Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam
2.1.1 definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
( suhu rektal di atas 38
o
C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak,
terutama golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang
berumur dibawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939)
dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi
dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung pada umur, tinggi serta cepatnya
suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor hereditas juga
mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oelh sebua gen dominan dengan penetrasi yang
tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita
mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.

2.1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat, sedangkan di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kejang demam
seringkali terjadi pada usia 6 bulan-3 tahun dengan insidensi tertinggi pada
usia 18 bulan. Sekitar 6-15% terjadi pada usia >4 tahun (Waruiru & Appleton,
2004).
2.1.3 Klasifikasi dan Manifestasi klinis
Kejang Demam Sederhana (Simple Febriele Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis berikut :
Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
Kejang umum tonik dan konik
Umumnya berhenti sendiri
Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
Kejang Demam Komplikata (Complex Febriele Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis sebagai berikut :
Kejang lamanya > 15 menit
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
Berulang atau lebih dari 1x24 jam
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh
infeksi susunan saraf pusat, misal tonsilitis, otitis media akut, bronkitis dan
lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam, berlamgsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali
tanpa adaya kelainan saraf.
2.1.4 Patofisiologi
Belum diketahui secara pasti, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor
keturunan/ faktor genetik. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel
atau organ otak dperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan
baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Jadi sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dpat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel,
maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik
dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya
lepas muatan listrik. Lepas mutan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan
bahan yang disebut dengan neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejng yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Dari kenyataan ini
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Sehingga beberapa
hipotesa dikemukakan mengenai patofisiologi sebenarnya dari kejang demam,
yaitu:
Menurunnya nilai ambang kejang pada suhu tertentu.
Cepatnya kenaikan suhu.
Gangguan keseimbangan cairan dan terjadi retensi cairan.
Metabolisme meninggi, kebutuhan otak akan O2 meningkat sehingga
sirkulasi darah bertambah dan terjadi ketidakseimbangan.
Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya
dengan baik susunan saraf pusat (korteks serebri).
2.1.5 Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam
sering disebabkan oleh :
infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media,
pneumonia,
gastroenteritis, dan
infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang. Penyebab lain kejang disertai
demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti difenhidramin,
antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan
gangguan keseimbangan air-elektrolit.

2.1.6 Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :
1. Umur
a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun,
jarang terjadi pada anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian
menurun dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral
yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.

3. Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi
suhu tubuh pada saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang.
Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3C
41,4C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada
seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat
tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu
meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang
kejang yang rendah.

4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam.
Beberapa penulis mendapatkan bahwa 25 50% anak yang mengalami kejang
demam memiliki anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung ) yang pernah
mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang
demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan
demam atau pada waktu demam tinggi.7

Faktor faktor lain diantaranya:
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus,
anak dalam perawatan khusus, dan
kadar natrium rendah.

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau
lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang
rekuren.
o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
Usia muda saat kejang demam pertama
Suhu yang rendah saat kejang pertama
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
o Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan
rekuren. Pasien tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20%
kemungkinan rekuren.

2.1.7 Diagnosis
A. Anamnesis
Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang,
frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga,
epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orang tua).
Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.
B. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
suhu tubuh
tanda rangsang meningkat
tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun,
muntah proyektil, fontanel anterior menonjol, papiledema tanda infeksi di
luar SSP.
Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis,
furunkulosis, dan lain-lain.
C. Pemeriksaan Nervi Kranialis
Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis

Kriteria Diagnosis
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang
disertai demam pada bayi <> 5 tahun mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang saat demam, tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang didahului oleh demam
Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
Pemeriksaan punksi lumbal normal

Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur
penderita, tipe dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya temuan
neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang
tanpa demam pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa,
kalsium, magnesium, elektrolit serum dan EEG. Peragaan discharge (rabas)
paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi
kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak
mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman antar-kejang normal
pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi,
penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidur dan
perempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik), sangat meningkatkan
hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan
anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan
pada penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif.
Monitor EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk
perekaman kejadian kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG
rutin. Tehnik ini sangat membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat
secara tepat menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat
perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis.
Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang
epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks parsial vs menyeluruh) dapat
lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting pada pengamatan anak yang
mungkin merupakan calon untuk pembedaan epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah
kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita
dengan kejang tanpa demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal
adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan gangguan kejang
kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan
kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi),
hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning
CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk
penderita yang pemeriksaannya neurologis abnormal. Kejang sebagian yang
lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis setempat,
dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk
pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan
proses infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji
metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan
status epileptikus.

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah
perifer, elektrolit dan gula darah.
Lumbal pungsi : Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya
meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Meningitis dapat menyertai kejang,
walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda meningitis.
Faktor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam
meliputi berikut ini:
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit
Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-
merah pada kulit, petekie) sianosis, hipotensi
Pemeriksaan saraf yang abnormal
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada :
- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
- Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
B. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin dan hanya atas indikasi seperti :
- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
- Paresis Nervus VI
- Papiledema
CT scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam
kompleks.
C. Tes lain (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya
pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya
akan membuktikan bentuk Non-epileptik atau normal dan temuan tersebut
tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik
atau pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam
atipik meliputi kejang yang menetap selama lebih dari 15 menit, berulang
selama beberapa jam atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak
menderita kejang demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang
berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai
komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif, kejang
demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda
perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologis abnormal.
Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding
dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada
faktor resiko.
2.1.8 Penatalaksanan
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu
(1) pengobatan fase akut ;
(2) mencari dan mengobati penyebab ; dan
(3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut
Penatalaksanaan saat kejang :
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu
diperhatikan adalah ABC (Airway, Breathing,Circulation). Perhatikan juga
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2
mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah
adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam
rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan berat diatas 10 kg. dosis 5
mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan dosis 7,5 mg diatas 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5
mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis awal
10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus
dirawat diruang intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan
pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan dapat
menyebabkan iritasi vena. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian Antipiretik :
Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan obat ini
mengurangi resiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun
para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level
III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan tidak lebih dari 5
kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat menyebabkan sindrom
Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

Pemberian Antikonvulsan :
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulang kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I,
rekomendasi A)
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna
untuk mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)

Pemberian obat rumat :
Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:
Kejang lama >15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental,
hidrosefalus.
Kejang fokal
Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:
o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam 4 X atau lebih pertahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelaian neurologis tidak nyata misalkan
keterlambatan perkembangan ringan bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang
fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulang kejang (level I). berdasarkan bukti ilmiah bahwa
kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalam jangka pendek (rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak
adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per
hari dalam 1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat :
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan
secara bertahap selama 1-2 tahun.

2. Mencari dan mengobati penyebab.
Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang
demam berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
(1) profilaksis intermiten saat demam dan
(2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-
0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat
pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg)>10kg)
setiap pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang
demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah
terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2
tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk
poin 1 atau 2) yaitu :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam
dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.
2.1.9 Prognosis
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi
Kejang demam berulang
Epilepsi
Kelainan motorik
Gangguan mental dan belajar

2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi

Anda mungkin juga menyukai