggap telah memenuhi target jumlah sampel
penelitian yang diperlukan (0ampiran).
Penelitian kali ini berdesain dekriptif kuantitatif yang retrospektif dan menganut
sistem pengambilan sampel jenis !onvenient Sampling" 3ebagai informasi tambahan
bah,a studi ini juga bertujuan mengetahui pola penilaian diagnosis BPH berdasarkan
pemeriksaan klinis dan kesan 139. 3eperti yang telah kita ketahui bersama bah,a nilai
sensitifitas dan spesifisitas dalam penentuan diagnosis BPH dari pemeriksaan 139 lebih
tinggi ketepatannya daripada pemeriksaan klinis kon:ensional.
+.1. Dstr(us $am)el Ber*asarkan %ateg&r Umur
Berdasarkan data sekunder dari +atatan medik pasien yang berhasil terkumpul selama
periode ' bulan (1 pril sampai dengan !% 3eptember tahun 2%%)) dengan diagnosis BPH
dan dilakukan 139 abdomen dan5atau urologi di ;31P 3anglah, maka karakteristik
distribusi sampel berdasarkan kategori umur ditampilkan pada tabel #.1 adalah sebagai
berikut 4
Ta(el +.1 Dstr(us sam)el (er*asarkan kateg&r umur
Rentang umur ?tahun@ #umlah sam)el Persentase ?B@
!% N !( ! 2,2
"% N "( 1) 1!,2
#% N #( 2( 21,!
'% N '( #" !(,)
$% N $( 2! 1',(
)% N )( ( ','
(% N 1%% % %
T&tal 13, 166
9una mempermudah dalam menganalisa, maka kategori umur dikelompokkan
dalam rentangan 1% tahun seperti yang ditampilkan pada tabel #.1. 6ari keseluruhan 1!'
sampel yang berhasil dikumpulkan datanya, ditemukan bah,a kelompok umur yang
terbanyak terdiagnosis se+ara klinis dengan BPH dan mendapatkan pemeriksaan 139
bdomen dan5atau 1rologi adalah kelompok umur '%-'( tahun atau dapat digolongkan
dalam kisaran umur orang lanjut usia.
21
6ari hasil perhitungan sederhana didapatkan rata-rata umur 1!' sampel tersebut
berkisar #(,1! tahun dengan rentangan umur dari !' tahun sampai dengan usia )# tahun.
2ampak pula adanya ke+enderungan peningkatan jumlah sampel seiring bertambahnya
umur pasien hingga men+apai pun+ak pada kisaran kelompok umur '%-'( tahun dan
selanjutnya kembali menurun drastis pada rentang umur yang lebih tua.
+.2. Dstr(us $am)el Ber*asarkan %ateg&r Dagn&ss %lns
Berdasarkan data sekunder +atatan medik pasien yang berhasil terkumpul selama periode
' bulan (1 pril sampai dengan !% 3eptember tahun 2%%)) dengan diagnosis BPH dan
mendapatkan pemeriksaan 139 abdomen dan5atau 1rologi di ;31P 3anglah, maka
karakteristik distribusi sampel berdasarkan keterangan diagnosis klinis ditampilkan pada
tabel #.2 adalah sebagai berikut 4
Ta(el +.2 Dstr(us sam)el (er*asarkan *agn&ss klns
Dagn&ss klns #umlah sam)el Persentase ?B@
BPH #( "!,"
Batu saluran kemih "% 2(,"
Post nefre+tomy 1 %,$!
G.6 21 1#,"
Post C380 1 %,$!
;etensi urin # !,$
Hematuria ! 2,2
3usp. tumor prostat 1 %,$!
.olik ureter 1 %,$!
HI0 reponibilis 1 %,$!
3triktur uretra 1 %,$!
2umor rektum 1 %,$!
6isuria 1 %,$!
