Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV
CAP INDUCED SEPSIS

DisusunOleh :
Kelompok 2
Kelas A
Putri Kusuma Wardani

G1F010001

Sani Zakkia A

G1F010009

Reza Rahmawati

G1F010025

Eka Wulandari

G1F010035

Amanda Prita K

G1F010047

Indra Pradipta

G1F010057

Kartiko Wicaksono

G1F010061

Nasyiatul Aisyiyah

G1F010073

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2013
I.

Judul
CAP Induced Sepsis

II.

Dasar Teori
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon
tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme.Ditandai
dengan panas,

takikardia,

takipnea,

hipotensi dan disfungsi

organ berhubungan

dengan gangguan sirkulasi darah.


Sepsis sindromaklinik yang ditandaidengan:

Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)

Tachypneu (respiratory rate >20/menit)

Tachycardia (pulse >100/menit)

Leukocytosis >12.000/mm3 Leukopoenia <4.000/mm3

10% >cell imature

Suspected infection
Terminology

dalam

sepsis

menurut American

College of

Chest

Physicians/society of Critical Care Medicine consensus Conference Committee :


Critical Care Medicine, 1992 :
Infeksi
Fenomena microbial yang ditandai dengan munculnya respon inflamasi terhadap
munculnya / invasi mikroorganisme ke dalam jaringantubuh yang steril.
Bakteriemia

Munculnya atau terdapatnya bakteri di dalam darah.


SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome)
Respon inflamasi secara sistemik yang dapat disebabkan oleh bermacam
macamkondisi klinis yang berat. Respon tersebut dimanifestasikan oleh 2 atau
lebih dari gejala khas berikut ini :

Suhu badan> 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Sepsis sistemik
Respon terhadap infeksi yang disebabkan oleh adanya sumber infeksi yang jelas,
yang ditandai oleh dua atau lebih dari gejala di bawah ini:

Suhu badan> 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Severe Sepsis
Keadaan sepsis dimana disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi.Hipoperfusiataugangguanperfusi mungkin juga disertai dengan asidosis
laktat, oliguria, atau penurunan status mentas secara mendadak.
Shok sepsis
Sepsis yang menyebabkan kondisi syok, dengan hipotensi walaupun telah
dilakuakn resusitasi cairan. Sehubungan terjadinya hipoperfusi juga bisa

menyebabkan asidosis laktat, oliguria atau penurunan status mental secara


mendadak. Pasien yang mendapatkan inotropik atau vasopresor mungkin tidak
tampaka hipotensi walaupun masih terjadi gangguan perfusi.
Sepsis Induce Hipotension
Kondisi dimana tekanan darah sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan
sistolik>40mmHg dari sebelumnya tanpa adanya penyebab hipotensi yang jelas.
MODS (Multy Organ Dysfunction Syndroma)
Munculnya penurunan fungsi organ atau gangguan fungsi organ dan homeostasis
tidak dapat dijaga tanpa adanya intervensi.
TandadanGejala
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan.
Padapasien sepsis kemungkinan ditemukan:

Perubahan sirkulasi

Penurunan perfusi perifer

Tachycardia

Tachypnea

Pyresia atau temperature <36oc

Hypotensi
Pasien harus mempunyai sumber infeksi yang terbukti atau yang dicurigai

(biasanya bakteri) dan mempunyai paling sedikit dua dari persoalan-persoalan


berikut: denyut jantung yang meningkat (tachycardia), temperatur yang tinggi
(demam) atau temperatur yang rendah (hypothermia), pernapasan yang cepat (>20
napas per menit atau tingkat PaCO2 yang berkurang), atau jumlah sel darah putih
yang tinggi, rendah, atau terdiri dari >10% sel-sel band. Pada kebanyakan kasus-

kasus, adalah agak mudah untuk memastikan denyut jantung (menghitung nadi per
menit), demam atau hypothermia dengan thermometer, dan untuk menghitung napanapas per menit bahkan di rumah. Adalah mungkin lebih sulit untuk membuktikan
sumber infeksi, namun jika orangnya mempunyai gejala-gejala infeksi seperti batuk
yang produktif, atau dysuria, atau demam-demam, atau luka dengan nanah, adalah
agak mudah untuk mencurigai bahwa seseorang dengan infeksi mungkin mempunyai
sepsis. Bagaimanapun, penentuan dari jumlah sel darah putih dan PaCO2 biasanya
dilakukan oleh laboratorium. Pada kebanyakan kasus-kasus, diagnosis yang definitif
dari sepsis dibuat oleh dokter dalam hubungan dengan tes-tes laboratorium.
Beberapa pengarang-pengarang mempertimbangkan garis-garis merah atau
alur-alur merah pada kulit sebagai tanda-tanda dari sepsis. Bagaimanapun, alur-alur
ini disebabkan oleh perubahan-perubahan peradangan lokal pada pembuluh-pembuluh
darah lokal atau pembuluh-pembuluh limfa (lymphangitis). Alur-alur atau garis-garis
merah adalah mengkhawatirkan karena mereka biasanya mengindikasikan penyebaran
infeksi yang dapat berakibat pada sepsis.
Komplikasi Sepsis:

ARDS

Koagulasi intravaskular diseminata

Acute Renal Failure (Chronic Kidney Disease)

Perdarahan usus

Gagal hati

Disfungsi sistem saraf pusat

Gagal jantung

Kematian

Secaraklinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit) tidak termasuk

Mikobakterium tuberculosis (M.Tb).Sedangkan peradngan paru yang disebabkan oleh


non

mikroorganisme

(bahankimia,

radiasi,

aspirasibahantoksikdll)

disebut

pneumonitis.
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam beberapacara. Patolog awalnya
diklasifikasikan mereka sesuai dengan perubahan anatomi yang ditemukan di paruparuselamaotopsi.Seperti lebih dikenal tentang mikroorganisme penyebab pneumonia,
klasifikasi

mikrobiologis

muncul,

dandengan

munculnya

x-ray,

klasifikasi

radiologi.Sistem lain yang penting dari klasifikasi adalah klasifikasi klinis gabungan,
yang menggabungkan faktor-faktor seperti usia, factor risiko untuk mikro organism
tertentu, adanya penyakit paru yang mendasari dan penyakit sistemik yang mendasari,
dan apakah orang tersebut baru-baru ini dirawat di rumahsakit.
Komunitas-acquired pneumonia (CAP) adalah pneumonia menular pada orang
yang belum baru saja dirawat di rumahsakit. CAP adalah jenis yang paling umum
pneumonia. Penyebab paling umumdari CAP bervariasi tergantung pada usia
seseorang, namun mereka termasuk''Streptococcus pneumoniae'', virus, bakteri
atipikal,
pneumonia

dan

Haemophilusinfluenzae''''.

merupakan

penyebab

paling

Secara

keseluruhan,''''Streptococcus

umum

pneumonia

komunitas

di

seluruhdunia.Bakteri Gram-negatif menyebabkan CAP di tertentu pada populasi


berisiko.CAP adalah penyebab paling umum keempat kematian di Inggris dan
keenam di AmerikaSerikat.Istilah "pneumonia berjalan" telah digunakan untuk
menggambarkan jenis komunitas-pneumonia keparahan kurang (karena fakta bahwa
penderita dapat terus "berjalan" dari pada memerlukan rawat inap).Berjalan
pneumonia biasanya disebabkan oleh bacteria tipikal pneumonia Mycoplasma.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti
ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrate baru atau infiltrate progresif
ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawahini :

Batuk-batuk bertambah

Perubahan karakteristik dahak / purulen

Suhu tubuh > 38C (aksila) / riwayat demam

Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial


dan ronki

III.

Leukosit > 10.000 atau < 4500

Profil Pasien

Nama pasien : Ny. M


Jenis kelamin : Wanita
Usia
Alamat

: 63 tahun
: Depok Jaya, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat

NRM

: 368-xxxx

MRS

: 23 April

1. Keluhan Utama (Chief Complaint)


Penurunan kesadaran sejak 10 jam SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang (History of Present Illness)


Sejak 2 minggu SMRS, pasien mengeluh demam, naik turun, kadang tinggi. Demam
turun dengan obat penurun panas, namun kembali naik. Pasien juga mengalami batukbatuk berdahak putih, nyeri saat menelan, serta sesak nafas yang hilang timbul. Pasien
juga merasa cepat lelah.
Nafsu makan pasien menurun, pasien mengalami mual tetapi tidak muntah, serta
merasakan nyeri pada ulu hati. Pasien hanya bisa makan 1-2 sendok tiap makan.
Pasien berobat ke klinik dan diberi obat (tidak tahu nama obatnya). Aktivitas pasien
semakin menurun. Pasien hanya berbaring saja di tempat tidur. BAK sering ngompol,
BAB di pampers. Pasien masih bisa berjalan dibantu oleh 1 orang.

Sejak 10 jam SMRS pasien mengalami penurunan kesadaran, diajak bicara tidak
merespon. Pasien tidak ada kelemahan sesisi, mulut tidak mencong, bicara tidak pelo,
tidak ada riwayat jatuh, sering lupa, tidak ada keluhan pusing berputar. Ada riwayat
hipertensi, pasien tidak kontrol teratur, namun tidak diketahui sejak kapan tidak
kontrol teratur.
Pasien dirawat di IGD selama 6 hari sambil menunggu kamar kosong. Sempat
mengalami tidak bisa kontak sama sekali selama 2 hari, setelah itu dapat melakukan
kontak lagi dengan orang-orang sekitar.

3. Riwayat Penyakit Terdahulu (Past Medical History )


Pada tahun 2006, pasien mengalami stroke, pada saat itu pasien sedang melakukan
aktivitas. Pasien tidak mengalami kelemahan pada tangan dan kaki. Bicara sempat
pelo, tetapi mengalami perbaikan. Pasien tidak menjalani rawat inap pada saat itu.
Aktivitas masih mandiri.
Pada tanggal 27 Maret 2012, pasien terjatuh di teras rumah, pada saat itu akan duduk
di kursi. Pasien jatuh terduduk tapi setelah jatuh terduduk, pasien masih dapat berjalan
mandiri dengan rambatan pada dinding dan perabotan. Pasien merasakan nyeri pada
panggul.
Pasien memiliki riwayat hipertensi, tidak kontrol teratur dan stroke. Pasien tidak
memiliki riwayat DM, jantung, asma, dan alergi obat.

4. Riwayat Keluarga (Family History) untuk penyakit yang kemungkinan ada


kaitannya dengan faktor keturunan.
Keluarga pasien tidak ada riwayat DM dan hipertensi.
5. Riwayat Sosial (Social History) pekerjaan, status perkawinan, merokok,
alkohol, narkoba

6. Riwayat Penggunaan Obat (Medication History)

7. Kajian status klinik (Review of Systems)


Tanda-tanda sepsis :
1)

WBC > 12.000/L

2)

RR > 20x per menit

3)

HR > 80x per menit

4)

T > 38oC

Pasien menunjukkan tanda-tanda SIRS, pasien terdiagnosa sepsis karena CAP. Hasil
kultur belum keluar. Antibiotik empiris CAP pada pasien non ICU yang digunakan
adalah golongan Fluoroquinolon.

Tanda-tanda anemia normositik normokromik


1)

Ada penurunan Hb, Hct, RBC

2)

MCV dan MCH normal

8. Data pemeriksaan fisik , laboratorium dan uji lain


BB

: 58 kg

TB

: 160 cm

BMI : 22,6 kg/m2


IV.

Data Klinik

HCU
Kondis

Kadar

i klinik

Norma

24/4

25/4

26/4

27/4

28/4

29/4

30/4

120/

140/

130/7

144/7

142/7

158/7

60

70

36,7

37,5

36,5

38,5

36,5

36,5

36,9

l
TD

120/80 140/9

36-37

FN

80-100 104

62

84

100

88

84

75

FP

12 -20

20

32

40

12

13

Vent.

SPO2

94

96%

99%

99%

99%

24

98%

100 %
Rhonc

+/+

hi
Sesak

Batuk

Dahak

V.

Data Laboratorium

1/5 2/5

Parameter

Darah

Satuan

Norm 16/4

18/

20

23/

al

/4

12,

11

11,

,9

33,

32

32,

,6

24/4

25/4

26/4

27/4

28/

29/4

perifer

lengkap
Hb

g/dl

12.1

10,9

9,9

9,7

9,3

30,5

29,7

28,4

3,4

3,24

3,2

89,7

91,7

88,8

15.3
Ht

36%-

30,2

44.6
%
Eritrosit

106/L

3,5
5

MCV/VER

fL

8097.6

MCH/HER

pg

27-33

29,1

29,9

29,1

MCHC/KHER

g/dl

33-36

32,5

32,7

32,7

Jumlah

103/L

150 216

20

24

374

425

433

341

400

19,

13

11,

16,1

13,3

9,89

,4

trombosit
Jumlah leukosit

103/L

5-10

28,6

Hitung jenis
Basofil

0-1

0,1

0,2

0,3

Eosinofil

1-3

0,7

1,6

2,5

Neutrofil

50-70

88,3

85,1

84,2

Limfosit

20-40

4,8

7,6

6,0

Monosit

2-8

6,1

5,5

7,0

LED

mm

< 15

45

80

100

meq/L

135-

Elektrolit
darah
Na

130

134

136

126

135

135

4,58

4,4

4,31

4,46

3,9

3,98

147
K

meq/L

3.5-5

2
Cl

meq/L

95-

100

103

103

91,2

101

8,2

7,2

110
Ca

mg/dl

8.610.3

98,3

Analisis

Gas Satuan

Darah

pH

Kadar

18/

20/

23/

Norm

6/

al

24/4

25/4

26/4

27/4

7.35

7,35

7,38

7,32

7.45

7,38

mmHg

35-45

52

40,2

46,6

46,7

pO2

mmHg

80-

77,8

64,3

135

139,

105
mmol/

29/4

pCO2

HCO3

28/

22-26

28,9

23,9

24

27,6

23-27

30,5

25,1

25,4

29

02,5

3,7

-0,7

-1,2

94-

94,8

92,2

98,5

98,7

26,7

23,9

22,7

26,5

2,6

-0,6

-2,2

2,3

L
Total CO2

mmol/
L

Base excess

mmol/
L

O2 saturation

100
Standar HCO3

mmol/
L

Standar

base mmol/

excess

Protein
Protein total

g/dl

6-8

Albumin

g/dl

3.6-5

Globulin

g/dl

2.3-

2,36

2,51

3.5
Albumin/globuli
n
Masa
protrombin
Pasien

Detik

26-35

12,7

13,
9

Kontrol

Detik

12,6

12,
4

APTT
Pasien

Detik

20-35

37,5

46,8

43,
3

Kontrol

Detik

31,5

34,2

33,

Tidak ada tes diagnostik yang spesifik terhadap sepsis, temuan yang cukup sensitif untuk
mendiagnosis pasien suspect atau sepsis antara lain bisa dilihat dari variabel umum berupa
suhu, HR, RR dan WBC.
Prokalsitonin adalah suatu prohormon kalsitonin yang terdapat dalam tubuh manusia. Pada
sepsis, peningkatan kadar prokalsitonin dalam darah memiliki nilai yang bermakna yang
dapat digunakan sebagai biomarker sepsis. Kadar PCT yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi pada pasien. Kadar D-dimer kuantitatif yang meningkat beberapa kali lipat juga
berhubungan dengan infeksi pneumonia. Peningkatan kadar D-dimer disebabkan oleh
aktivasi dari sistem fibrinolitik dan dari katabolisasi fibrin di alveoli. (Arslan S dkk, 2010)

VI.

Assesment

No.

Problem

Paparan Problem

1.

Penggantian obat

Pasien

mengeluhkan

Rekomendasi
demam Mengganti

naik turun kadang tinggi, dokter sistenol


meresepkan

parasetamol

asetilsistein sirup

dengan
kaplet

dan dengan dosis 3 x


sehari

yang

berisi

kombinasi
parasetamol 500 mg
dan asetilsistein 200
mg.
2.

Pemberian obat kurang Pasien


tepat

grade

mengalami
1,

dokter

captopril,

hipertensi Berdasarkan JNC 7


meresepkan terapi

adalat

oros, grade

hipertensi
1

adalah

amlodipine p.o., furosemide i.v. kombinasi

thiazide

untuk terapi hipertensi

dengan

ACE

Inhibitor

sehingga

digunakan kombinasi
HCT dengan dosis
2x25mg

Dengan

captopril

dengan

dosis

2x25mg

sebagai

terapi

hipertensi pasien
3.

Pemberian obat kurang Pasien


tepat

mengalami

(Community
Pneumonia),
pernapasan

CAP Berdasarkan
Acquired guideline

untuk
pasien

meresepkan
combiven,
aminophilin

menurut

terapi CALS
dokter (Comprehensive
inhalasi Advanced

V:B:NS=1:1:1,

nebule Support)
flixotide,

sepsis

(2011)

O2, terapi

yang

digunakan
Albuterol
dan

Life

adalah
nebulizer

Ipratropium

nebulizer

sehingga

hanya

digunakan

nebule

combiven

yang

berisi

kombinasi

kedua

obat

tersebut.

Berdasarkan

IDSA

guideline

untuk

pasien CAP kondisi


hipoksemia

pasien

diterapi
menggunakan

non

invasive

ventilation

berupa

pemberian

O2.
4.

Obat

tidak

indikasi

tepat pasien mengalami hipertensi dan Untuk


pasien

mempunyai

mencegah

riwayat kekambuhan

stroke

penyakit stroke, untuk mencegah kami


terjadinya stroke kembali dokter merekomendasikan
meresepkan aspirin, simvastatin, penggunaan
aspar K dan heparin. Pasien antiplatelet
mengalami kenaikan nilai aPTT dan

aspirin

antikolesterol

sehingga dikhawatirkan pasien simvastatin saja.


akan

mengalami

stroke

hemmoragik
Pasien tidak mengalami asidosis
karena berdasarkan data lab
pasien pH darah pasien normal
namun dokter meresepkan bicnat
5.

Indikasi

yang

diterapi

tidak Pasien

mengalami

nilai Hb

Bicnat

tidak

digunakan.

penurunan Karena
masih

Hb

pasien

diatas

8,

diberikan terapi zat


besi dengan dosis
6.

Penambahan obat

Pasienn mengeluhkan nyeri ulu Ditambahkan


hati dan mengkonsumsi aspirin, sukralfat

untuk

oleh dokter pasien hanya diterapi mencegah


omeprazole

perburukan nyeri ulu


hati

pasien

akibat

aspirin

PATOFISIOLOGI

Gambar patofisiologi Community Acquired Pneumonia (CAP)


Community acquired pneumonia(CAP) adalah pneumonia infeksius pada seseorang
yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.CAP adalah tipe pneumonia yang paling
sering terjadi.Penyebab CAP diantaranya adalah Streptococcus pneumoniae,virus,bakteri
atipikal dan Haemophilus influenzae, dari beberapa penyebab tersebut Streptococcus
pneumoniae adalah penyebab paling umum dari CAP diseluruh dunia (Fransisca, 2000).
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabilaterjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko
infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai
permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah

3. Inhalasi bahan aerosol


4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi darisebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50
%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak
ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus kedalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu
terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik
terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray
hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Bakteri secara khusus memasuki paru-paru ketika droplet yang berada di udara
dihirup,tetapi mereka juga dapat mencapai paru -paru melalui aliran darah ketika ada infeksi
pada bagian lain dari tubuh.Banyak bakteri hidup pada bagian atas dari saluran pernapasan
atas seperti hidung,mulut,dan sinus dan dapat dengan mudah dihirup menuju alveoli.Setelah
memasuki alveoli,bakteri mungkin menginvasi ruangan diantara sel dan diantara alveoli
melalui rongga penghubung.Invasi ini memacu sistem imun untuk mengirim neutrophil yang
adalah tipe dari pertahanan sel darah putih,menuju paru.Neutrophil menelan dan membunuh
organisme yang berlawanan dan mereka juga melepaskan cytokin,menyebabkan aktivasi
umum dari sistem imun.Hal ini menyebabkan demam,menggigil,dan mual umumnya pada
pneumoni yang disebabkan bakteri dan jamur.Neutrophil,bakteri,dan cairan dari sekeliling
pembuluh darah mengisi alveoli dan mengganggu transportasi oksigen (Fransisca, 2000).
Bakteri sering berjalan dari paru yang terinfeksi menuju aliran darah menyebabkan
penyakit yang serius atau bahkan fatal seperti septik syok dengan tekanan darah rendah dan
kerusakan pada bagian-bagian tubuh seperti otak,ginjal,dan jantung.Bakteri juga dapat
berjalan menuju area antara paru-paru dan dinding dada(cavitas pleura) menyebabkan
komplikasi yang dinamakan empyema (Fransisca, 2000).
Perubahan sistemik yang dapat dialami pasien terjadi pada saat lipopolisakarida
binding protein mulai terikat pada struktur yang berasal dari patogen dan dipresentasikan
pada tempat pengikatan monosit atau makrofag. Dari kedua jenis sel ini dapat dilepaskan
sitokin dan yang primer adalah tumor nekrosis faktor (TNF-), interlekuin 1 (IL 1), IL 6,
dan IL 8. Mediator primer ini selanjutnya merangsang pelepasan mediator sekunder seperti
prostaglandin E2 (PGE2), Tromboksan A2 (TXA2), platelet activating factor (PAF), peptida
vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida serta histamin dan
serotonin disamping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari komplemen ( Aird WC,
2003; Riedemann NC, 2003; Wheeler AP, 2004; Hotchkiss RS, 2004).

Gambar patofisiologi sepsis


Sitokin berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka dan penetralan patogen.
Respon sitokin harusnya berangsur-angsur dideregulasi untuk akhirnya dapat menghentikan
efek yang telah digulirkan. Kesulitan kadang-kadang dapat dialami tubuh untuk
mengembalikan homeostasis ini dan bila semua pengendalian hilang suatu reaksi sistemik
yang dahsyat akan dialami tubuh sendiri ( Aird WC, 2003; Hotchkiss RS, 2004).
Lipopolisakarida (LPS) langsung dapat mempengaruhi faktor XII dan memicu
pengaktifan sistem koagulasi. Kaskade koagulasi yang berujung pada DIC dan fibrinolisis
bersama tissue faktor teraktivasi menyebabkan multiple organ failure mengingat pula bahwa
aktivasi neutrofil baik secara langsung oleh LPS maupun sistem kompolemen dapat
menyebabkan kerusakan endotel saat terjadi degranulasi, agregasi dan adhesi.Pelepasan
bradikinin yang berujung pada vasodilatasi dan bersama nitric oksida (NO) yang meningkat
akibat hipoksemia jaringan berujung pada hipotensi dapat juga diinduksi faktor XII (Aird
WC, 2003).
Pengaruh yang membahayakan lainnya dari LPS dan produk sejenis adalah terjadinya
pangaktifan sistem komplemen yang dapat menyebabkan kebocoran kapiler, edema organ
vital dan migrasi/akumulasi serta aktivasi neutrofil.Peran trombosit pada kaskade sepsis
belum diketahui pasti, namun diduga pada endotel rusak dapat menginduksi vasokontrikasi
dan juga stimulasi netrofil. Pada endotel utuh, zat yang menghasilkan trombosit (ADP, ATP)
dan serotonin (5-HT) akan menyebabkan pelepasan Endoteliun Derived Relaxing Factor

(EDRF) dan prostasiklin (PGI2). Hal serupa akan tejadi setiap kali terbentuk trombin. EDRF
yang dilepas merelaksasi otot polos vaskular dan melebarkan pembuluh sehingga membilas
mikroagregat(Aird WC, 2003).
Dalam lumen, EDRF menghalangi agregasi trombosit. Monoamin oksidase (MAO)
memecah serotonin dan mengurangi monoamin yang berdifusi menuju otot polos. Dengan
kata lain, endotel berfungsi sebagai inhibitor serotonin dan TXA 2 untuk mencapai otot polos.
Berbagai fungsi yang berbeda ini memainkan peran yang dalam mencegah koagulasi dan
episode vasospasme yang tidak dikehendaki. Jika sel endotel rusak, peran proteksi endotel
akan hilang secara lokal, trombosit beradesi dan beragregasi, diikuti konstriksi seperti terjadi
pada hemostasis fase vaskuler. Di jaringan dapat terjadi pelepasan zat yang mendepresi kerja
miokard menyebabkan ventrikel berdilatasi dan berkurangnya ejeksi ventrikel kiri.
Endotoksin dan berbagai sitokin, khusunya IL-1, IFN- dan TNF- menyebabkan
pengaktifan reseptor endothelial yang menginduksi influks kalsium kedalam sitoplasma sel
endotel, kemudian setelah berinteraksi dengan kalmodulin, akan mengaktifkan Nitric Oxide
Synthase (NOS) yang berperan dalam pembentukan Nitirc Oxide (NO) dan menimbulkan
pelepasan EDHF (Endithelium Derived Hyperpolarizing Factor). Peningkatan NO
menyebabkan relaksasi otot polos dengan mengaktifkan sintesis cyclic-35 Guanosine
Monophospate cGNP dan Guanosine Triphospate (GTP) . EDHF menyebabkan
hiperpolarisasi dan relaksasi otot polos dengan cara membuka saluran kalium (K +). Hal ini
menyebabkan vasodilatasi yang diduga dapat mengakibatkan hipotensi(Aird WC, 2003).
Perkembangan paling mutakhir dalam masalah sepsis meliputi pengenalan sinyal
terhadap mikroba dari sistem imun yang dapat memberi respon melalui apa yang disebut
dengan toll-like receptor (TLRs). Mutasi pada reseptor ini pada hewan percobaan dapat
mengakibatkan kematian pada sepsis yang berhubungan dengan mutasi pada gen 4 TLR. Gen
ini juga ditemukan pada manusia sehingga kemungkinan kerentanan terhadap infeksi dan
sepsis akan dapat dialami pasien yang memiliki ciri genetik ini(Hotchkis RS, 2003; Aird WC,
2003).
Meningkatnya pengetahuan tentang sinyal sel pathway sebagai mediasi respon
terhadap mikroba memperlihatkan bahwa konsep untuk menghambat endotoksin sebagai
usaha untuk mencegah komplikasi infeksi septik mungkin terlalu sederhana. Sel-sel dari
sistem imun mengenali mikroorganisme dan menginisiasi respon melalui pola pengenalan
reseptor yang disebut toll-like receptor (TLRs). Melihat peranan TLRs dalam memerangi
infeksi telah dibuktikan dalam penelitian pada tikus. yang resisten terhadap endotoksin

karena mutasi dari pada gen reseptor toll-like 4 (TLR4).Walaupun resistensinya terhadap
endotoksin, mortalitas tikus ini meningkat dengan sepsis yang otentik. Mutasi TLR 4 telah
diidentifikasi pada manusia dan menyebabkan seseorang lebih mudah terkena infeksi. Jadi
walaupun endotoksin mempunyai efek yang buruk, penghambatan total terhadap endotoksin
dapat mengganggu (Hotchkis RS, 2003; Aird WC, 2003).
Kegagalan Sistem Imun
Pasien dengan sepsis mengalami

imunosupresi, termasuk kehilangan atau

terhambatnya hipersensitifitas, kemampuan menbersihkan infeksi, dan sebagai predisposisi


terhadap infeksi nosokomial. Satu alasan kegagalan dari strategi anti inflamasi pada pasien
dengan sepsis adalah perubahan sindroma dari waktu ke waktu. Awalnya sepsis mempunyai
karakteristik dengan menigkatnya mediator inflamasi, tetapi bila sepsis menetap, terjadi
pergeseran pada keadaan antiinflamasi imunosepresif. Terdapat bukti bahwa imunosupresi
pada sepsis pada penelitian

memperlihatkan bahwa darah yang distimulasi oleh

lipopolisakarida pada pasien sepsis melepaskan sejumlah kecil sitokin inflamasi TNF- dan
interlekuin-1 dibandingkan pada pasien kontrol. Sekuele dari sepsis yang diinduksi
imunosupresi dikembalikan dengan pemberian interferon- pada pasien sepsis. Imun stimulan
memperbaiki produksi makrofag TNF- dan memperbaiki survival (Hotchkis RS, 2003).
Mekanisme Supresi Imun Pada Sepsis Sebuah pergeseran ke sitokin antiinflamasi
Sel-sel T CD4 yang diaktifasi diprogram untuk mensekresi sitokin dengan salah satu
dari dua profil yang berbeda dan antagonis.T sel mensekresi sitokin dengan sifat inflamasi
(Sel T helper tipe 1[Th1]), termasuk TNF-, interferon-, dan intrlekuin-2, atau sitokin
dengan sifat antiinflamasi (Sel T helper tipe-2 [Th2]), contohnya interlekuin-4 dan interlekuin
10. Faktor-faktor yang menentukan apakah Sel T CD4 mempunyai respon Th1 atau Th2 tidak
diketahui tetapi mungkin dipengaruhi tipe dari patogen, ukuran dari inokulum bakteri dan,
tempat infeksi. Sel-sel mononuklear dari pasien luka bakar atau trauma mengurangi kadar
sitokin Th1, tetapi meningkatkan kadar sitokin Th2 interlekuin-4 dan interlekuin-10, dan
penigkatan dari respon imun Th2 meningkatkan survival pada pasien sepsis. Penelitain lain
memperlihatkan bahwa kadar interlekuin-10 meningkat pada pasien dengan sepsis dan kadar
tersebut memprediksikan mortalitas(Hotchkis RS, 2003).
Anergi

Anergi adalah keadaan dari tidak responsif terhadap antigen. Sel T adalah anergi pada
saat gagal untuk berproliferasi atau mensekresi sitokin sebagai respon terhadap antigen
spesifiknya. Heidecke et al memeriksa fungsi sel T pada pasien dengan peritonitis dan
menemukan bahwa terjadi penurunan fungsi Th1 tanpa peningkatan produksi sitokin Th2,
dimana konsisten dengan anergi. Ploriferasi dan sekresi sitokin sel T yang tidak sempurna
berhubungan dengan mortalitas. Pasien dengan trauma atau luka bakar berkurang kadar sel T
bersirkulasi, dan sel T yang tersisa adalah anergi (Imboden JB, 1994; Hotckiss RS, 2003).
Kematian sel apoptosis dapat mencetuskan sepsis yang diinduksi anergi. Walaupun
secara konvensional dipercaya bahwa sel mati karena nekrosis, penelitian terakhir
memperlihatkan bahwa sel dapat mati dengan apoptosis-program kematian sel secara genetik.
Pada apoptosis sel-sel melakukan bunuh diri dengan aktivasi protease yang menghancurkan
sel. Meknisme potensial dari apoptosis limfosit mungkin diinduksi dengan pelepasan
glukokrtikoid endogen. Tipe dari sel mati menentukan respon imunilogi dari sel imun.
Apoptosis sel menginduksi anergi atau sitokin antiinflamasi yang mengganggu respon
terhadap patogen, dimana sel nekrosis menyebabkan stimulasi imun dan meningkatkan
pertahanan antimikroba (Imboden JB, 1994; Hotckiss RS, 2003)
Kematian sel-sel imun
Pada otopsi pasien yang meninggal karena sepsis diungkapkan adanya kehilangan selsel yang menginduksi apoptosis yang progresif dari sistem imun yang beradapatasi.
Walaupun tidak terdapat kehilangan sel-sel T CD8, natural killer sel, atau makrogfag, sepsis
secara nyata mengurangi kadar dari sel B, T sel CD4

dan sel-sel dendritic folicular.

Kehilangan limfosit dan sel-sel dendrit sangat penting, karena hal ini terjadi pada infeksi
yang mengancam jiwa(Hotckiss RS, 2003).
Besarnya induksi apotosis pada limfosit selama sepsis terlihat pada pemeriksaan
hitung limfosit dalam sirkulasi. Pada suatu penelitian, 15 dari 19 pasien dengan sepsis
mempunyai jumlah limfosit lebih rendah dari batas bawah. Kehilangan sel-sel B, Sel-sel T
CD4, dan sel-sel dendrit mengurangi produksi antibodi, aktivasi makrofag, dan presentasi
antigen (Imboden JB, 1994; Hotckiss RS, 2003). Defek imun yang diidentifikasi pada pasien
sepsis, termasuk disfungsi monosit terdapat pada tabel berikut
Tabel mekanisme Supresi imun pada Pasien dengan Sepsis

Mekanisme Supresi Imun Pada Pasien dengan Sepsis


Pergeseran dari respon inflamasi (Th1) ke respon antiinflamasi (Th2)
Anergi
Induksi apoptosis dari sel-sel T CD4, sel-sel B, dan sel-sel dendritik.
Kehilangan ekspresi makrofag dari MHC kelas II dan molekulmolekul kostimulator
Efek imunosupresif dari sel-sel apoptosis
Protein C Teraktivasi
Respon inflamasi dan prokoagulan host terhadap infeksi sangat berhubungan. Sitokin
inflamasi, yaitu TNF, interlekuin 1 , dan interlekuin-6, sanggup mengaktivasi koagulan
dan menghambat fibrinolisis, dimana trombin peokoagulan dapat menstimulasi pathway
inflamasi multipel.. Hasil akhirnya adalah cedera endovaskuler yang difus, disfungsi
multiorgan, dan kematian. Protein C teraktivasi, sebuah protein yang memfasilitasi
fibrinolisis dan menghambat trombosis dan inflamasi, adalah modulator yang penting dari
koagulasi dan inflamasi yang berhubungan dengan sepsis berat. Protein C teraktivasi
dikonversi dari prekursor inaktif, protein C, dengan penggabungan trombin dan
trombomodulin dengan sitokin inflamasi. Pengurangan kadar protein C ditemukan pada
mayoritas pasien dengan sepsis dan meningkatkan resiko kematian (Bernard GR, 2001).

GUIDELINE

Pengobatan CAP

Pemberian antibiotik pada sepsis

Bukti rekomendasi pemberian antibiotik levofloxacin

Pemberian nebule combiven

Pemberian Oksigen (O2)

VII.

Plan

No

Nama Obat

Dosis

24/4 25/4 26/4

Cefpirome iv

2x1g

Levofloxacin iv 1x500 mg

Sistenol

3x1 kaplet

Captopril

2x25 mg

HCT

2x25 mg

Sangobion

3x1 tablet

B6B12AF po

2x1 tablet

Nebule

Tiap 4 jam v

per v

combiven
9

O2

prn

10

omeprazole

1x40 mg

11

Sukralfat

hari
12

Transfusi

100 cc

albumin 20 %
250.000 U

a. Captopril
Berdasarkan data klinik diketahui bahwa pasien mengalami peningkatan
tekanan darah dan didiagnosis mengidap hipertensi stage II. Kaptopril adalah obat
golongan ACEI yang digunakan sebagai obat antihipertensi dengan mekanisme
menghambat ACE, meningkatkan retensi kalium, dan menurunkan reabsorpsi natrium
sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Kaptopril digunakan secara PO dengan
dosis 1x25 mg/hari. Pemberian obat tetap dilakukan karena pada pasien hipertensi
pengobatannya tidak boleh dihentikan. Kaptopril dapat berinteraksi dengan makanan
sehingga digunakan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Obat ini
memiliki efek samping hipotensi, mual, muntah, diare, konstipasi, hiperglikemia,

hiperurikemia, hiperkalemia, hiponatremia, dan batuk kronik yang sering terjadi.


Sebaiknya kaptopril disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya. Pasien
tidak boleh stress dan tidak boleh menghentikan pemakaian tanpa instruksi dari dokter
(Tatro, 2003).
b. Aspirin
ASA atau aspirin merupakan obat antitrombosit yang dapat menghambat
agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang
terutama sering ditemukan pada sistem arteri (Neal, 2006).
Efek menguntungkan dari aspirin pada penyakit thromboemboli diperoleh dari
inhibisi sintesis TXA2 platelet. TXA2 merupakan penginduksi kuat agregasi platelet.
Sel endotel dinding pembuluh darah menghasilkan prostaglandin, PGI 2 (prostasiklin),
yang kemungkinan merupakan antagonis fisiologis dari TXA2. PGI2 menstimulasi
reseptor yang berbeda pada platelet dan mengaktivasi adenilat siklase. Peningkatan
cAMP yang terjadi kemudian berhubungan dengan penurunan kalsium intraseluler
dan inhibisi agregasi platelet. Aspirin mencegah pembentukan TXA2 melalui inhibisi
siklooksigenase secara irreversibel. Platelet tidak dapat membentuk enzim baru,
namun sel endotel pembuluh darah dapat melakukannya, dan aspirin dosis rendah (75300 mg) yang diberikan setiap hari menghasilkan inhibisi selektif siklooksigenase
pada banyak dosis interval. Lalu keseimbangan dari efek antiagregasi PGI 2 dan efek
proagregasi TXA2 bergeser ke arah yang menguntungkan (Neal, 2006).
Efek samping yang ditimbulkan yang paling sering terjadi adalah adanya
gangguan pada GI, misalnya adalah nausea, dispepsia, heartburn, dan pendarahan.
Sedangkan efek samping yang lain adalah anemia, penurunan kadar zat besi pada
darah, hipersensitivitas dan syok anaplastik (Tatro, 2003).
c. Simvastatin
Simvastatin merupakan obat golongan inhibitor HMG KoA. Golongan ini
adalah obat penurun lipid yang paling baru. Obat ini sangat efektif dalam menurunkan
kolesterol total dan LDL, dan telah terbukti menurunkan angka kejadian penyakit
koroner dan mortalitas total. Memiliki efek samping yang sedikit. Inhibitor HMG
KoA reduktase memblok sintesis kolesterol dalam hati. Hal ini menstimulasi ekpresi
enzim lebih banyak, dan cenderung mengembalikan sintesis kolesterol menjadi
normal, bahkan pada saat terdapat obat. Efek samping yang sering terjadi adalah

miopati. Insiden miopati meningkat pada pasien yang menerima terapi kombinasi
dengan asam nikotinat atau fibrat (Neal, 2006).
Dosis yang diberikan pada orang dewasa adalah 5 hingga 40 mg per hari dan
diminum saat siang atau sore hari (Tatro,2003).
d. Levofloxacin
Levofoxacin adalah suatu antibakterial golongan kuinolon generasi 3 yang
merupakan isomer S dari ofoxacin. Levofoxacin dapat menghambat enzim
topoisomerase IV dan DNA gyrase yaitu enzim yang diperlukan untuk rep-likasi,
transkripsi, perbaikan ( repair ), dan rekombinasi DNA bakteri. Levofoxacin mempunyai
spektrumaktivitas antibakteri yang luas yaitu dapat melawan bakteri gram positif
(seperti:

Streptococcus pneumoniae

termasuk

yangresisten

terhadap

penicillin,

Staphylococcusaureus yang peka terhadap methicillin) dan negatif (seperti: Haemophillus


influuenzae, Moraxella catarrhalis, Enterobacteriaceae) serta bakteri atipikal (seperti:
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae dan Legionella spp). Aktivitas
bakterisidal levofoxacintergantung pada konsentrasi (concentration dependent). Oleh
karena itu, aktivitasterhadap bakteri dapat meningkat dengancara memaksimalkan
konsentrasinya. Semakin tinggi AUC:MIC dan Cmak:MICmaka efektivitasnya
semakin besar (Tanujaya, 2009).
e. Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan
cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) .
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas (Lusiana Darsono 2002).
Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk
anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan
Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian
pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol
bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri (Sartono
1996).
Semua

obat

analgetik

non

opioid

bekerja

melalui

penghambatan

siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam

arakhidonat

menjadi

prostaglandin

terganggu.

Setiap

obat

menghambat

siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih


kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik
yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai
efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol
hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol
tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini
menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian
prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain,
seperti latihan fisik (Aris 2009).
f. Cefpirome
Cefpirome mrupakan obat golongan sefolosporin generasi ke-4. Bekerja secara
bakterisidal dengan cara menghambat bakteri. Cefpirome efektif secara klinis
terhadap sendirisintesa dinding sel. Gram-negatif termasuk bakteri aerob dan anaerob.
g. Amlodipin
Amlodipin adalah antagonis kalsium (calcium antagonist = CA) darikelas
dihidropiridin (DHP) dengan masa kerja yang panjang, sehinggadapat diberikan sekali
sehari untuk pengobatan hipertensi dan anginapectoris.
Amlodipine menyebabkan dilatasi arteri dan arteriol koroner baik pada
keadaan oksigenisasi normal maupun keadaan iskemia. Pada pasien angina, dosis
amlodipine satu kali sehari dapat meningkatkan waktu latihan, waktu timbulnya
angina, waktu timbulnya depresi segmen ST dan menurunkan frekuensi serangan
angina serta penggunaan tablet nitrogliserin. Amlodipine tidak menimbulkan
perubahan kadar lemak plasma
h. Adalat OROS
Adalat Oros tablet formulasi pelepasan terkontrol ( GITS , Sistem Terapi
gastrointestinal) mengandung nifedipin 20 mg, 30 mg atau 60 mg. Selain bahan aktif,
Adalat Oros 20 mg, 30 mg dan 60 mg tablet juga mengandung bahan-bahan berikut
aktif : polietilen oksida, magnesium stearat, natrium klorida, hypromellose Adalat

Oros tablet mirip dalam penampilan dengan tablet konvensional. Setiap tablet terdiri
dari membran semipermeabel yang mengelilingi sebuah inti osmotik aktif. .

VIII.

Monitoring

Data Klinik
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Parameter
RR
Tekanan Darah
T (suhu badan)
FN
FP
Sesak
Batuk

Nilai Normal
20 x per menit
130/80
36
80-100
12-20
Negatif
Negatif

Waktu
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari

Data Laboratorium
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Parameter
Hb
Ht
Eritrosit
Trombosit
Leukosit
LED
Na
K
Cl
Ca
Albumin
Aptt
SGPT

Nilai Normal
12,1-10,9 g/dl
36-44,6 %
3,5-5 106/L
150-400 103/L
5-10 103/L
<15 mm
135-147 meq/L
3,5-5 meq/L
95-110 meq/L
8,6-10,3 mg/dl
3,6-5 g/dl
20-35 per detik
7-53 U/L

Waktu
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari

14.

SGOT

11-47 U/L

Setiap hari

15.

GDP

< 140 mg/dl

Setiap hari

IX.

Terapi non-farmakologi:

1. Menghentikan kebiasaan yang tidak baik, misalnya merokok, narkoba, dll.

2. Menghentikan makan-makanan yang berminyak dan pedas agar tidak memperparah


batuk.
3. Mengkonsumsi buah, sayur, dan air putih untuk memenuhi kebutuhan cairan.
4. Perbanyak istirahat yang cukup.
5. Diet rendah garam.
X.

Pertanyaan

1. Apa yang menyebabkan penurunan kesadaran pasien?


2. Apakah pasien tidak memerlukan perawatan di ICU karena tatalaksana pasien di ICU
untuk CAP berbeda?

Jawaban

1. Endotoksin bakteri pada pasien CAP menginduksi sepsis ini menyebabkan


vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu,
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena
vasodilatasi

perifer

meyebabkan

terjadinya

hipovolemia

relatif,

sedangkan

peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke


interstisial yang terlihat sebagai edema. Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi
tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan
sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman (Anonim, 2008). Pada
penderita sepsis dapat terjadi gangguan neurologis akibat shock sepsis yang dapat
diketahui dengan adanya demam akut, nyeri kepala, mual, muntah, kesadaran dapat
menurun mulai dari somnolen sampai koma, defisit neurologik fokal biasanya jarang
terjadi, pada keadaan yang berat dapat ditemukan gangguan gerakan okuler,
gangguan refleks pupil serta nafas cheynestoke (Iskandar, 2002).
2. Berdasarkan CURB-65 score, pasien hanya perlu memdapatkan perawatan rumah
sakit biasa tanpa harus dilakukan perawatan di ICU (skor pasien = 2)

(Lim W.S. et al., 2003)


Kesimpulan
1. Pasien menunjukkan tanda-tanda SIRS, pasien terdiagnosa sepsis karena CAP.
2. Berdasarkan CURB-65 score, pasien hanya perlu memdapatkan perawatan rumah
sakit biasa tanpa harus dilakukan perawatan di ICU.
3. Pasien mendapatkan plan terapi Cefpirome iv, Levofloxacin iv, Sistenol, Captopril,
HCT, Sangobion, B6B12AF po, Nebule combiven, O2, omeprazole, Sukralfat, dan
Transfusi albumin 20 % 250.000 U.

DAFTAR PUSTAKA
Aird WC. The role of the endothelium in severe sepsis and multiple organ dysfunction
syndrome. Blood 101.10 p 3765-3777,2003.

Anonim,

2008,

Syok

Sepsis,

http://ilmukedokteran.net/Ilmu-Penyakit-Jantung/Syok-

Sepsis.html, diakses tanggal 19 November 2013


Aviantara,

Aris

(2009).

Manajemen

dan

Perencanaan

Pajak

http://id.88db.com/id/Knowledge/Knowledge_Detail.page? kid=21574
Diakses tanggal 19 november 2013.
Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al.Efficacy and Safety of Recombinant Human
Activated Protein C for Severe Sepsis. N Eng J Med 344,10 699-709, March 2001
Fransisca, 2000, Pneumonia, FK Wijaya Kusuma, Surabaya.
Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Eng J Med 348;2 p
138-149, January 2003.
Imboden JB. T Lymphocytes & Natural Killer Cells. In Basic an Clinical Imunology. 8Th
edition ,Appleton & Lange, London p 94-104. 1994
Iskandar,

J.,

2002,

Manifestasi

Neurologik

Shock

Sepsis,

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf, diakses tanggal


19 November 2013
Lim WS, Van der Eerden MM, Laing R, et al. Defining community acquired pneumonia
severity on presentation to hospital: an international derivation and validation study.
Thorax 2003; 58:377382.
Lusiana, Darsono 2002.

Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol.

Bandung : Universitas Kristes Maranatha.


Neal, M.J. 2006. Famakologi Medis At a Glance Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003, Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
Riedemann NC, Guo R, Ward PA. The Enigma of Sepsis. J Clin Invest 112, 460-467, 2003
Sartono. 1996. Obat-obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta: Penerbit
PT.Gramedia Pustaka Utama. Halaman 6, 8.
Tanujaya C. 2009. Levofloxacin. Departemen Medical PT. Kalbe Farma. Jakarta

Tatro, D.S. 2003. A to Z Drug Facts. Facts and Comparisons, USA.


Wheeler AP, Bernard GR. Treating Patient With Severe Sepsis. N Eng J Med 340,3 p207214, November 2004

Anda mungkin juga menyukai