Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK







Oleh:
Otchi Putri Wijaya, S.Ked
NIM : 70 2009 047




Pembimbing:
dr. Hadi Asyik, Sp.A




BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
RSUD PALEMBANG BARI
2014



2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis ditandai dengan edema anasarka, protenuria massif > 3,5
g/hr, hipoalbuminemia < 3,5 g/dl, hiperkolestrolemia, dan lipiduria.
1
dan
Sindroma Nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak
penyebab, salah satunya ditandai dengan permeabilitas membran glomerulus
yang meningkat.
2

Sindrom nefrotik merupakan perwujudan/manifestasi glomerulus yang
paling sering ditemukan pada anak 15 kali lebih sering dari pada orang
dewasa. Kelainan histologik yang terbanyak di anak adalah kelainan minimal
yang disebut "Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal" (SNKM).
1
Penyakit ini
merupakan penyakit kronis yang cenderung kambuh berulangkali, perjalanan
penyakit ini bersifat secara kebetulan (insidious), dan seringkali
menyebabkan keterlambatan diagnosis
.2,3

Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50%, dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid
dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik
(ACTH) serta koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini
mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi
peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%,
dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada
awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap
infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang
selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode
ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik
.4

Umumnya sindrom nefrotik disebabkan oleh adanya kelainan pada
glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder.
3

Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik
idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis
serta histopatologinya.
5


















4

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : M.F
Umur : 3,5 tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki
Alamat: jl. 4 ulu laut lr. Mesjid kertapati
Agama: Islam
Ayah:
Nama: Pardi
Tingkat Pendidikan: SMP
Usia: 36 tahun
Pekerjaan: Tukang becak
Ibu:
Nama: Marni
Tingkat Pendidikan: SMA
Usia: 32 tahun
Pekerjaan: Ibu RumahTangga
Datang kepoli tanggal 31 Desember 2013

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama: Bengkak di muka
B. KeluhanTambahan: Batuk (+) pilek (+)
C. Riwayat Perjalanan Penyakit:
3 hari Sebelum kepoli, pasien mengeluh bengkak pada mata.
Bengkak muncul pertama kali di daerah muka saat bangun tidur,
kemudian di pipi dan tungkai. Bengkak tidak berkurang di siang
hari. BAK lancar, frek 7-8 kali, warna kuning teh jernihan, BAK
warna merah (-). BAB biasa, sesak (-), demam (-), batuk (+)
berdahak (+) dahak berwarna kehijauan, pilek (+), nyeri
tenggorokan (-), gatal pada badan (-), timbul koreng di badan (-).
5

1 hari sebelum ke poli, bengkak semakin bertambah terutama saat
bangun tidur. Bengkak tidak hanya pada daerah muka, tetapi
bertambah pada daerah perut, kemaluan, dan tungkai. Bengkak
tidak berkurang saat pasien beraktivitas. Pasien berobat ke klinik
dokter umum dekat rumahnya dan diberikan obat berwarna putih,
dan kuning (vitamin). Keluhan batuk pilek hilang dan bengkak
berkurang tetapi tidak hilang.
Keluhan bukan pertama kali dirasakan pasien. Pasien pernah
mengalami keluhan yang sama pada bulan April tahun 2013 dan di
rawat selama 12 hari. Setelah keluar dari RS keluhan hilang, namun
keluhan kambuh kembali pada bulan Juni, saat itu pasien
mengalami batuk dan pilek lalu pasien di rawat selama 12 hari.
Selama perawatan keluhan bengkak mengalami perbaikan dan
hilang. Selama perawatan pasien hanya di berikan antibiotik.
Menurut pengakuan ibu pasien keluhan bengkak pada muka yang
menjalar ke seluruh tubuh akan timbul apabila anak mengalami
batuk pilek.
Pasien lalu di bawa ke poli RSUD Palembang bari untuk kontrol
ulang.
Pasien ini sudah mendapatkan pengobatan antibiotik selama 7 hari
keluhan berkurang tetapi tidak sampai hilang.
Pasien di indikasikan untuk dirawat kembali tetapi ibu pasien
menolak anaknya untuk dirawat.

BAK: warna kuning teh, frekuensi 7-8 kali sehari, nyeri saat BAK (-),
berbusa (+).
BAB: normal.
Nyeri perut (-), sesak (-), demam (-), batuk pilek (+), mual muntah (-),
sakit kepala (-).


6

D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit tenggorokan (-)
Riwayat korengan (-)
Riwayat malaria (-)
Riwayat hepatitis (-)
Riwayat sakit gigi/ gigi karies (-)

E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal

F. Riwayat Keluarga
Marni/32 tahun/IRT Pardi/36tahun/tukang becak







10 tahun 7tahun 3,5 tahun
G. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Anak
Os lahir di rumah dari ibu G3P2A0, hamil cukup bulan, riwayat
demam menjelang persalinan (-), KPSW (-), ketuban hijau (-), berbau
busuk (-), kental (-).
Riwayat persalinan: ditolong oleh bidan, lahir spontan, tidak
langsung menangis sekitar setengah jam baru menangis, bayi kebiruan
(-).
BBL : 3200 g, PB : ibu pasien lupa

7

H. Riwayat Makanan
Lahir 7 bulan: ASI
7 bulan - 2 tahun 6 bulan: ASI + Bubur saring
2 tahun 6 bulan sekarang: makanan seperti makanan orang
dewasa
variasi makanan telur (sering), tahu tempe (sering), ayam dan
daging (sesekali), sayur mayur (sering) ditambah dengan susu
setiap hari di pagi hari

I. Riwayat Imunisasi
BCG: sudah, skar di bahu kanan ada
DPT: 3 kali
Polio: 3 kali
Hepatitis B-1: 2 kali
Campak: 1 kali
Kesan: imunisasi dasar lengkap

J. Riwayat Perkembangan
Tengkurap: 3 bulan
Duduk: 4 bulan
Merangkak: 9 bulan
Berjalan: 12 bulan

K. Riwayat Sosial Ekonomi Keluarga
Kondisi sosial keluarga adalah kurang.

III. PEMERIKSAAN FISIK
A. PemeriksaanUmum
Kesadaran: Compos mentis
Nadi: 123 /menit
Laju pernafasan: 26 /menit
8

Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Suhu: 37,3 C
Berat Badan:13,6 kg BB kering (13,6 - (10% x 13,6)) = 12,24 kg
Tinggi badan: 89,5 cm
Lingkar perut: 50 cm

B. Status Gizi
BB/U : 13,6/13 x 100% = 104,61%
BB/TB : 13/14 x 100% = 92 %
Dari tabel Z score BB/TB untuk anak 2-5 tahun menurut gender
didapatkan hasil median 12,8.
Kesan: status gizi berdasarkan Z-score gizi baik

C. Pemeriksaan Khusus
Kulit: sawo matang, kulit tampak pucat.
Kepala: Muka terlihat sembab, Konjungtiva anemis (+),
sklera ikterik (-), edema palpebra (+).
Telinga: deformitas (-), sekret (-).
Hidung: deformitas (-), NCH (-), sekret (+).
Tenggorokan: Faring hiperemis(-) T1/T1.
Leher: kelenjar getah bening tidak membesar.
Dada:
Paru:
- Inspeksi: simetris, retraksi (-)
- Palpasi:stem fremitus (N)
- Perkusi: sonor
- Auskultasi: vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung
- Inspeksi: pulsasi (+), iktuskordis (+)
- Palpasi: iktuskordis (+), thrill (-)
- Perkusi: batasjantung normal
9

- Auskultasi: bunyi jantung I dan II normal, tunggal,bising (-)
Abdomen: Cembung, Shifting dullness (+), hepar dan lien sulit
dinilai, bising usus menurun.
Punggung: deformitas (-), gibbus (-).
Genital: laki-laki, simetris, skrotum edema (+)
Anggota gerak: akral dingin (-), CRT <2 detik, pitting edema
(+).
Kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran
D. PemeriksaanLaboratorium
17 Desember 2013
Hb: 12,6 gr/ml
Leukosit: 14.600/ml
Trombosit : 253.000
Ht : 36%
Hitung jenis: B:0, E: 0, Segmen: 68, L: 32, M: 0
ASTO : (-)
CRP : (-)
Kimia Darah:
Kolesterol Total : 328
Protein Total : 4 mg/dl
Albumin : 1.9 mg/dl
Globulin : 2.1 mg/dl
Ureum : 12 mg/dl
Kreatinin : 0.54 mg/dl
As. Urat : 3.62 mg/dl
Urine Rutine :
o kuning muda, jernih
o Berat jenis :1.020
o PH : 6.5
o Protein : +3
10

o Urobilinogen :+1
Sedimen :
Eritrosit: 1-2/LPB
Leukosit: 2-3/LPB
Epitel: +
Klirens kreatinin K x tinggi badan (cm)
Kreatinin serum (mg/dl)
= 0,55 x 89,5
0,54
= 91,15 (85-125 mg/dl)

Tanggal 24 Desember 2013
Urine Rutine :
o kuning muda, jernih
o Berat jenis :1.025
o PH : 6.5
o Protein : +3
o Urobilinogen :+1
Sedimen :
Eritrosit: 0-2/LPB
Leukosit: 0-2/LPB
Epitel: -
Silinder hyalin (+), granuler (+)

E. Diagnosis Banding
1. Sindroma Nefrotik
2. Sindroma Nefritik Akut
3. ISK

11

F. Diagnosis Kerja
Sindroma Nefrotik Relaps sering
G. Tata Laksana
Dietetik :
Kebutuhan Kalori (1500 kkal/hari)
Nasi Biasa Rendah Garam
Protein 2g/kgBB/hari
Garam 1-2mg/kgBB/hari

Diuretika : Furosemide (1-2mb/kgBB/hari)
2x20 mg
Prednison : (2mg/kgBB/hari) 2x12,4= 24,8 25mg
Tiap tab 5mg jadi sehari dibutuhkan 5 tablet. Untuk
pemberian prednison dibagi 3 dosis dan pada malam hari
sebaiknya di berikan prednison dosis rendah.
Jadi, diberikan 2 tablet pagi hari, 2 tablet siang hari dan 1 tablet
malam hari.

H. Komplikasi
1. Infeksi sekunder
2. Syok
3. trombosis vaskuler
4. Gagal ginjal

I. Prognosis
Umumnya baik dan dapat sembuh dengan sendirinya pada usia
menjelang akhir dekade ke-2, meskipun pada anak yang berespon baik
terhadap steroid tetap mengalami kekambuhan.

12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pendahuluan
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai
pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Yang
dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100
mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun
hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang
dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
1,2,3,4,7


2. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari edema, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemi.
Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar
40 mg/m
2
/jam atau proteinuria +2 atau lebih. Hipoalbuminemia apabila kadar
albumin dalam darah 2,5 gram/dl serta kolesterol dalam darah meningkat 200
mg/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai hipertensi,
hematuri dan azotemia.
1
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Istilah glomerulus seringkalai digunakan juga untuk menyatukan
korpuskulus ginjal, walaupun glomerulus kebih sesuai untuk menyatakan rumbai
kapiler.
1
Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal,
Terdapat ruang yang mengandung kemih antara rumbai kapiler dan kapsula
bowman, dan ruang yang mengandung kemih ini dikenal dengan nama ruang
bowman atau ruang kapsular.
2
Kapsula bowman dilapisi oleh sekl-sel epitel. Sel-sel epitel parietal
berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula. Sedangkan sel-sel
13

epitel visceral jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga
melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel-sel visceral mebentuk tonjolan-
tonjolan atau kaki-kai yang disebut podosit, yang bersinggunagan dengan
membrana basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang
bebas dari kontak antar sel epitel. Daerah-daerah yang terdapat di antara podosit
biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400 A.
2
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di
antara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain.
Membrana basalis kapiler kontinu dengan membrane basalis tubulus. Pada
membrana basalis tidak tampak adanya pori-pori, kendatipun bersifat seakan-
seakan memiliki pori dengan diameter sekitar 70 sampai 100 A.
2
Sel-sel endotel membentuk bagaian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak
seperti sel-sel epitel, sel endotel berkontak kontinu dengan membrana basalis.
Tetapi ada beberapa pelbaran seperti jendela yang dikenal dengan nama fenstra
yang diameternya sekitar 600 A. Sel-sel endotel kontinu dengan endotel yang
membatasi arteriola aferen dan eferen.
2
Sel-sel endotel, membrana basalis dan sel-sel epitel visceral merupakan 3
lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membrana filtrasai
glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsure-unsur
darah dan molekul-molekul protein besar dari bagian plasma lainnya, dan
mengalirkan bagian plasma tersebut sebagai kemih primer ke dalam ruang dari
kapsula bowman. Membrana basalis glomerulus tampaknya merupakan struktur
yang membatasi lewatnya solut ke dalam ruang kemih berdasarkan seleksi ukuran
molekul. Disamping itu, sawar fltrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan
oleh kumpulan makro molekul kaya anion pada membrana basalis dan melapisi
batas sel epitel dan endotel. Muatan negatif inilah yang menjadi alas an mengapa
secara normal albumin anionic tidak mampu masuk keruang kemih.
3



14

3. Epidemiologi
Angka kejadian Sindrom Nefrotik (SN) pada anak berkisar 2 per 100.000 anak.
Sekitar 75%-80% kasus SN di klinik merupakan SN primer (idiopatik). Angka
kejadian terbanyak pada anak berumur antara 3-4 tahun. Pada anak-anak,
berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal, paling sering
ditemukan nefropati lesi minimal(75%-85%) dan laki-laki dua kali lebih banyak
daripada wanita.
4
4. Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen-antibodi.
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1
1. Sindrom nefrotik bawaan / kongenital, yaitu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau 3 bulan pertama kehidupan.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada
masa neonatus. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik primer/idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui.
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa
ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Klasifikasi sindroma nefrotik berdasarkan histopatologi, Churg dkk
membagi dalam 4 golongan, yaitu:
1

a. Glomerulonefritis pascastreptokok
b. Glomerulonefritis kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan
dengan mikroskop electron tampak foot processus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
atau immunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerulus.
15

Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang
dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain
c. Glomerulonefritis membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik
d. Glomerulonefritis proliferatif
- Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltasi sel
polimorfonukleus.Pembengkakkan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan
pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus
yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.prognosis
jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah
pengobatan yang lama
- Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
- Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
simpai (kapsular) dan visceral. Prognosis biasanya buruk.
- Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
menyerupai membrane basalis di mesangium. Titer globulin
beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis tidak baik.
e. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering
disertai dengan atrofi tubulus. Prognosisnya buruk.
16

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM) sekitar 80-80%. Pada
dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih
sedikit dibandingkan pada anak-anak.Gambaran patologi anatomi
lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-9%,
proliferatif mesangial difus (GNPMD) 6,2% dan nefropati membranosa
(GNM) 1,3%.
3. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
timbal, racun serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal,
tumor wilms, leukemia

5. Klasifikasi
2

1) Berdasarkan etiologi
a. Sindrom nefrotik primer
b. Sindrom nefrotik kongenital
c. Sindrom nefrotik sekunder
2) Berdasarkan kelainan histopatologi
a. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
b. Glomerulosklerosis
- glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
17

- glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
c. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
d. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
e. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
f. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
- GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
- GNMP tipe II dengan deposit intramembran
- GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial
g. Glomerulonefritis membranosa (GNM)
h. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

6. Berdasarkan respon terhadap terapi steroid
a. Steroid responsif (umumnya SNKM)
b. Steroid dependen (umumnya juga SNKM)
c. Steroid non responsif (umumnya GSFS, GSFG, GNMP) atau
sindrom neforik sekunder
Pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinik yaitu:
1. Sindrom nefrotik respon steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Beberapa batasan yang dipakai pada SN adalah:
1. Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/
jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps: proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang: proteinuria +2/> muncul kembali kurang dari dua
kali dalam setahun setelah pengobatan steroid dihentikan.
4. Relaps sering : proteinuria +2/> muncul kembali 2 kali dalam 6
bulan atau 3 kali dalam setahun setelah pengobatan steroid
dihentikan.
18

5. Dependen steroid: relaps terjadi saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan alternating
dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid: remisi tidak terjadi setelah akhir minggu ke
delapan pengobatan steroid alternating.

6. Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
4
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula
oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal.
5
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
7

19

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder
karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik
menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
8
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.
6











20













7. Gejala Klinis
Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar
95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara
lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase
awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada
daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal,
daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka). Sembab bersifat menyeluruh, dependen
dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-
anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan
kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih
pucat.
2
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
Proteinuria
masif
Hipoalbuminemia
Retensi garam dan
air
Volume BAK

Oliguria
Edema Hipovolemia
Tekanan perfusi
ginjal
Aktivasi RAAS
Reabsorpsi Na di
tubulus distalis
Tekanan osmotik
intravascular
Ekstravasasi cairan ke
interstisial
Katabolisme lipoprotein
LDL Hiperkolesterolemia Trigliserida
Permeabilitas kapiler
glomerulus
Hipoalbuminemia
21

bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat
lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Sembab biasanya
tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS
atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan
hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
3
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom
nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan
terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien
sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia
umbilikalis dan prolaps ani.
3
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi
gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan
diuretik.
2
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada
penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik
terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua
pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta
perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia
sosial anak menjadi terganggu. Pada pemeriksaan fisik harus disertai
pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut dan tekanan darah.
4
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu >
40 mg/m
2
/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram
22

per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar
dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.
1
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin
serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom
nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum.
Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol
HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
1
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom
nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan
berbagai tipe sindrom nefrotik.
4
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat
awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan
kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik
yang bukan SNKM. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada
pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang
ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara
langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar
albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering
terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari
kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
2,3
8. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
4
a. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.
23

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan rutin
Darah tepi : Hb, jumlah leukosit, trombosit, hitungjenis, LED
Urinalisis : Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif ( 2+),
dapat disertai hematuria.
Kimia darah : koesterol, albumin/globulin, ureum/kreatinin,
asam urat, Na, K, Ca dan P
Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal
Klirens kreatinin (rumus Schwart) K x tinggi badan (cm)
Kreatinin serum (mg/dl)
Nilai K pada : BBLR < 1 tahun = 0,33
Aterm< 1 tahun = 0,45
1-12 tahun = 0,55
Perempuan 13-21 tahun = 0,57
Laki-laki 13-21 tahun = 0,70
TesMantoux (sebelum terapi steroid dimulai)
- Pemeriksaanatasindikasi
Fototorak, EKG bila dijumpai edema berat
ASTO dan C3 bila dijumpai tanda-tanda nefritis
CRP dan biakan urin bila dijumpai LED , hematuria,
leukositosis, leukosituria dan silinderuria
ANA, anti DsDNA, C3, C4 bila dicurigai SLE
Biopsi ginjal dengan indikasi:
24

- Usia >6 tahun dengan manifestasi sindroma nefritis
- Usia <1 tahun
- C3 menurun secara persisten
- Steroid persisten/ relaps sering (selama atau pasca terapi
steroid)

9. Diagnosis Banding
1

1. Penyakit ginjal : Sindrom nefrotik, sindrom nefritis akut
2. Penyakit hati : sirosis hepatis
3. Penyakit jantung : dekomp cordis
4. Malnutrisi

10. Penatalaksanaan
5

1. Aktivitas
Aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien, jika ada: edema
anasarka, dispnea, hipertensi tirah baring
2. Diet
protein normal sesuai RDA yaitu 2 gram/kgbb/hari
rendah garam (1-2 gram /hari) selama edema / mendapat terapi
steroid
3. Diuretik
restriksi cairan (30 ml/kgbb/hari) selama ada edema berat dan
oliguria
loop diuretic furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila kadar kalium
rendah < 3,5 mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton 1-2
mg/kgbb/hari diberikan pada edema berat/ anasarka. Diuretik > 1
minggu periksa ulang natrium dan kalium plasma.
Bila disertai hipovolemia (hipoalbuminemia berat kadar
albumin 1,5 gram/dl, berikan infus albumin rendah garam 20-
25% 1gram/kgbb atau plasma sebanyak 15-20 ml/kgbb dalam 1-2
25

jam, 15-30 menit setelah infus albumin/ plasma selesai diberikan
furosemid 1-2 mg/kgbb iv.
4. Antibiotik/ antiviral
Antibiotik diberikan bila:
edema anasarka + laserasi kulit amoksisilin, eritromisin atau
sefaleksin
infeksi beri antibiotik yang disesuaikan dengan derajat berat
infeksi
bila terjadi infeksi varicella asiklovir 80 mg/kgbb/hari dibagi 4
dosis 7-10 hari, pengobatan kortikosteroid stop sementara
5. Imunisasi
vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan
steroid selesai
kontak dengan penderita varicella imunoglobulin varicella-
zoster dalam waktu <72 jam
6. Tuberkulostatika
tes mantoux (+) beri INH profilaksis
TBC aktif beri OAT
7. Kortikosteroid
Pengobatan steroid untuk sementara tidak boleh diberikan bila dijumpai :
- hipertensi
- infeksi berat (viral/bakteri)
- azotemia
o Pengobatan inisial pada pasien baru
Dosis inisial prednison atau prednisolon 60 mg/m
2
/hari atau 2
mg.kgbb/hari sesuai dengan BB ideal (BB/TB) dibagi 3 dosis
(maksimal 80 mg/hari) selama 4 minggu
Remisi (+) pada 4 minggu pertama, dosis alternating 40
mg/m
2
/hari (2/3 dosis inisial) selang sehari pada pagi hari sudah
makan selama 4 minggu lalu stop. Bila remisi terjadi antara
26

minggu ke5 sampai dengan akhir minggu ke8, steroid alternating
dilanjutkan 4 minggu lagi.
Remisi (-) sampai akhir minggu ke 8 steroid resisten
o Pengobatan SN relaps
Bila dijumpai proteinuria ( +2) setelah pengobatan steroid
selesai, perlu dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan
diobati dengan AB selama 5-7 hari.
Bila proteinuria jadi negatif tidak perlu diberi prednison, bila
proteinuria masih tetap ( +2) atau tidak ditemukan fokus infeksi
mulai dengan prednison dosis penuh sampai remisi (proteinuria
negatif atau trace 3 hari berturut-turut) maksimal 4 minggu
dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu stop
Bila pada full dose selama 4 minggu remisi (-), alternating 4
minggu remisi (-) resisten steroid
o Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Ada 4 pilihan:
1. pemberian steroid jangka panjang
2. pemberian Levamisol
3. pengobatan CPA
4. pengobatan siklosporin
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
o Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh 4
minggu sampai terjadi remisi.
o Lanjutkan dengan steroid alternating 4 minggu, kemudian
dosis diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4 minggu
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternating, dapat diteruskan selama
6-12 bulan coba dihentikan.
o Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5
mg/kgbb/alternating, tetapi < 1 mg/kgbb/alternating tanpa
27

efek samping yang berat dapat dicoba dikombinasi dengan
Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan
atau langsung diberi CPA
o Bila pasien:
Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau
Meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
- efek samping steroid yang berat
- pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain
hipovolemia, trombosis, sepsis
Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama
8-12 minggu.
2. Sitostatika
o Siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari atau iv 500
mg/m
2
/hari atau
o Klorambusil 0,2 mg/kgbb/hari selama 8 minggu
Pemantauan dengan pemeriksaan darah tepi : Hb, lekosit,
trombosit 1-2 x seminggu. Obat dihentikan bila jumlah
lekosit < 3000/uL, Hb< 8 g/dl, atau trombosit < 100.000/uL
dan diteruskan kembali setelah lekosit > 5000/uL
3. Siklosporin (CyA)
Siklosporin dosis 5 mg/kgbb/hari dipakai pada:
- SN idiopatik yang tidak respon dengan pengobatan steroid
atau sitostatika
- SN relaps sering/dependen steroid







28


















Skema pengobatan prednison jangka panjang

o Pengobatan SN resisten steroid
Lakukan biopsi sebelum pengobatan dimulai
Obat-obat yang digunakan bisa siklofosfamid puls 500
mg/m
2
/bulan + metilprednisolon 40 mg/m
2
/hari ALT selama 6
bulan atau siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari + metilprednisolon
40 mg/m
2
/hari ALT selama 3-6 bulan
o Pengobatan komplikasi
Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/ dependen
steroid/ steroid resisten : aspirin atau dipiridamol selama
pengobatan steroid
Heparin diberikan bila sudah trombosis.
Remisi 4 minggu AD
Relaps prednisone standar
Relaps pada prednisone > 0,5 mg/kgbb AD
Siklosporin 5 mg/kgbb/hari selama 1 tahun
Prednisone
AD + CPA
SN relaps frekuen/ dependen steroid
Prednisone FD remisi
Diturunkan sampai dosis threshold 0,1-0,5
mg/kgbb AD(6-12 bulan)
Relaps pada prednisone > 0,5
mg/kg AD
Levamisol 2,5 mg/kgbb AD (4-12
bulan)
Relaps pada prednisone > 1 mg.kg AD
atau efek samping steroid
CPA 2-3 mg/kgbb 8-12 minggu
Relaps prednisone standar
Relaps pada prednisone > 0,5 mg/kgbb AD
Siklosporin 5 mg/kgbb/hari selama 1 tahun
29

Hipovolemia
Diatasi dengan infus NaCl fisiologis, lalu disusul dengan infus
albumin 1 gram/kgbb atau plasma 20 ml.kgbb (tetesan lambat
10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi, penderita
masih oliguria diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb iv.
Hipokalsemia
Suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D
Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium glukonas 50 mg.kgbb iv.
o Tindak lanjut
Pemeriksaan berat badan, intake output, lingkar perut, tekanan
darah setiap hari
Pemeriksaan darah tepi 1 kali seminggu
Urinalisis dan pemeriksaan protein semikuantitatif 2 kali seminggu
(jika sudah trace, diulangi 3 kali berturut-turut)
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit selama perawatan sekali 2
minggu
Awasi efek samping obat dan komplikasi yang mungkin terjadi
selama pasien dirawat.
o Indikasi pulang
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik, komplikasi
teratasi, dalam keadaan remisi.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu secara berobat
jalan. Setelah steroid dihentikan, kontrol sekali sebulan selama 3-5
tahun bebas gejala.
- Nephrotic syndrome is an important chronic disease
- in children. About 80% children with idiopathic
- nephrotic syndrome show remission of proteinuria
- following treatment with corticosteroids, and are
- classified as steroid sensitive.


30

11. Komplikasi
2

1. Tromboemboli
2. Infeksi
3. Hiperlipidemia
4. Hipokalsemia
5. Hipovolemia
6. Gagal ginjal akut
7. Anemia
8. Pertumbuhan abnormal

12. Prognosis
4

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di
atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer
memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid,
tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10%
tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.






31

BAB IV
ANALISIS MASALAH

Anak laki-laki 3,5 tahun datang dengan keluhan utama bengkak pada
daerah muka. Awalnya, edema muncul di kedua mata saat bangun tidur kemudian
ke perut dan tungkai. Edema tungkainya adalah edema peritibial. Dari gejala
edema yang terjadi pada pasien ini dapat di fikirkan beberapa penyakit
diantaranya Sindroma nefrotik, Sindromroma Nefritik akut, sirosis hepatis,
dekomp cordis dan malnutrisi. Tetapi, dari hasil anamnesis pada pasien ini tidak
di temukan riwayat penyakit kuning, dan juga riwayat muntah darah dan perasaan
gatal yang hebat pada tubuhnya pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan
Sklera ikterik, spider nervi dan hepatomegali. Jadi, diagnosis sirosis hepatis dapat
disingkirkan. Pada pasien ini edema yang terjadi juga tidak menyebabkan sesak
yang hebat saat aktivitas ataupun saat berbaring terlentang. Pada pemeriksaan
fisik juga tidak di temukannya peningkatan ronki pada paru, gallop pada jantung,
dan kardiomegali. Sehingga, diagnosis dekomp cordis dapat disingkirkan.
Sedangkan dari status gizi anak ini yang terkesan baik maka malnutrisi juga dapat
disingkirkan. Pada pasien ini terdapat sumber infeksi penyebab terjadinya
pielonefritis yaitu dari batuk pileknya sehingga dapat dfikirkan diagnosis
bandingnya antara SNA dan SN akan tetapi, dari hasil urinalisisnya menunjukkan
adanya proteinuria +3. Sedangkan dari hasil lab darah menunjukkan peningkatan
kadar kolesterol darah 328 mg/dl, dan adanya hipoalbuminea 1,9 mg/dl.
Berdasarkan konsensus tatalaksana sindrom nefrotik pada anak oleh IDAI, kedua
gejala klinik di atas menunjukkan dua dari empat gejala klinik untuk
mendiagnosis sindrom nefrotik. Menurut konsensus tersebut, sindrom nefrotik
adalah suatu sindrom klinik dengan gejala:
1. Proteinuria masif ( 40 mg/m
2
LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau 2+).
2. Hipoalbunimenia 2,5 g/dL.
3. Edema.
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia.
32

Oleh sebab itu, pasien ini dapat didiagnosis menderita sindrom nefrotik.
Orang tua pasien, mengaku gejala edema tersebut timbul sejak 3 hari sebelum
datang kepoli rumah sakit. Orang tua pasien mengaku bahwa sakit yang diderita
oleh anaknya bukan yang pertama kali dirasakan. pasien pernah berobat ke klinik
dokter umum dan diberikan obat yang berwarna putih. Keluhan pasien berkurang
tetapi tidak sampai hilang. Os tidak mengalami demam, nyeri tenggorokan, susah
menelan gatal-gatal pada kulit dan tidak nyeri saat BAK., tetapi pasien mengalami
batuk (+), pilek(+). Pada pasien SN pengobatan awal seharusnya dilakukann
dengan pengobatan antibiotik terlebih dahulu selama 7 hari, apabila keluhan
sembab berkurang dan keluhan lain juga membaik tidak perlu diberi penggunaan
obat steroid.
Pasien ini pernah dirawat sebanyak 2 kali dalam tahun ini yaitu pada
bulan April 2013 pasien di rawat selama 12 hari dengan pemberian antibiotik
keluhan bengkak berkurang dan keadaan umum membaik lalu pasien
dipulangkan, kemudian pada bulan Juni keluhan yang sama (bengkak pada kaki
dan sembab muka) timbul kembali sehingga pasien dibawa lagi kepoli dan
dirawat di RS selama 12 hari juga dengan pengobatan dengan menggunakan
antibiotik selama 7 hari keluhan pada saat itu juga membaik dan keadaan umum
pasien selama perawatan dengan menggunakan antibiotik tersebut menunjukan
perbaikan sehingga pasien dipulangkan tanpa pemberian obat steroid. Selang 5
bulan dari kejadian kedua pasien kembali mengalami keluhan yang sama sehingga
berobat kembali kepoli RSUD Palembang Bari sehingga saat itu di anjurkan untuk
periksa Urin, dari hasil urin di dapatkan protein +3 hasil pemeriksaan tersebut
bermakna bahwa pada pasien ini sudah mengalami pielonefritis berulang yang
kita kenal dengan Sindrom Nefrotik Relaps.
Berdasarkan konsensus IDAI mengenai penyakit ini, pasien ini menderita
SN yang berulang atau relaps, karena keluhan sudah berluang sebanyak 3 kali
dalam setahun maka pasien i ni termasuk dalam SN relaps sering. Untuk pasien
dengan SN relaps sering pengobatan dilakukan dengan menggunakan steroid
jangka panjang, steroid jangka panjang yaitu pengobatan dengan menggunakan
obat prednison dalam waktu 6-12 bulan. Dosis prednison dimulai dari dosis penuh
33

60mg/m
2
/hari atau 2 mg/kgBB/hari selama 28 hari atau 4 minggu, lalu di lihat
apakah pada pasien ini terjadi remisi atau tidak. Jika terjadi remisi maka
pengobatan di lanjutkan dengan pengobatan dosis alternating 40mg/m
2
/hari
selama 28 hari atau 4 minggu. Kemudian dosis diturunkan secara perlahan
0,5mg/kgBB/hari setiap 4 minggu sekali sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu 0,1-0,5mg/kgBB/hari.
Efek samping dari penggunaan steroid jangka panjang yaitu terjadi
gangguan kardiovaskular, pasien yang menggunakan steroid jangka panjang atau
asupan steroid yang berlebihan dapat meningkatkan kadar kolestrol dalam tubuh
dan meningkatkan tekanan darah. Selain itu, steroid juga memiliki efek terhadap
immunodepresi yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh kita berkurang
sehingga dapat menyebabkan kita mudah terinfeksi lagi, penekanan terhadap laju
pertumbuhan, rekasi alergi, peningkatan berat badan secar cepat, deposit lemak
pada wajah, dan osteoporosis. sehingga penggunaan steroid pada pasien ini perlu
pemantauan ketat dari efek samping yang dimilikinya.
Pada penderita SN yang tidak mengalami edema anasarka tidak harus
dirawat melainkan dilakukan evaluasi pemeriksaan urine 3 hari berturut-turut
apabila dinyatakan protein +3 baru kita rawat untuk mencari penyebab dari
infeksi. Pengobatan kasus ini berdasarkan penatalaksaan untuk sindrom nefrotik
relaps sering. Pada pasien ini walaupun tidak mengalami edema anasarka sudah di
indikasikan untuk dirawat tetapi ibu pasien menolak anaknya untuk dirawat.
Sehingga pasien ini di lakukan pengobatan rawat jalan dengan melakukan kontrol
ulang setiap 1 minggu sekali setelah dimulainya pengobatan steroid jangka
panjang dengan memeriksakan kembali urinnya. Tujuan dilakukannya kontrol
ulang tersebut unrtuk memantau respon tubuh si anak dengan terapi steroid yang
diberikan.
Prognosis pada pasien ini yaitu dubia ad bonam, dapat sembuh dengan
baik apabila patuh dalam pengobatan apalagi SN dapat sembuh sempurna hingga
akhir usia dekade ke 2.


34

DAFTAR PUSTAKA

1. Bergstein, Jerry M. Sindrom Nefrotik, BAB Nefrologi dalam Kliegman RM,
Emerson NW. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadephia: Elsevier
Saunders. 2011. h.1821-1831
2. Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Springer. 2009. p.
667-91
3. Markum AH, Ismael S, Alatas H, et al. Sindrom Nefrotik dalam Buku ajar
ilmu kesehatan anak. Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2004.h.528-67.
4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th
ed. USA: Saunders Elsevier. 2007. h. 517-50.
5. Trihon PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana
sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2012. h. 2-15
6. Alatas, husein dkk. Nefrologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. Vol.2. Edited by Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas.
Infomedika. Jakarta. 2007.
7. Staf Pengajar IKA FK UH. Standar Pelayanan Medik BIKA FKUH. Edited
by Dr. Syarifudin Rauf,dkk. BIKA FKUH. Makassar. 2009. h201-204
8. Syarifuddin Rauf, Dr.,dr.,Sp.A,. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. BIKA FK
UH. Makassar. 2009. h52-56

Anda mungkin juga menyukai