T&tal 13, 166
+.3. Dstr(us $am)el Ber*asarkan %ateg&r %esan U$'
Berdasarkan data sekunder +atatan medik pasien yang berhasil terkumpul selama periode
' bulan (1 pril sampai dengan !% 3eptember tahun 2%%)) dengan diagnosis BPH dan
mendapatkan pemeriksaan 139 abdomen dan5atau urologi di ;31P 3anglah, maka
karakteristik distribusi sampel berdasarkan kesan hasil pemeriksaan 139 bdomen
dan5atau urologi ditampilkan pada tabel #.! adalah sebagai berikut 4
22
Ta(el +.3 Dstr(us $am)el Ber*asarkan %ateg&r %esan U$' *an Dagn&ss
Ikutan lann>a
%esan U$' #umlah $am)el Persentase ?B@
BPH ($ $1,!
BPH O parenkim inhomogen O kalsifikasi 1 %,$!
BPH O kalsifikasi 1$ 12,#
BPH O nodul 1 %,$!
BPH O kalsifikasi O nodul 1 %,$!
BPH O batu O kiste ginjal 1 %,$!
BPH O kiste ginjal 2 1,"$
BPH O +ystitis ( ','
BPH O fatty li:er O batu gall bladder 1 %,$!
BPH O kiste ginjal O kalsifikasi 2 1,"$
BPH O poly+ysti+ ginjal O batu O
hidronefrosis
1 %,$!
BPH O batu staghorn multipel O G06 1 %,$!
BPH O retensi urin 1 %,$!
BPH O di:erti+le 1 %,$!
<on BPH % %
T&tal 13, 166
6ari tabel #.! diatas tampak adanya peningkatan angka kejadian BPH pas+a mendapatkan
pemeriksaan 139 bdomen dan5atau urologi baik pada pasien yang datang dengan
diagnosis klinis BPH dan penyakit non-BPH. Hal ini dimungkinkan karena kemampuan
diagnostik 139 yang lebih baik (tinggi) dalam menentukan diagnosis BPH. 3eluruh
sampel (1%%&) terdiagnosis dengan BPH dengan atau tanpa diagnosis tambahan lainnya.
+.!. P&la %ete)atan Dagn&ss BPH $e3ara %lns Dan U$'
Berdasarkan data sekunder +atatan medik pasien yang berhasil terkumpul selama periode
' bulan (1 pril sampai dengan !% 3eptember tahun 2%%)) dengan diagnosis BPH dan
mendapatkan pemeriksaan 139 abdomen dan5atau urologi di ;31P 3anglah, maka
se+ara sederhana dapat dibuat !rosstab perbandingan penilaian diagnosis BPH antara
pendekatan klinis dan dari kesan hasil pemeriksaan 139 pada tabel #." adalah sebagai
berikut 4
Ta(el +.!.Crosstab Penlaan Dagn&ss BPH $e3ara %lns *an Dar %esan U$'
Crosstabs
%esan U$'
T&tal
BPH ?C@ BPH ?0@
%lns BPH ?C@ #( ("!,"&) % (%&) #( ("!,"&)
2!
BPH ?0@ $$ (#','&) % (%&) $$ (#','&)
T&tal 1!' (1%%&) % (%&) 1!' (1%%&)
Pada penelitian kali ini diperoleh suatu pola penilaian diagnosis BPH baik dari klinis
maupun 139 (2abel #."). 6imana jika diagnosis BPH se+ara klinis dibandingkan se+ara
langsung dengan kesan diagnosis dari 139, maka didapatkan #( sampel ("!,"&) yang
a,alnya datang dengan diagnosis klinis BPH kemudian setelah melalui pemeriksaan 139
tetap didapatkan pula kesan BPH. 3edangkan tidak terdapat satupun sampel (%&) yang
a,alnya tidak terdiagnosis BPH kemudian dari kesan 139 juga bukan menggambarkan
BPH.
6iperoleh pula perbedaan penilaian dalam mendiagnosis BPH, dimana tidak terdapat
sampel (%&) yang a,alnya datang dengan diagnosis BPH, setelah mendapatkan
pemeriksaan 139 ternyata tidak didapatkan kesan BPH (2abel #."). 3ebaliknya,
ditemukan $$ pasien (#','&) yang berhasil terdiagnosa BPH berdasarkan pemeriksaan
139, tetapi a,alnya tidak datang dengan rujukan diagnosa BPH se+ara klinis.
BAB =I
PEMBAHA$AN
,.1. %arakterstk $am)el
Penelitian kali ini telah berhasil mengumpulkan 1!' sampel pasien yang terdiagnosis
BPH yang melakukan pemeriksaan 139 di ;31P 3anglah untuk periode pril samapi
3eptember tahun 2%%). 6ari sampel tersebut kemudian dilakukan rekapitulasi, kemudian
data diolah dan dianalisa se+ara sederhana untuk menggolongkan tiap-tiap sampel
berdasarkan karakteristik umur, diagnosis klinis dan kesan pemeriksaan 139.
'.1.1. .ategori 1mur
2"
Pada tabel #.1 telah tergambar dengan jelas bah,a sesuai dengan kategori umur,
maka pada 1!' sampel didapatkan rata-rata umur sampel sebesar #(,1! tahun dan
dengan rentangan umur sampel dari !' tahun hingga berusia )# tahun.
6itemukan adanya ke+enderungan peningkatan jumlah pasien terdiagnosis BPH
se+ara klinis sebanding dengan bertambahnya usia sampel. Hal ini terjadi hingga
men+apai pun+ak dengan angka jumlah sampel tertinggi sebesar #" pasien (!(,)&)
pada kelompok rentang umur '%-'( tahun yang berarti kasus BPH terbanyak
ditemukan pada sampel yang tergolong orang lanjut usia. 2erlihat pula bah,a
insiden dari BPH tidak dimulai dari usia kanak-kanak, tetapi dari kelompok umur
de,asa muda (!%-!( tahun) hingga kelompok lanjut usia ()%-)( tahun).
7akta tersebut sesuai dengan konsep yang diperoleh berdasarkan studi otopsi
bah,a pre:alensi BPH meningkat dari )& pada pria berumur !1 sampai "% tahun,
menjadi "%-#%& pada pria berumur #1 sampai '% tahun, dan ? )%& pada pria
berumur diatas )% tahun.

6engan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron-estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
kon:ersi perubahan testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Berdasarkan angka otopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia !%-"% tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang,
akan terjadi perubahan patologik anatomik.
1,!

'.1.2. Pola 6iagnosis BPH 3e+ara .linis dan 6ari .esan 139
3eperti yang telah disampaikan di bab sebelumnya bah,a tujuan penelitian kali ini
disamping untuk mengetahui karakteristik pasien BPH yang melakukan pemeriksaan
139 berdasarkan kategori umur, juga guna mengetahui pola penilaian diagnosis
BPH dari metode klinis kon:ensional dengan kesan hasil pemeriksaan 139.
3ehingga dalam pembahasan ini dianalisis kedua tujuan tersebut se+ara
berkesinambungan.
3esuai dengan tabel #.2 ditemukan ke+enderungan para seja,at klinisi berani
mendiagnosis BPH lebih a,al dengan berbekal pemeriksaan kon:ensional, sebelum
dilakukannya pemeriksaan 139 bdomen dan5atau 1rologi pada pasien. 2erdapat
#( sampel ("!,"&) yang telah terdiagnosis BPH melakukan pemeriksaan 139
bdomen dan5atau 1rologi dan sebaliknya $$ sampel (#','&) yang melakukan
139 bdomen dan5atau 1rologi tanpa dia,ali ke+urigaan adanya BPH se+ara
2#
klinis. 7akta lain didapatkan bah,a sebagian besar pasien non-BPH yang datang
untuk pemeriksaan 139 selama pril sampai 3eptember tahun 2%%) terdiagnosis
se+ara klinis dengan batu saluran kemih pada "% sampel (2(,"&) dan G.6 pada 21
sampel (1#,"&). Hal ini bisa saja terjadi, mengingat bah,a pada konsep
sebelumnya dijelaskan bah,a obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran
kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi
dan urolitiasis.
1

.emudian dari tabel #.! juga tampak adanya peningkatan angka kejadian BPH
pas+a mendapatkan pemeriksaan 139 bdomen dan5atau 1rologi baik pada pasien
yang datang dengan diagnosis klinis BPH dan penyakit non-BPH dimana seluruh
sampel (1%%&) terdiagnosis dengan BPH.
6an berdasarkan 2abel #." didapatkan suatu pola !rosstab perbandingan
penilaian diagnosis BPH baik dari klinis maupun 139, dimana sebanyak #( sampel
("!,"&) yang a,alnya datang dengan diagnosis klinis BPH kemudian setelah melalui
pemeriksaan 139 tetap didapatkan pula kesan BPH. 3edangkan tidak terdapat
satupun sampel (%&) yang a,alnya tidak terdiagnosis BPH kemudian dari kesan
139 juga bukan menggambarkan BPH.
6iperoleh pula pola perbedaan penilaian dalam mendiagnosis BPH baik dari
pemeriksaan klinis dengan kesan 139 (2abel #."). 6itemukan negatif palsu pada $$
pasien (#','&) yang berhasil terdiagnosa BPH berdasarkan pemeriksaan 139, tetapi
a,alnya tidak datang dengan rujukan diagnosa BPH se+ara klinis.
.ondisi ini dimungkinkan karena kemampuan diagnostik 139 yang lebih baik
(tinggi) dalam menentukan diagnosis BPH dibandingkan se+ara pemeriksaan klinis
kon:ensional.
,.2. %elemahan Peneltan
2erdapat beberapa kelemahan pada penelitian ini, antara lain 4
1. ;an+angan penelitian deskriptif retrospektif sehingga dalam penelitian ini tidak
dapat men+ari hubungan antara :ariabel-:ariabel yang ada karena tidak
memenuhi hubungan temporal dan memiliki nilai keilmiahan yang rendah.
2. 3umber data yang digunakan merupakan data sekunder dimana peneliti tidak
melihat se+ara langsung kondisi pasien dan praktek pemeriksaan 139, sehingga
2'
kemungkinan besar terdapat ketidakakuratan, kehilangan dan ketidaklengkapan
data pada +atatan medis pasien yang direkapitulasi.
!. Eumlah sampel yang digunakan dalam penelitian kali ini masih tergolong ke+il
dan didapatkan tanpa memakai formula tertentu sehingga diperkirakan tidak
representatif me,akili populasi.
BAB =II
PENUTUP
-.1. $m)ulan
a. .arakteristik pada 1!' sampel pasien BPH dengan pemeriksaan 139 di ;31P
3anglah, 6enpasar selama periode pril sampai 3eptember tahun 2%%)
berdasarkan kategori umur didapatkan rata-rata umur sampel sebesar #(,1!
tahun dan dengan rentangan umur sampel termuda !' tahun hingga tertua
berusia )# tahun. 7rekuensi BPH +enderung meningkat sebanding dengan
peningkatan umur sampel hingga men+apai pun+ak dengan angka jumlah
sampel tertinggi sebesar #" pasien (!(,)&) pada kelompok rentang umur '%-'(
tahun (lansia).
2$
b. .arakteristik pada 1!' sampel pasien BPH dengan pemeriksaan 139 di ;31P
3anglah, 6enpasar selama periode pril sampai 3eptember tahun 2%%)
berdasarkan kategori diagnosis klinis diperoleh #( sampel ("!,"&) dikirim
dengan kemungkinan telah mengidap BPH dan sebaliknya $$ sampel (#','&)
tanpa dia,ali ke+urigaan adanya BPH se+ara klinis.
+. .arakteristik pada 1!' sampel pasien BPH dengan pemeriksaan 139 di ;31P
3anglah, 6enpasar selama periode pril sampai 3eptember tahun 2%%)
berdasarkan kategori kesan 139 diperoleh 1!' sampel (1%%&) terdiagnosis
dengan kesan BPH.
d. Pola diagnosis BPH antara pendekatan pemeriksaan klinis kon:ensional
dibandingkan kesan hasil pemeriksaan 193 di ;31P 3anglah, 6enpasar selama
periode pril sampai 3eptember tahun 2%%) ditemukan #( sampel ("!,"&)
positif murni yang a,alnya datang dengan diagnosis klinis BPH kemudian
setelah melalui pemeriksaan 139 tetap didapatkan kesan BPH. 3edangkan tidak
terdapat satupun sampel (%&) negatif murni yang a,alnya tidak terdiagnosis
BPH kemudian dari kesan 139 juga bukan menggambarkan BPH. 6itemukan
$$ pasien (#','&) negatif palsu yang berhasil terdiagnosa BPH berdasarkan
pemeriksaan 139, tetapi a,alnya tidak datang dengan rujukan diagnosa BPH
se+ara klinis.
-.2. Rek&men*as
a. 6iakui penelitian kali ini masih terdapat beberapa kelemahan baik dalam teknis
pelaksanaan maupun analisanya, sehingga untuk selanjutnya diharapkan
kelemahan yang telah disampaikan dalam pembahasan dapat sebagai landasan
perbaikan melakukan penelitian-penelitian sejenis selanjutnya.
b. Hendaknya bagi staf di bagian ;adiodiagnostik agar melakukan pengarsipan
administrasi +atatan medis yang terstruktur.
2)
DA8TAR PU$TA%A
1. 3jamsuhidajat,; Hde Eong,8. Buku jar Ilmu Bedah, Cd.2, Eakarta4 C9G,2%%". $)2-
$)'.
2. Benign Prostati+ Hyperplasia. http455en.,ikipedia.org .
!. Benign Prostati+ Hyperplasia (BPH). http455,,,.mer+k.+om5mmpe5se+1$.html , last
updated 4 <o:ember 2%%#.
". 0e:eillee,;.E.Prostate Hyperplasia,Benign. http455,,,.emedi+ine.+om5med5topi+.htm
,last updated 4 ugustus 1,2%%'.
#. 3,ierAe,ski,3.E. Benign Prostati+ Hyperplasia (BPH)5Cnlarged ProstateP6iagnosis.
http455,,,.urology+hannel.+om5prostate5bph5diagnosis.shtml . 6ate of publi+ation 4
1% Eune 1(().
'. Benign Prostati+ Hyperplasia 4 Gauses, symptoms and diagnosis.
http455,,,.aafp.org5afp.html .
2(
$. Prostate Cnlaregementt 4 Benign Prostati+ Hyperplasia.
http455kidneyniddk.nih.go:5kudiseases5pubs . Published 4 Eune 2%%'.
). de la ;osette,E et al. 9uidelines on Benign Prostati+ Hyperplasia, Curopean
sso+iation of 1rology. #-#!. 0ast updated 4 7ebruary 2%%2.
(. I1I BPH 9uidelines. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. 1-1(.
1%. 6iagnosis of Benign Prostati+ Hyperplasia. 6iagnosti+ 2est for BPH.
http455,,,.,rongdiagnosis.+om5b5benignPprostatePhyperplasia5diagnosis.htm . 0ast
updated 4 " /+tober 2%%).
11. *alik,; et al. 2ransre+tal ultrasonography for e:aluation of :arious benign and
malignant prostati+ lesions and their histopathologi+al +orrelation. 9enitourinary
Imaging, 2%%", :ol1", issue 2, 1##-1#$. http455,,,.ijri.org5arti+le.asp Published on
line 4 1% Eanuary 2%%$.
12. *ohammed,< et al. Gomparati:e 3tudy /f Prostati+ >olume nd 1roflo,metry In
Benign Prostati+ Hyperplasia Patients 8ith 0o,er 1rinary 2ra+t 3ymptoms4 #he
Internet $ournal of %adiology" 2%%$H >olume ', <umber 2. http455,,,.ispub.+om .
!%

Anda mungkin juga menyukai