Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah Pemfigus berasal dari kata Femfix ( Yunani ) yang berarti melepuh atau
gelembung. Femfigus vulgaris adalah penyakit kulit yang timbul dalam bentuk bula yang
menyerang dalam waktu yang lama yang menyerang kulit dan membrana mukosa yang
secara histopatologis ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akatolisis.
secara garis besar pemphigus dibagi menjadi empat bentuk, yaitu pemfigus vulgaris,
pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans.





















2. Etiologi
Penyebab pasti pemfigus vulgaris belum diketahui, dimana terjadinya pembentukan anti
bodi Ig G yang diperantarai oleh beberapa factor, yaitu :
1. Faktor Genetik
2. Pemfigus vulgaris biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit autoimun lain
terutama Myasthenia grafis dan Thymoma


3. Gejala Klinis
1. Keadaaan umum penderita biasanya jelek
2. Membran mukosa
lesi pada pemphigus vulgaris umunya pertama kali berkembang pada
membrane mukosa terutama mulut 50-70 % pasien. bula yang utuh jarang
ditemukan pada pasien, karena mudah pecah dan dapat timbul erosi. Erosi
terdapat pada gingiva, pallatum dengan bentuk yang tidak teratur, sakit dan
lambat untuk menyembuh. Erosi dapat meluas ke laryng yang menyebabkan
pasien sakit tenggorokan dan sulit menelan. Permukaan lain yang terlibat
yaitu conjungtiva, labia, esophagus, vagina, cervik, urethra, penis dan anus.
3. Kulit
kelainan kulit dapat bersifat local maupun generalisata, terasa panas, sakit,
dan tanpa pruritus dengan predileksi di badan, kulit kepala, wajah, ketiak,
daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha.

3 Patofisiologi
4. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis pemfigus vulgaris diperlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang lengkap. lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit, sehingga dapat
mempersulit dalam penegakkak diagnose. Perlu dilakukan pemeriksaan manual
untuk membuktikan adanya Nikolskys sign yang menunjukkan adanya pemfigus
vulgaris. untuk mencari tanda ini dokter akan dengan lembut menggosok bagian
daerah kulit normal didekat daerah yang melepuh dengan kapas atau jari. Jika
memiliki pemfigus vulgaris, lapisan atas kulit akan cenderung terkelupas.
5. Pemeriksaan Penunjang
- Biopsi kulit dan Patologi Anatomi
pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan
diperiksa dibawah mikroskop. Pasien yang akan dibiopsi sebaiknya pada
pinggir lesi yang masih baru dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran
utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan
yang lain.






- Imunofluoresensi
Imunoflouresensi Langsung
sample yang diambil dari biopsy langsung diwarnai dengan cairan
flouresens. Pemeriksaan ini dinamakan Direct Immunoflouresence
(DIF). DIF biasanya menunjukkan deposit antibody dan
imunoreaktan lainnya secara in vivo, misalnya complement. DIF
biasanya menunjukkan IgG yang menempel pada permukaan
keratinosit yang didalam maupun sekitar lesi.
Imunoflouresensi Tidak Langsung
antibody terhadap keratinosit di deteksi melalui serum pasien.
Pemeriksaan ini ditegakkan jika pemeriksaan imunoflouresensi
langsung bernilai positif. Serum penderita mengandung antibody
IgG yang menempel pada epidermis dapat dideteksi dengan
pemerikasaan ini. Sekitar 80-90 % hasil pemeriksaan ini
dinyatakan sebagai penderita pemfigus vulgaris.


(Immunoflouresence pada pemfigus vulgaris)
VI. Diagnosa Banding
1. Pemfigus Bulosa
Gejala klinis pada pemfigus bulosa adalah terbentuknya bula yang besar dengan
tekanan meningkat pada kulit normal atau dengan lesi basal eritematous. Bula-
bula ini sering timbul pada daerah abdomen bagian bawah, bagian depan paha
atau paha atas, dan fleksor lengan atas, walaupun sering timbul dibagian lain.
Bula yang terbentuk biasanya berisi cairan bening dan bias juga terdapat
pedarahan. Kulit yang lepas apabila bula itu pecah akan terbentuk reepitelisasi,
tidak seperti pemfigus vulgaris, erosi yang terjadi tidak menyebar ke perifer. Lesi
pada pemfigus bulosa tidak mengakibatkan pembentukkan jaringan parut dan
jarang sekali disertai gatal.

2. Dermatitis Herpetiformis
Gejala klinis primer pada Dermatitis Herpetiformis adalah papul eritematous, plak
yang menyerupai urtika atau yang paling biasa ditemukan adalah vesikel. Bula
yang sangat besar jarang ditemukan. Akibat dari hilang timbulnya gejala klinis
menyebabkan terjadinya hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Gejala yang timbul
pada pasien bias hanya krusta dan gejala klinis lainnya tidak ditemukan. Gejala
biasanya simetris pada siku, lutut, bahu, kulit kepala, muka dan garis anak
rambut.
Pemeriksaan untuk menegakan diagnose adalah pemerikasaan serum dimana
ditemukan IgA yang berkaitan dengan substansi intermiofibril pada otot polos.

VII. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
- Glukokortikoid 2-3 mg/kgBB sampai penghentian pembentukan lepuhan
baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian pengurangan dengan cepat
setengah dosis awal sampai pasien hampir bersih diikuti.
- Terapi imunosupresif yang bersamaan untuk mengurangi efek
glukokortikoid
- Azathioperin 2-3 mg/kgBB sampai pembersihan lengkap.
- Methotrexate, baik secara oral ataupun IM dengan dosis 25-35 mg/minggu
- Cyclophosphamide, 100-200 mg/sehari
- Plasmapheresis, dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen
imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal pengobatan
untuk mengurangi titer antibody.

3. Non Medikamentosa
Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan
gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah
sangat penting karena dapat memicu pertumbuhan bula dan erosi. Pasien
disarankan mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa
pada fase aktif penyakit ini dapat berkurang.
IX. Prognosis
Se



VII. Komplikasi
1. Infeksi sekunder baik local maupun sistemik pada kulit. Dapat terjadi karena
penggunaan imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan luka pada infeksi
kutaneus tertunda dan meningkatkan resiko timbulnya jaringan parut.
2. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi dan malignasi
yang sekunder karna system imunitas yang terganggu.
3. Penekanan terhadap sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang menerima
imunosupresan yang berkepanjangan.
4. Gangguan respon kekebalan yang diakibatkan oleh kortikosteroid dan obat
imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang cepat.
5. Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan koertikosteroid sistemik.

IX. Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50 % kasus
sebelum tahun pertama. Pengobatan dengan Kortikosteroid membuat
prognosisnya lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai