Anda di halaman 1dari 12

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO.

2 JULI 2015

Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah Penjelasan Empiris dari


Perspektif Keagenan
Syukriy Abdullah
Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
email: syukriya@gmail.com
Ramadhaniatun Nazry
Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
email: ramadhania_rainy@yahoo.co.id
Abstrak
Penentuan target penerimaan dan pengalokasian sumberdaya ke dalam
belanja mengandung masalah keagenan (Abdullah, 2012; Fozzard, 2001;
Halim, 2001; Smith & Bertozzi, 1998) berupa senjangan anggaran
(budget slack), sehingga dibutuhkan penjelasan empiris bagaimana
bentuk hubungan diantara kedua komponen anggaran ini (Marlowe,
2009). Besaran senjangan anggaran ex-post dapat dilihat dari selisih
anggaran (budget variances). Studi ini menemukan bahwa varian
pendapatan berpengaruh terhadap varian belanja yang dihitung dari
selisih antara anggaran awal (APBD murni) dengan anggaran
perubahan (APBD-P), sedangkan untuk varian APBD perubahan dan
APBD realisasi tidak demikian. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
anggaran mempunyai kandungan informasi yang penting tentang selfinterest dari budget actors dalam penganggaran daerah, yang selama ini
bersifat tersembunyi (latent).
Kata Kunci: Masalah keagenan, penganggaran, APBD, varian
pendapatan, varian belanja, moral hazard.
Pada era otonomi daerah saat ini,
PENDAHULUAN
anggaran merupakan inti dari pengelolaan
Penganggaran merupakan bagian
keuangan daerah yang diurus secara mandiri,
terpenting dari pengelolaan keuangan
sehingga aktivitas perencanaan, pelaksanaan,
pemerintahan dan dapat dijelaskan dari
penatausahaan, pertanggungjawaban, dan
berbagai perspektif, seperti politik, ekonomi,
pengawasan semua terfokus pada anggaran.
keuangan, dan akuntansi (Abdullah, 2012).
Pasal 1 angka 6 PP No.58/2005 menyebutkan
Menurut Forrester (1991), keputusanbahwa Pengelolaan Keuangan Daerah adalah
keputusan dalam penganggaran dipengaruhi
keseluruhan
kegiatan
yang
meliputi
oleh
banyak faktor, termasuk politik,
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
ekonomi dan teknologi, tetapi dampak dari
pelaporan,
pertanggungjawaban,
dan
pengaruh tersebut tidak diketahui sampai
pengawasan keuangan daerah. Sebuah
terealisasi secara faktual. Oleh karena adanya
anggaran adalah ujung dari fungsi-fungsi
periodisasi anggaran secara tahunan, yang
manajemen dan pembuatan kebijakan
diasumsikan sebagai standard time-frame
(Vanderbilt, 1977). Dalam
budgeting
penganggaran pemerintah (Forrester &
process, perubahan anggaran (rebudgeting)
Mullins, 1992), maka dalam pelaksanaannya
merupakan hal yang lazim terjadi sekaligus
harus bersifat dinamis dan fleksibel, tanpa
menjadi faktor penting di pemerintahan
harus
mengorbankan
control
dan
daerah (Forrester & Mullins, 1992).
accountability
(Pitsvada,
1983).
Laporan keuangan pemerintah daerah
Ketidakpastian memiliki pengaruh terhadap
sendiri
merupakan
bentuk
keputusan-keputusan
di
bisnis
dan
pertanggungjawaban
atas
pelaksanaan
pemerintahan (Cornia, et al., 2004).
Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

272

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

anggaran yang memuat informasi tentang


besaran
anggaran
setelah
perubahan,
realisasinya selama satu tahun anggaran, dan
perbedaan diantara keduanya, yang disebut
selisih atau variances (lihat pasal 31 UU
No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan
pasal 7 PP No.58/2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah).
Penerapan desentralisasi fiskal di
Indonesia telah memberi kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengelola sendiri urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, Pasal 1 angka 5 dan
6 UU No.32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah. termasuk keuangan daerah. Konsep
penganggaran pada pemerintahan daerah
sendiri menganut prinsip bahwa alokasi
belanja ditentukan setelah terlebih dahulu
dapat
dipastikan
darimana
sumber
pendanaannya. Pasal 19 Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.13/2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan
bahwa
dalam
penyusunan
APBD,
penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan
adanya
kepastian
tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup.
Sebagai komponen utama dari
penerimaan daerah, besaran pendapatan akan
sangat menentukan besaran alokasi belanja.
Pengaruh pendapatan terhadap belanja ini
memang masih menjadi perdebatan karena
jenis pendapatan
sendiri tidak secara
otomatis dialokasikan untuk mendanai
belanja-belanja tertentu (earmark). Beberapa
studi
terdahulu
membuktikan
bahwa
pendapatan berpengaruh terhadap belanja,
seperti Abdullah (2004), Abdullah dan Halim
(2006), dan Maimunah (2006). Menurut
Wilson & Sylvia (1993), keputusan anggaran
sangat
tergantung
pada
perubahan
pendapatan.
Niskanen (1971, dalam Blais &
Dion, 1990) menyatakan bahwa birokrat di
agency
(satuan
kerja)
memiliki
kecenderungan
untuk
memaksimalkan
anggarannya, yang sebenarnya merupakan
salah satu bentuk dari sefl-interest dari
perspektif keagenan. Agregasi dari usulan
anggaran satuan kerja akan menjadi
rancangan anggaran untuk dibahas dan

ditetapkan
bersama
dengan
lembaga
perwakilan atau DPRD.
Hasil studi Abdullah (2012a)
menunjukkan bahwa lembaga perwakilan di
daerah (DPRD) memiliki kecenderungan
oportunistik untuk mengusulkan perubahan
target penerimaan daerah dari pendapatan asli
daerah (PAD) untuk kemudian digunakan
membiaya kenaikan dalam alokasi belanja
yang diusulkan dalam pembahasan rancangan
Perda APBD. Kenaikan alokasi belanja yang
diajukan DPRD ternyata mengandung
masalah keagenan, dimana perubahan
dimanfaatkan untuk pemenuhan self-interest
anggota dewan. Di sisi lain, Abdullah (2012b)
juga menyatakan bahwa eksekutif memiliki
kecenderungan menganggarkan belanja lebih
besar dalam komponen tertentu untuk
kemudian melakukan pergeseran (virement)
pada saat terjadi perubahan anggaran.
Pergeseran ini tidak menyebabkan terjadinya
perubahan pagu anggaran SKPD secara total.
Perubahan jumlah anggaran (variance), baik
antar-anggaran maupun antara anggaran dan
realisasinya, berhubungan dengan self-interest
yang melatarinya, namun jarang dianalisa
secara
mendalam
dalam
konteks
penganggaran di pemerintahan daerah,
terutama di Indonesia.
Penelitian ini ingin menganalisis
pengaruh
pendapatan terhadap belanja
dengan menggunakan data varian anggaran.
Oleh karena
pemerintah
daerah
di
Indonesia menggunakan prinsip hubungan
revenues-expenditures, maka akan diuji
pengaruh varian pendapatan (revenue
variances)
terhadap
varian
belanja
(expenditure variances). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam perubahan APBD,
perubahan anggaran pendapatan berpengaruh
terhadap
perubahan
belanja. Hal
ini
sejalan
dengan
pandangan
bahwa
APBD murni
merupakan APBD yang
mengadopsi masukan dari publik dari
perspektif anggaran partisipatif, sementara
APBD perubahan
tidak
demikian,
sehingga seering
digunakan
untuk
mengakomodir self-interest pada penentu
anggaran di pemerintahan.

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

273

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

Struktur dan Kebijakan Anggaran di


Pemerintah Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah
dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan
daerah Pasal 1 angka 7 PP No.58/2005.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) terdiri dari 3 (tiga) komponen, yakni
pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Komponen-komponen anggaran tersebut
direncanakan oleh satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) hampir setahun sebelum
pelaksanaannya. Oleh karena anggaran
pemerintah dibatasi dalam satu tahun
anggaran, maka ketidakpastian selama satu
tahun berjalan perlu diantisipasi melalui
penyesuaian-penyesuaian fiskal selama tahun
berjalan (Forrester & Mullins, 1992).
Saat ini penganggaran di pemerintah
daerah di Indonesia menganut konsep surplusdefisit, dimana jumlah pendapatan tidak
selalu harus sama dengan jumlah belanja.
Selisih antara pendapatan dan belanja disebut
surplus jika pendapatan lebih besar dari
belanja dan disebut defisit jika yang terjadi
adalah sebaliknya. Apabila terjadi surplus,
maka akan dialokasikan untuk pemenuhan
kewajiban atau diskresi dalam pengeluaran
pembiayaan, misalnya untuk pembayaran
pokok pinjaman dan penyertaan modal
(investasi) pemerintah daerah. Sebaliknya,
jika terjadi defisit, maka harus dicari sumber
pendanaan tambahan dari penerimaan
pembiayaan, misalnya dengan memanfaatkan
sisa lebih anggaran tahun sebelumnya
(SiLPA), melakukan pinjaman, atau dengan
pelepasan investasi (penjualan kekayaan
daerah yang dipisahkan).
Struktur anggaran yang membuka
peluang untuk mencari sumber pendanaan di
luar
pendapatan
daerah
mendorong
pemerintah daerah tidak cermat dalam
penganggarannya. Ketergantungan
yang
sangat besar pada dana perimbangan
sebenarnya merupakan indikasi terjadinya
fiscal stress di pemerintahan daerah, terlebih
lagi sebagian besar pendapatan daerah sudah
terserap ke dalam belanja pegawai. Semakin

tinggi tekanan fiskal, maka semakin besar


respon
belanja
terhadap
perubahan
pendapatan. Namun, Maimunah (2006)
menemukan bahwa respon belanja berbeda
terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan
dana alokasi umum (DAU).
Peramalan pendapatan menghasilkan
estimasi-estimasi atas pendapatan, reliabel
ataupun tidak, yang menjadi dasar bagi
budget
actors
untuk
menentukan
pengalokasian sumberdaya terbaik (Forrester,
1991). Bretschneide, et al. (1988) menyatakan
bahwa revenue forecasts can influence
budgetary
choices.
Keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki pemerintah daerah
menyebabkan terjadinya persaingan untuk
memperoleh alokasi anggaran lebih besar
diantara unit kerja (agency), namun di sisi
lain, peran legislatif (lembaga perwakilan)
cukup besar dalam menentukan jumlah
alokasi
untuk
masing-masing
agency
(appropriations). Dengan demikian, ketika
pendapatan yang diestimasi akan menentukan
seberapa besar sumberdaya yang akan
teralokasi ke dalam belanja-belanja, maka
politik anggaran memiliki peran relatif
signifikan (von Hagen, 2002).
Masalah Keagenan dalam Penganggaran
di SKPD
Proses penyusunan anggaran di
pemerintahan tidak terlepas dari persoalan
keagenan (Fozzard, 2001; Abdullah, 2012a;
Halim, 2001; Halim dan Abdullah, 2004; dan
Smith & Bertozzi, 1998).
Hubungan
keagenan tersebut terjadi dalam hubungan
antara eksekutif-legislatif, legislatif-pemilih,
eksekutif-pemilih, dan eksekutif-birokrasi
(Moe, 1984). Senjangan anggaran (budget
slack) merupakan indikasi adanya masalah
keagenan dalam penganggaran (Marlowe,
2009; Moore, et al., 2000), sebagaimana
halnya varian anggaran (Abdullah, 2012b;
Marlowe, 2009). Bahkan Isaksen (2005)
menyatakan bahwa pada setiap tahapan dalam
proses penyusunan anggaran terdapat ruang
untuk terjadinya korupsi anggaran. William
H. Niskanen (1971, dalam Blais dan Dion,
1990) menyatakan bahwa agency (satuan
kerja
di
pemerintahan)
memiliki

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

274

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

kecenderungan untuk memaksimalkan alokasi


anggaran untuk pelaksanaan tugas dan
fungsinya. Kelonggaran dalam anggaran,
yakni alokasi yang lebih dari cukup sehingga
tidak
perlu
berhemat,
akan
memudahkan agency (SKPD dalam konteks
pemerintahan daerah di Indonesia) dalam
mencapai target-target kinerja yang telah
ditetapkan. Keleluasaan untuk membuat
kebijakan dalam membiayai program dan
kegiatan akan menghadirkan enjoyment (Von
Hagen, 2002), meskipun tidak selalu efektif
dan efisien. Namun, maksimalisasi anggaran
oleh
SKPD
ini
berimplikasi
pada
berkurangnya alokasi anggaran untuk SKPD
yang lain, yang mungkin lebih membutuhkan
alokasi tersebut, karena adanya keterbatasan
dalam sumberdaya (budget constraints) yang
dimiliki pemerintah daerah (Abdullah,
2012c). Implikasinya adalah pada tidak
efektifnya pencapaian target kinerja (output
dan outcome) dan semakin besarnya sisa
anggaran pada akhir tahun.
Pada praktiknya, SKPD hanya
menganggarkan pendapatan dan belanja,
meskipun komponen anggaran daerah juga
meliputi pembiayaan, kecuali SKPD yang
sekaligus
juga
melaksanakan
fungsi
perbendaharaan daerah, yakni satuan kerja
pengelola keuangan daerah (SKPKD).
Penganggaran pendapatan dan belanja SKPD
memiliki persoalan keagenan, yang pada
prinsipnya bersumber dari adanya asimetri
informasi antara kepala SKPD dengan kepala
daerah. Masalah keagenan ini juga terkait
dengan penerapan konsep penganggaran
partisipatif (participatory budgeting), yakni
ketika kepala SKPD selaku pengguna
anggaran dilibatkan dalam proses penyusunan
APBD melalui penyusunan RKA (Rencana
Kerja dan Anggaran) SKPD. Menurut Modlin
(2011) agency berkepentingan dalam
pengusulan kebijakan (policies) yang akan
meningkatkan pagu anggarannya.
Ketika menganggarkan pendapatan,
kepala SKPD cenderung menentukan target di
bawah potensi pendapatan yang sebenarnya.
Selisih antara potensi pendapatan yang
sesungguhnya dengan target pendapatan yang
diusulkan oleh kepala SKPD disebut

senjangan atau kesenjangan anggaran (budget


slack). Slack ini
dapat
dijadikan
sebagai proxy atau pengukuran untuk masalah
keagenan dalam penganggaran pendapatan
karena mencerminkan asimetri informasi
antara kepala SKPD selaku pengguna
anggaran dengan kepala daerah selaku
pemilik anggaran. Seandainya informasi
yang dimiliki kepala SKPD dan kepala daerah
simteris, maka anggaran atau target
pendapatan yang harus dicapai oleh kepala
SKPD
sama
dengan
potensi
yang
sesungguhnya (Abdullah, 2012c). Dalam
konsep penganggaran pendapatan digunakan
asas minimal, yakni penentuan target
pendapatan sebagai batas terendah yang harus
dicapai oleh unit kerja/pemerintah daerah.
Di sini lain, ketika menganggarkan
belanja,
kepala
SKPD
cenderung
mengusulkan jumlah di atas kebutuhan yang
sesungguhnya. Kepala SKPD lebih menyukai
besaran alokasi yang melebihi real costs saat
anggaran
tersebut
disusun.
Perilaku
menggelembungkan (mark-up) terhadap
anggaran belanja ini menggambarkan
praktik maximizing
the
budget, seperti
ditengarai oleh Niskanen (Blais & Dion,
1990). Menurut Abdullah (2012c), selisih
antara kebutuhan riil dengan jumlah belanja
yang
dianggarkan
merupakan budget
slack dalam
anggaran
belanja,
yang
mencerminkan terjadinya asimetri informasi
antara kepala SKPD (selaku pengusul
anggaran atau agent) dengan kepala daerah
(selaku pemilik anggaran atau principal). Hal
yang sama terjadi antara eksekutif dan
legislatif di pemerintah daerah (Abdullah,
2012). Asas penganggaran belanja adalah asas
maksimal, yakni menetapkan alokasi belanja
sebagai batas maksimal sumberdaya yang
boleh digunakan oleh unit kerja/pemerintah
daerah.
Kedua pola self-interest tersebut,
yakni under-estimated untuk pendapatan dan
over-estimated
untuk
belanja
akan
menghasilkan varian atau selisih antara
anggaran dan realisasi. Varian yang besar
mencerminkan
ketidakakuratan
dalam
menentukan besaran anggaran. Pada akhirnya,
gabungan dari usulan anggaran SKPD akan

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

275

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

membentuk anggaran pemerintah daerah.


Oleh karena itu, akumulasi senjangan dan
varian anggaran SKPD, yang tersembunyi
dalam RKA-SKPD, akan menentukan berapa
besar sisa anggaran (SILPA) pada akhir
tahun.
Masalah Keagenan dalam Perubahan
Anggaran Daerah
Perubahan
anggaran
daerah
dilakukan untuk tujuan menyesuaikan
anggaran berjalan terhadap perubahanperubahan terkini, termasuk perubahan dalam
peraturan perundang-undangan dan kebijakan
dari Pemerintah Pusat. Menurut Cornia, et al.
(2004) estimasi pendapatan pada masa yang
akan datang sangat penting dalam proses
perencanaan, meskipun tetap bisa dilakukan
perubahan estimasi. Rebudgeting dibutuhkan
untuk membuat anggaran lebih responsif
terhadap kebutuhan anggaran partisipan dan
untuk menyesuaikan dengan perubahan
lingkungan (Forrester & Mullins, 1992).
Wildavsky (dalam Forrester &
Mullins,
1992)
menyatakan
bahwa
Rebudgeting is what governments do to
revise and update the adopted budget during
the course of the fiscal year. Sebagai
lanjutan dari proses anggaran tahunan,
rebudgeting
menjadi
alat
untuk
mempertemukan
berbagai
conflicting
objectives dalam penganggaran, termasuk
continuity dan control, change dan
accountability,
serta
flexibility
dan
predictability.
Peramalan pendapatan merupakan
sumber penting dari ketidakpastian anggaran
yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan.
Pendapatan aktual bisa saja melebihi atau
kurang dari belanja yang direncanakan,
sehingga ketika terjadi mismatches antara
pendapatan aktual dengan yang diprediksi,
maka pemerintah daerah harus melakukan
reopen dan rebalance atas anggarannya
(Cornia, et al., 2004).
Studi Forrester & Mullins (1992)
menemukan bahwa ada 3 (tiga) kategori
stimuli perubahan anggaran. Pertama,
managerial necessity, yakni penyesuaian yang
bersumber dari kompleksitas secara teknis

dalam pembuatan keputusan manajerial


berkaitan dengan kebutuhan dan sumberdaya
yang ada dalam suatu keterbatasan. Kedua,
environmental pressure, yaitu penyesuaian
yang dibutuhkan karena adanya perubahan
lingkungan
dimana
pelayanan
publik
diberikan oleh pemerintah. Terakhir, political
concerns, yakni keputusan pengalokasian
sumberdaya yang keluar dari hakikat politik
anggaran sesungguhnya.
Perubahan
anggaran
menjadi
fenomena
menarik
ketika
terjadi
pelanggaran atas prioritas usulan publik
yang tercantum dalam dokumen Rencana
Kerja
Pemerintah
Daerah
(RKPD).
Penyusunan RKPD dilakukan melalui proses
partisipasi publik dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang),
sehingga berisikan usulan program-program
pembangunan yang relatif sejalan dengan
kebutuhan
publik.
RKPD
merupakan
pedoman dalam penyusunan KUA dan PPAS,
sebelum dijabarkan dalam terma finansial
dalam APBD. Meskipun perubahan anggaran
menggunakan KUA dan PPAS, secara
substansi kedua dokumen ini tidak melibatkan
partisipasi publik karena hanya bersifat
menyesuaikan, tidak harus didasarkan RKPD
yang memuat usulan publik.
Masalah keagenan dalam perubahan
anggaran terjadi ketika perubahan anggaran
didasarkan pada pemenuhan self-interest pada
pembuat keputusan anggaran (budget actors).
Pada sepertiga ketiga tahun anggaran berjalan,
pelaksanaan anggaran tidak lagi memiliki
waktu
cukup
untuk
pelaksanaan
pembangunan fisik atau merealisasikan
belanja modal dalam jumlah besar. Oleh
karena itu, anggaran lebih diarahkan pada
pengeluaran yang bersifat belanja pegawai
(honorarium) dan pengadaan barang dan jasa.
Perubahan berupa kenaikan alokasi belanja
lebih sering karena keharusan untuk
melakukan penyesuaian karena sebelumnya
telah terjadi
pengeluaran mendahului
anggaran (karena hal dan syarat-syarat
tertentu yang telah diatur sebelumnya).
Dalam perubahan anggaran, target
pendapatan tidak harus naik, karena tujuan
perubahan anggaran sesungguhnya adalah

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

276

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

untuk penyesuaian dengan keadaan. Jika


pada anggaran murni target pendapatan
ditetapkan terlalu tinggi, maka dalam
perubahan anggaran target tersebut akan
diturunkan. Yang menjadi persoalan adalah:
apakah belanja yang dulu direncanakan akan
didanai dari penerimaan atas target
pendapatan yang telah ditetapkan juga akan
berkurang seiring dengan pengurangan target
pendapatan yang bersangkutan?
Masalah Keagenan dan Varian Anggaran
Senjangan anggaran (budget slack) di
pemerintahan daerah mirip dengan yang
ditemukan dalam bisnis/swasta (Moore et al.,
2000). Pada prinsipnya, senjangan anggaran
akan menyebabkan terjadinya perbedaan
antara target anggaran dengan potensi atau
kebutuhan yang sesungguhnya, sehingga
informasi yang terkandung dalam angkaangka anggaran mengandung risiko akan
terjadinya kesalahan dalam pembuatan
keputusan jika keputusan diambil berdasarkan
angka-angka anggaran tersebut. Pada
pelaporan pelaksanaan anggaran, secara tidak
langsung, senjangan anggaran tercermin pada
varian anggaran. Hal ini didasari pemahaman
bahwa pemenuhan self-interest pembuat
keputusan anggaran dilakukan melalui
pengalokasian anggaran yang manipulatif dan
distortif. Abdullah (2012b) menjelaskan
masalah keagenan dalam penganggaran tekait
senjangan dan varian anggaran pendapatan
dan belanja di pemerintah daerah.
Senjangan dan Varian Pendapatan
Senjangan anggaran (budget slack)
pendapatan terjadi ketika target pendapatan
ditetapkan lebih rendah dari potensi yang
sebenarnya. Untuk mengetahui berapa
besaran kesenjangan anggaran pendapatan ini,
maka terlebih dahulu harus diketahui
berapa potensi pendapatan, yang bisa saja
bersifat laten (tersembunyi) karena tidak
dinyatakan secara eksplisit (tertulis). Oleh
karena itu, asas dalam penganggaran
pendapatan disebut asas minimal.
Teori keagenan (agency theory)
menjelaskan seorang bawahan yang diminta
untuk terlibat dalam penentuan target

pendapatan yang harus dicapainya, akan


memiliki
kecenderungan
untuk
menganggarkan lebih rendah dari kemampuan
maksimalnya. Jika kemampuan maksimal
untuk memunggut pajak daerah seorang staf
adalah sebesar 100, maka ketika staf tersebut
diminta membuat target pendapatan yang
harus dicapainya, dia akan membuat target
yang lebih rendah dari 100. Kalau dia
mengajukan angka 90 sebagai target, maka
dapat dikatakan terjadi slacksebesar 10, yakni
selisih 100 dikurang 90. Dengan target yang
rendah dan mudah dicapai, staf tersebut bisa
bekerja dengan lebih santai, namun dengan
menggunakan fasilitas untuk mencapai target
maksimal. Dalam hal ini, terdapat asimetri
informasi antara staf dengan atasanya atau
fihak yang menentukan target kinerjanya.
Varian anggaran dapat diketahui
besarannya setelah anggaran terealisasi.
Selisih antara anggaran pendapatan dan
realisasi pendapatan ini menunjukkan
ketidak-akuratan dalam penetapan target
anggaran pada proses penyusunan anggaran.
Pada
saat
pemungutan
pendapatan
dilaksanakan, pelampauan atas target yang
ditetapkan akan menjadi varian pendapatan.
Apabila seluruh pendapatan disetorkan ke kas
daerah, maka varian pendapatan adalah selisih
antara realisasi yang sesungguhnya dengan
target dalam anggaran pendapatan. Apabila
tidak seluruh dana dari pelampauan
pendapatan disetorkan ke kas daerah, maka
varian pendapatan adalah selisih antara nilai
pendapatan yang terealisasi dan disetorkan
dengan target pendapatan, Saat ini
penganggaran dan akuntansi di pemerintah
daerah di Indonesia menggunakan basis kas.
Senjangan dan Varian Belanja
Pengalokasian anggaran belanja
menggunakan basis maksimal, yakni jumlah
anggaran belanja merupakan patokan jumlah
pembayaran maksimal yang bisa dilaksanakan
sebagai bentuk realisasi anggaran belanja. Hal
ini
berbalikan
dengan
penganggaran
pendapatan
(asas
minimal).
Dengan
demikian, slack anggaran
belanja
menunjukkan selisih antara jumlah kebutuhan
dengan yang dianggarkan. Oleh karena

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

277

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

senjangan merupakan penyimpangan atas


kebutuhan, maka pada saat pelaksanaan
anggaran kemungkinan besar akan terjadi
varian anggaran. Ada beberapa penjelasan
terkait dengan varian belanja ini, yakni:
Pertama,
kesengajaan
untuk
menaikan anggaran belanja di atas kebutuhan
karena
adanya self-interest yang
ingin
dicapai. Self-interest ini
dapat
berupa enjoyment di tempat kerja yang
nyaman, dapat memanfaatkan fasilitas kantor
untuk
kepentingan
pribadi,
dan privelege sebagai pejabat yang dihormati
(Von Hagen, 2002).
Kedua, menjaga
keberlanjutan
jumlah alokasi untuk tahun anggaran
berikutnya. Hal ini disebabkan oleh
adanya mind-set bahwa setiap tahun alokasi
anggaran untuk SKPD akan mengalami
peningkatan, yang didasarkan pada jumlah
anggaran tahun sebelumnya. Keberlanjutan
seperti ini sering disebut ratcheting effect
dalam penganggaran (Lee & Plummer, 2007;
Marlowe, 2009).
Ketiga,
slack anggaran
belanja
digunakan untuk mengakomodasi aktifitas
yang berkaitan dengan kepentingan politik
anggaran, khususnya untuk kepentingan para
aktor yang terlibat dalam pembuatan
keputusan anggaran. Abdullah (2012a)
menemukan
bahwa
DPRD
bersikap
oportunistik dalam penganggaran daerah
dengan mengalokasian sumberdaya pada
belanja yang mengandung lucrative tinggi,
sementara Niskanen (dalam Blais & Dion,
1990) menyatakan bahwa kepala agency
adalah maximizer dalam penentuan alokasi
untuk agency-nya. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Marlowe (2009), Modlin
(2011), dan Smith & Bertozzi (1998).
Prinsip
belanja
mengikuti
pendapatan (tax-spending hypothesis) telah
dikenal luas dalam literatur keuangan publik
(Cheng, 1999). Ketergantungan belanja
terhadap pendapatan menimbulkan persaingan
diantara agency untuk mendapatkan alokasi
anggaran lebih besar, termasuk dengan
memanfaatkan tahapan perubahan anggaran
(rebudgeting
atau
budget
changes).
Mekanisme penyusunan, pembahasan dan

penetapan anggaran perubahan tidak jauh


berbeda dengan anggaran murni (induk),
namun kemungkinan dimanfaatkan untuk
tujuan politik. Rubin (1993:234) menyatakan:
Sometimes the discretion to adapt the budget
to changing circumtances is abused or is
perceived as a perversion of legislative
intent.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang akan diuji
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Ha: Varian pendapatan berpengaruh
terhadap varian belanja.
METODE PENELITIAN
Data dan Sampel
Data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini bersumber dari peraturan daerah
atau qanun tentang tentang APBD, perubahan
APBD, dan laporan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan APBD. Sampel dipilih dengan
menggunakan beberapa kriteria (purposive
sampling), yakni: (1) data tersedia di internet
melalui pencarian dengan menggunakan
search engine Google dan laman (web)
pemerintah daerah; (2) data tersedia lengkap
untuk APBD awal atau murni, APBD
perubahan, dan laporan pertanggungjawaban
APBD untuk satu tahun anggaran yang sama;
dan (3) varian pendapatan dan varian belanja
tidak sama dengan nol. Sampel yang terpilih
dan kemudian datanya diolah mencakup 56
kabupaten/kota, yang terdiri dari 24 Pemda
untuk tahun anggaran 2009, 23 Pemda untuk
tahun anggaran 2010, dan 9 Pemda untuk
tahun anggaran 2011 (lihat Lampiran I).
Operasionalisasi Variabel
Variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian diukur dengan menggunakan
angka selisih atau varian di antara anggaran
murni, anggaran perubahan, dan realisasi
anggaran, baik untuk pendapatan maupun
belanja. Nazry (2013) menyebut selisihselisih tersebut dengan nama varian murni,
varian perubahan, dan varian realisasi.
Variabel terikat (dependent variable)
dalam penelitian ini adalah varian belanja,
yang diukur dengan menggunakan selisih

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

278

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

antara dua nilai anggaran belanja, yakni


selisih antara (a) anggaran belanja setelah
perubahan dengan anggaran belanja murni,
disebut varian belanja murni atau VBM; (b)
realisasi belanja dengan anggaran belanja
setelah perubahan, disebut varian belanja
perubahan atau VBP; dan (c) realisasi belanja
dengan anggaran belanja murni, disebut
varian belanja realisasi atau VBR.
Anggaran belanja murni adalah
jumlah anggaran belanja keseluruhan yang
tercantum dalam APBD murni atau awal
tahun, yang ditetapkan dalam bentuk Perda
tentang APBD sebelum memasuki tahun
berkenaan (secara normatif ditetapkan paling
lambat 31 Desember). Anggaran belanja
setelah perubahan adalah anggaran belanja
keseluruhan yang tercantum dalam Perda
tentang perubahan APBD, yang ditetapkan
selama tahun berjalan. Jumlah anggaran
belanja mencakup kelompok belanja tidak
langsung dan belanja langsung beserta jenisjenis belanja yang ada di dalamnya.
Sedangkan realisasi belanja adalah jumlah
anggaran belanja yang telah dibayarkan atau
dipertanggungjawabkan oleh SKPD, yang
angkanya tercantum dalam Laporan Realisasi
Anggaran (LRA).
Variabel
bebas
(independent
variable) dalam penelitian ini adalah varian
pendapatan,
yang
diukur
dengan
menggunakan selisih antara dua nilai
anggaran pendapatan, yakni selisih antara (a)
anggaran pendapatan setelah perubahan
dengan anggaran pendapatan murni, disebut
varian pendapatan murni atau VPM; (b)
realisasi pendapatan dengan anggaran
pendapatan setelah perubahan, disebut varian
pendapatan perubahan atau VPP; dan (c)
realisasi pendapatan dengan anggaran
pendapatan murni, disebut varian pendapatan
realisasi atau VPR.
Model Regresi
Model regresi sederhana digunakan
untuk memprediksi varian belanja dengan
varian pendapatan sebagai prediktor. Masingmasing bentuk varian pendapatan diregres
dengan varian belanja yang sejenis, sehingga
dilakukan 3 (tiga) kali regresi, yakni untuk

anggaran murni, perubahan dan realisasi.


Persamaan regresi yang digunakan dapat
digambarkan seperti berikut:
dengan
adalah varian belanja murni
(VBM) atau perubahan (VBP) atau realisasi
(VBR);
adalah konstanta;
adalah
koefisien Regresi;
adalah varian
pendapatan murni (VPM) atau varian
pendapatan perubahan (VPP) atau varian
pendapatan realisasi (VPR); dan
adalah
error terms.
HASIL ANALISIS
Pengaruh Varian Pendapatan Murni
terhadap Varian Belanja Murni
Hasil regresi antara variabel Varian
Pendapatan Murni (VPM) terhadap variabel
Varian Belanja Murni (VBM) menunjukkan
hasil yang secara statistik signifikan positif.
Artinya, varian pendapatan (selisih antara
pendapatan dalam anggaran perubahan
dengan anggaran murni) berpengaruh positif
terhadap varian belanja untuk.
Persamaan regresi VPM terhadap
VBM dapat digambarkan dengan persamaan
berikut: VBM = 2205,2017 + 0,911VPM,
dimana nilai t diperoleh sebesar 23.137 dan
nilai Sig. sebesar 0,000. Sementara nilai F
ditunjukkan sebesar 535,326 dengan nilai Sig.
sebesar 0,000. Nilai Sig. yang lebih kecil dari
0,05 bermakna adanya pengaruh signifikan
variabel bebas Varian Pendapatan Murni
(VPM) terhadap variabel terikat Varian
Belanja Murni (VBM).
Ada beberapa penjelasan untuk
memahami temuan ini, yakni: Pertama,
memang terjadi perubahan cukup besar dalam
anggaran daerah karena secara regulasi
diizinkan
terjadinya
perubahan
atau
penyesuaian anggaran sesuai kondisi dan
kebutuhan pemerintah daerah. Perubahan
APBD
dilakukan
setelah
laporan
pertanggungjawaban
APBD
tahun
sebelumnya selesai diaudit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), sehingga dapat
diketahui secara pasti sisa perhitungan
anggaran tahun sebelumnya (SiLPA) dan
selisihnya dengan SiLPA prediksian dalam
APBD murni. Hal ini mendorong perubahan

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

279

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

relatif besar di kedua sisi anggaran, yaitu:


penerimaan
berupa
pendapatan
dan
pengeluaran berupa belanja.
Kedua, sensitifitas yang tinggi
karena adanya faktor partisipasi publik dalam
penganggaran. Pelibatan publik dalam tahap
perencanaan
(Musrenbang
RKPD)
memunculkan banyaknya usulan kegiatan
yang saling bersaing. Anggaran belanja murni
ditetapkan
dengan
pertimbanganpertimbangan matang dan cenderung rumit
karena melalui proses pembahasan anggaran
antara eksekutif dan legislatif tentang
kebijakan umum APBD (KUA), prioritas dan
plafon anggaran sementara (PPAS), dan
rancangan Perda tentang APBD. Artinya,
ketika ada penyesuaian untuk pendapatan,
maka belanja akan sangat merespon positif,
khususnya untuk alokasi belanja yang sifatnya
penting dan mendesak, yang dalam anggaran
murni tidak tertampung.
Ketiga,
kemungkinan
terkonfirmasinya anggapan bahwa APBD
murni menyimpan banyak titipan, yang
baru akan ditempatkan pada posisi
sesungguhnya dalam anggaran perubahan.
Agency
theory
menjelaskan
berbagai
kemungkinan dapat terjadi terkait perilaku
moral hazard sang agent dalam pengelolaan
sumberdaya ekonomi, termasuk dengan
menyembunyikan suatu alokasi pada
belanja tertentu pada awal tahun, untuk
kemudian mengambilnya kembali pada saat
perubahan anggaran dilakukan.
Pengaruh Varian Pendapatan Perubahan
terhadap Varian Belanja Perubahan
Hasil
regresi
untuk
variabel
independen Varian Pendapatan Perubahan
(VPP) terhadap variabel terikat Varian
Belanja Perubahan (VPB) tidak menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan. Besaran
nilai t untuk variabel Varian Pendapatan
Perubahan adalah -0,752 dengan nilai Sig.
sebesar 0,455 (atau lebih besar dari 5% atau
0,05). Koefisien regresi variabel independen
varian Pendapatan Perubahan juga bertanda
negatif, yakni -0,010.
Hasil ini menunjukkan bahwa varian
pendapatan tidak berhubungan dengan varian

belanja, ketika varian adalah selisih antara


realisasi
anggaran
dengan
anggaran
perubahan. Selisih antara realisasi dengan
anggaran perubahan memang sangat kecil
karena waktu untuk merealisasikan tambahan
anggaran sangat sempit. Kadangkala anggaran
perubahan hanya sekedar menetapkan jumlah
yang sudah pasti karena pelaksanaan
kegiatnnya sudah selesai (tuntas), atau
sekedar melakukan penyesuaian anggaran
(budget adjustment).
Praktik pelaksanaan anggaran di
pemerintahan sering tidak mendapat perhatian
yang setara dengan proses penyusunan
anggaran (McCaffery & Mutty, 1999),
sehingga beberapa persolan teknis luput dari
pengamatan politisi, akademisi, dan pers. Hal
ini berimplikasi pada kecederungan untuk
memanfaatkan perubahan anggaran sebagai
penampung kebijakan yang tidak dapat
dialokasikan sumberdayanya dalam anggaran
murni. Adanya keleluasaan bagi pemerintah
daerah untuk melakukan pembayaran
mendahului anggaran dalam kondisi (syarat)
tertentu menyebabkan alokasi anggaran
setelah perubahan tidak berbeda dengan
realisasinya,
karena
anggaran
setelah
perubahan bukan lagi berupa rencana, tetapi
pelegalan atas belanja-belanja yang telah
dibayarkan.
Namun, jika dianalisis lebih dalam
sampai pada perubahan angka-angka dalam
satu SKPD, kemungkinan akan ditemukan
terjadinya pergeseran anggaran (virement)
yang dilakukan oleh birokrat di SKPD.
Pergeseran anggaran tetap mengandung moral
hazard karena tidak semua orang dapat
mengawasi pelaksanaan perubahan APBD.
Pengaruh varian Pendapatan Realisasi
terhadap Varian Belanja Realisasi
Hasil
regresi
untuk
variabel
independen Varian Pendapatan Realisasi
(VPR) terhadap variabel terikat Varian
Belanja Realisasi (VBR) tidak menunjukkan
adanya pengaruh yang signifikan. Besaran
nilai t untuk variabel Varian Pendapatan
Realisasi adalah 1,043 dengan nilai Sig.
sebesar 0,302 (atau lebih besar dari 5% atau

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

280

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

0,05). Koefisien regresi variabel independen


VBR bertanda positif, yakni sebesar 0,112.
Tidak adanya pengaruh variabel VPR
terhadap variabel VBR menunjukkan bahwa
telah terjadi beberapa perubahan yang sangat
mendasar selama proses pelaksanaan dan
pertanggungjawaban
anggaran.
Ketika
laporan realisasi disusun, yang dijadikan
pembanding untuk mengetahui daya serap
anggaran akhir tahun adalah anggaran setelah
perubahan. Artinya, dalam laporan keuangan
pemerintah daerah,
informasi tentang
anggaran awal atau APBD murni tidak
disajikan, termasuk dalam Catatan atas
Laporan Keuangan.
SIMPULAN
Penelitian ini menguji pengaruh
varian pendapatan terhadap varian belanja
dengan menggunakan 3 (tiga) jenis varian,
yakni varian murni, varian perubahan, dan
varian realisasi. Hasil pengolahan data
menunjukkan bahwa hanya varian murni yang
memberikan estimasi signifikan, dimana
varian pendapatan murni berpengaruh positif
terhadap varian belanja murni. Untuk varian
perubahan dan varian realisasi, ternyata
pendapatan tidak berpengaruh terhadap
belanja di pemerintah daerah.
SARAN
Penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan
yang
disarankan
untuk
diperbaiki
dalam
penelitian-penelitian
berikutnya. Pertama, model regresi yang
dipakai
sangat
sederhana
(hanya
menggunakan satu variabel bebas) sehingga
kemungkinan terjadi bias karena tidak
memasukkan predictor lain yang memiliki
daya prediksi lebih besar terhadap perubahan
belanja daerah.
Kedua, karena tidak menggunakan
sampel yang cukup besar, maka kemungkinan
besar penelitian ini perlu dipebaiki dengan
penambahan
sampel
dna
observasi.
Pemanfaatan teknologi informasi dapat
dimanfaatkan untuk menggali data dan
informasi tentang perubahan anggaran di
pemerintah daerah di Indonesia.

Ketiga, perlu dianalisis lebih


mendalam tentang faktor-faktor apa yang
berhubungan dengan information content dari
data dan angka yang tersaji dalam dokumen
anggaran (APBD) dan laporan keuangan
pemerintah daerah. Rendahnya korelasi antara
varian pendapatan dan varian belanja antara
realisasi
dan
anggaran
perubahan
membutuhkan penjelasan lebih jauh: apakah
perubahan anggaran pendapatan dan belanja
tidak memperhitungkan kemungkinan sisa
anggaran pada akhir tahun?
Keempat, menggali lebih jauh siapa
dari budget actors yang memiliki pengaruh
paling besar atas terjadi varian belanja dan
apa yang melatarbelakanginya. Menurut
Draver & Pitsvada (dalam Forrester &
Mullins,
1992),
perubahan
anggaran
merupakan sarana bagi legislatur dan komisi
di dalamnya, eksekutif, dan birokrasi untuk
melakukan negosiasi ulang agenda masingmasing.
Terakhir, kelima, laporan keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan selama ini
tidak
menyajikan
informasi
tentang
perubahan-perubahan yang terjadi dalam
anggaran sejak APBD murni, padahal sangat
dibutuhkan informasinya untuk memahami
sekuensial dari politik anggaran dan
perkembangan anggaran selama satu tahun
seacra utuh. Studi berikutnya diharapkan
dapat mengungkap manfaat dan kandungan
informasi dari perubahan-perubahan yang
tidak diungkapkan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Syukriy.
2012a.
Perilaku
Oportunistik
Legislatif
dan
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhinya: Bukti Empiris
dari Penganggaran Pemerintah
Daerah di Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. Disertasi
(Tidak Dipublikasikan).
Abdullah,
Syukriy.
2012b.
Perubahan APBD. Laman sumber:
http://syukriy.wordpress.com/2013/0
4/22/perubahan-

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

281

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

apbd/?relatedposts_exclude=2643.
April.
Abdullah, Syukriy. 2012c. Varian Anggaran
Pendapatan dan Varian Belanja
Daerah:
Sebuah
Pengantar.
Laman
sumber:
http://syukriy.wordpress.com/2012/1
0/16/varian-anggaran-pendapatandaerah/?relatedposts_exclude=2784.
Oktober.
Abdullah, Syukriy. 2012d. Hubungan
Keagenan antara Kepala Daerah
dan
Kepala
SKPD
~
Anggaran SKPD. Laman sumber:
http://syukriy.wordpress.com/2012/1
1/26/hubungan-keagenan-antarakepala-daerah-dan-kepala-skpd/.
November.
Abdullah, Syukriy. 2013. Belanja Modal dan
Perubahan APBD. Laman sumber:
http://syukriy.wordpress.com/2013/1
1/01/belanja-modal-dan-perubahanapbd/. November.
Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. 2006.
Studi atas Belanja Modal pada
Anggaran Pemerintah Daerah
dalam Hubungannya
dengan
Belanja Pemeliharaan dan Sumber
Pendapatan.
Jurnal
Akuntansi
Pemerintah 2(2): 17 32.
Blais, Andr & Stphane Dion. 1990. Are
Bureaucrats Budget Maximizers?
The Niskanen Model & Its Critics.
Polity 22(4): 655-674.
Bretschneider, Stuart, Jeffrey J. Straussman &
Daniel Mullins. 1988. Do Revenue
Forecasts
Influence
Budget
Setting?
A
Small
Group
Experiment. Policy Sciences 21(4):
305-325.
Cheng, Benjamin S. 1999. Causality
between taxes and expenditures:
Evidence from Latin American
countries. Journal of Economics and
Finance 23(2): 184-192.
Cornia, Gary C., Ray D. Nelson & Andrea
Wilko. 2004. Fiscal Planning,
Budgeting, and Rebudgeting Using
Revenue
Semaphores.
Public

Administration Review 64(2): 164179.


Ebdon, Carol & Aimee L. Franklin. 2006.
Citizen Participation in Budgeting
Theory. Public Administration
Review 66(3): 437-447.
Forrester, John P. 1991. Budgetary
Constraints
and
Municipal
Revenue
Forecasting.
Policy
Sciences 24(4): 333-356.
_________ & Daniel R. Mullins. 1992.
Rebudgeting: The Serial Nature of
Municipal Budgetary Processes.
Public Administration Review 52(5):
467-473.
Fozzard, Adrian. 2001. The Basic Budgeting
Problem: Approaches to Resource
Allocation in the Public Sector and
Their Implications for Pro-Poor
Budgeting. Center for Aid and
Public
Expenditure,
Overseas
Development
Institute
(ODI).
Working paper 147.
Halim, Abdul. 2002. Analisis Varian
Pendapatan Asli Daerah dalam
Laporan Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota
di
Indonesia.
Disertasi Program Doktor Universitas
Gadjah Mada.
_________ dan Syukriy Abdullah. 2006.
Hubungan dan Masalah Keagenan
di Pemerintahan Daerah: Sebuah
Peluang Penelitian Anggaran dan
Akuntansi.
Jurnal
Akuntansi
Pemerintah 2(1): 53-64.
Isaksen, Jan. 2005. The Budget Process and
Corruption. U4 Anti-Corruption
Resource Centre. Working Paper
No. U4 ISSUE 3:2005. Web:
www.u4.no.
Jones, L. R. & K. J. Euske. 1991. Strategic
Misrepresentation in Budgeting.
Journal of Public Administration
Research and Theory 1(4): 437460.
Lee, Tanya M. & Elizabeth Plummer. 2007.
Budget Adjustments in Response
to Spending Variances: Evidence
of
Ratcheting
of
Local

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

282

JURNAL SAMUDRA EKONOMI DAN BISNIS, VOL.6, NO. 2 JULI 2015

Government Expenditures. Journal


of Management Accounting Research
19: 137167.
Maimunah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect
pada Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) terhadap Belanja Daerah
pada Kabupaten/Kota di Pulau
Sumatera. Makalah Disajikan pada
Simposium Nasional Akuntansi ke-9.
Padang.
Marlowe, Justin. 2009. Budget Variance,
Slack Resources, and Municipal
Expenditures. Paper presented at
the 2009 Meeting of the Association
for Budgeting and Financial
Management.
McCaffery, Jerry & John E. Mutty. 1999. The
Hidden Process of Budgeting:
Execution. Journal of Public
Budgeting, Accounting & Financial
Management 11 (2): 233-257.
Modlin, Steve. 2011. Who Really Runs
County Government? The County
Manager
in
the
Budget
Formulation
Process.
Public
Administration and Management
16(1): 21-45.
Moe, Terry M. 1984. The New Economics of
Organization. American Journal of
Political Science 28(4): 739-777.
Moore, Walter B., Peter J. Poznanski, &
Richard Kelsey. 2000. A Path
Analytic Model of Municipal
Budgetary Slack Behavior. In
Proceedings of the American Society
of Business and Behavioral Sciences
7(1): 29-43.
Nazry, Ramadhaniatun. 2013. Masalah
Keagenan dalam Penganggaran
Daerah.
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Syiah
Kuala,
Darussalam, Banda Aceh: Skripsi
(Tidak dipublikasikan).
Pitsvada, Bernard T. 1984. Flexibility in
Federal Budget Execution. Public

Budgeting & Finance (Summer):


83-101.
Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public
Budgeting: Getting and Spending,
Borrowing
and
Balancing.
Chatham, NJ: Chatham House.
Schick, Allen. 1964. Control Patterns in
State Budget Execution. Public
Administration Review 24(2): 97106.
Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998.
Principals
and
Agents:
An
Explanatory Model for Public
Budgeting. Journal of Public
Budgeting, Accounting & Financial
Management 10 (3): 325-353.
Thurmaier, Kurt. 1995. Execution Phase
Budgeting in Local Governments:
It's Not Just for Control Anymore!
State & Local Government Review
27(2): 102-117.
________. 1995. Decisive Decision Making
in the Executive Budget Process:
Analyzing the Political and
Economic Propensities of Central
Budget Bureau Analysts. Public
Administration Review 55(5): 448460.
________. 1992. Budgetary Decisionmaking
in Central Budget Bureaus: An
Experiment. Journal of Public
Administration Research and Theory
2(4): 463-487.
Vanderbilt, Dean H. 1977. Budgeting in
Local Government: Where are We
Now? Public Administration Review
37(5): 538-542.
Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal Rules,
Fiscal Institutions, and Fiscal
Performance. The Economic and
Social review 33(3): 263-284.
Wilson, Laura A. & Ronald Sylvia. 1993.
Changing Revenue Conditions and
State Budgetary Decisions. Journal
of Public Administration Research
and Theory 3(3): 319-333.

Syukri Abdullah dan Ramadhaniatun Nazri: Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah

283

Anda mungkin juga menyukai