Korupsi dan demokrasi tidak selalu seiring jalan jika perilaku birokrat dan politisi tidak mencerminkan karakter demokrasi dalam penganggaran daerah. Kerjasama kolutif di antara eksekutif dan legislatif sering dibungkus dengan regulasi yang dalam proses penyusunan sampai penetapannya tidak mengikuti asas partisipatif, akuntabel, dan transparan. Dari berbagai kajian akademis, korupsi tidak selalu berkorelasi dengan sistem pemerintahan di suatu negara. Korupsi terjadi di semua negara, namun dengan level berbeda. Baik di negara demokratis maupun tidak demokratis, korupsi tetap dianggap sebagai bibit penyakit yang berhaya. Oleh karena itu, korupsi penting untuk dianalisis dari perspektif politik, agama, hukum, ekonomi, sosiologi, keuangan, dan akuntansi. Semua bermuara pada satu kesimpulan: perilaku menyimpang dalam kekuasaan ini melanggar norma, kepatutan, dan kewajaran. Korupsi membuat kehidupan masyarakat banyak menjadi lebih buruk karena sumberdaya ekonomi berpindah dari publik ke pribadi. Definisi korupsi secara luas sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi menunjukkan bahwa korupsi di pemerintahan tidak hanya berupa penyimpangan dalam penggunaan anggaran, tetapi juga penyimpangan dalam pembuatan kebijakan pada saat perencanaan dan penyusunan anggaran itu sendiri. Sejak tiga dekade lalu, Rose-Ackerman (1978) sudah mengatakan bahwa korupsi pada proses pembuatan kebijakan (political corruption atau grand corruption) memiliki dampak buruk yang lebih besar daripada korupsi ketika kebijakan itu dilaksanakan (administrative corruption atau petty corruption). Salah satu bentuk korupsi politik yang paling sering terjadi dalam era otonomi daerah adalah penyimpangan pada saat pengalokasian sumberdaya dalam anggaran daerah (APBD).
Korupsi di Aceh Apakah dengan diterapkannya Syariat Islam di seluruh wilayah Aceh berarti korupsi di Aceh hilang, atau setidaknya semakin berkurang? Ini sebuah pertanyaan yang sering saya terima ketika bertemu kolega atau kenalan baru di luar daerah. Pertanyaan sederhana, namun sulit saya jawab dengan jujur. Ada banyak indikasi yang membuat sebagian masyarakat pesimis korupsi di Aceh bisa dihilangkan. Pertama, pembuatan kebijakan yang tidak transparan. Pengaturan yang tidak tegas dan jelas menyebabkan proses pembuatan kebijakan, terutama kebijakan anggaran dan pengalokasian belanja publik, seperti menyimpan misteri. Ketiadaan aturan yang memadai menyebabkan para pembuat keputusan (budget actors) memiliki ruang diskresi yang besar sehingga cenderung mengambil keputusan yang sesuai dengan self-interest-nya.
1 Staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Unsyiah. 2
Kedua, intervensi politik ke ranah teknis. Penyusunan rencana kerja dan anggaran di SKPA/SKPK sesungguhnya harus sesuai dengan Tupoksi yang diselaraskan dengan usulan dari publik melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Pada kenyataannya, dana aspirasi anggota dewan yang dititipkan di SKPA/SKPK tidak selalu sejalan dengan kebutuhan publik, namun harus dicantumkan dalam anggaran SKPA/SKPK. Pada akhirnya, tidak semua SKPA/SKPA mau melaksanakan kegiatan titipan dari dana aspirasi ini, sehingga alokasi tersebut menjadi mubazir karena seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak dan sesuai kebutuhan publik. Ketiga, praktik pemborosan yang menjadi kebiasaan. Penerapan praktik-praktik baik (best pratices) di dunia bisnis ke pemerintahan dan sektor publik lainnya merupakan esensi dari new public management (NPM) yang selama dua dekade terakhir berkembang di banyak negara. Misalnya, pelibatan pihak ketiga sebagai penyedia fasilitas kerja dan pelaksana pelayanan publik berbasis kontrak (outsourcing). Barang dan personil bisa disewa, tidak harus dibeli dan dirawat sendiri. Namun, hal ini masih sangat sulit diterapkan karena ada kepentingan lebih besar yang harus diakomodir, misalnya mengurangi pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Itulah sebabnya mengapa pengangkatan tenaga kontrak dan PNS baru tidak bisa dihentikan, meskipun menjadi bagian dari pemborosan anggaran. Terakhir, banyak regulasi yang disusun berlandaskan kepentingan. Beberapa kebijakan dalam pengalokasian anggaran, yang dilegalkan dengan qanun tentang APBA/APBK dan peraturan kepala daerah, terlihat tidak memihak publik. Misalnya, besaran belanja perjalanan dinas pejabat daerah, baik untuk legislatif maupun eksekutif. Lalu, pengalokasian belanja hibah dan bantuan sosial yang lebih banyak ditujukan pada kelompok masyarakat dan wilayah tertentu menjadi indikasi bahwa pemerintah daerah di Aceh tidak dikelola dengan niat baik.
Posisi Inspektorat dan Auditor Eksternal Pembuktian korupsi politik tidak mudah. Adalah sebuah kemajuan luar biasa jika aparatur pengawas (inspektorat) dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran sehingga dapat memahami proses pembuatan keputusan pengalokasian anggaran sejak awal. Saat ini, inspektorat tidak menjadi bagian dari tima anggaran pemerintah daerah (TAPD), yang di Aceh disebut TAPA atau TAPK. Saat ini Insepktorat hanya melaksanakan fungsi inspeksi atau pengawasan setelah kebijakan dijalankan dalam bentuk pelaksanaan anggaran melalui program dan kegiatan. Inspektorat Provinsi Aceh memiliki peran penting dalam menjaga bahwa SKPA melaksanakan apa yang sudah ditetapkan dengan prinsip value for money (ekonomi, efisien, dan efektif). Uniknya, Inspektorat Provinsi Aceh justru sibuk melakukan pemeriksaan ke kabupaten/kota, termasuk memeriksa pelaksanaan APBK yang sesungguhnya bukan kewenangan Inspektorat Provinsi, tetapi kewenangan Inspektorat kabupaten/kota. Sampai saat ini belum terlihat adanya korelasi positif antara kinerja Inspektorat Provinsi Aceh dengan tingginya daya serap anggaran di SKPA. Seharusnya Inspektorat bukan sekedar menonton, tapi juga ikut memandu dan mendorong agar SKPA berusaha mencapai target-target anggaran yang telah ditetapkan. 3
Auditor eksternal atau Badan Pemeriksa (BPK) Keuangan Republik Indonesia memiliki peran sangat penting untuk membuat para penguasa di pemerintahan tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah daerah bukanlah jaminan bahwa tidak ada praktik penyalahgunaan kekuasaan dan anggaran di pemerintahan. Hal ini tergambar dari banyaknya temuan dan rekomendasi BPK yang tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dalam bentuk perbaikan kebijakan dan pengaturan, serta penghematan anggaran. Adalah sebuah terobosan jika kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali (incumbent) dianggap tidak memenuhi syarat jika selama masa kepemimpinannya tidak pernah mendapat opini WTP dari BPK atas laporan keuangan pemda yang dipimpinnya.
Amanah Para pejabat di Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota di Aceh merupakan pengemban amanah rakyat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Semua dana yang dialokasikan dalam anggaran (APBA/APBK) pada akhirnya bermuara pada pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk pemenuhan hasrat kekuasaan para pembuat keputusan. Dari perspektif keagenan (agency theory), para pengemban amanah memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingannya sendiri dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang memiliki konsekuensi terhadap penggunaan dana-dana publik melalui anggaran. Agar penyalahgunaan kekuasaan (esensi dari korupsi) tidak semakin meluas dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat semakin besar, maka peran pemilik fungsi pengawasan harus diperkuat. Inspektorat Provinsi Aceh selayaknya diberi insentif untuk bekerja lebih baik mengawasi pelaksanaan anggaran di SKPA, tidak justru turun ke kabupaten/kota, yang selain melanggar kewenangannya, juga menghabiskan banyak waktu dan biaya. Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau civil society organizations (CSO) harus diperkuat dengan pelibatan seluruh stakeholders, termasuk akademisi, mahasiswa, dan kelompok- kelompok masyarakat. Pemerintah Aceh akan mendapat banyak rekomendasi yang bersifat evidence-based, sehingga pembuatan kebijakan pembangunan Aceh ke depan bisa lebih luas dan sejalan dengan kepentingan publik. Hasil analisis PECAPP (Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program) atas belanja publik Aceh menunjukkan bahwa besaran alokasi anggaran sektoral (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur) di beberapa daerah di Aceh tidak selalu berhubungan dengan kualitas pelayanan publik. Artinya, alokasi anggaran belanja yang besar tidak selalu akan menghasilkan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Oleh karena itu, sudah saatnya kepentingan politik dikurangi dalam perumusan kebijakan pembangunan dan anggaran agar Aceh tetap utuh seperti saat ini. Penerapan otonomi khusus yang berimplikasi diberikannya dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil migas (TDBH) oleh Pemerintah kepada Aceh sampai tahun 2028 semestinya dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh sampai ke pelosok daerah dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik, merata dan berkeadilan. Keadilan dalam pendistribusian anggaran Aceh merupakan suatu keniscayaan. Adalah sebuah ironi ketika banyak sekali kebutuhan publik yang belum terpenuhi, tapi sisa anggaran (SILPA) Pemerintah Aceh di akhir tahun sangat fantastis. 4
Semoga di tahun 2014 ini, mulai bulan Januari sebagai titik awal pelaksanaan anggaran, semua pejabat pemerintahan dapat melaksanakan fungsinya secara dengan baik. Sebab, anggaran pemerintah bukanlah sebuah kotak Pandora. Aamiin. e-mail penulis: syukriya@gmail.com