Anda di halaman 1dari 7

Penyimpangan Inflasi Pada Penghitungan Eksternal :

Contoh Pada Masyarakat Australia


Tony Makin
Department of Economics : The University of Queensland, St.Lucia, Australia

A. Pendahuluan
Laporan jumlah uang yang beredar atau Current Account (im)Balances
(CABs) telah meluas di kebanyakan negara OECD sejak awal tahun 1980an,
menarik perhatian dari para pembuat kebijakan baik itu domestic ataupun
internasional. Lebih jauh, CABs dapat mengubah persepsi dari kredit
kegunaan nasional seperti mereka mengindikasikan tren jaringan hutang
internasional. Bagaimanapun, tidak seperti variabel makroekonomi yang lain
seperti penghitungan agregat, upah, penawaran uang, tingkat kepentingan dan
tingkat pertukaran, data penghitungan eksternal tidak disesuaikan untuk efek
penyimpangan inflasi domestik, yang sangat mengejutkan dalam pandangan
literatur inflasi yang disesuaikan dengan penghitungan publik.
Berikutnya, suatu metode untuk penyesuaian CABs bagi inflasi
domestik dipresentasikan dan kemudian diterapkan untuk data masyarakat
Australia. Sebagian kecil negara OECD membutuhkan banyak informasi pada
penghitungan eksternal mereka dalam komposisi, sumber daya, tujuan dan
satuan mata uang dari aliran modal. Lebih jauh, membandingkan dengan
ekonomi kelompok tujuh (G7), Australia melaporkan bahwa ketakseimbangan
eksternal pada tahun 1980an relatif meluas, rata-rata melebihi 4 % dari
GDPnya saat mengalami inflasi tinggi pada rata-rata 8.4% per annum. CABs
yang lebih luas ini secara meyakinkan dikarenakan bagian dari domestik yang
tak bisa dicontoh dan finansial internasional liberalissi pada periode ini,
dimana modal asing untuk menggerakkan lebih lebih ke nagara, masih belum
dikembangkan di Australia dan di tempat lain maka mereka menjadi target
utama dari kebijakan makroekonomi.
Jurnal ini telah mengajukan sebuah pengukuran inflasi yang
disesuaikan dengan ketidakseimbangan eksternal dan telah mengilustrasikan
dampaknya dengan menggunakan data masyarakat Australia pada tahun
1980an. Dan ini telah menunjukkan bahwa inflasi dalam negeri telah
menyimpang dari pengukuran konvensional dengan cara membesar-besarkan
angka nominal pembayaran pelayanan pada saat membuat pertanggung
jawaban eksternal.
Hal ini sangat tidak dianjurkan karena presentasi konvensional pada
penghitungan eksternal tidak menjelaskan standar keseimbangan laporan
pembayaran masih membutuhkan laporan mendetail dari berbagai macam
transaksi ekonomi antara penduduk nasional suatu negara dan sisanya di
seluruh dunia ini. Hal yang tak kalah penting adalah untuk mempunyai
pengetahuan tentang ukuran nominal pada aliran finansial internasional dan
menghubungkannya dengan berbagai posisi investasi asing. Hal ini mungkin
benar, terutama saat terjadi penurunan nilai uang yang tak terantisipasi atau
saat tingkat kepentingan luar negeri yang meningkat dengan tiba-tiba,
meningkatnya biaya pelayanan aktual dalam hutang luar negeri dan ini
menimbulkan dampak yang cukup serius pada posisi aliran uang pada
perusahaan dalam negeri yang meminjam atau berhutang pada luar negeri
dengan besar-besaran.
Inflasi yang disesuaikan dengan ketidakseimbangan eksternal
memperkirakan bahwa ketidakseimbangan akan terjadi jika inflasi sama
dengan nol (0) dan bila hal lain yang mempengaruhi tidak berubah sejak
defisit penghitungan mata uang di tingkat inflasi nol akan menjadi lebih
rendah dari pada degisit penghitungan di tingkat inflasi tinggi, inflasi dan
pengukuran CABs secara konvensional tidak harus dianggap sebagai satu-
satunya target dalam kebijakan makro ekonomi.
Kesalahan persepsi terhadap CABs dapat membahayakan
kesejahteraan ekonomi jika mereka melakukan tekanan perlindungan atau
tindakan yang terlalu membatasi kebijakan makro ekonomi. Padahal beberapa
pakar ekonomi telah menunjukkan bahwa keadaan dapat menjadi lebih baik
tanpa keseimbangan statistik pembayaran, hubungan penghitungan eksternal
sangat sulit dimengerti oleh media komentator dan pembuat kebijakan. Namun
sayangnya, hal ini tidak disebarluaskan, bahwa ketidakseimbangan eksternal
di bawah ambang juga merupakan keseimbangan investasi-tabungan regional,
dan ini berarti bahwa pertumbuhan hutang luar negeri bagi sebagian
perekonomian disesuaikan dengan penambahan akumulasi modal di negara itu
bergantung pada tabungan dalam negeri, jaringan penghargaan bagi penurunan
persediaan modal terjaga dalam keadaan positif. Dalam hal ini, penghitungan
data eksternal dapat dipakai sebagai fakta keluasan dimana debitor nasional
mempercayakan tabungan luar negeri untuk membiayai pertumbuhan
persediaan modal mereka. Di waktu yang sama, kreditor nasional juga dapat
untung saat pendapatan yang lebih tinggi menyediakan dana bagi mereka
untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi di luar negeri dari pada di
dalam negeri.
Inflasi yang disesuaikan dengan pengukuran ketidakseimbangan
eksternal menyediakan pengukuran dari jarak transfer modal riil yang terjadi
antara surplus penghitungan dan defisit penghitungan saat ini di suatu negara.
Mereka juga dapat menyatakan dengan seberapa banyak persediaan modal riil
dalam negeri yang dapat meningkat menjadi lebih besar, atau secara potensial
berkurang, dikarenakan jaringan aliran internasional kedalam atau keluar dari
tabungan. Sebagai kemungkinan lain, dapat mengambil dari contoh negara
yang mengalami defisit, inflasi yang disesuaikan dengan CABs untuk
memberikan peluang investasi untuk mengukur tingkat konsumsi dimana
penduduk dalam negeri mencapai tujuannya yaitu meningkatkan riil yang
sama di persediaan modal mereka.

