Anda di halaman 1dari 4

1

Korupsi dan Anggaran di Aceh: Sebuah Refleksi


Oleh
Syukriy Abdullah
1


Korupsi dan demokrasi tidak selalu seiring jalan jika perilaku birokrat dan politisi tidak
mencerminkan karakter demokrasi dalam penganggaran daerah. Kerjasama kolutif di antara
eksekutif dan legislatif sering dibungkus dengan regulasi yang dalam proses penyusunan sampai
penetapannya tidak mengikuti asas partisipatif, akuntabel, dan transparan.
Dari berbagai kajian akademis, korupsi tidak selalu berkorelasi dengan sistem
pemerintahan di suatu negara. Korupsi terjadi di semua negara, namun dengan level berbeda. Baik
di negara demokratis maupun tidak demokratis, korupsi tetap dianggap sebagai bibit penyakit yang
berhaya. Oleh karena itu, korupsi penting untuk dianalisis dari perspektif politik, agama, hukum,
ekonomi, sosiologi, keuangan, dan akuntansi. Semua bermuara pada satu kesimpulan: perilaku
menyimpang dalam kekuasaan ini melanggar norma, kepatutan, dan kewajaran. Korupsi membuat
kehidupan masyarakat banyak menjadi lebih buruk karena sumberdaya ekonomi berpindah dari
publik ke pribadi.
Definisi korupsi secara luas sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi menunjukkan bahwa korupsi di pemerintahan tidak hanya berupa
penyimpangan dalam penggunaan anggaran, tetapi juga penyimpangan dalam pembuatan kebijakan
pada saat perencanaan dan penyusunan anggaran itu sendiri. Sejak tiga dekade lalu, Rose-Ackerman
(1978) sudah mengatakan bahwa korupsi pada proses pembuatan kebijakan (political corruption
atau grand corruption) memiliki dampak buruk yang lebih besar daripada korupsi ketika kebijakan itu
dilaksanakan (administrative corruption atau petty corruption). Salah satu bentuk korupsi politik
yang paling sering terjadi dalam era otonomi daerah adalah penyimpangan pada saat pengalokasian
sumberdaya dalam anggaran daerah (APBD).

Korupsi di Aceh
Apakah dengan diterapkannya Syariat Islam di seluruh wilayah Aceh berarti korupsi di Aceh
hilang, atau setidaknya semakin berkurang? Ini sebuah pertanyaan yang sering saya terima ketika
bertemu kolega atau kenalan baru di luar daerah. Pertanyaan sederhana, namun sulit saya jawab
dengan jujur. Ada banyak indikasi yang membuat sebagian masyarakat pesimis korupsi di Aceh bisa
dihilangkan.
Pertama, pembuatan kebijakan yang tidak transparan. Pengaturan yang tidak tegas dan
jelas menyebabkan proses pembuatan kebijakan, terutama kebijakan anggaran dan pengalokasian
belanja publik, seperti menyimpan misteri. Ketiadaan aturan yang memadai menyebabkan para
pembuat keputusan (budget actors) memiliki ruang diskresi yang besar sehingga cenderung
mengambil keputusan yang sesuai dengan self-interest-nya.

1
Staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Unsyiah.
2

Kedua, intervensi politik ke ranah teknis. Penyusunan rencana kerja dan anggaran di
SKPA/SKPK sesungguhnya harus sesuai dengan Tupoksi yang diselaraskan dengan usulan dari publik
melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Pada kenyataannya, dana aspirasi
anggota dewan yang dititipkan di SKPA/SKPK tidak selalu sejalan dengan kebutuhan publik, namun
harus dicantumkan dalam anggaran SKPA/SKPK. Pada akhirnya, tidak semua SKPA/SKPA mau
melaksanakan kegiatan titipan dari dana aspirasi ini, sehingga alokasi tersebut menjadi mubazir
karena seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak dan sesuai
kebutuhan publik.
Ketiga, praktik pemborosan yang menjadi kebiasaan. Penerapan praktik-praktik baik (best
pratices) di dunia bisnis ke pemerintahan dan sektor publik lainnya merupakan esensi dari new
public management (NPM) yang selama dua dekade terakhir berkembang di banyak negara.
Misalnya, pelibatan pihak ketiga sebagai penyedia fasilitas kerja dan pelaksana pelayanan publik
berbasis kontrak (outsourcing). Barang dan personil bisa disewa, tidak harus dibeli dan dirawat
sendiri. Namun, hal ini masih sangat sulit diterapkan karena ada kepentingan lebih besar yang harus
diakomodir, misalnya mengurangi pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Itulah
sebabnya mengapa pengangkatan tenaga kontrak dan PNS baru tidak bisa dihentikan, meskipun
menjadi bagian dari pemborosan anggaran.
Terakhir, banyak regulasi yang disusun berlandaskan kepentingan. Beberapa kebijakan
dalam pengalokasian anggaran, yang dilegalkan dengan qanun tentang APBA/APBK dan peraturan
kepala daerah, terlihat tidak memihak publik. Misalnya, besaran belanja perjalanan dinas pejabat
daerah, baik untuk legislatif maupun eksekutif. Lalu, pengalokasian belanja hibah dan bantuan sosial
yang lebih banyak ditujukan pada kelompok masyarakat dan wilayah tertentu menjadi indikasi
bahwa pemerintah daerah di Aceh tidak dikelola dengan niat baik.

Posisi Inspektorat dan Auditor Eksternal
Pembuktian korupsi politik tidak mudah. Adalah sebuah kemajuan luar biasa jika aparatur
pengawas (inspektorat) dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran sehingga dapat memahami
proses pembuatan keputusan pengalokasian anggaran sejak awal. Saat ini, inspektorat tidak menjadi
bagian dari tima anggaran pemerintah daerah (TAPD), yang di Aceh disebut TAPA atau TAPK. Saat ini
Insepktorat hanya melaksanakan fungsi inspeksi atau pengawasan setelah kebijakan dijalankan
dalam bentuk pelaksanaan anggaran melalui program dan kegiatan.
Inspektorat Provinsi Aceh memiliki peran penting dalam menjaga bahwa SKPA
melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dengan prinsip value for money (ekonomi, efisien, dan
efektif). Uniknya, Inspektorat Provinsi Aceh justru sibuk melakukan pemeriksaan ke kabupaten/kota,
termasuk memeriksa pelaksanaan APBK yang sesungguhnya bukan kewenangan Inspektorat
Provinsi, tetapi kewenangan Inspektorat kabupaten/kota. Sampai saat ini belum terlihat adanya
korelasi positif antara kinerja Inspektorat Provinsi Aceh dengan tingginya daya serap anggaran di
SKPA. Seharusnya Inspektorat bukan sekedar menonton, tapi juga ikut memandu dan mendorong
agar SKPA berusaha mencapai target-target anggaran yang telah ditetapkan.
3

Auditor eksternal atau Badan Pemeriksa (BPK) Keuangan Republik Indonesia memiliki
peran sangat penting untuk membuat para penguasa di pemerintahan tetap melaksanakan tugasnya
dengan baik. Pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah
daerah bukanlah jaminan bahwa tidak ada praktik penyalahgunaan kekuasaan dan anggaran di
pemerintahan. Hal ini tergambar dari banyaknya temuan dan rekomendasi BPK yang tidak
ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dalam bentuk perbaikan kebijakan dan pengaturan, serta
penghematan anggaran. Adalah sebuah terobosan jika kepala daerah yang ingin mencalonkan diri
kembali (incumbent) dianggap tidak memenuhi syarat jika selama masa kepemimpinannya tidak
pernah mendapat opini WTP dari BPK atas laporan keuangan pemda yang dipimpinnya.

Amanah
Para pejabat di Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota di Aceh merupakan pengemban
amanah rakyat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Semua dana yang dialokasikan dalam
anggaran (APBA/APBK) pada akhirnya bermuara pada pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, bukan untuk pemenuhan hasrat kekuasaan para pembuat keputusan. Dari perspektif
keagenan (agency theory), para pengemban amanah memiliki kecenderungan untuk
memprioritaskan kepentingannya sendiri dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang
memiliki konsekuensi terhadap penggunaan dana-dana publik melalui anggaran.
Agar penyalahgunaan kekuasaan (esensi dari korupsi) tidak semakin meluas dan merusak
sendi-sendi kehidupan masyarakat semakin besar, maka peran pemilik fungsi pengawasan harus
diperkuat. Inspektorat Provinsi Aceh selayaknya diberi insentif untuk bekerja lebih baik mengawasi
pelaksanaan anggaran di SKPA, tidak justru turun ke kabupaten/kota, yang selain melanggar
kewenangannya, juga menghabiskan banyak waktu dan biaya.
Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau civil society organizations (CSO) harus
diperkuat dengan pelibatan seluruh stakeholders, termasuk akademisi, mahasiswa, dan kelompok-
kelompok masyarakat. Pemerintah Aceh akan mendapat banyak rekomendasi yang bersifat
evidence-based, sehingga pembuatan kebijakan pembangunan Aceh ke depan bisa lebih luas dan
sejalan dengan kepentingan publik. Hasil analisis PECAPP (Public Expenditure Analysis and Capacity
Strengthening Program) atas belanja publik Aceh menunjukkan bahwa besaran alokasi anggaran
sektoral (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur) di beberapa daerah di Aceh tidak selalu
berhubungan dengan kualitas pelayanan publik. Artinya, alokasi anggaran belanja yang besar tidak
selalu akan menghasilkan kualitas pelayanan publik yang lebih baik.
Oleh karena itu, sudah saatnya kepentingan politik dikurangi dalam perumusan kebijakan
pembangunan dan anggaran agar Aceh tetap utuh seperti saat ini. Penerapan otonomi khusus yang
berimplikasi diberikannya dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil migas (TDBH) oleh
Pemerintah kepada Aceh sampai tahun 2028 semestinya dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh sampai
ke pelosok daerah dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik, merata dan berkeadilan. Keadilan
dalam pendistribusian anggaran Aceh merupakan suatu keniscayaan. Adalah sebuah ironi ketika
banyak sekali kebutuhan publik yang belum terpenuhi, tapi sisa anggaran (SILPA) Pemerintah Aceh di
akhir tahun sangat fantastis.
4

Semoga di tahun 2014 ini, mulai bulan Januari sebagai titik awal pelaksanaan anggaran,
semua pejabat pemerintahan dapat melaksanakan fungsinya secara dengan baik. Sebab, anggaran
pemerintah bukanlah sebuah kotak Pandora. Aamiin.
e-mail penulis: syukriya@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai