Anda di halaman 1dari 14

KAJI AN AHAD PAGI

4 MEI 201 4
POLITIK DALAM ISLAM
APA ITU POLITIK
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis
yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu
berkembang menjadi polites yang berarti warganegara,
politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan
negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan
politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai
orang pertama yang memperkenalkan kata politik
melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut
zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan
bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan
interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan
melibatkan hubungan politik.

Dengan demikian kata politik
menunjukkan suatu aspek kehidupan,
yaitu kehidupan politik yang lazim
dimaknai sebagai kehidupan yang
menyangkut segi-segi kekuasaan
dengan unsur-unsur: negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making),
kebijakan (policy, beleid), dan
pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation).
Pengertian Politik Islam dan siyasah
Politik Islam (bahasa Arab: ) adalah
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para
ulama dikenal istilah siyasah syariyyah. Dalam Al
Muhith, siyasah berakar kata ssa - yassu. Dalam
kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan bererti
Qama alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila
dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu
(mengurusi / mengatur perkara). Berarti secara
ringkas maksud Politik Islam adalah pengurusan
atas segala urusan seluruh umat Islam
Pengertian Politik Islam
Secara terminologis, Siyasah adalah mengatur atau
memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada
kemaslahatan. Politik Islam dapat diartikan sebagai
suatu cara untuk mempengaruhi anggota
masyarakat, agar berprilaku sesuai dengan ajaran
Allah menurut sunah rasulnya. Dalam konsep islam,
kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekspresi
kekuasaan Allah tertuang dalam Al-Quran menurut
sunah rasul.
Pengertian Politik Islam
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah
pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan
kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan
antara politik dan Islam secara tepat digambarkan
oleh Imam al-Ghazali: Agama dan kekuasaan
adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi
(asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh
dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya
akan hilang dan lenyap.
Demokrasi atau demos kratos disepadankan
dengan re publica
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan
sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan
kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya
yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan
kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini
bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik
di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat
politic is nicht anderes als der kamps um die Macht
(politik tidak lain merupakan perjuangan
kekuasaan)
menurut ulama Syafi'iyah
: (1) Memelihara, mengembangkan dan
mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio
dan mengembangkan cakrawalanya untuk
kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari
bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4)
Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan
usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa
melampaui batas maksimal dan mengurangi batas
minimal. (5) Memelihara keturunan dengan
memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.




Garis-garis besar siasah Islam meliputi tiga
Aspek:

1. siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
2. Siassah Dauliyyah (Hukum politik yang
mengatur hubngan antara satu negara dengan
negara
lain.)
3. Siasah Maliyyah (Hukum politik yang mengatur
sistem ekenomi negara).
Prinsip-prinsip politik yang tertuang dalam Al Quran dan Al
Hadist
Keharusam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Al Mumin:52).
Keharusan menyelesaikan masalah ijtihadnya dengan damai (Al Syura:38 dan Ali
Imran:159)
Ketetapan menunaikan amanat dan melaksanakan hukum secara adil (Al Nisa:58)
Kewajiban menaati Allah dan Rosulullah serta ulil amr (Al Nisa:59)
Kewajiban mendamaikan konflik dalam masyarakat islam (Al Hujarat:9)
Kewajiban mempertahankan kedaulatan negara dan larangan agresi (Al
Baqarah:190)
Kewajiban mementingkan perdamain dari pada permusuhan (Al Anfal:61)
Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam pertahanan dan keamanan (Al
Anfal:60)
Keharusan menepati janji (An Nahl:91)
Keharusan mengutamakan perdamaian diantara bangsa-bangsa (Al Hujarat:13)
Keharusan peredaran harta keseluruh masyarakat (Al Hasyr:7)
Keharusan mengikuti pelaksanaan hukum

ETIKA POLITIK DALAM ISLAM

Mestinya ketika membahas tentang etika politik saat ini tidak dipandang
seperti berteriak di padang pasir yang tandus dan kering. Sementara
realitas politik itu sebenarnya pertarungan antara kekuatan dan
kepentingan yang tidak ada kaitan dengan etika. Politik dibangun bukan
dari yang ideal dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam
politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara
seperti yang diajarkan oleh Machiavelli. Sementara Immanuel Kant
menyebutkan bahwa ada dua watak yang terselip di setiap insan politik,
yaitu watak merpati dan watak ular.

Pada satu sisi insan politik memiliki watak merpati yaitu memiliki sikap
lemah lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme,
tetapi di sisi lain juga memiliki watak ular yang licik dan selalu berupaya
untuk memangsa merpati. Jika watak ular yang lebih menonjol daripada
watak merpati, inilah yang merusak pengertian politik itu sendiri yang
menurut filosof Aristoteles bahwa politik itu sendiri bertujuan mulia
Pertama, prinsip musyawarah (syura), dalam Islam tidak
hanya dinilai prosedur pengambilan keputusan yang
direkomendasikan, tetapi juga merupakan tugas
keagamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi dan
diteruskan oleh khulafaur rasyidin. Firman Allah Swt:
..dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu... (QS. Ali Imran: 159)

Kedua, prinsip persamaan (musawah), dalam Islam tidak
mengenal adanya perlakuan diskriminatif atas dasar
perbedaan suku bangsa, harta kekayaan, status sosial dan
atribut keduniaan lainnya. Yang menjadikannya berbeda di
mata Allah hanya kualitas ketakwaan seseorang
sebagaimana firmanNya: ...Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13).
Ketiga, prinsip keadilan (adalah), menegakkan keadilan merupakan
suatu keharusan dalam Islam, terutama bagi para penguasa. Islam juga
memerintahkan untuk menjadi manusia yang lurus, bertanggung jawab
dan bertindak sesuai dengan kontrol sosialnya sehingga terwujud
keharmonisan dan keadilan hidup, sebagaimana firman Allah Swt:
...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Maidah: 8).

Keempat, prinsip kebebasan (al-Hurriyah), dalam Islam prinsip
kebebasan pada dasarnya adalah sebagai tanggung jawab terakhir
manusia. Konsep kebebasan harus dipandang sebagai tahapan pertama
tindakan ke arah perilaku yang diatur secara rasional berdasarkan
kebutuhan nyata manusia, baik secara material maupun secara spiritual.
Kebebasan yang dipelihara oleh politik Islam adalah kebebasan yang
mengarah kepada maruf dan kebaikan. Allah berfirman: ... Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain... (QS. Al-Anam: 164)
:


Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada
kami Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Qudamah Al
Jumahi dari Ishaq bin Abu Furat dari Al Maqburi dari Abu Hurairah dia berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Akan datang tahun-tahun penuh dengan
kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan,
amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidlah turut
bicara. Lalu beliau ditanya, Apakah Ruwaibidlah itu? beliau menjawab: Orang-orang
bodoh yang mengurusi urusan perkara umum. (Sunan Ibnu Majah)

Anda mungkin juga menyukai