B. Pembahasan
Dari tulisan Tony Makin tentang inflasi dan bagaimana dampaknya
dalam perekonomian Australia kemudian timbullah pertanyaan bagaimana
dengan keadaan perekonomian di Indonesia? Bagaimanakah pemerintah
Indonesia mengelola inflasi yang terjadi? Inilah yang kemudian harus di kaji
lebih dalam.
Seperti yang telah diketahui bagaimana keadaan perekonomian
Indonesia yang dangat jauh tertinggal dari perekonomian Australia. Dan
Indonesia pernah mengalami inflasi pada tingkat yang sangat tinggi yaitu
mencapai 650% pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan hal tersebut
mengakibatkan terpuruknya kondisi perekonomian Indonesia pada waktu itu.
Nampaknya, dunia memang tidak boleh mengabaikan permasalahan inflasi.
Bagi Indonesia yang pernah mengalami laju inflasi yang sangat tinggi dengan
berbagai dampak negatifnya, jelas permasalahan inflasi tidak pernah boleh
diremehkan. Apalagi untuk kepentingan penelitian dan perumusan kebijakan
perekonomian, analisis yang mendalam mengenai unsur-unsur yang
menimbulkan dan akibat langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkan
oleh fenomena inflasi dalam perekonomian memang sangat diperlukan.
Peran defisit APBN atau lebih spesifik defisit domestik APBN
sebagai unsur penentu inflasi di Indonesia pada tahun 1969-1982 dengan
menggunakan suatu model yang dikembangkan oleh O.Chaipravat,
K.Meesook dan S. Ganjarerdee. Meskipun defisit APBN yang
diidentifikasikan sebagai penyebab utama inflasi, akan tetapi pendekatan yang
dipergunakan pada dasarnya merupakan analisis moneter, karena defisit
tersebut dilihat sebagai unsur yang ikut menentukan jumlah uang beredar
lewat mekanisme proses penyediaan uang atau likuditas dari uang primer atau
base money.
Dari analisis moneter tersebut, defisit dalam APBN dilihat sebagai
sumber dari peningkatan uang beredar lewat proses penciptaan likuiditas
(money supply process) dari uang primer. Akan tetapi, proses peningkatan
harga itu sendiri lewat mekanisme permintaan dan penawaran barang. Inflasi
timbul karena dalam sektor riil ada kelebihan permintaan barang terhadap
penawarannya (excess demands for goods). Pendekatan moneter melihat
fenomena ini dari sisi uangnya. Pada sektor moneter, keadaan tadi tercermin
pada adanya kelebihan uang beredar atau kelebihan penawaran auang atas
permintaan. Atau ada exess supply of money. Kedua proses tadi
mengahsilkan keadaan yang dicerminkan dalam naiknya harga barang atau
turunnya harga (nilai) uang. Kalau proses ini berlaku umum, terjadi fenomena
yang disebut inflasi. Dalam bahasa sehari-hari, kedua sektor ini, yaitu sektor
barang atau riil dan sektor uang, disatukan. Sehingga inflasi digambarkan
sebagai proses uang (karena terlalu banyak) mengejar barang (yang terlalu
sedikit).
Penggolongan anggaran negara dalam domestic dan foreign
dikembangkan oleh Stillson, dengan melihat dampak dari masing-masing mata
anggaran yang terjadi secara langsung terhadap penciptaan pendapatan. Jadi,
suatu penerimaan atau pengeluaran yang langsung mempengaruhi penciptaan
pendapatan dalam negeri merupakan bagian dari anggaran domestik. Akan
tetapi, pengeluaran yang langsung mempengaruhi pandapatan ekkonomi
masyarakat lain, misalnya pembayaran gaji pegawai erwakilan Indonesia di
luar negeri, termasuk konsep ekstern.
Indonesia seperti umumnya negara berkembang, mempunyai
perekonomian yang cukup terbuka dan juga peran pemerintah sebagai agent of
development yang sangat besar, terutama melalui peralatan anggarannya.
Mobilisasi dana untuk pembangunan yang cukup sulit menyebabkan peran
bantuan/pinjaman luar negeri masih terus dibutuhkan. Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) sebagian besar bersumber pada penerimaan Pajak
Perseroan Minyak (PPs minyak). PPs minyak yang menurut APBN termasuk
dalam kelompok penerimaan dalam negeri, seharusnya bila ditinjau dari
subjek pajak dan pengaruhnya terhadap daya beli perekonomian domestik
kurang tepat masuk kelompok penerimaan domestik. Guna dapat
membelanjakan komponen penerimaan non domestik di dalam negeri haruslah
berhati-hati, karena mempunyai dampak terhadap kemampuan pembiayaan
dan tingakt harga umum. Untuk menekan inflasi tersebut, maka kebijaksanaan
sterilisasi penerimaan non-domestik nampaknya perlu dilakukan. Dengan
adanya penelitian yang menyimpulkan bahwa jumah uang yang beredar bukan
sumber utama inflasi di Indonesia, sehingga kebijakan pemerintah yang
dimaksudkan untuk mengatasinya pun kurang sesuai bila menggunakan
kebijakan moneter saja.
Atas hal-hal tersebut maka praduga bahwa defisit domestik anggaran
pemerintahlah yang merupakan sumber utama inflasi di Indonesia, disamping
faktor eksternal dan struktural. Adanya defisit anggaran pemerintah yang
dibiayai dengan kredit sektor perbankan sehingga terjadi ekspansi jumlah uang
yang beredar.
Berbeda dengan keadaan Australia, yang inflasinya terutama
disebabkan oleh jumlah uang yang beredar. Dimana pengukuran jumlah uang
yang beredar berisi ketidakseimbangan perdagangan barang dan jasa ditambah
pendapatan pembayaran misalnya dari pertanggung jawaban luar negeri, upah
buruh, pensiun ataupun bantuan luar negeri. Jika terjadi defiist dibawah
tingkat pertukaran maksimum dan mobilitas modal, maka peredaran uang
harus disesuaikan dengan modal pada perhitungan eksternal melalui
pertumbuhan tingkat harga domestik daripertanggungjawaban luar negeri
pada semua sektor domestik. Dikarenakan hutang luar negeri membutuhkan
pelayanan melalui pembayaran bunga, modal asing harus diperlakukan
melalui pembayaran bunga. Hutang luar negeri dan obligasi biasanya di
nominalkan dalam mata uang yang berbeda dan perbedaan ini menghilangkan
kesempatan investasi asing suatu negara. Melalui konvensi internasional,
keseimbangan pembayaran diukur dalam mata uang dalam negeri selama
beberapa periode tidak mengijinkan perolehan modal atau peningkatan
kerugian dari pergerakan harga pasar dalam periode yang sama. Pada negara
yang berhutang, meskipun inflasi domestik masih menguragi beban tanggung
jawab eksternal yang dinominalkan dalam mata uang asing, tingkat perubahan
penurunan menambah hal tersebut.

C. Penutup
Dari jurnal dan pembahasannya diatas dapatlah disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada Australia dan Indonesia dalam
hal inflasi domestik mereka. Di Australia, inflasi terutama lebih disebabkan
pada jumlah peredaran uang yang beredar di negara tersebut sedangkan di
Indonesia, banyak penelitian dan studi yang akhirnya berkesimpulan bahwa
inflasi yangterjadi terutama dikarenakan adanya defisit anggaran pemerintah
yang akhirnya menyebabkan pemerintah melakukan ekspansi terhadap jumlah
uang yang beredar.
Australia, sebagai negara yang dapat dikatakan lebih maju dari
Indonesia, memberikan suatu gambaran bagaiaman mereka dapat mengelola
inflasi yang terjadi di negara mereka untuk meningkatkan modal mereka.
Adanya perebdaan pengukuran ketidakseimbangan yang terjadi adalah
konsekuen dari pencatatan pembayaran modal kembali (). Dapat dikatakan :
CAB Riil = CAB Nominal
Perbedaan dari Riil CAB dan Nominal CAB ini menggambarkan
persentase pengukuran ekuivalen secara konseptual dari GDP. Jelasnya,
penyesuaian pengukuran ketidakseimbangan eksternal secara nyata lebih
rendah dari pada harga aktual karena pencatatan aliran jaringan modal secara
efektif menaksir terlalu tinggi di bawah kondisi inflasionari. Dan
ketidakseimbangan yang tepat hampir mencapai keseimbangan pada
ketinggian krisis keseimbangan pembayaran yang terjadi di Australia pada
tahun 1986/1987.
Kondisi yang berbeda di Indonesia, disebabkan karena masih belum
tersedia para pakar ekonomi yang mengerti betul bagaimana atau cara apa
yang bisa ditempuh untuk mengelola inflasi yang terjadi di Indonesia. Karena
itulah diperlukan suatu sistem kenegaraan yang mendukung munculnya para
pakar ekonomi demi kemajuan negara ini terutama di bidang ekonomi.

Daftar Pustaka
Gunawan, Anton Hermanto. 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia.
PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Naim, Ainun. 1989. Akuntansi Inflasi. BPFE : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai